Share

Pengakuan Palsu

Galang memarkirkan mobilnya di parkiran sebuah salon besar milik seorang kenalannya. Fika yang tak mengerti, hanya diam menunggu instruksi apakah ia harus ikut turun atau menunggu di mobil saja.

“Kamu pikir saya ke sini untuk menata rambut dan memasang kuku palsu di tangan saya? Turunlah, dan perbaiki semua penampilanmu itu, jangan permalukan saya sebagai atasanmu nanti malam.”

Fika berpikir, menjadi asisten pribadi Galang rupanya tidak seburuk itu. Ia justru mendapatkan banyak hal di luar perkiraannya. Pekerjaan yang ia anggap tanpa akan sangat mengekangnya, justru perlahan bisa memberikan hal-hal belum bisa ia dapatkan. Walaupun Galang selalu memerintahkannya dengan nada suara yang terdengar sangat tidak ramah.

“Tolong, buat penampilannya lebih segar dan lebih enak dilihat,” pinta Galang pada seseorang yang ia pun tak yakin itu laki-laki atau perempuan.

“Tentu, say. Nona sudah cantik, tinggal dipoles sedikit saja,” jawabnya.

Fika bingung, apa yang akan dilakukan seseorang laki-laki yang sedikit melambai, dan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan Beby itu.

Beby mulai mencuci rambut Fika dan memijitnya lembut dengan perlahan. Tak lupa, ia juga memberikan konditioner dan hairmask. Setelah selesai menata rambut Fika, Beby beralih untuk memoles wajah Fika dengan make up tipis yang sesuai dengan tipe wajahnya.

Setelah beberapa jam menata penampilan Fika agar lebih segar, akhirnya Beby menunjukkan hasil tataannya pada Galang. Untuk sesaat, Galang merasa seperti melihat orang lain saat melihat Fika, rupanya gadis itu memang tidak bisa merawat diri, bukan tidak cantik.

“Gimana, say? Bagus ‘kan hasil make over eyke?” tanyanya sambil meminta Fika berputar dan merapikan rambutnya.

“Cukup bagus, terima kasih,” jawab Galang singkat.

“Sama-sama, Ganteng!” ujarnya sambil berniat mencubit pipi Galang jika saja pria itu tak segera mundur menghindarinya.

*=*=*=*

“Selamat malam, Pak Galang. Senang bertemu dengan Anda,” ucap Gallen—klien bisnis yang ditemui Galang malam ini sambil berjabatan tangan dengan Galang, kemudian bergantian berjabat tangan dengan Fika.

“Senang juga bertemu dengan Anda, Pak Gallen. Saya pikir, klien yang akan saya temui ini bukan seseorang yang sudah saya kenal. Saya lupa bertanya nama lengkap Anda pada sekretaris saya.” Galang tidak mengetahui bahwa klien bisnis yang akan ia temui ternyata suami Medina. Entahlah seolah hari itu ia dipertemukan dengan hal-hal yang membuat ia harus sedikit banyaknya terbawa pada kenangan masa lalunya. Meskipun begitu, Galang ingin tetap profesional dan mengesampingkan masalah pribadi yang seharusnya tak ia ingat-ingat lagi.

“Ah, sudahlah, Pak Galang. Sudah saatnya kita melupakan hal-hal di masa lalu.”

Fika yang tak mengerti tentang apa yang mereka bicarakan hanya bisa mengulas senyum tipis dan menyimak obrolan mereka.

Mereka mulai membicarakan rencana kerjasama bisnis yang akan mereka jalani. Selama kurang lebih dua jam, akhirnya perbincangan mereka selesai dan mereka sepakat akan melakukan kerjasama dalam sebuah proyek besar.

“Sebelum mengakhiri pertemuan ini bolehkah saya bertanya, Pak Galang?” tanya Gallen yang hanya dibalas tatapan datar dan anggukan tipis dari Galang.

“Apakah saat ini Anda sudah menikah?” Benar saja, hal yang sama ditanyakan oleh suami Medina seperti yang ditanyakan istrinya siang tadi.

“Saya rasa itu bukan pembahasan bisnis kita lagi dan Anda tidak berhak menanyakan hal pribadi dalam pertemuan bisnis.” Galang beranjak berdiri hendak meninggalkan tempatnya. Namun, dari arah berlawanan, tiba-tiba Medina datang dan menghampiri mereka.

“Galang? Kamu di sini?” tanyanya retoris. Galang hanya bergeming.

“Iya, Sayang. Galang yang akan melaksanakan kerjasama bersamaku,” jawab Gallen.

“Benarkah? Kalau begitu, kenapa buru-buru sekali? Tak bisakah kita berbincang-bincang sedikit saja?” ujar Medina sambil melirik Fika yang sejak awal diam tak bersuara.

“Saya rasa tidak perlu,” tolak Galang sambil berlalu.

“Apakah gadis ini yang menggantikanku, Galang?”

Pertanyaan Medina, sontak menghentikan langkah Galang. Pembahasan mereka semakin melebar saja. Ia jadi harus membawa-bawa Fika dalam urusan pribadinya.

“Ya, tentu saja. Dia gadis yang cantik, dia baik dan pekerja keras. Dia juga bukan wanita gila harta.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status