Share

Kesalahan Fatal

Hari pertama bekerja, Fika sudah sampai di kantor 15 menit sebelum jadwal seharusnya. Ia pikir ingin lebih disiplin dalam pekerjaannya. Lagipula, memulai hari yang baru dengan kedisiplinan adalah hal yang bagus, bukan?

Setelah merapikan beberapa tempat yang menurutnya kurang rapi, Fika membantu mengerjakan pekerjaan lainnya. Ia juga berinteraksi dengan banyak pegawai sambil memperkenalkan dirinya sebagai karyawan baru.

Beberapa menit kemudian, dia mendengar riuh suara sapaan dari karyawan seisi kantor kepada seseorang.

“Selamat pagi, Pak Galang.”

Pria setinggi 185 cm dengan setelan turtleneck abu-abu tua dibalut jas hitam formal yang disapa itu hanya berjalan lurus tanpa menjawab sapaan karyawannya. Cukup tampan. Ralat, sangat tampan, hanya saja ekspresi wajahnya menggambarkan sikap menyeramkan. Fika yakin, pria itulah yang dipanggil bos besar oleh Dimas kemarin. Dimas benar, dari penampilannya saja sudah terlihat, bos mereka bukan orang yang ramah. Dari caranya berjalan, ia terlihat sangat angkuh. Fika melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda, tak ingin lama-lama memperhatikan sesuatu yang menurutnya tidak penting.

“Heh, kamu! Pegawai baru! Sini!” panggil Shani sambil melambaikan tangannya.

“Iya, Bu, ada apa, ya?” tanyanya ramah walaupun perlakuan Shani kemarin sedikit membuatnya kesal.

“Setiap pagi, Pak Galang selalu meminta dibuatkan kopi. Hari ini, saya mau kamu yang buatkan. Konsentrasinya tiga sendok kopi hitam, tanpa gula. Cepat! Pak Galang tidak suka karyawan yang lamban!” titahnya setengah berteriak.

Fika teringat perkataan Dimas yang memintanya untuk tidak berinteraksi dengan bosnya itu. Ia masih bergeming di tempatnya, mencari alasan untuk menolak perintah Shani. Fika menatap Shani dengan tatapan mengiba.

“Kamu budek, ya? Ayo cepat! Baru sehari kerja sudah malas-malasan saja!” Shani—kepala tim marketing itu memang tidak bisa bersikap ramah, kecuali hanya pada orang-orang tertentu, salah satunya adalah Dimas.

Sikapnya semakin buruk saat mengetahui Fika bekerja atas rekomendasi Dimas—pria yang sejak awal ia sukai namun tak pernah membalas perasaannya. Tentunya, Shani ingin Fika tidak lagi bekerja di sana. Tidak tanggung-tanggung, Shani langsung melakukan hal yang akan menjadi petaka buruk bagi Fika jika gadis itu melakukan kesalahan sedikit saja. Berurusan dengan Galang bukanlah hal sepele, walaupun hanya sekadar membuatkan kopi.

Fika merasa, Shani akan menjadi tantangan yang cukup besar, yang harus ia hadapi selama bekerja di sini. Sejak kemarin, wanita itu langsung mengintimidasinya, dengan penyebab yang bahkan tidak Fika ketahui.

“Iya, Bu. Akan saya buatkan.”

Fika segera membuat kopi dengan ketentuan yang sudah Shani sebutkan. Tiga sendok kopi hitam tanpa gula. Pahit sekali, pikirnya. Pantas saja tidak ada sisi keramahan di wajahnya. Ternyata kopi seperti ini yang dia minum.

Fika mengaduknya perlahan, sengaja mengulur waktu berharap Shani berubah pikiran dan meminta office girl senior yang membuatnya. Namun, hingga kopi itu selesai dibuat, Fika tak mendengar Shani memanggilnya untuk membatalkan perintahnya tadi. Lututnya terasa lemas saat ia harus mengantar kopi itu ke ruangan Galang. Ia berkali-kali mengingatkan dirinya untuk tidak melakukan kesalahan sekecil apapun.

Fika mengetuk pintu ruangan Galang perlahan dan meminta izin masuk untuk mengantarkan kopinya. Setelah mendengar jawaban, Fika masuk sambil berjalan dengan hati-hati. Tangan Fika gemetar memegangi gelas kopi yang hampir tumpah. Entahlah, padahal ia tidak tahu bosnya akan segalak apa. Tapi, ia sudah terpengaruh dengan perkataan Dimas sebelumnya, yang memberikan kesan buruk terhadap Galang bagi Fika.

‘Hanya beberapa langkah lagi, Fika. Jangan buat kesalahan. Ayo berjalan pelan-pelan saja,’ batinnya.

Langkah demi langkah yang ia lalui, rasanya kaki Fika sangat berat.

Selangkah lagi menuju meja kerja Galang, Fika tersandung dengan kakinya sendiri. Benar saja, ia melakukan kesalahan yang ia takutkan. Kopi panas yang ia bawa menyiram laptop kerja Galang yang sedang bosnya itu gunakan.

Laptop milik Galang padam seketika. Untuk sesaat, Fika hanya bisa mematung merutuki dirinya sendiri yang melakukan kesalahan fatal yang sangat ia hindari, jauh di luar dugaannya.

Seketika, gebrakan meja menyadarkan Fika dari lamunannya.

“Ma-maaf, Pak. Sa-saya ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status