“Ya, tentu saja. Dia gadis yang cantik, dia baik dan pekerja keras. Dia juga bukan wanita gila harta,” jawabnya spontan sambil merangkul Fika. Galang menekankan kalimat terakhir perkataannya.
Sebenarnya, Galang tak berencana mengatakan hal itu, akan tetapi, saat ini ia rasa bibirnya lebih memiliki kuasa atas otaknya. Perkataannya tak sejalan dengan pikirannya. Ia sama sekali tidak berniat mengakui Fika sebagai pacarnya.Fika menatap Galang dengan tak percaya. Ia tak tahu bagaimana ia harus bereaksi. Haruskah ia dibawa dalam urusan pribadi Galang yang bahkan ia tak paham di mana titik terangnya. Fika tahu betul, Galang mengatakan hal itu semata-mata hanya untuk melindungi dirinya dari berbagai pertanyaan lain yang akan diajukan Medina dan Gallen jika ia tak menjawab iya.Akan tetapi, bukankah apa yang ia katakan itu bisa saja menjadi boomerang bagi mereka di waktu yang akan datang? Fika merasa tak selayak itu untuk diakui sebagai pengganti Medina yang menSeperti biasa, saat Galang memasuki kantor, riuh suara sapaan memenuhi seisi ruangan walaupun selalu tanpa jawaban. Sekretaris Galang mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk. “Permisi, Pak. Saya ingin memberitahukan bahwa ada seorang wanita bernama Medina memaksa untuk bertemu dengan Bapak sekarang. Saya sudah meminta dia untuk membuat janji terlebih dahulu, tetapi dia tetap memaksa masuk. Saat ini dia ada di depan ruangan Bapak,” ucapnya.“Medina? Sedang apa dia di sini?”Galang nampak berpikir dan akhirnya meminta sekretarisnya mengizinkan Medina masuk. Akan tetapi Medina menerobos masuk sebelum diizinkan. “Galang!” panggilnya sambil menghampiri Galang. Galang menginstruksikan sekretarisnya untuk meninggalkan mereka berdua.Pembicaraan mereka berlangsung cukup lama dan tertutup. Fika merasa sedikit penasaran serumit apa hubungan mereka di masa lalu. Terlebih, hari ini wanita itu tiba-tiba datang dan memaksa untuk bertemu Galang wa
Galang melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta. Malam ini, suasana jalanan cukup lenggang. Fika tak mengalihkan pandangannya dari jendela mobil. Ia melihat pasar malam, taman air mancur, dan beberapa penjual jajanan kaki lima. Jika saja saat ini ia tidak sedang pergi bersama Galang, gadis itu pasti sudah turun dan berkeliling di sana menikmati malam sambil membeli beberapa jenis makanan yang sudah lama tidak ia coba. “Apa yang kamu lihat?” “Ah, tidak ada, Pak.” Galang kembali fokus mengemudi. Lima belas menit kemudian, mereka sampai di depan restoran Jepang dengan bangunan yang cukup antik. Galang memastikan apakah benar pertemuannya akan diadakan di tempat seperti ini. Ia rasa, seseorang yang mengajaknya bertemu tahu betul bahwa ia kurang suka makanan Jepang. “Di Sensasi Shokuji?” tanyanya di telepon. Seseorang menjawabnya, lalu tak lama Galang menutup telepon.
Medina berhenti bertanya setelah Galang menjawab bahwa pernikahannya dan Fika akan dilangsungkan beberapa bulan lagi. Ia memilih untuk mengakhiri pertemuan mereka saat itu dan meminta izin pulang duluan bersama Gallen. Medina benar-benar tidak mengira dan tidak terima Galang akan secepat itu melupakannya. Walaupun kenyatannya, semua itu memang kesalahan Medina.Galang dan Fika menyusul pulang, namun sebelum mereka sampai di parkiran seberang tempat Galang menyimpaan mobilnya, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Jika mereka menunggu lebih lama lagi, entah kapan hujannya akan reda. Galang menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari seseorang yang bisa meminjamkan payung untuknya. Namun, nihil, tidak ada siapapun yang bisa ia pinjam payungnya. Galang melepaskan jaketnya dan menggunakannya untuk menutupi kepala dan tubuh Fika agar gadis itu tidak kehujanan, kemudian membawa gadis itu menyeberang menuju mobilnya, tanpa memedulikan dirinya yang basah
Sinar matahari menerobos masuk dari celah gorden jendela kamar Galang yang tidak tertutup dengan rapat. Sang pemilik kamar, terbangun karena merasa sudah tidur terlalu lama, lebih dari durasi tidur biasanya. Galang tersentak, saat melihat tepat di depan wajahnya, Fika tertidur pulas dengan tangan yang menggenggam tangan Galang, atau justru sebaliknya. Galang hampir berteriak memarahi Fika yang lancang tidur di kamarnya bahkan di tempat tidur milik Galang, jika saja ia tidak ingat semalam Fika dengan sukarela merawatnya. Ia juga ingat, bahwa semalam, ia sendiri yang meminta Fika untuk menemaninya. Galang mencoba perlahan melepaskan genggaman tangan Fika dan berusaha agar tidak membangunkan gadis itu. Jika Fika bangun saat ini, tentu mereka akan sangat canggung seperti kemarin malam sepulang mereka bertemu Medina dan Gallen. Galang tak ingin mengambil risiko. Galang segera beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap-siap mandi untuk pergi ke kantor. Selesai
Pekerjaan Dimas sudah selesai satu jam yang lalu. Saat ini, ia sudah berada di depan rumah Galang untuk menjenguk Fika sambil membawa sebuket bunga tulip, buah-buahan, dan sup ayam hangat. Setelah dibukakan pintu oleh asisten rumah tangga Galang, Dimas masuk sambil melihat seisi rumah Galang yang menurutnya benar-benar unik. Bertahun-tahun bekerja dengan Galang, baru saat ini ia memiliki kesempatan untuk mendatangi rumah pria itu. Rumah Galang dipenuhi barang-barang kuno seperti guci dan lukisan-lukisan yang terlihat sudah sangat tua.Walaupun berisi benda-benda kuno dan antik, namun tak ada kesan menyeramkan di dalamnya karena pemilihan warna cat dinding yang tepat, membuat ruangannya menjadi terang.“Fika? Kamu sakit? Demamkah?” tanya Dimas saat melihat Fika menemuinya dengan lesu tanpa tenaga. Dimas menyentuh kening Fika.“Ah, tidak. Aku baik-baik saja. Kenapa harus repot-repot menjengukku, Dimas?” “Aku tidak repot sama sek
Malam ini, Galang terpaksa memasak makan malamnya sendiri karena asisten rumah tangganya izin untuk pulang lebih awal. Galang bisa saja memesan makanan secara online, akan tetapi ia lebih suka makanan yang dimasak langsung di rumah. Lebih terasa bersih dan lezat—menurutnya.Mendengar suara alat-alat masak yang beradu di dapur, membuat Fika penasaran apa yang sedang Galang lakukan di sana. Ia memperhatikan Galang yang sedang memilih beberapa sayur yang akan ia masak kemudian mencucinya. “Mau ngapain, Pak?” tanya Fika. Galang menoleh sekilas.“Saya mau masak. Memangnya kamu tidak mau makan?” Ia berbalik bertanya.“Saya, bantu, ya. Pak Galang mau masak apa?”“Tidak perlu. Pergilah istirahat. Saya tidak mau kamu terlalu lama bekerja dari rumah dan bisa bermalas-malasan sesuka hati.”Fika tak menghiraukan ucapan Galang yang mulai terdengar biasa di telinganya. Ia mengambil beberapa buah wortel dan brokoli untuk dipotong. Fika memoton
Hari ini, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam sikap Galang. Ia berangkat lebih pagi ke kantor, tentunya bersama Fika. Seperti biasa, para karyawannya serentak menyapa.“Selamat pagi, Pak Galang.”“Selamat pagi,” jawabnya singkat. Sungguh, setelah delapan tahun lamanya Galang menerapkan peraturan untuk menyapanya di pagi hari, baru sekali ini ia menjawab sapaan dari karyawannya juga, walaupun hanya jawaban singkat.Para karyawan di kantor Galang sontak merasa keheranan dan tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Galang merespon sapaan mereka? Dengan jawaban yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Semalam, setelah penandatanganan kontrak kerja, Galang langsung memberi Fika tugas yang cukup banyak. Tugas yang harus selesai tepat pukul sepuluh pagi ini, untuk membuktikan bahwa gadis itu benar-benar layak menjadi karyawan di kantor Galang. Sesuai perintah, Fika melaporkan pada Galang bahwa tugasnya s
Fika dan Dimas sampai di sebuah restoran masakan khas sunda. Dimas sengaja mengajak Fika ke sini untuk mengingatkan masa-masa SMA mereka. Terlebih, gadis itu memang menyukai makanan khas sunda, karena tentunya sejak kecil makanan itulah yang ia konsumsi sehari-hari.Setelah beberapa jenis makanan yang mereka pesan datang, Fika dan Dimas mulai makan sambil membicarakan masa-masa SMA mereka dulu yang sering memasak bersama menu makanan yang saat ini mereka makan. Setelah sekian lama mereka tidak tertawa bersama, akhirnya masa-masa itu bisa terulang kembali walaupun di tempat dan keadaan yang berbeda. “Oh, iya aku lupa bertanya, jadi, bagaimana ceritanya kamu bisa mendapatkan kontrak kerja?” tanya Dimas setelah banyak berbincang soal kekonyolan mereka saat masih duduk di bangku SMA.Fika meminum minumannya terlebih dahulu sebelum bercerita.“Entahlah, Dim. Sebenarnya, aku juga bingung apa yang membuat Pak Galang bisa memaafkanku secepat itu. Me