Fika tersentak. Ia merasa oksigen di sekitarnya mendadak hilang. Ia kesulitan bernapas. Fika tak pernah menduga pria di hadapannya akan semarah ini. Ia memutar otak, berpikir keras bagaimana caranya agar ia bebas dari hukuman atau setidaknya dia mendapatkan hukuman yang lebih ringan dari yang dikatakan Galang. Ia harus bisa bernegosiasi.
“Tapi, Pak, saya hanya-” “Hanya? Kamu yakin merusak laptop seorang pemilik perusahaan yang berisi file-file penting perusahaan kamu sebut ‘hanya’? Astaga!” Galang memotong perkataan Fika dan membalasnya dengan tatapan nyalang. Baginya, laptop itu bukan hanya sekadar alatnya untuk bekerja, tapi juga banyak hal-hal pribadinya di dalam laptop itu yang tidak ia miliki salinan file-nya. “Maaf, Pak, saya tidak bermaksud-” “Sekarang katakan, apa yang bisa membuat saya membatalkan keputusan untuk memberikan hukuman terberat ini?” “Saya … saya ….” “Bicaralah dengan jelas dan lugas, Nona Fika Anandya!” Galang mulai meninggikan nada bicaranya. Tanpa ba-bi-bu, Fika berlutut di hadapan Galang sambil menangis. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya isak tangis yang mengisi ruangan itu. Fika berharap, Galang akan bermurah hati dan meringankan hukumannya. Setelah beberapa waktu, Fika mulai membuka suara. Kedua tangannya ia satukan sebagai bentuk permohonan. “Saya tidak sengaja, Pak. Maafkan saya. Tolong jangan menghukum saya seperti itu. Saya janji akan memperbaiki laptop Bapak dan ….” “Dan?” Galang menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan oleh Fika. Memang pria yang tidak manusiawi. Padahal, setidaknya, jika seseorang sudah berlutut di hadapannya, berikanlah rasa iba walau sedikit saja. “Dan … saya rela … saya rela bekerja tidak digaji sampai Bapak memaafkan saya.” Galang nampak berpikir sejenak. Ia menimbang-nimbang penawaran gadis itu Haruskah ia menyetujui negosiasi dari Fika? Sebenarnya, Galang bukan seseorang yang biasa memperkerjakan orang lain tanpa upah. Lagipula, Galang mampu menggaji Fika sebagaimana mestinya. Akan tetapi, jika hal ini bisa dijadikan pelajaran untuk pegawai lainnya agar tak melakukan kesalahan serupa, kenapa tidak? Saat ini, Galang memang sedang membutuhkan asisten pribadi untuk mendampinginya selama bekerja. Akhir-akhir ini, ia sering lupa dengan hal-hal kecil di luar pekerjaannya, yang tak bisa diingatkan oleh sekretaris di kantornya. Ia perlu seseorang yang bisa mencatat semua jadwal pekerjaannya selain di perusahaan properti dan konstruksi yang ia pimpin. Tapi, jika ia memilih gadis ini, apakah pilihannya itu sudah sesuai? Yang ia butuhkan adalah gadis cerdas yang mengerti bisnis dan tahu cara menjadi asisten pribadi seorang pemilik perusahaan besar, bukan gadis biasa yang hanya melamar pekerjaan sebagai office girl. “Tolong, Pak. Saya sangat butuh pekerjaan ini. Nenek saya butuh uang untuk berobat.” “Kamu menawarkan diri untuk bekerja tanpa digaji sedangkan kamu membutuhkan uang untuk pengobatan nenekmu? Di mana akal sehatmu gadis muda?” “Setidaknya … saya bisa mencari penghasilan dari pekerjaan lain di luar kantor ini.” “Kamu pikir saya akan menyetujui begitu saja penawaranmu ini?” Fika bergeming, tak tahu lagi harus melakukan apa agar pria di depannya ini setidaknya bisa sedikit berbaik hati. “Tidak!” tolaknya tegas. “Saya hanya akan memaafkanmu jika kamu bersedia bekerja pada saya tanpa digaji selama 24 jam setiap hari dalam seminggu dan 30 hari dalam sebulan, tanpa cuti.” Galang menekankan dua kata terakhir ucapannya. Fika mendongakkan kepalanya tak percaya. Sungguh, manusia yang tak punya hati. Setelah menawari hukuman mati, sekarang ia memberikan hukuman yang nilainya sama saja dengan hukum mati. Pemikirannya sungguh gila. Dia seolah memaksa seseorang masuk ke dunianya yang gila kerja itu. Pekerjaan seperti apa yang dilakukan 24 jam setiap harinya. Kapan Fika bisa beristirahat jika ia harus bekerja 24 jam? Fika tak habis pikir, mengapa Tuhan menganugerahi kekayaan pada manusia tak punya hati seperti ini. “Tapi, Pak-” “Jika kamu menolak, maka saya akan memberikan hukuman seperti yang saya sebutkan pertama kali. Tidak ada lagi negosiasi.” Galang mengakhiri pembicaraan dan beranjak dari tempat duduknya hendak meninggalkan ruangan. “Tunggu, Pak. Saya … saya setuju dengan penawaran Bapak,” jawab Fika dengan hati yang sangat berat.Fika tak menyangka jika pekerjaan yang dimaksud Galang 24 jam itu, mengharuskannya untuk tinggal satu rumah dengan bos kejamnya itu. Hari pertamanya tinggal di rumah itu sudah menggambarkan hari-hari selanjutnya, dimana ia hanya bisa tidur 3 jam per harinya karena harus menyamakan jadwal tidurnya dengan jadwal tidur Galang.Definisi gila kerja memang pantas disematkan pada Galang. Pagi, siang, sore, hingga malam yang ia lakukan hanya bekerja. Fika heran, memangnya pekerjaan seorang pemilik perusahaan harus sebanyak itu? Bukankah pemilik atau owner perusahaan itu hanya mengawasi pekerjaan pegawainya?Akan tetapi, sekilas Fika membaca file-file yang dikerjakan Galang merupakan file-file dengan bidang yang berbeda. Artinya, pria ini memang memiliki bisnis lain selain perusahaan tempat Fika bekerja. ‘Seharusnya, pria kaya seperti Pak Galang tidak sulit mengeluarkan uang untuk membeli laptop baru atau sekadar menggajiku sebagai karyawannya. Aku juga yakin, gaj
“Pak, laptop Bapak sudah saya perbaiki dan sudah bisa menyala. Bapak bisa mengecek kembali data-data di dalamnya. Maaf, saya mengambilnya diam-diam di meja kerja Bapak. Saya ingin menebus kesalahan saya. Lagipula, Bapak juga tidak benar-benar memperkerjakan saya tanpa gaji, dan bahkan Bapak memberikan saya uang disaat saya baru sehari bekerja. Jadi, ini juga sebagai ungkapan terima kasih saya.” Fika menyodorkan laptop Galang yang sudah ia perbaiki.“Kapan kamu memperbaikinya?”“Semalam, Pak, setelah selesai memeriksa akurasi data yang Bapak minta.”Galang ingat, ia hanya memberikan Fika waktu 3 jam untuk tidur, dan waktu itu Fika gunakan untuk memperbaiki laptop Galang.‘Gadis ini cukup bertanggung jawab,’ batin Galang. “Kenapa kamu tidak menjadi tukang service keliling saja?’ ucapnya asal bicara.“Eum, saya tidak sepandai itu. Ini juga hanya sedikit ilmu yang saya dapatkan dari paman.” Galang mengangguk samar.“Hari in
Galang memarkirkan mobilnya di parkiran sebuah salon besar milik seorang kenalannya. Fika yang tak mengerti, hanya diam menunggu instruksi apakah ia harus ikut turun atau menunggu di mobil saja. “Kamu pikir saya ke sini untuk menata rambut dan memasang kuku palsu di tangan saya? Turunlah, dan perbaiki semua penampilanmu itu, jangan permalukan saya sebagai atasanmu nanti malam.” Fika berpikir, menjadi asisten pribadi Galang rupanya tidak seburuk itu. Ia justru mendapatkan banyak hal di luar perkiraannya. Pekerjaan yang ia anggap tanpa akan sangat mengekangnya, justru perlahan bisa memberikan hal-hal belum bisa ia dapatkan. Walaupun Galang selalu memerintahkannya dengan nada suara yang terdengar sangat tidak ramah.“Tolong, buat penampilannya lebih segar dan lebih enak dilihat,” pinta Galang pada seseorang yang ia pun tak yakin itu laki-laki atau perempuan. “Tentu, say. Nona sudah cantik, tinggal dipoles sedikit saja,” jawabnya.Fika bin
“Ya, tentu saja. Dia gadis yang cantik, dia baik dan pekerja keras. Dia juga bukan wanita gila harta,” jawabnya spontan sambil merangkul Fika. Galang menekankan kalimat terakhir perkataannya. Sebenarnya, Galang tak berencana mengatakan hal itu, akan tetapi, saat ini ia rasa bibirnya lebih memiliki kuasa atas otaknya. Perkataannya tak sejalan dengan pikirannya. Ia sama sekali tidak berniat mengakui Fika sebagai pacarnya.Fika menatap Galang dengan tak percaya. Ia tak tahu bagaimana ia harus bereaksi. Haruskah ia dibawa dalam urusan pribadi Galang yang bahkan ia tak paham di mana titik terangnya. Fika tahu betul, Galang mengatakan hal itu semata-mata hanya untuk melindungi dirinya dari berbagai pertanyaan lain yang akan diajukan Medina dan Gallen jika ia tak menjawab iya. Akan tetapi, bukankah apa yang ia katakan itu bisa saja menjadi boomerang bagi mereka di waktu yang akan datang? Fika merasa tak selayak itu untuk diakui sebagai pengganti Medina yang men
Seperti biasa, saat Galang memasuki kantor, riuh suara sapaan memenuhi seisi ruangan walaupun selalu tanpa jawaban. Sekretaris Galang mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk. “Permisi, Pak. Saya ingin memberitahukan bahwa ada seorang wanita bernama Medina memaksa untuk bertemu dengan Bapak sekarang. Saya sudah meminta dia untuk membuat janji terlebih dahulu, tetapi dia tetap memaksa masuk. Saat ini dia ada di depan ruangan Bapak,” ucapnya.“Medina? Sedang apa dia di sini?”Galang nampak berpikir dan akhirnya meminta sekretarisnya mengizinkan Medina masuk. Akan tetapi Medina menerobos masuk sebelum diizinkan. “Galang!” panggilnya sambil menghampiri Galang. Galang menginstruksikan sekretarisnya untuk meninggalkan mereka berdua.Pembicaraan mereka berlangsung cukup lama dan tertutup. Fika merasa sedikit penasaran serumit apa hubungan mereka di masa lalu. Terlebih, hari ini wanita itu tiba-tiba datang dan memaksa untuk bertemu Galang wa
Galang melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta. Malam ini, suasana jalanan cukup lenggang. Fika tak mengalihkan pandangannya dari jendela mobil. Ia melihat pasar malam, taman air mancur, dan beberapa penjual jajanan kaki lima. Jika saja saat ini ia tidak sedang pergi bersama Galang, gadis itu pasti sudah turun dan berkeliling di sana menikmati malam sambil membeli beberapa jenis makanan yang sudah lama tidak ia coba. “Apa yang kamu lihat?” “Ah, tidak ada, Pak.” Galang kembali fokus mengemudi. Lima belas menit kemudian, mereka sampai di depan restoran Jepang dengan bangunan yang cukup antik. Galang memastikan apakah benar pertemuannya akan diadakan di tempat seperti ini. Ia rasa, seseorang yang mengajaknya bertemu tahu betul bahwa ia kurang suka makanan Jepang. “Di Sensasi Shokuji?” tanyanya di telepon. Seseorang menjawabnya, lalu tak lama Galang menutup telepon.
Medina berhenti bertanya setelah Galang menjawab bahwa pernikahannya dan Fika akan dilangsungkan beberapa bulan lagi. Ia memilih untuk mengakhiri pertemuan mereka saat itu dan meminta izin pulang duluan bersama Gallen. Medina benar-benar tidak mengira dan tidak terima Galang akan secepat itu melupakannya. Walaupun kenyatannya, semua itu memang kesalahan Medina.Galang dan Fika menyusul pulang, namun sebelum mereka sampai di parkiran seberang tempat Galang menyimpaan mobilnya, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Jika mereka menunggu lebih lama lagi, entah kapan hujannya akan reda. Galang menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari seseorang yang bisa meminjamkan payung untuknya. Namun, nihil, tidak ada siapapun yang bisa ia pinjam payungnya. Galang melepaskan jaketnya dan menggunakannya untuk menutupi kepala dan tubuh Fika agar gadis itu tidak kehujanan, kemudian membawa gadis itu menyeberang menuju mobilnya, tanpa memedulikan dirinya yang basah
Sinar matahari menerobos masuk dari celah gorden jendela kamar Galang yang tidak tertutup dengan rapat. Sang pemilik kamar, terbangun karena merasa sudah tidur terlalu lama, lebih dari durasi tidur biasanya. Galang tersentak, saat melihat tepat di depan wajahnya, Fika tertidur pulas dengan tangan yang menggenggam tangan Galang, atau justru sebaliknya. Galang hampir berteriak memarahi Fika yang lancang tidur di kamarnya bahkan di tempat tidur milik Galang, jika saja ia tidak ingat semalam Fika dengan sukarela merawatnya. Ia juga ingat, bahwa semalam, ia sendiri yang meminta Fika untuk menemaninya. Galang mencoba perlahan melepaskan genggaman tangan Fika dan berusaha agar tidak membangunkan gadis itu. Jika Fika bangun saat ini, tentu mereka akan sangat canggung seperti kemarin malam sepulang mereka bertemu Medina dan Gallen. Galang tak ingin mengambil risiko. Galang segera beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap-siap mandi untuk pergi ke kantor. Selesai