Share

Negosiasi Hukuman

Fika tersentak. Ia merasa oksigen di sekitarnya mendadak hilang. Ia kesulitan bernapas. Fika tak pernah menduga pria di hadapannya akan semarah ini. Ia memutar otak, berpikir keras bagaimana caranya agar ia bebas dari hukuman atau setidaknya dia mendapatkan hukuman yang lebih ringan dari yang dikatakan Galang. Ia harus bisa bernegosiasi.

“Tapi, Pak, saya hanya-”

“Hanya? Kamu yakin merusak laptop seorang pemilik perusahaan yang berisi file-file penting perusahaan kamu sebut ‘hanya’? Astaga!” Galang memotong perkataan Fika dan membalasnya dengan tatapan nyalang.

Baginya, laptop itu bukan hanya sekadar alatnya untuk bekerja, tapi juga banyak hal-hal pribadinya di dalam laptop itu yang tidak ia miliki salinan file-nya.

“Maaf, Pak, saya tidak bermaksud-”

“Sekarang katakan, apa yang bisa membuat saya membatalkan keputusan untuk memberikan hukuman terberat ini?”

“Saya … saya ….”

“Bicaralah dengan jelas dan lugas, Nona Fika Anandya!” Galang mulai meninggikan nada bicaranya.

Tanpa ba-bi-bu, Fika berlutut di hadapan Galang sambil menangis. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya isak tangis yang mengisi ruangan itu.

Fika berharap, Galang akan bermurah hati dan meringankan hukumannya. Setelah beberapa waktu, Fika mulai membuka suara. Kedua tangannya ia satukan sebagai bentuk permohonan.

“Saya tidak sengaja, Pak. Maafkan saya. Tolong jangan menghukum saya seperti itu. Saya janji akan memperbaiki laptop Bapak dan ….”

“Dan?” Galang menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan oleh Fika. Memang pria yang tidak manusiawi. Padahal, setidaknya, jika seseorang sudah berlutut di hadapannya, berikanlah rasa iba walau sedikit saja.

“Dan … saya rela … saya rela bekerja tidak digaji sampai Bapak memaafkan saya.”

Galang nampak berpikir sejenak. Ia menimbang-nimbang penawaran gadis itu Haruskah ia menyetujui negosiasi dari Fika?

Sebenarnya, Galang bukan seseorang yang biasa memperkerjakan orang lain tanpa upah. Lagipula, Galang mampu menggaji Fika sebagaimana mestinya. Akan tetapi, jika hal ini bisa dijadikan pelajaran untuk pegawai lainnya agar tak melakukan kesalahan serupa, kenapa tidak?

Saat ini, Galang memang sedang membutuhkan asisten pribadi untuk mendampinginya selama bekerja. Akhir-akhir ini, ia sering lupa dengan hal-hal kecil di luar pekerjaannya, yang tak bisa diingatkan oleh sekretaris di kantornya. Ia perlu seseorang yang bisa mencatat semua jadwal pekerjaannya selain di perusahaan properti dan konstruksi yang ia pimpin.

Tapi, jika ia memilih gadis ini, apakah pilihannya itu sudah sesuai? Yang ia butuhkan adalah gadis cerdas yang mengerti bisnis dan tahu cara menjadi asisten pribadi seorang pemilik perusahaan besar, bukan gadis biasa yang hanya melamar pekerjaan sebagai office girl.

“Tolong, Pak. Saya sangat butuh pekerjaan ini. Nenek saya butuh uang untuk berobat.”

“Kamu menawarkan diri untuk bekerja tanpa digaji sedangkan kamu membutuhkan uang untuk pengobatan nenekmu? Di mana akal sehatmu gadis muda?”

“Setidaknya … saya bisa mencari penghasilan dari pekerjaan lain di luar kantor ini.”

“Kamu pikir saya akan menyetujui begitu saja penawaranmu ini?” Fika bergeming, tak tahu lagi harus melakukan apa agar pria di depannya ini setidaknya bisa sedikit berbaik hati.

“Tidak!” tolaknya tegas.

“Saya hanya akan memaafkanmu jika kamu bersedia bekerja pada saya tanpa digaji selama 24 jam setiap hari dalam seminggu dan 30 hari dalam sebulan, tanpa cuti.” Galang menekankan dua kata terakhir ucapannya.

Fika mendongakkan kepalanya tak percaya. Sungguh, manusia yang tak punya hati. Setelah menawari hukuman mati, sekarang ia memberikan hukuman yang nilainya sama saja dengan hukum mati. Pemikirannya sungguh gila. Dia seolah memaksa seseorang masuk ke dunianya yang gila kerja itu.

Pekerjaan seperti apa yang dilakukan 24 jam setiap harinya. Kapan Fika bisa beristirahat jika ia harus bekerja 24 jam? Fika tak habis pikir, mengapa Tuhan menganugerahi kekayaan pada manusia tak punya hati seperti ini.

“Tapi, Pak-”

“Jika kamu menolak, maka saya akan memberikan hukuman seperti yang saya sebutkan pertama kali. Tidak ada lagi negosiasi.” Galang mengakhiri pembicaraan dan beranjak dari tempat duduknya hendak meninggalkan ruangan.

“Tunggu, Pak. Saya … saya setuju dengan penawaran Bapak,” jawab Fika dengan hati yang sangat berat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status