Amira langsung menandatangani surat perjanjian kontrak itu tanpa berpikir dua kali. Ia tidak memiliki waktu untuk membacanya.
Sampai saat ini, ia masih belum bisa berpikir jernih karena ibunya sedang di operasi."Semoga operasinya berjalan lancar.""Terima kasih." Lirih gadis itu.Marco satu-satunya orang yang menemani Amira disana. Namun, ia duduk di kursi tunggu bukan karena tanpa alasan, tapi karena setelah operasi itu ia akan membawah Amira, sebagaimana yang tercantum dalam kontrak mereka.Tak berselang lama pintu operasi terbuka. Muncul dari dalam sana dokter yang menangani ibunya Amira."Keluarga pasien?"Amira lekas menghampiri dokter itu. Tubuhnya gemetar. Kakinya lemas. Semoga ia mendapat kabar baik."Maaf harus menyampaikan ini, tapi nyawa pasien tidak tertolong." Dokter itu mengutarakan kalimatnya tanpa bertele-tele.Membuat Amira seketika terjatuh. Ia menangis sambil berteriak histeris, menolak kenyataan yang ada. Kenyataan cukup memukulnya.Marco turut merasakan apa yang dirasakan Amira saat ini. Gadis itu telah berkorban banyak untuk ibunya, tapi ibunya malah pergi untuk selama-lamanya.Marco kemudian melaporkan situasi disana kepada Aidan. Mereka terpaksa memberikan waktu kepada Amira untuk berkabung.1 minggu kemudian …Fisik dan mental Amira sekarang sudah lebih baik. Perlahan ia mulai mengikhlaskan kepergian sang ibunda.Kini gadis itu sedang berada di sebuah cafe bersama Marco, hari ini Marco akan membawa Amira."Ini kontrak perjanjiannya. Silahkan dibaca, kamu pasti tidak sempat membacanya kemarin." Marco menyodorkan sebuah map kepada Amira.Amira hanya diam dan menerima itu. Lalu membacanya. Ia tidak membaca secara menyeluruh, hanya point-point penting saja.Wajib tinggal di tempat yang telah disediakan Tuan Aidan Salvador.Selalu mengikuti apapun yang menjadi perintah Tuan Aidan Salvador. Dilarang membantah.Kontrak berlangsung selama satu tahun.Mungkin hanya tiga hal penting itu yang bisa Amira tangkap."Boleh aku bertanya?" Ujar gadis itu."Silahkan.""Bagaimana jika seandainya dalam waktu dekat aku mengembalikan uang Tuan Aidan, apa kontrak ini masih akan berlaku?""Kontrak tetaplah kontrak. Kamu sudah menandatanganinya dengan keadaan sadar tanpa paksaan. Disitu tidak tertulis kamu bisa mengembalikan uang Tuan Aidan, maka kontrak itu tetap berlaku meski kamu memiliki cukup uang untuk membayar kembali uang Tuan Aidan."Amira mengangguk pelan. Sampai disini ia cukup paham. Rasanya seperti terkekang, karena ia harus melakukan semua perintah Tuan Aidan."Jika sudah selesai, aku akan mengantarmu ke tempat yang sudah disiapkan. Mari." Marco bangkit menuju mobil, diikuti Amira di belakangnya.Mobil itu kemudian melaju, membela keramaian kota hingga memasuki kompleks perumahan elite.Mobil itu berhenti pada sebuah rumah minimalis bergaya modern. Marco mengajak Amira masuk.Kunci rumah, ponsel, atm dan buku rekening, semua Marco berikan kepada Amira.Amira menatap bingung semua benda-benda itu. Tatapnya bertanya kepada Marco."Gunakan ponsel ini. Tuan Aidan akan menghubungimu menggunakan ponsel itu. Selanjutnya atm dan rekening, Tuan Aidan akan mengirim setiap bulannya 100 juta untuk kebutuhanmu. Di garasi juga sudah disediakan kendaraan roda empat dan roda dua, kamu bisa menggunakannya."Amira tercengang. Haruskah ia senang mendapatkan semua fasilitas ini? Ia bungkam tanpa berkata-kata. Ingin menolak, tapi ini perintah Tuan Aidan dan jelas tertulis di kontrak dilarang membantah."Jika kamu sudah paham sampai disini, maka aku akan pergi sekarang." Marco hendak melangkah pergi, tapi ia teringat sesuatu."Nanti malam, Tuan Aidan akan datang. Dia menyuruhmu menyambutnya menggunakan pakaian yang sudah disediakan di lemari.""Iya." Singkat Amira disertai anggukan kepala.Marco kemudian pergi dari sana. Amira menutup pintu rapat. Netranya menyorot sekeliling. Ia menjelajah dan melihat-lihat setiap inci dari rumah itu.Langkahnya terhenti depan lemari di kamar utama. Mungkinkah lemari itu yang dimaksud Marco tadi?Amira membukanya perlahan, hingga ia menemukan tumpukan pakaian-pakaian seksi berserta lingerie."Apa dia menyuruhku menggunakan ini?" Amira mengangkat satu lingerie seksi. Ia menatapnya jijik. Sebelumnya ia tidak pernah mengenakan baju-baju seperti itu.Ia tidak ingin memakainya. Itu bukan stylenya. Lagi pula rasanya mau muntah mengenakan baju seperti itu.Namun, sepenggal kalimat dalam kontrak kembali teringat, 'Dilarang membantah perintah Tuan Aidan.'Sore menjelang malam …Sebuah mobil mewah memasuki halaman rumah tempat Amira tinggal.Amira diam-diam mengintip. Memeriksa apakah itu Tuan Aidan? Pertanyaannya terjawab setelah seorang laki-laki tampan nan mempesona turun dari dalam mobil mewahnya."Selamat datang, Tuan." Seperti yang Marco katakan, Amira menyambut kedatangan Aidan di depan pintu.Aidan menatap datar dan dingin wanita itu. Alisnya berkerut. Sepertinya telah terjadi sesuatu yang tidak disukainya."Apa asistenku tidak beritahu untuk mengenakan baju yang sudah disiapkan?" Suara bariton itu terdengar tegas dan sangat dingin tak tersentuh."Saya mengenakannya, Tuan." Amira kemudian menanggalkan kimono yang ia gunakan.Tubuhnya tampil menggunakan lingerie hitam berpadu dengan kulit putihnya. Rambut panjangnya terurai indah membuat penampilannya sempurna dan seksi."Jangan lagi menutupi tubuhmu. Kau wajib menggunakan baju-baju itu, saat berada di rumah." Tegas Aidan dengan sorot mata tajam."Baik, Tuan."Aidan mengambil tempat duduk di sofa, tepat di depan Amira. Dua maniknya menatap lurus, entah menikmati pemandangan tubuh Amira atau sedang melamun.Tidak ada yang tahu karena pria itu tidak berekpresi. Wajahnya datar dan dingin.Namun, Amira beramsumsi Aidan sedang memperhatikan tubuhnya yang sangat sangat seksi. Lingerie itu hanya menutup puting dan bagian intinya, sisanya terekspos sempurna.Amira tidak nyaman berdiri disana. Kakinya juga sudah keram diajak berdiri terus. Maka ia memberanikan diri pergi ke dapur mengambilkan minum untuk Aidan."SIAPA YANG MENYURUHMU PERGI?!! HUH!!" Mendadak pria itu berteriak kencang. Amira sampai tersentak mendengarnya. Buru-buru ia berjalan cepat, kembali ke tempatnya tadi."Ma-maafkan saya, Tuan." Jawab Amira menunduk. Ia tak berani menatap mata elang pria itu."Kau mau aku melecehkanmu disini?!!" Aidan masih membentak.Sontak Amira terkejut. Dua matanya membulat lebar. Tubuhnya bergetar ketakutan. Siapa sangka ternyata beginilah keaslian Aidan Salvador.Aidan bangkit. Ia mendekati Amira. Berputar mengelilingi tubuh seksi itu sambil memperhatikan setiap incinya.Pakh!!!Aghh!!!Aidan menampar pantat Amira yang terekspos. Membuat gadis itu menjerit.Amira sungguh tidak nyaman diperhatikan secara dekat seperti ini, belum lagi bajunya yang seperti itu.Tapi apa daya, dia sudah terikat kontrak yang ia tanda tangani secara sadar.Besok hari.Amira mengerjap. Ia pingsan setelah kegiatan panasnya bersama Aidan berlanjut lebih panas, hingga memakan waktu hampir dua jam.Ia terisak mengingat kembali perlakuan kasar Aidan saat mereka berhubungan intim.Pria itu melakukannya dengan tidak berperasaan. Amira sudah beberapa kali meminta berhenti tapi pria itu seolah tuli.Amira mengira hidupnya akan lebih baik, karena tidak perlu melayani laki-laki berbeda setiap harinya. Belum lagi, Aidan memberikannya sejumlah fasilitas yang lebih dari cukup.Tapi, nyatanya apa? Hidupnya lebih sengsara dari sebelumnya. Laki-laki bernama, Aidan Salvador itu seperti iblis dari neraka.Amira menggunakan sisa tenaganya untuk membersihkan diri. Siang ini, ia ada mata kuliah maka ia perlu bersiap-siap.Beberapa waktu kemudian ia melaju ke kampus menggunakan motor matic yang terparkir di garasi tempat ia tinggal."Amira!" Dua orang wanita mendekati gadis itu. Mereka adalah teman dekat Amira di kampus."Elsa, Calista." Sebut Amira seraya men
Aidan menatap sinis Amira. Ia jengkel karena gadis itu bersuara tadi."Tidak, Sayang. Itu hanya suara dari ponsel Marco saja.""Masa sih?? Tapi suaranya mirip dengan teman kampusku."Aidan mencoba menenangkan istrinya. Ia ngotot memberitahu Calista bahwa dirinya sedang di jalan. Dan sebentar lagi sampai rumah.Panggilan telepon itu kemudian berakhir. Aidan menyimpan kembali ponselnya dalam saku lalu menatap Amira."Kau! Sini!" Panggilnya dengan tangan menunjuk pada pahanya yang mengangkang.Amira membawa langkahnya mendekat. Ia tahu maksud pria itu menyuruhnya berada disana."Cepat buka, dan puaskan aku." Perintah Aidan. Suaranya dingin dan wajahnya datar.Amira melakukan seperti yang pria itu katakan. Ia menurunkan resleting pada celana kain yang dikenakan Aidan, lalu meloloskan sebuah pedang dari dalam boxer.Pedang itu menjulur kokoh di wajah Amira. Besar dan panjang, Amira sering melihatnya beberapa hari terakhir ini.Amira masih menatap diam. Mulutnya mendadak susah mangap. Ia ti
Tangan Aidan berpindah ke rahang tirus Amira. Ia menekannya lalu menatap gadis itu dengan tajam dan dingin."Aku ingin kau merahasiakan apapun yang terjadi antara kita. Jangan sampai Calista tahu, paham?" Peringan Aidan dengan sorot mata tajam dan dingin.Amira mengangguk. Membuat Aidan melonggarkan tangannya. Ia mengambil langkah mundur, lalu memperhatikan Amira secara seksama."Angkat gaunmu." Perintah pria itu dengan suara kecil sehingga siapa saja yang berada di toilet wanita itu tidak dapat mendengarnya.Dua bola mata Amira melebar. Apa mungkin Aidan akan melakukan hubungan intim bersamanya disana. Setega itukah dia pada istrinya sendiri? Bukankah hari ini hari spesial mereka?"Sudah ku bilang angkat." Aidan berucap dengan dua tangan memegang gaun Amira, ia memaksanya mengangkat gaun itu ke atas.Tidak ada yang bisa Amira lakukan, ia tidak berdaya. Sudah tertulis jelas dalam kontrak mereka, bahwa dia akan melayani nafsu Aidan selama satu tahun.Ahh!Amira mendesah dengan suara ke
"Siapa yang datang, Amira?" Andre bertanya dengan dahi berkerut. Menganggap siapapun yang berada di balik pintu berhasil merusak niatnya ingin PDKT."A-aku juga tidak tahu." Amira gugup. Ia memandang takut pintu yang diketuk itu.Lanjutnya, "Aku akan membukanya dulu." Ia membawa langkahnya menuju pintu. Jantungnya dag dig dig, seperti sedang olahraga jantung.Tangannya gemetar memegang handle. Firasatnya mengatakan, bahwa orang yang berada di balik pintu itu adalah Aidan.Ceklek …Pintu terbuka, Amira seketika membelalak. Dugaannya benar, itu adalah Aidan Salvador. Amira terdiam mematung, menatap takut pria itu.Andre penasaran, siapa yang datang. Ia berjalan mengikuti Amira hingga ia mendapati seorang laki-laki rupawan yang tidak asing berdiri di sana."Aidan?" Sebut Andre kaget. Ia tidak mengerti kenapa suami dari sepupunya bisa berada disana. Apa hubungan laki-laki itu dengan Amira?Aidan sendiri juga tidak kalah terkejut melihat Andre berada di rumah pelacurnya."Sedang apa kau di
Kini gadis itu terkapar lemah di atas ranjang. Ia pingsan karena kelelahan dan kesakitan."Itu adalah hukumanmu!" Ucap Aidan menatapnya. Sorot matanya sama sekali tidak menampilkan belas kasihan, ia tidak menyesal dengan apa yang telah ia lakukan.Borgol dan tali di tangan dan kaki Amira sudah ia lepas. Ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelahnya, ia keluar dengan rambut basah dan handuk melingkar di pinggang. Ia meraih ponselnya lalu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari istrinya.Ia duduk di sofa sambil mengelap rambutnya dengan handuk mini. Kemudian ia menghubungi istrinya, menunggu panggilan itu tersambung, pandangannya menatap Amira di ranjang.Ia tidak akan membiarkan rumah tangganya hancur hanya karena wanita pelacur itu.Panggilannya tak tersambung. Ia menyimpan kembali ponselnya, lalu mengenakan pakaiannya yang tergeletak di lantai.Hufftt..Ia menghembus nafas panjang, masih memperhatikan Amira dari tempatnya berada.Tatapannya kembali datar dan d
Marco baru saja akan datang ke tempat tinggal Amira untuk memberikan rekening yang telah ditransferkan uang sebesar 100 juta rupiah sebagai bulanan Amira.Namun, sepertinya ia tidak akan melakukan itu, karena Aidan menyuruhnya mengakhiri kontrak mereka.Jujur, Marco bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai bosnya mengambil keputusan itu secara mendadak?Ia menduga, besar kemungkinan Nyonya Calista berhasil mencium kenakalan suaminya. Ya, itu pasti, karena kejadian seperti ini bukan baru pertama kali terjadi.Marco mendatangi tempat tinggal Amira. Ia akan menjelaskan apa yang telah menjadi keputusan Aidan."Benarkah???" Amira seperti tidak percaya mendengarnya. Ia menganga, dua bola matanya terbuka lebar. Apakah ini mimpi? Jika ini nyata, maka ia seperti terlahir kembali."Tuan Aidan menyuruhku menarik semua fasilitas yang dia berikan."Amira mengangguk bahagia. Ia sama sekali tidak keberatan. Lagi pula, ia tidak pernah menganggap semua yang diberikan Aidan menjadi miliknya.
Pandangan sendu Amira menatap jam kecil yang berada di ruang utama di kontrakan kecil itu.Pukul 7 pagi.Sonia menyuruhnya masuk kerja jam 10 pagi, itu artinya ia masih memiliki 3 jam sebelum pergi bekerja.Tiga jam Amira gunakan untuk berpikir tentang nasib janin yang berada dalam rahimnya.Digugurkan atau dipertahankan? Amira wajib memilih salah satu. Yang pertama, ia merasa tidak tega harus menggugurkan janinnya, bagaimanapun juga itu bakal jadi anaknya.Pilihan yang kedua, dipertahankan. Bagaimana ia akan mempertahankan janin itu? Apa yang akan orang-orang katakan padanya? Ia hamil diluar nikah, orang-orang pasti akan menanyakan siapa ayah dari anak dalam kandungannya.Lantas, bagaimana jika Aidan tahu ia hamil? Apakah pria itu akan membunuh calon anaknya, atau mengambil anaknya ketika telah lahir.Amira sangat bingung. Langkah pertama yang ia lakukan adalah bersiap-siap berangkat kerja. Beruntung, hari ini ia tidak memiliki mata kuliah, maka ia tidak perlu ke kampus.**Restoran
'Jangan, jangan itu adalah anakku.' Aidan berucap dalam hati.Namun, detik selanjutnya ia mengibaskan tangannya di depan wajah. Sambil tersenyum tipis.Ada-ada saja. Hal itu tidak mungkin terjadi. Buat apa memiliki anak dari wanita kupu-kupu malam. Aidan kembali bergumam dalam hati.Ia sebenarnya antusias dan ingin memiliki anak, tapi tidak dari rahim Amira."Mohon maaf, apa Anda Tuan Aidan Salvador?" Tanya seorang perawat yang baru saja datang."Hmp." Aidan berdehem menjawab itu. Seperti biasa wajahnya datar dan dingin seperti bongkahan es."Mari ikut saya, Tuan. Dokter sudah menunggu Anda di ruangannya." Perawat itu menggiring Aidan menuju ruangan dokter, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga Salvador.Sesampainya dalam ruangan dokter, Aidan menjalani beberapa pemeriksaan."Tidak ada masalah serius. Sakit kepala dan lelah yang Tuan alami kemungkinan hanya terlalu capek dan banyak pikiran. Saya sarankan untuk istirahat dan jangan sampai stress." Jelas sang dokter begitu ramah.
'Jangan, jangan itu adalah anakku.' Aidan berucap dalam hati.Namun, detik selanjutnya ia mengibaskan tangannya di depan wajah. Sambil tersenyum tipis.Ada-ada saja. Hal itu tidak mungkin terjadi. Buat apa memiliki anak dari wanita kupu-kupu malam. Aidan kembali bergumam dalam hati.Ia sebenarnya antusias dan ingin memiliki anak, tapi tidak dari rahim Amira."Mohon maaf, apa Anda Tuan Aidan Salvador?" Tanya seorang perawat yang baru saja datang."Hmp." Aidan berdehem menjawab itu. Seperti biasa wajahnya datar dan dingin seperti bongkahan es."Mari ikut saya, Tuan. Dokter sudah menunggu Anda di ruangannya." Perawat itu menggiring Aidan menuju ruangan dokter, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga Salvador.Sesampainya dalam ruangan dokter, Aidan menjalani beberapa pemeriksaan."Tidak ada masalah serius. Sakit kepala dan lelah yang Tuan alami kemungkinan hanya terlalu capek dan banyak pikiran. Saya sarankan untuk istirahat dan jangan sampai stress." Jelas sang dokter begitu ramah.
Pandangan sendu Amira menatap jam kecil yang berada di ruang utama di kontrakan kecil itu.Pukul 7 pagi.Sonia menyuruhnya masuk kerja jam 10 pagi, itu artinya ia masih memiliki 3 jam sebelum pergi bekerja.Tiga jam Amira gunakan untuk berpikir tentang nasib janin yang berada dalam rahimnya.Digugurkan atau dipertahankan? Amira wajib memilih salah satu. Yang pertama, ia merasa tidak tega harus menggugurkan janinnya, bagaimanapun juga itu bakal jadi anaknya.Pilihan yang kedua, dipertahankan. Bagaimana ia akan mempertahankan janin itu? Apa yang akan orang-orang katakan padanya? Ia hamil diluar nikah, orang-orang pasti akan menanyakan siapa ayah dari anak dalam kandungannya.Lantas, bagaimana jika Aidan tahu ia hamil? Apakah pria itu akan membunuh calon anaknya, atau mengambil anaknya ketika telah lahir.Amira sangat bingung. Langkah pertama yang ia lakukan adalah bersiap-siap berangkat kerja. Beruntung, hari ini ia tidak memiliki mata kuliah, maka ia tidak perlu ke kampus.**Restoran
Marco baru saja akan datang ke tempat tinggal Amira untuk memberikan rekening yang telah ditransferkan uang sebesar 100 juta rupiah sebagai bulanan Amira.Namun, sepertinya ia tidak akan melakukan itu, karena Aidan menyuruhnya mengakhiri kontrak mereka.Jujur, Marco bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi sampai bosnya mengambil keputusan itu secara mendadak?Ia menduga, besar kemungkinan Nyonya Calista berhasil mencium kenakalan suaminya. Ya, itu pasti, karena kejadian seperti ini bukan baru pertama kali terjadi.Marco mendatangi tempat tinggal Amira. Ia akan menjelaskan apa yang telah menjadi keputusan Aidan."Benarkah???" Amira seperti tidak percaya mendengarnya. Ia menganga, dua bola matanya terbuka lebar. Apakah ini mimpi? Jika ini nyata, maka ia seperti terlahir kembali."Tuan Aidan menyuruhku menarik semua fasilitas yang dia berikan."Amira mengangguk bahagia. Ia sama sekali tidak keberatan. Lagi pula, ia tidak pernah menganggap semua yang diberikan Aidan menjadi miliknya.
Kini gadis itu terkapar lemah di atas ranjang. Ia pingsan karena kelelahan dan kesakitan."Itu adalah hukumanmu!" Ucap Aidan menatapnya. Sorot matanya sama sekali tidak menampilkan belas kasihan, ia tidak menyesal dengan apa yang telah ia lakukan.Borgol dan tali di tangan dan kaki Amira sudah ia lepas. Ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelahnya, ia keluar dengan rambut basah dan handuk melingkar di pinggang. Ia meraih ponselnya lalu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari istrinya.Ia duduk di sofa sambil mengelap rambutnya dengan handuk mini. Kemudian ia menghubungi istrinya, menunggu panggilan itu tersambung, pandangannya menatap Amira di ranjang.Ia tidak akan membiarkan rumah tangganya hancur hanya karena wanita pelacur itu.Panggilannya tak tersambung. Ia menyimpan kembali ponselnya, lalu mengenakan pakaiannya yang tergeletak di lantai.Hufftt..Ia menghembus nafas panjang, masih memperhatikan Amira dari tempatnya berada.Tatapannya kembali datar dan d
"Siapa yang datang, Amira?" Andre bertanya dengan dahi berkerut. Menganggap siapapun yang berada di balik pintu berhasil merusak niatnya ingin PDKT."A-aku juga tidak tahu." Amira gugup. Ia memandang takut pintu yang diketuk itu.Lanjutnya, "Aku akan membukanya dulu." Ia membawa langkahnya menuju pintu. Jantungnya dag dig dig, seperti sedang olahraga jantung.Tangannya gemetar memegang handle. Firasatnya mengatakan, bahwa orang yang berada di balik pintu itu adalah Aidan.Ceklek …Pintu terbuka, Amira seketika membelalak. Dugaannya benar, itu adalah Aidan Salvador. Amira terdiam mematung, menatap takut pria itu.Andre penasaran, siapa yang datang. Ia berjalan mengikuti Amira hingga ia mendapati seorang laki-laki rupawan yang tidak asing berdiri di sana."Aidan?" Sebut Andre kaget. Ia tidak mengerti kenapa suami dari sepupunya bisa berada disana. Apa hubungan laki-laki itu dengan Amira?Aidan sendiri juga tidak kalah terkejut melihat Andre berada di rumah pelacurnya."Sedang apa kau di
Tangan Aidan berpindah ke rahang tirus Amira. Ia menekannya lalu menatap gadis itu dengan tajam dan dingin."Aku ingin kau merahasiakan apapun yang terjadi antara kita. Jangan sampai Calista tahu, paham?" Peringan Aidan dengan sorot mata tajam dan dingin.Amira mengangguk. Membuat Aidan melonggarkan tangannya. Ia mengambil langkah mundur, lalu memperhatikan Amira secara seksama."Angkat gaunmu." Perintah pria itu dengan suara kecil sehingga siapa saja yang berada di toilet wanita itu tidak dapat mendengarnya.Dua bola mata Amira melebar. Apa mungkin Aidan akan melakukan hubungan intim bersamanya disana. Setega itukah dia pada istrinya sendiri? Bukankah hari ini hari spesial mereka?"Sudah ku bilang angkat." Aidan berucap dengan dua tangan memegang gaun Amira, ia memaksanya mengangkat gaun itu ke atas.Tidak ada yang bisa Amira lakukan, ia tidak berdaya. Sudah tertulis jelas dalam kontrak mereka, bahwa dia akan melayani nafsu Aidan selama satu tahun.Ahh!Amira mendesah dengan suara ke
Aidan menatap sinis Amira. Ia jengkel karena gadis itu bersuara tadi."Tidak, Sayang. Itu hanya suara dari ponsel Marco saja.""Masa sih?? Tapi suaranya mirip dengan teman kampusku."Aidan mencoba menenangkan istrinya. Ia ngotot memberitahu Calista bahwa dirinya sedang di jalan. Dan sebentar lagi sampai rumah.Panggilan telepon itu kemudian berakhir. Aidan menyimpan kembali ponselnya dalam saku lalu menatap Amira."Kau! Sini!" Panggilnya dengan tangan menunjuk pada pahanya yang mengangkang.Amira membawa langkahnya mendekat. Ia tahu maksud pria itu menyuruhnya berada disana."Cepat buka, dan puaskan aku." Perintah Aidan. Suaranya dingin dan wajahnya datar.Amira melakukan seperti yang pria itu katakan. Ia menurunkan resleting pada celana kain yang dikenakan Aidan, lalu meloloskan sebuah pedang dari dalam boxer.Pedang itu menjulur kokoh di wajah Amira. Besar dan panjang, Amira sering melihatnya beberapa hari terakhir ini.Amira masih menatap diam. Mulutnya mendadak susah mangap. Ia ti
Besok hari.Amira mengerjap. Ia pingsan setelah kegiatan panasnya bersama Aidan berlanjut lebih panas, hingga memakan waktu hampir dua jam.Ia terisak mengingat kembali perlakuan kasar Aidan saat mereka berhubungan intim.Pria itu melakukannya dengan tidak berperasaan. Amira sudah beberapa kali meminta berhenti tapi pria itu seolah tuli.Amira mengira hidupnya akan lebih baik, karena tidak perlu melayani laki-laki berbeda setiap harinya. Belum lagi, Aidan memberikannya sejumlah fasilitas yang lebih dari cukup.Tapi, nyatanya apa? Hidupnya lebih sengsara dari sebelumnya. Laki-laki bernama, Aidan Salvador itu seperti iblis dari neraka.Amira menggunakan sisa tenaganya untuk membersihkan diri. Siang ini, ia ada mata kuliah maka ia perlu bersiap-siap.Beberapa waktu kemudian ia melaju ke kampus menggunakan motor matic yang terparkir di garasi tempat ia tinggal."Amira!" Dua orang wanita mendekati gadis itu. Mereka adalah teman dekat Amira di kampus."Elsa, Calista." Sebut Amira seraya men
Amira langsung menandatangani surat perjanjian kontrak itu tanpa berpikir dua kali. Ia tidak memiliki waktu untuk membacanya.Sampai saat ini, ia masih belum bisa berpikir jernih karena ibunya sedang di operasi."Semoga operasinya berjalan lancar.""Terima kasih." Lirih gadis itu.Marco satu-satunya orang yang menemani Amira disana. Namun, ia duduk di kursi tunggu bukan karena tanpa alasan, tapi karena setelah operasi itu ia akan membawah Amira, sebagaimana yang tercantum dalam kontrak mereka.Tak berselang lama pintu operasi terbuka. Muncul dari dalam sana dokter yang menangani ibunya Amira."Keluarga pasien?"Amira lekas menghampiri dokter itu. Tubuhnya gemetar. Kakinya lemas. Semoga ia mendapat kabar baik."Maaf harus menyampaikan ini, tapi nyawa pasien tidak tertolong." Dokter itu mengutarakan kalimatnya tanpa bertele-tele.Membuat Amira seketika terjatuh. Ia menangis sambil berteriak histeris, menolak kenyataan yang ada. Kenyataan cukup memukulnya.Marco turut merasakan apa yang