Galang menatap foto Fika di ponselnya yang tengah fokus memperhatikan pembicara saat meeting beberapa waktu lalu. Galang terlambat menyadari, gadis itu sangat cantik di matanya sekarang. Seandainya sebelumnya ia bisa mengatakan perasaannya kepada Fika, mungkin ia akan merasa lega walaupun gadis itu menolaknya. Tetapi, yang terjadi saat ini, Fika sudah dimiliki pria lain, bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan.
Galang mulai berpikir, antara harus merebut gadis itu dari calon suaminya, atau justru merelakannya dengan pria yang Fika pilih. Untuk opsi pertama, ia pikir, Fika belum tentu akan bahagia bersamanya, apalagi jika ia mendapatkan Fika dengan paksaan.Mungkin, saat ini Galang akan merelakan sesuatu yang belum pernah menjadi miliknya, untuk dimiliki oleh orang lain. Dengan melihat Fika hidup bahagia dengan pria yang ia cintai, itu sudah cukup bagi Galang.Galang kembali menatap sepasang sejoli yang duduk berhadapan tak jauh dari tempat duduknya. MSiang hari yang terik, dengan matahari yang tepat berada di atas kepala tak membuat seorang gadis berambut sebahu itu menyerah untuk mencari pekerjaan. Fika Anindya, menyusuri sepanjang jalan kota yang dipenuhi debu dan asap kendaraan itu. Sudah banyak tempat yang ia datangi minggu ini, tapi ia masih belum mendapatkan panggilan kerja dari manapun. Sesulit itu mencari pekerjaan di kota besar. Fika mengipasi dirinya dengan map cokelat yang ia pegang. Keringat bercucuran dari kening dan lehernya. Fika menatap minimarket di depannya. Ia memasuki minimarket itu untuk sekadar membeli minuman dingin yang bisa membasahi tenggorokannya. Setelah memilih sebotol milktea, ia pergi ke kasir untuk membayarnya. Dengan ragu, Fika bertanya, “Mbak, di sini ada lowongan kerja, tidak, ya?”‘Astaga, bodoh sekali. Padahal aku tidak berniat melamar pekerjaan di sini,’ gerutunya di dalam hati.Kasir minimarket yang menggunakan lipstick merah menyala itu pun tak langsun
Hari pertama bekerja, Fika sudah sampai di kantor 15 menit sebelum jadwal seharusnya. Ia pikir ingin lebih disiplin dalam pekerjaannya. Lagipula, memulai hari yang baru dengan kedisiplinan adalah hal yang bagus, bukan? Setelah merapikan beberapa tempat yang menurutnya kurang rapi, Fika membantu mengerjakan pekerjaan lainnya. Ia juga berinteraksi dengan banyak pegawai sambil memperkenalkan dirinya sebagai karyawan baru.Beberapa menit kemudian, dia mendengar riuh suara sapaan dari karyawan seisi kantor kepada seseorang. “Selamat pagi, Pak Galang.”Pria setinggi 185 cm dengan setelan turtleneck abu-abu tua dibalut jas hitam formal yang disapa itu hanya berjalan lurus tanpa menjawab sapaan karyawannya. Cukup tampan. Ralat, sangat tampan, hanya saja ekspresi wajahnya menggambarkan sikap menyeramkan. Fika yakin, pria itulah yang dipanggil bos besar oleh Dimas kemarin. Dimas benar, dari penampilannya saja sudah terlihat, bos mereka bukan orang yang ramah.
“Kamu sudah gila, ya? Kamu tahu apa yang baru saja kamu lakukan ini?” Galang berteriak, membuat Fika tersentak setelah beberapa saat lalu ia menggebrak meja karena amarahnya yang memucak. Beberapa karyawan lain bertanya-tanya dan menguping dari celah pintu ruangan kerja Galang. Galang tak pernah berteriak dan marah sekeras ini sebelumnya. Sekalipun sangat marah, biasanya pria itu hanya akan menatap tajam tanpa ekspresi, dan langsung memecat karyawan yang membuatnya marah. Hal ini jelas membuat seluruh karyawan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi di dalam ruangan itu.“Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja,” jawab Fika terbata-bata.Galang mengangkat tangan kanannya. Fika mengira, Galang akan menamparnya. Seketika, pandangannya mengabur dan ia terjatuh di tempat. Fika pingsan sebelum Galang selesai berbicara. Dimas menerobos masuk ke ruangan Galang tanpa permisi karena mendengar kegaduhan yang sangat jarang terjadi, terlebih seorang karyawa
Fika tersentak. Ia merasa oksigen di sekitarnya mendadak hilang. Ia kesulitan bernapas. Fika tak pernah menduga pria di hadapannya akan semarah ini. Ia memutar otak, berpikir keras bagaimana caranya agar ia bebas dari hukuman atau setidaknya dia mendapatkan hukuman yang lebih ringan dari yang dikatakan Galang. Ia harus bisa bernegosiasi. “Tapi, Pak, saya hanya-”“Hanya? Kamu yakin merusak laptop seorang pemilik perusahaan yang berisi file-file penting perusahaan kamu sebut ‘hanya’? Astaga!” Galang memotong perkataan Fika dan membalasnya dengan tatapan nyalang.Baginya, laptop itu bukan hanya sekadar alatnya untuk bekerja, tapi juga banyak hal-hal pribadinya di dalam laptop itu yang tidak ia miliki salinan file-nya.“Maaf, Pak, saya tidak bermaksud-”“Sekarang katakan, apa yang bisa membuat saya membatalkan keputusan untuk memberikan hukuman terberat ini?”“Saya … saya ….”“Bicaralah dengan jelas dan lugas, Nona Fika Ana
Fika tak menyangka jika pekerjaan yang dimaksud Galang 24 jam itu, mengharuskannya untuk tinggal satu rumah dengan bos kejamnya itu. Hari pertamanya tinggal di rumah itu sudah menggambarkan hari-hari selanjutnya, dimana ia hanya bisa tidur 3 jam per harinya karena harus menyamakan jadwal tidurnya dengan jadwal tidur Galang.Definisi gila kerja memang pantas disematkan pada Galang. Pagi, siang, sore, hingga malam yang ia lakukan hanya bekerja. Fika heran, memangnya pekerjaan seorang pemilik perusahaan harus sebanyak itu? Bukankah pemilik atau owner perusahaan itu hanya mengawasi pekerjaan pegawainya?Akan tetapi, sekilas Fika membaca file-file yang dikerjakan Galang merupakan file-file dengan bidang yang berbeda. Artinya, pria ini memang memiliki bisnis lain selain perusahaan tempat Fika bekerja. ‘Seharusnya, pria kaya seperti Pak Galang tidak sulit mengeluarkan uang untuk membeli laptop baru atau sekadar menggajiku sebagai karyawannya. Aku juga yakin, gaj
“Pak, laptop Bapak sudah saya perbaiki dan sudah bisa menyala. Bapak bisa mengecek kembali data-data di dalamnya. Maaf, saya mengambilnya diam-diam di meja kerja Bapak. Saya ingin menebus kesalahan saya. Lagipula, Bapak juga tidak benar-benar memperkerjakan saya tanpa gaji, dan bahkan Bapak memberikan saya uang disaat saya baru sehari bekerja. Jadi, ini juga sebagai ungkapan terima kasih saya.” Fika menyodorkan laptop Galang yang sudah ia perbaiki.“Kapan kamu memperbaikinya?”“Semalam, Pak, setelah selesai memeriksa akurasi data yang Bapak minta.”Galang ingat, ia hanya memberikan Fika waktu 3 jam untuk tidur, dan waktu itu Fika gunakan untuk memperbaiki laptop Galang.‘Gadis ini cukup bertanggung jawab,’ batin Galang. “Kenapa kamu tidak menjadi tukang service keliling saja?’ ucapnya asal bicara.“Eum, saya tidak sepandai itu. Ini juga hanya sedikit ilmu yang saya dapatkan dari paman.” Galang mengangguk samar.“Hari in
Galang memarkirkan mobilnya di parkiran sebuah salon besar milik seorang kenalannya. Fika yang tak mengerti, hanya diam menunggu instruksi apakah ia harus ikut turun atau menunggu di mobil saja. “Kamu pikir saya ke sini untuk menata rambut dan memasang kuku palsu di tangan saya? Turunlah, dan perbaiki semua penampilanmu itu, jangan permalukan saya sebagai atasanmu nanti malam.” Fika berpikir, menjadi asisten pribadi Galang rupanya tidak seburuk itu. Ia justru mendapatkan banyak hal di luar perkiraannya. Pekerjaan yang ia anggap tanpa akan sangat mengekangnya, justru perlahan bisa memberikan hal-hal belum bisa ia dapatkan. Walaupun Galang selalu memerintahkannya dengan nada suara yang terdengar sangat tidak ramah.“Tolong, buat penampilannya lebih segar dan lebih enak dilihat,” pinta Galang pada seseorang yang ia pun tak yakin itu laki-laki atau perempuan. “Tentu, say. Nona sudah cantik, tinggal dipoles sedikit saja,” jawabnya.Fika bin
“Ya, tentu saja. Dia gadis yang cantik, dia baik dan pekerja keras. Dia juga bukan wanita gila harta,” jawabnya spontan sambil merangkul Fika. Galang menekankan kalimat terakhir perkataannya. Sebenarnya, Galang tak berencana mengatakan hal itu, akan tetapi, saat ini ia rasa bibirnya lebih memiliki kuasa atas otaknya. Perkataannya tak sejalan dengan pikirannya. Ia sama sekali tidak berniat mengakui Fika sebagai pacarnya.Fika menatap Galang dengan tak percaya. Ia tak tahu bagaimana ia harus bereaksi. Haruskah ia dibawa dalam urusan pribadi Galang yang bahkan ia tak paham di mana titik terangnya. Fika tahu betul, Galang mengatakan hal itu semata-mata hanya untuk melindungi dirinya dari berbagai pertanyaan lain yang akan diajukan Medina dan Gallen jika ia tak menjawab iya. Akan tetapi, bukankah apa yang ia katakan itu bisa saja menjadi boomerang bagi mereka di waktu yang akan datang? Fika merasa tak selayak itu untuk diakui sebagai pengganti Medina yang men
Galang menatap foto Fika di ponselnya yang tengah fokus memperhatikan pembicara saat meeting beberapa waktu lalu. Galang terlambat menyadari, gadis itu sangat cantik di matanya sekarang. Seandainya sebelumnya ia bisa mengatakan perasaannya kepada Fika, mungkin ia akan merasa lega walaupun gadis itu menolaknya. Tetapi, yang terjadi saat ini, Fika sudah dimiliki pria lain, bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan.Galang mulai berpikir, antara harus merebut gadis itu dari calon suaminya, atau justru merelakannya dengan pria yang Fika pilih. Untuk opsi pertama, ia pikir, Fika belum tentu akan bahagia bersamanya, apalagi jika ia mendapatkan Fika dengan paksaan. Mungkin, saat ini Galang akan merelakan sesuatu yang belum pernah menjadi miliknya, untuk dimiliki oleh orang lain. Dengan melihat Fika hidup bahagia dengan pria yang ia cintai, itu sudah cukup bagi Galang.Galang kembali menatap sepasang sejoli yang duduk berhadapan tak jauh dari tempat duduknya. M
Pagi ini, Fika sudah bersiap dengan setelan rok putih selutut, dengan inner putih polos yang dipadukan dengan kardigan berwarna pink muda. Rambut pendeknya ia ikat sebagian ke belakang, dan membiarkan sisanya tergerai. Sesuai rencananya sebelumnya, hari ini Fika akan bertemu dengan Rifal untuk memulai pembahasan rencana pernikahan mereka. Memang terkesan sangat cepat. Fika pun merasa sedikit heran dengan sikap Rifal yang mengajaknya untuk buru-buru menikah. Pria itu berdalih, tidak ada siapa-siapa lagi yang bisa menjaga Fika, sehingga ia ingin segera tinggal bersama gadis itu.Fika mengiyakan hal itu. Apalagi, saat ini ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Kerabat yang seharusnya hadir di pernikahannya nanti pun kini harus mendekam di penjara karena kesalahannya sendiri. Fika berjalan menuruni anak tangga rumah Galang. Ia melihat Galang tengah duduk di sofa panjang di samping ruang tamu sambil membaca sebuah buku yang sangat tebal. Pria itu terlihat lebih mena
Suara sendok dan garpu yang beradu mengisi keheningan di meja makan. Sejak awal, tak ada pembicaraan antara Fika dan Galang. Mereka saling menghindari kontak mata satu sama lainnya. Galang yang terlalu sungkan untuk sekadar menyapa, dan Fika yang bahkan tak tahu kenapa Galang tiba-tiba sependiam ini.“Bapak-”“Kamu-”Galang dan Fika memanggil bersamaan.“Bapak duluan.”“Kamu duluan.” Lagi, mereka berucap bersamaan.Galang meletakkan alat makannya. Kemudian menatap Fika.“Pertama, saya tidak setua itu untuk terus-terusan dipanggil ‘Bapak’. Usiamu hanya bertaut sedikit saja dengan saya. Kedua, saya ingin bertanya sesuatu yang sedikit pribadi kepada kamu.” Fika mengerutkan keningnya.“Sebelum Bapak yang bertanya, saya ingin bertanya lebih dulu. Jika Bapak tidak ingin dipanggil Bapak, lalu saya harus memanggil apa?”“Yang Mulia, mungkin lebih cocok.”“Baik, Yang Mulia ingin bertanya apa?’ tanya Fik
Fika menatap kosong ke luar melalui jendela kamarnya. Meskipun bibinya sudah ditangkap polisi, ia masih merasa tidak puas karena neneknya tak bisa kembali lagi.Tak terasa, air matanya kembali menetes. Seseorang mengelus puncak rambutnya lembut. Rifal datang dengan membawakan sebuket bunga tulip untuk menghibur Fika dan menghilangkan sedikit kesedihan gadis itu. “Sejak kapan kamu datang?” tanya Fika. Rifal duduk di hadapan Fika sambil memberikan buket bunga itu pada Fika.Ia menggenggam tangan Fika dan membawa tangan Fika ke pangkuannya.“Hm, Fika … bisakah aku berbicara hal serius?” Rifal menatap Fika dengan tatapan yang dalam.“Katakan,” jawab Fika singkat.“Aku tahu, akan sulit bagimu memaafkan kesalahanku yang dulu pergi secara tiba-tiba tanpa memberitahumu.” Fika menarik tangannya dari genggaman Rifal. Ia tahu ke mana arah pembicaraannya.“Cukup. Berikan aku waktu. Aku masih berduka, Rifal!” bentak Fika.“
Galang melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sama seperti saat ia berangkat tadi. Sejak melihat Fika bersama pria lain selain dirinya, Galang merasa ada gejolak aneh dalam hatinya, yang mendorong amarahnya secara tiba-tiba. Galang menolak mengakui bahwa saat ini ia sedang merasa cemburu. Galang menepikan mobilnya. Ia menatap lurus ke arah jalanan melalui jendela dashboard mobil. Sedetik kemudian, ia menghentakkan kedua tangannya ke atas stir.“Argh! Apa ini? Tidak mungkin aku sedang merasa cemburu. Aku tidak mungkin menyukai seorang gadis secepat itu. Dia hanya orang baru di hidupku, yang bahkan belum genap sebulan kukenal.” Galang bermonolog.“Sadarlah, Galang! Medina benar, gadis itu sungguh jauh dari kriteria idamanmu. Apa yang membuatmu bisa menyukai gadis seperti dia, hah?” Galang menepuk-nepuk kepalanya berkali-kali. Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya kasar. Setelah cukup tenang, ia kembali melajukan mobilnya menuju rumahnya.
Galang mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia tahu hal itu sangat berbahaya bagi dirinya dan orang lain, tapi dia lebih mengkhawatirkan Fika yang banyak diam saat ia meneleponnya tadi. Dia takut Fika melakukan hal-hal yang tidak diinginkan karena frustrasi ditinggalkan oleh satu-satunya keluarga yang sangat ia sayangi.Perjalanan yang seharusnya ditempuh 4 jam, bisa ia selesaikan dengan waktu 2 jam saja. Artinya, ia mengemudi dua kali lebih cepat dari kecepatan normal. Berbekal alamat yang telah ia dapatkan, Galang sampai di depan sebuah rumah kuno dengan bentuk bangunan jaman dulu. Walaupun kota ini bisa disebut kota yang berpolusi, rupanya masih ada daerah asri dengan udara segar dan pemandangan hijau seperti di sekeliling rumah Fika. Galang turun dari mobilnya dan berjalan ragu ke rumah itu. Benarkah ini rumah Fika? Bagaimana jika ia salah rumah. Tapi, ada bendera kuning tepat di depan rumah ini. Pasti ini rumah yang benar.
“Halo, Pak,” jawab Fika dengan hati-hati. Ia masih cukup takut dengan Galang yang memiliki mood yang mudah berubah-ubah.“Astaga! Fika, apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu sampai dengan selamat? Kapan kamu sampai? Di mana kamu sekarang?” tanyanya bertubi-tubi.“Saya di rumah, Pak. Maafkan saya, saya lupa mengabari Bapak kalau saya sudah sampai sejak malam tadi. Saya terlalu sibuk mengurusi prosesi pemakaman nenek saya, jadi saya tidak sadar banyak panggilan tak terjawab dari Bapak. Sekali lagi maafkan saya, Pak.”“Pemakaman? Apakah nenek kamu meninggal dunia?” tanya Galang.“Betul, Pak. Nenek saya meninggal semalam.”“Saya turut berduka cita, ya, Fika. Um, bolehkah saya datang melayat ke sana?” Fika terhenyak. Apakah ia tidak salah dengar? Seorang Galang akan datang ke rumah karyawannya, yang notabene terletak di luar kota hanya untuk melayat nenek karyawannya yang bahkan bukan siapa-siapa bagi Galang? Rasanya terdengar sang
“Nenek? Nenek bangun, Nek! Ayo kita ke rumah sakit,” ajak Fika kepada tubuh neneknya yang sudah tak lagi bergerak dengan air mata yang semakin bercucuran.Fika mengguncang-guncangkan tubuh neneknya, berharap ada reaksi. Namun, hasilnya nihil. Tak ada gerakan. Tubuh Fika ambruk seketika. Ia menatap kosong. Sedetik kemudian, ia berteriak memanggil neneknya. *=*=*=*Galang berkali-kali menelpon Fika untuk menanyai kabarnya atau untuk sekadar bertanya apakah ia sudah sampai atau belum. Berkali-kali menelepon, berkali-kali pula ia tak mendapat jawaban. Galang mulai gelisah. Ini sudah ganti hari dan Fika belum memberinya kabar walaupun hanya sekadar pesan singkat saja. Seharusnya, malam tadi juga Fika sudah sampai di rumah neneknya. Galang khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu, terlebih ia pergi sendirian ke sana.“Halo, bisakah kamu melacak keberadaan seseorang hanya dengan nomor teleponnya?” tanya Galang pada seseorang melalui telepon.
Fika baru saja berangkat siang ini menuju rumah neneknya. Akan tetapi, Galang sudah merasa kehilangan gadis itu. Seolah-olah gadis itu sudah pergi beberapa hari.“Apa kutelepon saja?” Ia bermonolog.Galang membuka room chat-nya bersama Fika. Gadis itu sedang offline. Galang menahan tangannya untuk tidak menekan tombol panggil ke nomor Fika. Setidaknya, ia harus membiarkan gadis itu sampai ke rumah terlebih dahulu, baru menanyai kabarnya. Perjalanan menuju rumah nenek Fika membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Jadi, ia harus lebih bersabar sedikit. “Ah, hentikan Galang! Ini bukan dirimu! Lakukan hal lain yang bisa membuatmu lupa pada Fika.” Tegasnya, pada dirinya sendiri. Galang meletakkan ponselnya di meja, ia mulai melakukan aktivitas lain yang sekiranya dapat melupakan ia dari Fika. *=*=*=*Fika telah menempuh perjalanan selama 4 jam. Sebenarnya, ia sangat lelah, akan tetapi, kekhawatirannya mengalahkan rasa lelahnya. Ia tak henti-hentinya