Bab 61Keesokan paginya, mereka kembali ke Martapura. Azizah merasa lucu. Baru saja kemarin dia dan Hafiz mengantar bibi Rahmah, tetapi sekarang justru bibi Rahmah yang ikut mereka pulang.Mobil meluncur membelah jalanan dengan kecepatan sedang. Hafiz diam dan fokus dengan kemudinya. Sementara Bibi Rahmah tengah memangku Ibrahim. Azizah memainkan ponsel, mengecek email yang dikirimkan oleh Zahwa yang berisi laporan transaksi harian di toko mereka."Baim suka ya, sama Nenek Rahmah?" goda Azizah. Dia baru saja selesai dengan pekerjaannya."Iya, Mama. Baim suka sama Nenek Rahmah, karena Nenek Rahmah itu orangnya baik." Azizah menjawab pertanyaannya sendiri dengan menirukan suara anak kecilBibi Rahmah tertawa terpingkal-pingkal. "Tuh, Baim lihat mamamu!" tunjuknya.Anak itu semakin melonjak-lonjak. Azizah mengambil alih putranya dan mendudukkan Baim ke dalam pangkuannya."Kamu sudah selesai main ponsel, Nak?" tanyanya. Sejak tadi dia melihat Azizah begitu serius menatap layar ponsel."I
Bab 62"Jadi kamu sebenarnya adalah putri syekh Ali Al-Maliki ...?""Syekh Ali Al-Maliki?" Hafiz mengerutkan kening. Sepintas ia pernah mendengar nama itu di kalangan para pengusaha travel, biro haji dan umrah. Nama itu seringkali dia dengar karena beliau adalah seorang ulama terkenal di kota Riyadh, Mekah dan Madinah. Beliau memang selalu menunjukkan simpati kepada warga negara Indonesia. Beliau bahkan fasih berbahasa Indonesia. "Sepintas Hafiz pernah mendengar nama itu, Bibi. Tetapi kenapa Bibi menyebut Azizah sebagai putri syekh Ali Al-Maliki? Apa hubungannya?" Laki-laki itu tak habis pikir.Hafiz benar-benar tak percaya. Dia menganggap sang Bibi hanya sekedar berhalusinasi saja. Bagaimana mungkin seorang Azizah diklaim bibinya sebagai putri seorang ulama terkenal, syekh Ali Al-Maliki?"Ah, mungkin hanya sekedar kemiripan rupa saja," batin Hafiz."Hafiz, almarhum pamanmu itu kenal baik dengan beliau, bahkan seperti orang kepercayaannya saja. Beliau pernah bercerita bahwa beliau m
Bab 63Azizah merasakan tubuhnya seperti melayang ke angkasa. Hatinya bak di penuhi ribuan kuntum bunga dengan wangi yang semerbak. Pengakuan dari syekh Ali al-Maliki membuatnya seakan terlahir kembali. Masya Allah... ternyata dia masih memiliki seorang ayah. Bukan sekedar ayah biasa tetapi seorang ayah yang luar biasa. Bibi Sarah masih saja memeluknya. Perempuan setengah baya itu menangis. Air mata yang mengalir dari pelupuk tuanya seolah membuktikan bahwa beliau begitu terharu. Akhirnya keponakan yang sekian lama di anggap tak berayah ini menemukan ayah kandungnya.Masih segar dalam ingatannya, bagaimana hinaan orang-orang saat kakaknya, Fatimah pulang ke kampung seorang diri dalam keadaan mengandung.Masih terasa sesak di dadanya saat Azizah kecil di anggap sebagai anak ibunya alias anak haram. Apalagi Fatimah sebelumnya bekerja sebagai tenaga kerja wanita. Sebuah pekerjaan yang rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual.Hal yang paling menyesakkan adalah saat Azizah menikah d
Bab 64"Fatimah, almarhum ibunya Azizah memiliki perhiasan itu dan itu sudah jelas menunjukkan bahwa dia adalah istri sah Syekh Ali Al-Maliki dan Azizah adalah putrinya." "Tapi, tapi bagaimana mungkin perempuan itu bisa menikah dengan syekh Ali? Syekh Ali itu tokoh terkenal loh!" Ibunya bertanya dengan suara terbata-bata. Dia terduduk lemas di sofa ruang tengah. Ini sungguh di luar dugaan."Ibu Fatimah itu pernah merantau ke Riyadh dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Jadi kemungkinan menurut Bibi Sarah, beliau bekerja di rumah Syekh Ibrahim Al Maliki dan di sanalah ibu Fatimah bertemu dengan syekh Ali" sahut Hafiz."Syekh Ali menikahi pembantunya sendiri?" Perempuan itu tak percaya dengan pendengarannya sendiri."Memangnya ada apa, Ma? Ada yang salah?" Hafiz mengerutkan kening."Ya nggak sepadan dong! Bukankah itu memalukan? Masa iya orang seperti syekh Ali yang mulia, ulama, pengusaha malah menikahi pembantunya sendiri?" Ibunya terus membantah."Lho, kok Mama bilang begitu? K
Bab 65"Abang," lirih Azizah.Kenapa suara Azizah seperti lantunan lagu cinta yang mendayu-dayu? Dia bahkan merasa seperti seorang pemuda yang sedang menghubungi sang kekasih hati.Ada gejolak yang tertahan dari nada suaranya."Dek, Abang kangen," bisiknya. Dia mengecup layar ponsel itu sekilas seolah tengah mengecup wajah istrinya."Adek juga kangen.""Gimana Ibrahim malam ini, Sayang?""Dia sudah tidur, Bang.""Nggak rewel, kan?""Nggak, Bang. Baim itu anak yang pintar. Dia nggak rewel." "Eh, maaf ya, Bang." Suara Azizah terdengar ragu-ragu."Kamu nggak ada salah apa-apa sama Abang. Kenapa minta maaf? Maaf buat apa?""Maaf, karena setelah Adek mengetahui kalau Adek masih punya Abi, pernikahan kita ...." Azizah tak melanjutkan ucapannya."Dek, ini sudah takdir. Abang bersyukur karena Adek menemukan ayah Adek, tidak meninggal seperti yang kita sangka selama ini," sergahnya.Hafiz tahu dadanya sesak, tapi dia berusaha untuk tegar."Abang lebih lagi merasakan apa yang kamu rasakan, Say
Bab 66"Apakah masih lama lagi, Bibi?" tanya Azizah tak sabar.Dia menatap bibi Rahmah yang terlihat sangat menikmati perjalanan ini. Mungkin beliau memang tengah bernostalgia dengan masa-masa saat masih tinggal di kota ini."Sebentar lagi, Sayang. Mungkin sekitar 15 menit lagi sampai," jawab Bibi Rahmah dengan mata tak lepas mengamati kondisi jalanan.***Akhirnya mobil pun berhenti di depan pagar. Salah seorang penjaga laki-laki membuka pintu dan mengangguk penuh hormat. Mobil meluncur masuk ke halaman dan berhenti seketika.Salah satu laki-laki yang mengawal mereka barusan membukakan pintu mobil dan tatkala dia keluar, Azizah benar-benar terpaku dengan pemandangan di sekitarnya."Ini rumah atau istana sih?" Perempuan muda itu menyapukan pandangan terhadap sekitarnya. Tak jauh dari tempat dia berdiri sekarang, ada sebuah air mancur dengan kolam dibawahnya. Sementara di beberapa sudut halaman ada pohon-pohon kurma yang masih belum terlalu tinggi. Tampaknya sengaja ditanam untuk men
Bab 67Meskipun dia berada di sebuah ruangan yang sangat mewah, tetapi Hafiz merasakan ada sebuah ketegangan yang menyelinap dihati. Dia dan ayahnya hanya berdua di tempat ini. Tempat yang sungguh mewah, tapi asing baginya. Bahkan seumur hidupnya belum pernah masuk ke tempat semewah ini.Laki-laki itu akan segera melancarkan protes yang ke berikutnya, tapi jari telunjuk tua milik ayahnya bergerak lebih cepat menempel di bibirnya, membuat laki-laki itu mengurungkan niatnya. Sebelah tangan kiai Rahman menepuk pundak anak laki-lakinya itu dan mengajaknya berdiri, saat melihat dua orang laki-laki berjalan menghampiri mereka. Dua lelaki itu terlihat masih muda, sebaya dengan Hafiz. Dibelakangnya mengiring laki-laki bertubuh kekar, berseragam dan berkafiyeh yang dikenalnya dan membawa mereka ke ruangan ini."Assalamu alaikum..." Kedua laki-laki itu mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Hafiz dan ayahnya."Wa alaikum salam,' balas keduanya nyaris berbarengan."Tafadhol bialjulus ya s
Bab 68Setelah selesai salat isya, seorang pelayan perempuan datang ke kamar Azizah untuk menjemputnya dan Ibrahim. Azizah mengenakan pakaian yang telah disediakan oleh ummu Fathia. Penampilannya nampak lebih mewah, meskipun tetap menggunakan cadarnya.Azizah merasa takjub dengan deretan makanan yang tersaji di atas meja makan besar. Menu yang tersaji bukanlah nasi kebuli, nasi mandi atau nasi kabsa khas Arab, tetapi nasi putih. Benar-benar nasi putih tanpa tambahan bumbu apapun."Ini adalah margoog. Lihatlah, dia terdiri dari daging, sayuran dan tepung gandum," jelas ummu Fathia. "Kami biasa mengkonsumsi sebagai lauk pelengkap nasi."Ummu Fathia mengajak Azizah untuk melihat lebih dekat."Sedangkan ini adalah Dajaj mashwi, barbeque khas Arab. Dada ayam tanpa tulang yang dipanggang. Rasanya memang agak pedas." Perempuan itu kembali menunjuk ke sebuah talam.Ummu Fathia menjelaskan beberapa macam masakan yang tersaji di meja makan. Malam ini adalah berkah baginya, karena dia berkesempa