Malam ini, Galang terpaksa memasak makan malamnya sendiri karena asisten rumah tangganya izin untuk pulang lebih awal. Galang bisa saja memesan makanan secara online, akan tetapi ia lebih suka makanan yang dimasak langsung di rumah. Lebih terasa bersih dan lezat—menurutnya.
Mendengar suara alat-alat masak yang beradu di dapur, membuat Fika penasaran apa yang sedang Galang lakukan di sana. Ia memperhatikan Galang yang sedang memilih beberapa sayur yang akan ia masak kemudian mencucinya.“Mau ngapain, Pak?” tanya Fika. Galang menoleh sekilas.“Saya mau masak. Memangnya kamu tidak mau makan?” Ia berbalik bertanya.“Saya, bantu, ya. Pak Galang mau masak apa?”“Tidak perlu. Pergilah istirahat. Saya tidak mau kamu terlalu lama bekerja dari rumah dan bisa bermalas-malasan sesuka hati.”Fika tak menghiraukan ucapan Galang yang mulai terdengar biasa di telinganya. Ia mengambil beberapa buah wortel dan brokoli untuk dipotong. Fika memotonHari ini, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam sikap Galang. Ia berangkat lebih pagi ke kantor, tentunya bersama Fika. Seperti biasa, para karyawannya serentak menyapa.“Selamat pagi, Pak Galang.”“Selamat pagi,” jawabnya singkat. Sungguh, setelah delapan tahun lamanya Galang menerapkan peraturan untuk menyapanya di pagi hari, baru sekali ini ia menjawab sapaan dari karyawannya juga, walaupun hanya jawaban singkat.Para karyawan di kantor Galang sontak merasa keheranan dan tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Galang merespon sapaan mereka? Dengan jawaban yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Semalam, setelah penandatanganan kontrak kerja, Galang langsung memberi Fika tugas yang cukup banyak. Tugas yang harus selesai tepat pukul sepuluh pagi ini, untuk membuktikan bahwa gadis itu benar-benar layak menjadi karyawan di kantor Galang. Sesuai perintah, Fika melaporkan pada Galang bahwa tugasnya s
Fika dan Dimas sampai di sebuah restoran masakan khas sunda. Dimas sengaja mengajak Fika ke sini untuk mengingatkan masa-masa SMA mereka. Terlebih, gadis itu memang menyukai makanan khas sunda, karena tentunya sejak kecil makanan itulah yang ia konsumsi sehari-hari.Setelah beberapa jenis makanan yang mereka pesan datang, Fika dan Dimas mulai makan sambil membicarakan masa-masa SMA mereka dulu yang sering memasak bersama menu makanan yang saat ini mereka makan. Setelah sekian lama mereka tidak tertawa bersama, akhirnya masa-masa itu bisa terulang kembali walaupun di tempat dan keadaan yang berbeda. “Oh, iya aku lupa bertanya, jadi, bagaimana ceritanya kamu bisa mendapatkan kontrak kerja?” tanya Dimas setelah banyak berbincang soal kekonyolan mereka saat masih duduk di bangku SMA.Fika meminum minumannya terlebih dahulu sebelum bercerita.“Entahlah, Dim. Sebenarnya, aku juga bingung apa yang membuat Pak Galang bisa memaafkanku secepat itu. Me
“Maaf, Dimas. Aku harus segera pulang. Pak Galang bilang ada pekerjaan yang harus kukerjakan. Lagipula ini sudah terlalu malam, aku hanya meminta izin keluar sebentar.”“Pekerjaan? Di jam seperti ini? Tunggu. Apakah dia memperlakukanmu seperti ini setiap hari? Jangan bilang waktu istirahatmu hanya sebentar?” tanya Dimas ragu. Fika hanya mengangguk lemah. “Astaga! Kamu bisa tinggal di apartemenku, tanpa kubatasi waktu istirahatmu, Fika.”“Apakah ini syarat agar kamu bisa menandatangani kontrak kerja?” Fika hanya bergeming.“Fika, aku paham jika dia gila kerja. Tapi, jika dia harus membawamu ke dunianya, rasa-rasanya aku tidak rela. Ini sudah bukan jam kerja, ini waktunya istirahat.”“Kamu tidak perlu tinggal di sana lagi. Aku yang akan berbicara dengan Pak Galang untuk membatalkan kontrak kerja denganmu.”“Tidak, Dimas. Jangan lakukan itu. Ini impianku. Bisa bekerja di sini sungguh di luar ekspetasiku. Aku bisa menghadapi ini sem
“Kenapa Bapak minta maaf?”Galang bergeming. Ia menyeka air matanya yang hampir jatuh.“Saya tidak seharusnya lancang memeluk kamu seperti tadi.”“Ah, itu. Tidak apa-apa, Pak. Jika itu bisa menenangkan pikiran Bapak, saya tidak keberatan.”“Jika Bapak ingin berbagi sesuatu dengan saya … saya siap mendengarkan, Pak. Lagipula, sesuatu itu tidak baik jika dipendam. Lebih baik dikeluarkan saja agar tidak menjadi beban pikiran. Walaupun mungkin saya tidak punya solusi untuk masalah Bapak, setidaknya Bapak bisa berbagi cerita dengan saya.”Hening menelimuti ruangan itu. Fika merasa, ia terlalu gegabah dalam berkata. Tidak seharusnya ia berbicara seperti itu pada Galang. Galang tentu punya privasi yang tidak perlu ia bagi dengan orang lain.“Dulu, saya adalah anak yang miskin, dan yatim piatu.” Fika mendudukkan dirinya di sebuah bean bag di hadapan Galang. Ia mulai mendengarkan pria itu bercerita.“Hingga suatu hari, Ayah menga
Hari ini, Fika bangun lebih awal dan segera menyiapkan sarapan untuknya dan untuk Galang. Sesuai permintaan Galang, hari ini ia tidak akan pergi ke kantor karena akan menemani Galang pergi ke makam ayahnya. Fika mengenakan dress selutut berwarna hijau tua berlengan panjang. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang cerah. Tak lupa, hari ini Fika mengenakan gelang kecil yang memiliki gantungan daun maple di tangan kirinya. Galang turun dari kamarnya sambil membawa sebuah kotak berwarna merah. Ia menghampiri Fika yang tengah menyiapkan sarapan. Dua porsi omelet cheese sudah terhidang di atas meja makan. Harumnya menguar, membuat perut kelaparan. Entah kenapa, Galang merasa Fika tahu banyak mengenai selera makannya, seperti tempo hari saat ia meminta Fika memesankan makanan untuknya, Fika seolah tahu apa yang Galang inginkan.“Kamu cantik dengan dress itu,” ucapnya tiba-tiba. Pipi Fika memerah seketika.“Terima kasih, Pak.”“Setelah sarapan, kita ak
“Jadi, apakah selama ini Bapak masih menyimpan barang-barang yang berhubungan dengan Medina walaupun wanita itu sudah menikah dengan pria lain?”Galang merobek sebuah foto lalu memasukannya ke dalam drum besi pembakaran sampah dengan api yang menyala.“Ya, saya menyimpannya dengan sangat baik selama ini.”“Dulu, Medina adalah satu-satunya gadis yang sangat saya cintai. Karena selama ini, tak pernah ada sesosok perempuan di hidup saya. Kami awalnya berteman baik dan kami sangat dekat. Medina yang membuat saya bisa memiliki teman di sekolah. Saya dikucilkan karena dulu ayah memang bukan dari keluarga berada. Di saat itulah, Medina datang menjadi teman pertama saya yang selalu menyemangati saya saat berjuang menghadapi anak-anak yang merendahkan saya dan ayah saya.”Galang mengeluarkan sebuah miniatur piano berwarna pink dan melemparkannya ke dalam kobaran api.“Dia suka sekali bermain piano. Saya pernah berkata, suatu saat saya akan membeli
Siang hari yang terik, dengan matahari yang tepat berada di atas kepala tak membuat seorang gadis berambut sebahu itu menyerah untuk mencari pekerjaan. Fika Anindya, menyusuri sepanjang jalan kota yang dipenuhi debu dan asap kendaraan itu. Sudah banyak tempat yang ia datangi minggu ini, tapi ia masih belum mendapatkan panggilan kerja dari manapun. Sesulit itu mencari pekerjaan di kota besar. Fika mengipasi dirinya dengan map cokelat yang ia pegang. Keringat bercucuran dari kening dan lehernya. Fika menatap minimarket di depannya. Ia memasuki minimarket itu untuk sekadar membeli minuman dingin yang bisa membasahi tenggorokannya. Setelah memilih sebotol milktea, ia pergi ke kasir untuk membayarnya. Dengan ragu, Fika bertanya, “Mbak, di sini ada lowongan kerja, tidak, ya?”‘Astaga, bodoh sekali. Padahal aku tidak berniat melamar pekerjaan di sini,’ gerutunya di dalam hati.Kasir minimarket yang menggunakan lipstick merah menyala itu pun tak langsun
Hari pertama bekerja, Fika sudah sampai di kantor 15 menit sebelum jadwal seharusnya. Ia pikir ingin lebih disiplin dalam pekerjaannya. Lagipula, memulai hari yang baru dengan kedisiplinan adalah hal yang bagus, bukan? Setelah merapikan beberapa tempat yang menurutnya kurang rapi, Fika membantu mengerjakan pekerjaan lainnya. Ia juga berinteraksi dengan banyak pegawai sambil memperkenalkan dirinya sebagai karyawan baru.Beberapa menit kemudian, dia mendengar riuh suara sapaan dari karyawan seisi kantor kepada seseorang. “Selamat pagi, Pak Galang.”Pria setinggi 185 cm dengan setelan turtleneck abu-abu tua dibalut jas hitam formal yang disapa itu hanya berjalan lurus tanpa menjawab sapaan karyawannya. Cukup tampan. Ralat, sangat tampan, hanya saja ekspresi wajahnya menggambarkan sikap menyeramkan. Fika yakin, pria itulah yang dipanggil bos besar oleh Dimas kemarin. Dimas benar, dari penampilannya saja sudah terlihat, bos mereka bukan orang yang ramah.