“Pak, laptop Bapak sudah saya perbaiki dan sudah bisa menyala. Bapak bisa mengecek kembali data-data di dalamnya. Maaf, saya mengambilnya diam-diam di meja kerja Bapak. Saya ingin menebus kesalahan saya. Lagipula, Bapak juga tidak benar-benar memperkerjakan saya tanpa gaji, dan bahkan Bapak memberikan saya uang disaat saya baru sehari bekerja. Jadi, ini juga sebagai ungkapan terima kasih saya.” Fika menyodorkan laptop Galang yang sudah ia perbaiki.
“Kapan kamu memperbaikinya?” “Semalam, Pak, setelah selesai memeriksa akurasi data yang Bapak minta.” Galang ingat, ia hanya memberikan Fika waktu 3 jam untuk tidur, dan waktu itu Fika gunakan untuk memperbaiki laptop Galang. ‘Gadis ini cukup bertanggung jawab,’ batin Galang. “Kenapa kamu tidak menjadi tukang service keliling saja?’ ucapnya asal bicara. “Eum, saya tidak sepandai itu. Ini juga hanya sedikit ilmu yang saya dapatkan dari paman.” Galang mengangguk samar. “Hari ini ada meeting penting, saya mau kamu bisa berpenampilan yang layak. Tidak lusuh seperti sekarang.” Ucapan Galang memang tak pernah disaring. Ia akan mengatakan hal-hal yang ia inginkan tanpa berpikir hal itu akan menyakiti orang lain atau tidak. “Tapi, Pak-” “Ikut saya,” pinta Galang sambil melenggang pergi. Galang membawa Fika pergi ke butik untuk membeli beberapa pasang pakaian. Sebelumnya, ia memang tak pernah pergi ke tempat seperti ini. Tapi, istri para rekan bisnisnya sering menyarankan ia ke sini jika suatu saat membutuhkan segala jenis gaun atau pakaian santai untuk wanita. Butik ini terkenal sangat bagus dan cukup mahal. Sebenarnya, Galang melakukan hal ini karena Fika cukup bertanggung jawab terhadap kesalahannya, dia senang gadis itu bisa belajar dari kesalahan. “Pilihlah beberapa, jangan lama,” ucap Galang singkat, kemudian ia pergi untuk mencari tempat duduk. Saat Fika sedang memilih beberapa gaun, seorang wanita menghampiri Galang yang sedang sibuk bermain ponsel. “Galang,” sapa wanita berambut blonde itu. Galang mendongakkan kepalanya. Matanya membulat sempurna, saat menyadari bahwa yang memanggilnya itu adalah wanita yang sama dengan gadis yang beberapa tahun lalu meninggalkannya. “Medina?” ia meyakinkan. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” “Baik.” Galang hanya menjawab singkat tanpa bertanya balik kabar wanita di hadapannya itu. “Kamu ngapain di sini? Sedang mencari gaun? Untuk siapa?” Medina bertanya. “Bukan urusanmu.” Galang berusaha menghindari kontak mata dengan wanita itu. “Ah, apakah kamu sudah menikah, Galang? Di mana istrimu?” Medina mengedarkan pandangannya ke sekeliling mereka, lalu kembali menatap Galang yang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari ponselnya. "Galang?" ia kembali bertanya. “Bukan urusanmu.” “Astaga, Galang, lupakanlah apa yang pernah terjadi di antara kita. Tidak bisakah kita berteman? Ini butik milikku, jika kamu mengajak seseorang ke sini, aku bisa merekomendasikan beberapa pakaian yang bagus.” Galang menghentikan gerakan tangannya yang sejak tadi mengotak-atik ponselnya. Jika saja sejak awal ia tahu butik ini milik Medina, akan lebih baik ia mencari butik lain yang tak kalah bagusnya. “Pak, saya sudah memilih beberapa, apakah perlu saya coba dulu?” Tiba-tiba Fika datang membawa beberapa setel gaun lengan pendek dan beberapa blouse warna netral. Medina memperhatikan penampilan Fika dari atas sampai bawah. Ia tak percaya Galang memilih gadis yang bertolak belakang dengan tipe idealnya. Medina tahu betul Galang menyukai gadis yang tinggi, hidung mancung, dan rambut yang panjang. Tapi gadis yang ia lihat saat ini benar-benar jauh dari tipe ideal Galang. “Dia pacarmu?” tanya Medina. “Ambillah lagi sepuasnya dan sebanyak mungkin pakaian yang kamu inginkan. Aku mampu membayarnya,” titah Galang pada Fika tanpa memedulikan Medina yang terus mencecarnya dengan pertanyaan. Fika yang tidak mengerti situasi apa yang ia hadapi ini memilih menurut saja dengan perkataan Galang, toh ia juga diuntungkan jika memiliki banyak pakaian bagus yang mahal. Usai membayar pakaian yang ia beli untuk Fika, Galang melewati Medina yang sejak awal tak melepaskan pandangannya dari pria itu. Pria yang telah ia tinggalkan, demi pria yang jauh lebih kaya.Galang memarkirkan mobilnya di parkiran sebuah salon besar milik seorang kenalannya. Fika yang tak mengerti, hanya diam menunggu instruksi apakah ia harus ikut turun atau menunggu di mobil saja. “Kamu pikir saya ke sini untuk menata rambut dan memasang kuku palsu di tangan saya? Turunlah, dan perbaiki semua penampilanmu itu, jangan permalukan saya sebagai atasanmu nanti malam.” Fika berpikir, menjadi asisten pribadi Galang rupanya tidak seburuk itu. Ia justru mendapatkan banyak hal di luar perkiraannya. Pekerjaan yang ia anggap tanpa akan sangat mengekangnya, justru perlahan bisa memberikan hal-hal belum bisa ia dapatkan. Walaupun Galang selalu memerintahkannya dengan nada suara yang terdengar sangat tidak ramah.“Tolong, buat penampilannya lebih segar dan lebih enak dilihat,” pinta Galang pada seseorang yang ia pun tak yakin itu laki-laki atau perempuan. “Tentu, say. Nona sudah cantik, tinggal dipoles sedikit saja,” jawabnya.Fika bin
“Ya, tentu saja. Dia gadis yang cantik, dia baik dan pekerja keras. Dia juga bukan wanita gila harta,” jawabnya spontan sambil merangkul Fika. Galang menekankan kalimat terakhir perkataannya. Sebenarnya, Galang tak berencana mengatakan hal itu, akan tetapi, saat ini ia rasa bibirnya lebih memiliki kuasa atas otaknya. Perkataannya tak sejalan dengan pikirannya. Ia sama sekali tidak berniat mengakui Fika sebagai pacarnya.Fika menatap Galang dengan tak percaya. Ia tak tahu bagaimana ia harus bereaksi. Haruskah ia dibawa dalam urusan pribadi Galang yang bahkan ia tak paham di mana titik terangnya. Fika tahu betul, Galang mengatakan hal itu semata-mata hanya untuk melindungi dirinya dari berbagai pertanyaan lain yang akan diajukan Medina dan Gallen jika ia tak menjawab iya. Akan tetapi, bukankah apa yang ia katakan itu bisa saja menjadi boomerang bagi mereka di waktu yang akan datang? Fika merasa tak selayak itu untuk diakui sebagai pengganti Medina yang men
Seperti biasa, saat Galang memasuki kantor, riuh suara sapaan memenuhi seisi ruangan walaupun selalu tanpa jawaban. Sekretaris Galang mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk. “Permisi, Pak. Saya ingin memberitahukan bahwa ada seorang wanita bernama Medina memaksa untuk bertemu dengan Bapak sekarang. Saya sudah meminta dia untuk membuat janji terlebih dahulu, tetapi dia tetap memaksa masuk. Saat ini dia ada di depan ruangan Bapak,” ucapnya.“Medina? Sedang apa dia di sini?”Galang nampak berpikir dan akhirnya meminta sekretarisnya mengizinkan Medina masuk. Akan tetapi Medina menerobos masuk sebelum diizinkan. “Galang!” panggilnya sambil menghampiri Galang. Galang menginstruksikan sekretarisnya untuk meninggalkan mereka berdua.Pembicaraan mereka berlangsung cukup lama dan tertutup. Fika merasa sedikit penasaran serumit apa hubungan mereka di masa lalu. Terlebih, hari ini wanita itu tiba-tiba datang dan memaksa untuk bertemu Galang wa
Galang melajukan mobilnya membelah jalanan Jakarta. Malam ini, suasana jalanan cukup lenggang. Fika tak mengalihkan pandangannya dari jendela mobil. Ia melihat pasar malam, taman air mancur, dan beberapa penjual jajanan kaki lima. Jika saja saat ini ia tidak sedang pergi bersama Galang, gadis itu pasti sudah turun dan berkeliling di sana menikmati malam sambil membeli beberapa jenis makanan yang sudah lama tidak ia coba. “Apa yang kamu lihat?” “Ah, tidak ada, Pak.” Galang kembali fokus mengemudi. Lima belas menit kemudian, mereka sampai di depan restoran Jepang dengan bangunan yang cukup antik. Galang memastikan apakah benar pertemuannya akan diadakan di tempat seperti ini. Ia rasa, seseorang yang mengajaknya bertemu tahu betul bahwa ia kurang suka makanan Jepang. “Di Sensasi Shokuji?” tanyanya di telepon. Seseorang menjawabnya, lalu tak lama Galang menutup telepon.
Medina berhenti bertanya setelah Galang menjawab bahwa pernikahannya dan Fika akan dilangsungkan beberapa bulan lagi. Ia memilih untuk mengakhiri pertemuan mereka saat itu dan meminta izin pulang duluan bersama Gallen. Medina benar-benar tidak mengira dan tidak terima Galang akan secepat itu melupakannya. Walaupun kenyatannya, semua itu memang kesalahan Medina.Galang dan Fika menyusul pulang, namun sebelum mereka sampai di parkiran seberang tempat Galang menyimpaan mobilnya, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Jika mereka menunggu lebih lama lagi, entah kapan hujannya akan reda. Galang menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari seseorang yang bisa meminjamkan payung untuknya. Namun, nihil, tidak ada siapapun yang bisa ia pinjam payungnya. Galang melepaskan jaketnya dan menggunakannya untuk menutupi kepala dan tubuh Fika agar gadis itu tidak kehujanan, kemudian membawa gadis itu menyeberang menuju mobilnya, tanpa memedulikan dirinya yang basah
Sinar matahari menerobos masuk dari celah gorden jendela kamar Galang yang tidak tertutup dengan rapat. Sang pemilik kamar, terbangun karena merasa sudah tidur terlalu lama, lebih dari durasi tidur biasanya. Galang tersentak, saat melihat tepat di depan wajahnya, Fika tertidur pulas dengan tangan yang menggenggam tangan Galang, atau justru sebaliknya. Galang hampir berteriak memarahi Fika yang lancang tidur di kamarnya bahkan di tempat tidur milik Galang, jika saja ia tidak ingat semalam Fika dengan sukarela merawatnya. Ia juga ingat, bahwa semalam, ia sendiri yang meminta Fika untuk menemaninya. Galang mencoba perlahan melepaskan genggaman tangan Fika dan berusaha agar tidak membangunkan gadis itu. Jika Fika bangun saat ini, tentu mereka akan sangat canggung seperti kemarin malam sepulang mereka bertemu Medina dan Gallen. Galang tak ingin mengambil risiko. Galang segera beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap-siap mandi untuk pergi ke kantor. Selesai
Pekerjaan Dimas sudah selesai satu jam yang lalu. Saat ini, ia sudah berada di depan rumah Galang untuk menjenguk Fika sambil membawa sebuket bunga tulip, buah-buahan, dan sup ayam hangat. Setelah dibukakan pintu oleh asisten rumah tangga Galang, Dimas masuk sambil melihat seisi rumah Galang yang menurutnya benar-benar unik. Bertahun-tahun bekerja dengan Galang, baru saat ini ia memiliki kesempatan untuk mendatangi rumah pria itu. Rumah Galang dipenuhi barang-barang kuno seperti guci dan lukisan-lukisan yang terlihat sudah sangat tua.Walaupun berisi benda-benda kuno dan antik, namun tak ada kesan menyeramkan di dalamnya karena pemilihan warna cat dinding yang tepat, membuat ruangannya menjadi terang.“Fika? Kamu sakit? Demamkah?” tanya Dimas saat melihat Fika menemuinya dengan lesu tanpa tenaga. Dimas menyentuh kening Fika.“Ah, tidak. Aku baik-baik saja. Kenapa harus repot-repot menjengukku, Dimas?” “Aku tidak repot sama sek
Malam ini, Galang terpaksa memasak makan malamnya sendiri karena asisten rumah tangganya izin untuk pulang lebih awal. Galang bisa saja memesan makanan secara online, akan tetapi ia lebih suka makanan yang dimasak langsung di rumah. Lebih terasa bersih dan lezat—menurutnya.Mendengar suara alat-alat masak yang beradu di dapur, membuat Fika penasaran apa yang sedang Galang lakukan di sana. Ia memperhatikan Galang yang sedang memilih beberapa sayur yang akan ia masak kemudian mencucinya. “Mau ngapain, Pak?” tanya Fika. Galang menoleh sekilas.“Saya mau masak. Memangnya kamu tidak mau makan?” Ia berbalik bertanya.“Saya, bantu, ya. Pak Galang mau masak apa?”“Tidak perlu. Pergilah istirahat. Saya tidak mau kamu terlalu lama bekerja dari rumah dan bisa bermalas-malasan sesuka hati.”Fika tak menghiraukan ucapan Galang yang mulai terdengar biasa di telinganya. Ia mengambil beberapa buah wortel dan brokoli untuk dipotong. Fika memoton