Masih tersisa setengah hari sepulang dari pemakaman ayahnya, Galang memutuskan untuk pergi ke kantor bersama Fika karena tidak ada hal yang bisa ia lakukan di rumah. Galang selalu menenangkan pikirannya dengan bekerja. Fika yang sudah mengetahui kisah hidup Galang cukup prihatin melihat pria itu selalu dianggap buruk oleh orang-orang di sekitarnya karena sikapnya itu. Sekarang ia tahu beberapa hal, bahwa Galang bersikap seperti itu semata-mata karena ia ingin menghindari orang-orang manipulatif di hidupnya dan karena ia memiliki tujuan yang belum tercapai sampai saat ini.
“Sedang apa kamu melihat ruangan Pak Galang sampai sedalam itu?” Shani tiba-tiba datang dan menegur Fika dengan suara cemprengnya.“Ah, tidak, Bu. Saya tidak sengaja.” Fika mengalihkan pandangannya.“Halah, alasan saja! Saya mau minta tolong sama kamu. Kerjakan ini semua dan harus selesai sebelum jam pulang kerja, saya harus mengurus rapat penting siang ini,” pintanya sambil menyodorkan s“Maafkan saya.” Sudah kalimat kesekian yang Galang ucapkan pada Fika. Saat ini, ia sedang memeriksa kepala dan rambut Fika yang dijambak oleh Medina. Fika sudah berkali-kali meyakinkannya bahwa kepala dan rambutnya baik-baik saja. Akan tetapi, Galang seolah tak percaya dan memeriksanya sendiri berkali-kali sejak tadi.“Ini bukan salah Pak Galang,” ucap Fika.“Apa kepalamu sakit?” tanya Galang.“Tidak, Pak. Saya sudah mengatakannya berkali-kali. Apakah wajah saya terlihat menunjukkan rasa sakit itu?”Galang menundukkan kepalanya.“Tidak seharusnya saya membawa kamu ke kehidupan saya. Jika saja saya tidak pernah pergi ke butik Medina, wanita itu pasti tidak akan berkali-kali menemui saya seperti ini, dan dia tidak perlu menyerang kamu seperti tadi.”“Maaf, Pak jika saya lancang, memangnya apa yang dikatakan Medina tadi dan saat dia datang ke sini beberapa hari lalu?” tanya Fika hati-hati.Galang menatap lurus ke depan.
Sudah lima belas menit berlalu. Semua karyawan sudah berkumpul di ruang rapat. Namun, si pemberi perintah belum juga menunjukkan dirinya.“Maaf saya telat,” ujarnya polos sambil berjalan menuju ‘singgasananya’.Galang masih belum mengucapkan sepatah kata pun pada seluruh karyawannya. “Maaf, Pak, tujuan Bapak mengumpulkan kami semua di sini ada apa, ya? Apakah kami telah melakukan kesalahan fatal yang membuat Bapak marah?” tanya Diana memberanikan diri setelah menahan diri beberapa lama, karena jujur, ia sendiri tidak berani menatap Galang, takut jika tiba-tiba pria itu lebih marah dari sebelumnya.“Apakah kalian merasa telah melakukan kesalahan kepada saya?” tanyanya balik sambil menyatukan kedua tangannya, dan menyimpannya di bawah dagu.Semua karyawannya menggeleng pelan tanpa suara.“Lalu, kenapa kalian harus setegang ini?”“Kami terkejut melihat pesan yang Bapak kirim di grup. Semuanya dikirim dengan capslock. Biasa
Sejak Galang menaikkan seluruh gaji karyawan kantornya, suasana kantor menjadi semakin hangat. Interaksi antara atasan dan bawahan semakin terlihat jelas. Galang tidak lagi menunjukkan sikap tidak manusiawinya. Pria itu perlahan mulai menunjukkan sisi baik dan sisi positif dari dalam dirinya. Hari ini seperti biasa, pagi-pagi Fika mengantar kopi pesanan Galang ke ruangannya. Meskipun itu seharusnya menjadi tugas office boy atau office girl di sana, tetapi Galang meminta Fika yang selalu melakukannya karena ia menggaji gadis itu secara khusus hanya untuk melayani keperluan pribadinya.“Saya lupa tanya, bagaimana kabar nenekmu sekarang? Apakah sudah lebih baik dari sebelumnya?” tanya Galang saat Fika mengantarkan kopi untuknya.“Nenek sudah lebih baik, Pak. Saudara saya juga bilang kalau sekarang nafsu makannya sudah lebih meningkat, karena beberapa waktu lalu, nenek sempat tidak nafsu makan untuk waktu yang cukup lama.”“Siapa yang biasa merawatny
Galang tak mengucapkan sepatah kata pun sepulang dari pertemuannya dengan Gallen dan Medina. Ia terlihat benar-benar kesal. Saat ini, ia bahkan hanya melakukan hal-hal tak penting di ruangannya. Ia merapikan miniatur-miniatur hiasan di ruangan kerjanya.“Pak, saya mohon izin masuk,” ucap Fika. Galang menatap gadis itu sekilas. Ia kembali melanjutkan aktivitasnya membersihkan setiap miniatur yang dipajang di ruangannya. Gadis itu tampak memeluk laptop Galang yang tadi disiram air oleh Medina.“Pak, laptop Bapak aman, tidak ada masalah apapun yang terjadi, semua file juga aman. Saya sudah memeriksa semuanya. Ini, Pak,” Fika menyodorkan laptop Galang dan menyimpannya di meja kerja Galang.“Sepertinya kamu bisa merangkap menjadi teknisi laptop sekaligus asisten pribadi saya di kantor ini. Gajimu bisa bertambah banyak untuk itu,” ujar Galang sambil terus membersihkan hiasan-hiasan di ruangannya yang sedikit berdebu dengan tisu basah di tangannya.“Pak
Beberapa hari belakangan ini, Galang mulai memperhatikan beberapa hal kecil yang ada pada diri Fika. Mulai dari gadis itu yang senang memainkan poni rambutnya, ia yang suka menggigit bibir bawahnya ketika sedang berpikir, hingga ia yang selalu menjentikkan ibu jari dan jari tengah tangannya ketika mendapatkan sebuah ide baru. Galang mulai merasakan perasaan aneh kepada Fika. Ia menolak mengakui ia sedang menyukai gadis itu. Galang berusaha meyakinkan dirinya sendiri, bahwa wanita bukan lagi hal yang harus ia pikirkan saat ini. Ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melupakan Medina, ia tak ingin hal yang sama terulang kembali untuk kedua kalinya. “Ke ruangan saya sekarang,” pinta Galang pada Fika melalui telepon selulernya.“Bodoh, Galang! Kenapa kamu malah meminta gadis itu datang?” Ia merutuki dirinya sendiri yang memiliki pemikiran dan perkataan yang tidak sejalan.Fika mengetuk pintu kemudian meminta izin untuk masuk.“Bapak me
Fika baru saja berangkat siang ini menuju rumah neneknya. Akan tetapi, Galang sudah merasa kehilangan gadis itu. Seolah-olah gadis itu sudah pergi beberapa hari.“Apa kutelepon saja?” Ia bermonolog.Galang membuka room chat-nya bersama Fika. Gadis itu sedang offline. Galang menahan tangannya untuk tidak menekan tombol panggil ke nomor Fika. Setidaknya, ia harus membiarkan gadis itu sampai ke rumah terlebih dahulu, baru menanyai kabarnya. Perjalanan menuju rumah nenek Fika membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Jadi, ia harus lebih bersabar sedikit. “Ah, hentikan Galang! Ini bukan dirimu! Lakukan hal lain yang bisa membuatmu lupa pada Fika.” Tegasnya, pada dirinya sendiri. Galang meletakkan ponselnya di meja, ia mulai melakukan aktivitas lain yang sekiranya dapat melupakan ia dari Fika. *=*=*=*Fika telah menempuh perjalanan selama 4 jam. Sebenarnya, ia sangat lelah, akan tetapi, kekhawatirannya mengalahkan rasa lelahnya. Ia tak henti-hentinya
“Nenek? Nenek bangun, Nek! Ayo kita ke rumah sakit,” ajak Fika kepada tubuh neneknya yang sudah tak lagi bergerak dengan air mata yang semakin bercucuran.Fika mengguncang-guncangkan tubuh neneknya, berharap ada reaksi. Namun, hasilnya nihil. Tak ada gerakan. Tubuh Fika ambruk seketika. Ia menatap kosong. Sedetik kemudian, ia berteriak memanggil neneknya. *=*=*=*Galang berkali-kali menelpon Fika untuk menanyai kabarnya atau untuk sekadar bertanya apakah ia sudah sampai atau belum. Berkali-kali menelepon, berkali-kali pula ia tak mendapat jawaban. Galang mulai gelisah. Ini sudah ganti hari dan Fika belum memberinya kabar walaupun hanya sekadar pesan singkat saja. Seharusnya, malam tadi juga Fika sudah sampai di rumah neneknya. Galang khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu, terlebih ia pergi sendirian ke sana.“Halo, bisakah kamu melacak keberadaan seseorang hanya dengan nomor teleponnya?” tanya Galang pada seseorang melalui telepon.
“Halo, Pak,” jawab Fika dengan hati-hati. Ia masih cukup takut dengan Galang yang memiliki mood yang mudah berubah-ubah.“Astaga! Fika, apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu sampai dengan selamat? Kapan kamu sampai? Di mana kamu sekarang?” tanyanya bertubi-tubi.“Saya di rumah, Pak. Maafkan saya, saya lupa mengabari Bapak kalau saya sudah sampai sejak malam tadi. Saya terlalu sibuk mengurusi prosesi pemakaman nenek saya, jadi saya tidak sadar banyak panggilan tak terjawab dari Bapak. Sekali lagi maafkan saya, Pak.”“Pemakaman? Apakah nenek kamu meninggal dunia?” tanya Galang.“Betul, Pak. Nenek saya meninggal semalam.”“Saya turut berduka cita, ya, Fika. Um, bolehkah saya datang melayat ke sana?” Fika terhenyak. Apakah ia tidak salah dengar? Seorang Galang akan datang ke rumah karyawannya, yang notabene terletak di luar kota hanya untuk melayat nenek karyawannya yang bahkan bukan siapa-siapa bagi Galang? Rasanya terdengar sang
Galang telah melewati proses operasi fraktur, namun saat ini ia masih belum sadarkan diri. Fika duduk tepat di samping tempat tidur Galang, menunggu pria itu sadar. Selama itu, Fika menatap lekat-lekat wajah Galang. “Wanita yang menandatangani surat persetujuan operasi Pak Galang kemarin, mengaku sepupunya Pak Galang. Tapi, Pak Galang bilang dia sudah tidak punya keluarga atau kerabat jauh. Jadi, sebenarnya siapa dia, ya? Dan, ke mana dia sekarang?” Fika bermonolog sambil mengerutkan keningnya.“Sadarlah, Pak. Banyak hal yang harus saya tanyakan. Terlebih, saya perlu memberitahu Pak Galang mengenai kerjasama kita dengan Pak Gallen. Maafkan saya jika ini akan merugikan perusahaan, tapi Media sudah melampaui batasannya. Dia tidak berhak menghina saya sejelek apapun saya. Saya tidak terima, Pak.” Fika bercerita, seolah Galang mendengarnya. Fika menggenggam tangan kanan Galang, ia mengelusnya perlahan. Halus sekali, pikirnya. Sedetik kemudian, dia teringa
“Dasar wanita gila! Apa hakmu menamparku?” tanya Medina berang. Fika membalasnya dengan tatapan tajam.“Apa maksudmu menampar istri saya di hadapan saya?” Gallen menambahkan.“Apa hakmu menyebutku jalang?” Fika membalikkan pertanyaan Medina.Medina terdiam sambil mengelus pipi kirinya. Gallen ikut memeriksa keadaan wajah Medina.“Saya sungguh tidak senang dengan perbuatan kamu ini! Saya ingin membatalkan kerja sama dengan perusahaan yang memperkerjakan karyawan yang kasar dan suka main tangan!” ujarnya sambil mengacungkan jari telunjuk kanannya tepat di hadapan wajah Fika.“Pertama, istri Anda yang lebih dulu mengatakan hal tidak menyenangkan terhadap saya. Kedua, Anda tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Di mana profesionalisme Anda sebagai pemilik suatu perusahaan, Pak?” Gallen kehilangan kata-kata untuk menjawab perkataan Fika. Memang benar, rasa-rasanya selama ini ia terus mencampurkan urusan pribadi dengan
Galang menatap foto Fika di ponselnya yang tengah fokus memperhatikan pembicara saat meeting beberapa waktu lalu. Galang terlambat menyadari, gadis itu sangat cantik di matanya sekarang. Seandainya sebelumnya ia bisa mengatakan perasaannya kepada Fika, mungkin ia akan merasa lega walaupun gadis itu menolaknya. Tetapi, yang terjadi saat ini, Fika sudah dimiliki pria lain, bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan.Galang mulai berpikir, antara harus merebut gadis itu dari calon suaminya, atau justru merelakannya dengan pria yang Fika pilih. Untuk opsi pertama, ia pikir, Fika belum tentu akan bahagia bersamanya, apalagi jika ia mendapatkan Fika dengan paksaan. Mungkin, saat ini Galang akan merelakan sesuatu yang belum pernah menjadi miliknya, untuk dimiliki oleh orang lain. Dengan melihat Fika hidup bahagia dengan pria yang ia cintai, itu sudah cukup bagi Galang.Galang kembali menatap sepasang sejoli yang duduk berhadapan tak jauh dari tempat duduknya. M
Pagi ini, Fika sudah bersiap dengan setelan rok putih selutut, dengan inner putih polos yang dipadukan dengan kardigan berwarna pink muda. Rambut pendeknya ia ikat sebagian ke belakang, dan membiarkan sisanya tergerai. Sesuai rencananya sebelumnya, hari ini Fika akan bertemu dengan Rifal untuk memulai pembahasan rencana pernikahan mereka. Memang terkesan sangat cepat. Fika pun merasa sedikit heran dengan sikap Rifal yang mengajaknya untuk buru-buru menikah. Pria itu berdalih, tidak ada siapa-siapa lagi yang bisa menjaga Fika, sehingga ia ingin segera tinggal bersama gadis itu.Fika mengiyakan hal itu. Apalagi, saat ini ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Kerabat yang seharusnya hadir di pernikahannya nanti pun kini harus mendekam di penjara karena kesalahannya sendiri. Fika berjalan menuruni anak tangga rumah Galang. Ia melihat Galang tengah duduk di sofa panjang di samping ruang tamu sambil membaca sebuah buku yang sangat tebal. Pria itu terlihat lebih mena
Suara sendok dan garpu yang beradu mengisi keheningan di meja makan. Sejak awal, tak ada pembicaraan antara Fika dan Galang. Mereka saling menghindari kontak mata satu sama lainnya. Galang yang terlalu sungkan untuk sekadar menyapa, dan Fika yang bahkan tak tahu kenapa Galang tiba-tiba sependiam ini.“Bapak-”“Kamu-”Galang dan Fika memanggil bersamaan.“Bapak duluan.”“Kamu duluan.” Lagi, mereka berucap bersamaan.Galang meletakkan alat makannya. Kemudian menatap Fika.“Pertama, saya tidak setua itu untuk terus-terusan dipanggil ‘Bapak’. Usiamu hanya bertaut sedikit saja dengan saya. Kedua, saya ingin bertanya sesuatu yang sedikit pribadi kepada kamu.” Fika mengerutkan keningnya.“Sebelum Bapak yang bertanya, saya ingin bertanya lebih dulu. Jika Bapak tidak ingin dipanggil Bapak, lalu saya harus memanggil apa?”“Yang Mulia, mungkin lebih cocok.”“Baik, Yang Mulia ingin bertanya apa?’ tanya Fik
Fika menatap kosong ke luar melalui jendela kamarnya. Meskipun bibinya sudah ditangkap polisi, ia masih merasa tidak puas karena neneknya tak bisa kembali lagi.Tak terasa, air matanya kembali menetes. Seseorang mengelus puncak rambutnya lembut. Rifal datang dengan membawakan sebuket bunga tulip untuk menghibur Fika dan menghilangkan sedikit kesedihan gadis itu. “Sejak kapan kamu datang?” tanya Fika. Rifal duduk di hadapan Fika sambil memberikan buket bunga itu pada Fika.Ia menggenggam tangan Fika dan membawa tangan Fika ke pangkuannya.“Hm, Fika … bisakah aku berbicara hal serius?” Rifal menatap Fika dengan tatapan yang dalam.“Katakan,” jawab Fika singkat.“Aku tahu, akan sulit bagimu memaafkan kesalahanku yang dulu pergi secara tiba-tiba tanpa memberitahumu.” Fika menarik tangannya dari genggaman Rifal. Ia tahu ke mana arah pembicaraannya.“Cukup. Berikan aku waktu. Aku masih berduka, Rifal!” bentak Fika.“
Galang melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sama seperti saat ia berangkat tadi. Sejak melihat Fika bersama pria lain selain dirinya, Galang merasa ada gejolak aneh dalam hatinya, yang mendorong amarahnya secara tiba-tiba. Galang menolak mengakui bahwa saat ini ia sedang merasa cemburu. Galang menepikan mobilnya. Ia menatap lurus ke arah jalanan melalui jendela dashboard mobil. Sedetik kemudian, ia menghentakkan kedua tangannya ke atas stir.“Argh! Apa ini? Tidak mungkin aku sedang merasa cemburu. Aku tidak mungkin menyukai seorang gadis secepat itu. Dia hanya orang baru di hidupku, yang bahkan belum genap sebulan kukenal.” Galang bermonolog.“Sadarlah, Galang! Medina benar, gadis itu sungguh jauh dari kriteria idamanmu. Apa yang membuatmu bisa menyukai gadis seperti dia, hah?” Galang menepuk-nepuk kepalanya berkali-kali. Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya kasar. Setelah cukup tenang, ia kembali melajukan mobilnya menuju rumahnya.
Galang mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia tahu hal itu sangat berbahaya bagi dirinya dan orang lain, tapi dia lebih mengkhawatirkan Fika yang banyak diam saat ia meneleponnya tadi. Dia takut Fika melakukan hal-hal yang tidak diinginkan karena frustrasi ditinggalkan oleh satu-satunya keluarga yang sangat ia sayangi.Perjalanan yang seharusnya ditempuh 4 jam, bisa ia selesaikan dengan waktu 2 jam saja. Artinya, ia mengemudi dua kali lebih cepat dari kecepatan normal. Berbekal alamat yang telah ia dapatkan, Galang sampai di depan sebuah rumah kuno dengan bentuk bangunan jaman dulu. Walaupun kota ini bisa disebut kota yang berpolusi, rupanya masih ada daerah asri dengan udara segar dan pemandangan hijau seperti di sekeliling rumah Fika. Galang turun dari mobilnya dan berjalan ragu ke rumah itu. Benarkah ini rumah Fika? Bagaimana jika ia salah rumah. Tapi, ada bendera kuning tepat di depan rumah ini. Pasti ini rumah yang benar.
“Halo, Pak,” jawab Fika dengan hati-hati. Ia masih cukup takut dengan Galang yang memiliki mood yang mudah berubah-ubah.“Astaga! Fika, apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu sampai dengan selamat? Kapan kamu sampai? Di mana kamu sekarang?” tanyanya bertubi-tubi.“Saya di rumah, Pak. Maafkan saya, saya lupa mengabari Bapak kalau saya sudah sampai sejak malam tadi. Saya terlalu sibuk mengurusi prosesi pemakaman nenek saya, jadi saya tidak sadar banyak panggilan tak terjawab dari Bapak. Sekali lagi maafkan saya, Pak.”“Pemakaman? Apakah nenek kamu meninggal dunia?” tanya Galang.“Betul, Pak. Nenek saya meninggal semalam.”“Saya turut berduka cita, ya, Fika. Um, bolehkah saya datang melayat ke sana?” Fika terhenyak. Apakah ia tidak salah dengar? Seorang Galang akan datang ke rumah karyawannya, yang notabene terletak di luar kota hanya untuk melayat nenek karyawannya yang bahkan bukan siapa-siapa bagi Galang? Rasanya terdengar sang