Galang melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta. Malam ini, suasana jalanan cukup lenggang. Fika tak mengalihkan pandangannya dari jendela mobil. Ia melihat pasar malam, taman air mancur, dan beberapa penjual jajanan kaki lima.
Jika saja saat ini ia tidak sedang pergi bersama Galang, gadis itu pasti sudah turun dan berkeliling di sana menikmati malam sambil membeli beberapa jenis makanan yang sudah lama tidak ia coba. “Apa yang kamu lihat?” “Ah, tidak ada, Pak.” Galang kembali fokus mengemudi. Lima belas menit kemudian, mereka sampai di depan restoran Jepang dengan bangunan yang cukup antik. Galang memastikan apakah benar pertemuannya akan diadakan di tempat seperti ini. Ia rasa, seseorang yang mengajaknya bertemu tahu betul bahwa ia kurang suka makanan Jepang. “Di Sensasi Shokuji?” tanyanya di telepon. Seseorang menjawabnya, lalu tak lama Galang menutup telepon.Medina berhenti bertanya setelah Galang menjawab bahwa pernikahannya dan Fika akan dilangsungkan beberapa bulan lagi. Ia memilih untuk mengakhiri pertemuan mereka saat itu dan meminta izin pulang duluan bersama Gallen. Medina benar-benar tidak mengira dan tidak terima Galang akan secepat itu melupakannya. Walaupun kenyatannya, semua itu memang kesalahan Medina.Galang dan Fika menyusul pulang, namun sebelum mereka sampai di parkiran seberang tempat Galang menyimpaan mobilnya, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Jika mereka menunggu lebih lama lagi, entah kapan hujannya akan reda. Galang menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari seseorang yang bisa meminjamkan payung untuknya. Namun, nihil, tidak ada siapapun yang bisa ia pinjam payungnya. Galang melepaskan jaketnya dan menggunakannya untuk menutupi kepala dan tubuh Fika agar gadis itu tidak kehujanan, kemudian membawa gadis itu menyeberang menuju mobilnya, tanpa memedulikan dirinya yang basah
Sinar matahari menerobos masuk dari celah gorden jendela kamar Galang yang tidak tertutup dengan rapat. Sang pemilik kamar, terbangun karena merasa sudah tidur terlalu lama, lebih dari durasi tidur biasanya. Galang tersentak, saat melihat tepat di depan wajahnya, Fika tertidur pulas dengan tangan yang menggenggam tangan Galang, atau justru sebaliknya. Galang hampir berteriak memarahi Fika yang lancang tidur di kamarnya bahkan di tempat tidur milik Galang, jika saja ia tidak ingat semalam Fika dengan sukarela merawatnya. Ia juga ingat, bahwa semalam, ia sendiri yang meminta Fika untuk menemaninya. Galang mencoba perlahan melepaskan genggaman tangan Fika dan berusaha agar tidak membangunkan gadis itu. Jika Fika bangun saat ini, tentu mereka akan sangat canggung seperti kemarin malam sepulang mereka bertemu Medina dan Gallen. Galang tak ingin mengambil risiko. Galang segera beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap-siap mandi untuk pergi ke kantor. Selesai
Pekerjaan Dimas sudah selesai satu jam yang lalu. Saat ini, ia sudah berada di depan rumah Galang untuk menjenguk Fika sambil membawa sebuket bunga tulip, buah-buahan, dan sup ayam hangat. Setelah dibukakan pintu oleh asisten rumah tangga Galang, Dimas masuk sambil melihat seisi rumah Galang yang menurutnya benar-benar unik. Bertahun-tahun bekerja dengan Galang, baru saat ini ia memiliki kesempatan untuk mendatangi rumah pria itu. Rumah Galang dipenuhi barang-barang kuno seperti guci dan lukisan-lukisan yang terlihat sudah sangat tua.Walaupun berisi benda-benda kuno dan antik, namun tak ada kesan menyeramkan di dalamnya karena pemilihan warna cat dinding yang tepat, membuat ruangannya menjadi terang.“Fika? Kamu sakit? Demamkah?” tanya Dimas saat melihat Fika menemuinya dengan lesu tanpa tenaga. Dimas menyentuh kening Fika.“Ah, tidak. Aku baik-baik saja. Kenapa harus repot-repot menjengukku, Dimas?” “Aku tidak repot sama sek
Malam ini, Galang terpaksa memasak makan malamnya sendiri karena asisten rumah tangganya izin untuk pulang lebih awal. Galang bisa saja memesan makanan secara online, akan tetapi ia lebih suka makanan yang dimasak langsung di rumah. Lebih terasa bersih dan lezat—menurutnya.Mendengar suara alat-alat masak yang beradu di dapur, membuat Fika penasaran apa yang sedang Galang lakukan di sana. Ia memperhatikan Galang yang sedang memilih beberapa sayur yang akan ia masak kemudian mencucinya. “Mau ngapain, Pak?” tanya Fika. Galang menoleh sekilas.“Saya mau masak. Memangnya kamu tidak mau makan?” Ia berbalik bertanya.“Saya, bantu, ya. Pak Galang mau masak apa?”“Tidak perlu. Pergilah istirahat. Saya tidak mau kamu terlalu lama bekerja dari rumah dan bisa bermalas-malasan sesuka hati.”Fika tak menghiraukan ucapan Galang yang mulai terdengar biasa di telinganya. Ia mengambil beberapa buah wortel dan brokoli untuk dipotong. Fika memoton
Hari ini, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam sikap Galang. Ia berangkat lebih pagi ke kantor, tentunya bersama Fika. Seperti biasa, para karyawannya serentak menyapa.“Selamat pagi, Pak Galang.”“Selamat pagi,” jawabnya singkat. Sungguh, setelah delapan tahun lamanya Galang menerapkan peraturan untuk menyapanya di pagi hari, baru sekali ini ia menjawab sapaan dari karyawannya juga, walaupun hanya jawaban singkat.Para karyawan di kantor Galang sontak merasa keheranan dan tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Galang merespon sapaan mereka? Dengan jawaban yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Semalam, setelah penandatanganan kontrak kerja, Galang langsung memberi Fika tugas yang cukup banyak. Tugas yang harus selesai tepat pukul sepuluh pagi ini, untuk membuktikan bahwa gadis itu benar-benar layak menjadi karyawan di kantor Galang. Sesuai perintah, Fika melaporkan pada Galang bahwa tugasnya s
Fika dan Dimas sampai di sebuah restoran masakan khas sunda. Dimas sengaja mengajak Fika ke sini untuk mengingatkan masa-masa SMA mereka. Terlebih, gadis itu memang menyukai makanan khas sunda, karena tentunya sejak kecil makanan itulah yang ia konsumsi sehari-hari.Setelah beberapa jenis makanan yang mereka pesan datang, Fika dan Dimas mulai makan sambil membicarakan masa-masa SMA mereka dulu yang sering memasak bersama menu makanan yang saat ini mereka makan. Setelah sekian lama mereka tidak tertawa bersama, akhirnya masa-masa itu bisa terulang kembali walaupun di tempat dan keadaan yang berbeda. “Oh, iya aku lupa bertanya, jadi, bagaimana ceritanya kamu bisa mendapatkan kontrak kerja?” tanya Dimas setelah banyak berbincang soal kekonyolan mereka saat masih duduk di bangku SMA.Fika meminum minumannya terlebih dahulu sebelum bercerita.“Entahlah, Dim. Sebenarnya, aku juga bingung apa yang membuat Pak Galang bisa memaafkanku secepat itu. Me
“Maaf, Dimas. Aku harus segera pulang. Pak Galang bilang ada pekerjaan yang harus kukerjakan. Lagipula ini sudah terlalu malam, aku hanya meminta izin keluar sebentar.”“Pekerjaan? Di jam seperti ini? Tunggu. Apakah dia memperlakukanmu seperti ini setiap hari? Jangan bilang waktu istirahatmu hanya sebentar?” tanya Dimas ragu. Fika hanya mengangguk lemah. “Astaga! Kamu bisa tinggal di apartemenku, tanpa kubatasi waktu istirahatmu, Fika.”“Apakah ini syarat agar kamu bisa menandatangani kontrak kerja?” Fika hanya bergeming.“Fika, aku paham jika dia gila kerja. Tapi, jika dia harus membawamu ke dunianya, rasa-rasanya aku tidak rela. Ini sudah bukan jam kerja, ini waktunya istirahat.”“Kamu tidak perlu tinggal di sana lagi. Aku yang akan berbicara dengan Pak Galang untuk membatalkan kontrak kerja denganmu.”“Tidak, Dimas. Jangan lakukan itu. Ini impianku. Bisa bekerja di sini sungguh di luar ekspetasiku. Aku bisa menghadapi ini sem
“Kenapa Bapak minta maaf?”Galang bergeming. Ia menyeka air matanya yang hampir jatuh.“Saya tidak seharusnya lancang memeluk kamu seperti tadi.”“Ah, itu. Tidak apa-apa, Pak. Jika itu bisa menenangkan pikiran Bapak, saya tidak keberatan.”“Jika Bapak ingin berbagi sesuatu dengan saya … saya siap mendengarkan, Pak. Lagipula, sesuatu itu tidak baik jika dipendam. Lebih baik dikeluarkan saja agar tidak menjadi beban pikiran. Walaupun mungkin saya tidak punya solusi untuk masalah Bapak, setidaknya Bapak bisa berbagi cerita dengan saya.”Hening menelimuti ruangan itu. Fika merasa, ia terlalu gegabah dalam berkata. Tidak seharusnya ia berbicara seperti itu pada Galang. Galang tentu punya privasi yang tidak perlu ia bagi dengan orang lain.“Dulu, saya adalah anak yang miskin, dan yatim piatu.” Fika mendudukkan dirinya di sebuah bean bag di hadapan Galang. Ia mulai mendengarkan pria itu bercerita.“Hingga suatu hari, Ayah menga
Harum masakan yang dibuat oleh Fika, menyebar ke setiap penjuru rumah. Awalnya, Fika berniat masak diam-diam dan menghidangkannya di meja makan tanpa diketahui siapa pun. Jika baunya menyebar seperti ini, bukan hanya seisi rumah Galang, bahkan tetangga lainnya pun bisa ikut mencium baunya. Fika mengibas-ngibaskan tangannya untuk menghilangkan uap masakan yang sedang ia siapkan. Fika tak ingin Galang turun dan menyadari hal ini. Terakhir kali, Galang meminta Fika menemui Rifal dengan perkataan yang sedikit membingungkan bagi Fika sendiri. Fika merasa, pria itu mungkin sedikit kesal karena Rifal terus-menerus meneleponnya selagi ia bekerja dengan Galang. Maka dari itu, Fika membuat masakan ini dengan harapan Galang akan bersikap seperti biasa.Fika membawa semangkuk jamur yang ia masak dengan santan menuju ke meja makan. Sesampainya di meja makan, ia mulai menata semua jenis masakan yang telah ia siapkan. Disaat yang bersamaan, anak rambut Fika terus menjuntai men
Fika membawa semangkuk sup ayam hangat untuk diberikan kepada Galang. Entah motivasi dari mana, tiba-tiba saja Fika ingin memasak sesuatu untuk untuk pria itu. Seminggu belakangan ini, ia lebih sibuk dari biasanya. Fika harus melakukan dua pekerjaan sekaligus. Pekerjaan Galang dan tentu pekerjaan dirinya sendiri untuk mengasisteni segala kegiatan Galang selama ia sakit. Setelah selesai mengurus berkas-berkas di kantor, Fika pulang dan pergi ke kamar Galang untuk memeriksa keadaan pria itu. Pintu kamar Galang terbuka sebagian. Fika mengetuk perlahan dan meminta izin untuk masuk. Terdengar suara grasah-grusuh dari dalam kamar Galang dan suara sebuah benda jatuh. Karena takut terjadi sesuatu pada Galang, Fika masuk tanpa izin dan mendapati Galang dengan pakaian yang baru terpasang setengah. Fika hendak menutupi wajahnya dengan tangan, namun ia ingat saat ini sedang membawa nampan berisi semangkuk sup ayam.“Maaf, Pak. Saya kira Bapa
Siang ini, Fika harus dua kali bolak-balik ke kantor dan rumah sakit untuk mengambil dokumen penting, yang menurut Galang tidak bisa dipercayakan kepada orang lain. Fika pikir, dokumennya hanya akan disimpan oleh Galang dan ia urus setelah ia sembuh nanti. Rupanya, Galang meminta Fika untuk mengantar dokumen yang telah ditandatangani untuk diberikan kepada sekretaris di kantornya.“Pak, bisakah sekretaris Bapak yang datang ke sini untuk mengambilnya? Lutut saya rasanya lemas sekali bolak-balik dari kantor ke sini,” keluh Fika.“Dia sedang ada tugas lain dan tidak bisa mengambil dokumennya ke sini. Kalau kamu tidak mau mengantarnya, biar saya saja,” ujar Galang sambil menyibakkan selimutnya dan berusaha duduk. “Jangan, Pak, biar saya saja,” tolak Fika dengan cepat. Kedua tangannya berusaha menahan pergerakan Galang agar kembali berbaring. Dokter bilang, Galang belum boleh beraktivitas berat apalagi pergi ke kantor. Saat ini, kaki dan tangannya masih bel
Galang telah melewati proses operasi fraktur, namun saat ini ia masih belum sadarkan diri. Fika duduk tepat di samping tempat tidur Galang, menunggu pria itu sadar. Selama itu, Fika menatap lekat-lekat wajah Galang. “Wanita yang menandatangani surat persetujuan operasi Pak Galang kemarin, mengaku sepupunya Pak Galang. Tapi, Pak Galang bilang dia sudah tidak punya keluarga atau kerabat jauh. Jadi, sebenarnya siapa dia, ya? Dan, ke mana dia sekarang?” Fika bermonolog sambil mengerutkan keningnya.“Sadarlah, Pak. Banyak hal yang harus saya tanyakan. Terlebih, saya perlu memberitahu Pak Galang mengenai kerjasama kita dengan Pak Gallen. Maafkan saya jika ini akan merugikan perusahaan, tapi Media sudah melampaui batasannya. Dia tidak berhak menghina saya sejelek apapun saya. Saya tidak terima, Pak.” Fika bercerita, seolah Galang mendengarnya. Fika menggenggam tangan kanan Galang, ia mengelusnya perlahan. Halus sekali, pikirnya. Sedetik kemudian, dia teringa
“Dasar wanita gila! Apa hakmu menamparku?” tanya Medina berang. Fika membalasnya dengan tatapan tajam.“Apa maksudmu menampar istri saya di hadapan saya?” Gallen menambahkan.“Apa hakmu menyebutku jalang?” Fika membalikkan pertanyaan Medina.Medina terdiam sambil mengelus pipi kirinya. Gallen ikut memeriksa keadaan wajah Medina.“Saya sungguh tidak senang dengan perbuatan kamu ini! Saya ingin membatalkan kerja sama dengan perusahaan yang memperkerjakan karyawan yang kasar dan suka main tangan!” ujarnya sambil mengacungkan jari telunjuk kanannya tepat di hadapan wajah Fika.“Pertama, istri Anda yang lebih dulu mengatakan hal tidak menyenangkan terhadap saya. Kedua, Anda tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Di mana profesionalisme Anda sebagai pemilik suatu perusahaan, Pak?” Gallen kehilangan kata-kata untuk menjawab perkataan Fika. Memang benar, rasa-rasanya selama ini ia terus mencampurkan urusan pribadi dengan
Galang menatap foto Fika di ponselnya yang tengah fokus memperhatikan pembicara saat meeting beberapa waktu lalu. Galang terlambat menyadari, gadis itu sangat cantik di matanya sekarang. Seandainya sebelumnya ia bisa mengatakan perasaannya kepada Fika, mungkin ia akan merasa lega walaupun gadis itu menolaknya. Tetapi, yang terjadi saat ini, Fika sudah dimiliki pria lain, bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan.Galang mulai berpikir, antara harus merebut gadis itu dari calon suaminya, atau justru merelakannya dengan pria yang Fika pilih. Untuk opsi pertama, ia pikir, Fika belum tentu akan bahagia bersamanya, apalagi jika ia mendapatkan Fika dengan paksaan. Mungkin, saat ini Galang akan merelakan sesuatu yang belum pernah menjadi miliknya, untuk dimiliki oleh orang lain. Dengan melihat Fika hidup bahagia dengan pria yang ia cintai, itu sudah cukup bagi Galang.Galang kembali menatap sepasang sejoli yang duduk berhadapan tak jauh dari tempat duduknya. M
Pagi ini, Fika sudah bersiap dengan setelan rok putih selutut, dengan inner putih polos yang dipadukan dengan kardigan berwarna pink muda. Rambut pendeknya ia ikat sebagian ke belakang, dan membiarkan sisanya tergerai. Sesuai rencananya sebelumnya, hari ini Fika akan bertemu dengan Rifal untuk memulai pembahasan rencana pernikahan mereka. Memang terkesan sangat cepat. Fika pun merasa sedikit heran dengan sikap Rifal yang mengajaknya untuk buru-buru menikah. Pria itu berdalih, tidak ada siapa-siapa lagi yang bisa menjaga Fika, sehingga ia ingin segera tinggal bersama gadis itu.Fika mengiyakan hal itu. Apalagi, saat ini ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Kerabat yang seharusnya hadir di pernikahannya nanti pun kini harus mendekam di penjara karena kesalahannya sendiri. Fika berjalan menuruni anak tangga rumah Galang. Ia melihat Galang tengah duduk di sofa panjang di samping ruang tamu sambil membaca sebuah buku yang sangat tebal. Pria itu terlihat lebih mena
Suara sendok dan garpu yang beradu mengisi keheningan di meja makan. Sejak awal, tak ada pembicaraan antara Fika dan Galang. Mereka saling menghindari kontak mata satu sama lainnya. Galang yang terlalu sungkan untuk sekadar menyapa, dan Fika yang bahkan tak tahu kenapa Galang tiba-tiba sependiam ini.“Bapak-”“Kamu-”Galang dan Fika memanggil bersamaan.“Bapak duluan.”“Kamu duluan.” Lagi, mereka berucap bersamaan.Galang meletakkan alat makannya. Kemudian menatap Fika.“Pertama, saya tidak setua itu untuk terus-terusan dipanggil ‘Bapak’. Usiamu hanya bertaut sedikit saja dengan saya. Kedua, saya ingin bertanya sesuatu yang sedikit pribadi kepada kamu.” Fika mengerutkan keningnya.“Sebelum Bapak yang bertanya, saya ingin bertanya lebih dulu. Jika Bapak tidak ingin dipanggil Bapak, lalu saya harus memanggil apa?”“Yang Mulia, mungkin lebih cocok.”“Baik, Yang Mulia ingin bertanya apa?’ tanya Fik
Fika menatap kosong ke luar melalui jendela kamarnya. Meskipun bibinya sudah ditangkap polisi, ia masih merasa tidak puas karena neneknya tak bisa kembali lagi.Tak terasa, air matanya kembali menetes. Seseorang mengelus puncak rambutnya lembut. Rifal datang dengan membawakan sebuket bunga tulip untuk menghibur Fika dan menghilangkan sedikit kesedihan gadis itu. “Sejak kapan kamu datang?” tanya Fika. Rifal duduk di hadapan Fika sambil memberikan buket bunga itu pada Fika.Ia menggenggam tangan Fika dan membawa tangan Fika ke pangkuannya.“Hm, Fika … bisakah aku berbicara hal serius?” Rifal menatap Fika dengan tatapan yang dalam.“Katakan,” jawab Fika singkat.“Aku tahu, akan sulit bagimu memaafkan kesalahanku yang dulu pergi secara tiba-tiba tanpa memberitahumu.” Fika menarik tangannya dari genggaman Rifal. Ia tahu ke mana arah pembicaraannya.“Cukup. Berikan aku waktu. Aku masih berduka, Rifal!” bentak Fika.“