Bab 68Setelah selesai salat isya, seorang pelayan perempuan datang ke kamar Azizah untuk menjemputnya dan Ibrahim. Azizah mengenakan pakaian yang telah disediakan oleh ummu Fathia. Penampilannya nampak lebih mewah, meskipun tetap menggunakan cadarnya.Azizah merasa takjub dengan deretan makanan yang tersaji di atas meja makan besar. Menu yang tersaji bukanlah nasi kebuli, nasi mandi atau nasi kabsa khas Arab, tetapi nasi putih. Benar-benar nasi putih tanpa tambahan bumbu apapun."Ini adalah margoog. Lihatlah, dia terdiri dari daging, sayuran dan tepung gandum," jelas ummu Fathia. "Kami biasa mengkonsumsi sebagai lauk pelengkap nasi."Ummu Fathia mengajak Azizah untuk melihat lebih dekat."Sedangkan ini adalah Dajaj mashwi, barbeque khas Arab. Dada ayam tanpa tulang yang dipanggang. Rasanya memang agak pedas." Perempuan itu kembali menunjuk ke sebuah talam.Ummu Fathia menjelaskan beberapa macam masakan yang tersaji di meja makan. Malam ini adalah berkah baginya, karena dia berkesempa
Bab 69Malam semakin larut dan Azizah belum bisa memejamkan mata. Tempat ini sungguh asing, meskipun ini rumah ayahnya sendiri.Rumah ini terlalu besar buatnya. Rumah dengan puluhan kamar tidur ini bukanlah sebuah rumah, tapi istana. Azizah merasa kerdil. Di kamar ia hanya bersama dengan Ibrahim. Bibi Rahmah dan bibi Sarah tidur di ruangan yang berbeda.Di ruangan ini dia hanya di bekali oleh bel yang langsung tersambung ke kamar pelayan pribadinya. Namanya Hanum. Perempuan berusia 40 tahun yang kebetulan juga berasal dari Indonesia. Selama Azizah tinggal disini, Hanum lah yang akan bertugas mengurus keperluannya dan Ibrahim.Azizah menghela nafas. Baru saja dia akan bangkit dari tempat tidur, sebuah suara dering ponsel mengusiknya."Abang," desahnya. Dia mengamati ponsel yang tergeletak di pembaringan dekat bantal."Abang ...." Suara desah Azizah nyaris tak terdengar."Sayang, Abang kangen." Suara itu tak kalah lirih."Adek juga," sahut Azizah."Abang tidur dimana?""Abang dan Abah t
Bab 70Malam sudah semakin larut dan Hafiz belum bisa memejamkan mata. Dia masih teringat percakapan mereka di saat jamuan makan barusan. Besok dia akan segera berangkat ke kota Mekkah kemudian ke Madinah dalam rangkaian ibadah umroh.Di satu sisi Hafiz merasa senang karena akan segera mewujudkan cita-citanya untuk berkunjung ke Baitullah dan ziarah ke makam Rasulullah. Akan tetapi, masalahnya, yang menjadi pimpinan rombongan mereka kali ini adalah Emir, lebih tepatnya pangeran Emir bin Salim Al Maliki, lelaki muda pemilik salah satu hotel terkenal di Mekah itu akan ikut serta bersama mereka.Kenapa Emir harus ikut?Sejujurnya dia merasa heran mengapa orang sekelas Emir mau bersusah payah untuk memimpin rombongan mereka. Padahal ini hanya rombongan untuk umroh, bukan tamu penting kerajaan yang harus senantiasa dilayani dengan pelayanan paripurna.Laki-laki itu bangkit dari tempat duduknya. Dia melangkah perlahan menuju jendela. Dari balik kaca dia melihat pemandangan malam kota ini. L
Bab 71Ah, mengingat masa lalu memang bukan pilihan. Sudah cukup ia mengalami masa-masa yang menyakitkan itu. Sudah saatnya ia menatap ke depan, memutuskan apa yang terbaik untuknya. Perempuan itu menatap tubuh mungil yang tertidur lelap. Wajah yang begitu mirip dengan orang yang diam-diam begitu di cintainya, meskipun hubungan mereka sudah di fasakh. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Azizah mendesah.Suara ayahandanya masih terngiang-ngiang di telinganya sesaat sebelum ia akan berangkat."Abi pikir kamu sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap dan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Firasat Abi mengatakan, rumah tanggamu bersama dengan lelaki itu kurang bahagia. Kenapa, Nak?" Tangan tua itu terulur mengusap kepala putrinya."Bukan soal bahagia atau tidak, Abi, tetapi kemungkinan, apa yang Azizah rasakan saat ini sama seperti yang Mama rasakan disaat Abi memutuskan untuk menikah dengan Ummu Fathia," balas Azizah diplomatis.Sejenak lelaki itu terkesiap. Di benaknya langsung
Bab 72Meskipun hari masih pagi, tetapi hiruk-pikuk di masjid Tan'im atau yang lebih dikenal dengan masjid Aisyah sangat terasa. Calon jemaah yang berniat menunaikan ibadah umrah berkumpul disini untuk mengambil miqat.Tan'im adalah batas tanah haram dari arah Madinah. Jarak antara Tan'im ke Masjidil haram hanya sekitar enam atau tujuh km.Hafiz melihat pemandangan ini dengan rasa haru. Inilah yang begitu diimpikannya siang dan malam. Bisa melaksanakan rukun Islam kelima meskipun hanya sekedar umrah. Namun, karena ini umrah yang pertama kali, berarti ini adalah umrah yang wajib.Kesibukan yang semakin terasa. Jamaah yang hilir mudik silih berganti berdatangan ke masjid ini. Sementara di teras masjid, sejumlah pedagang souvenir menggelar aneka pernak-pernik. Ada juga pedagang jasa kursi roda bagi jamaah yang lanjut usia."Haram ... haram ... haram ...." Suara teriakan silih berganti dari para sopir yang menawarkan jasa taksi untuk mengantar ke Masjidil haram.Hafiz mengekor langkah Emi
Bab 73Perjalanan dari Jeddah ke Riyadh tentunya tidak memakan waktu yang lama apalagi jika menggunakan jet pribadi milik keluarga Al-Maliki. Sesampainya di bandara internasional Raja Khalid, mereka langsung masuk ke dalam mobil dan bertolak menuju kediaman syekh Ali.Tiga buah mobil beriringan menembus jalan-jalan di kota Riyadh. Hafiz yang tengah duduk satu mobil dengan ayahnya, mendadak terkejut saat mendapati ponselnya berbunyi dan nama Naura tertera di layar."Iya, Sayang," sahut Hafiz."Kenapa Abang tidak pernah menghubungi kami? Adek udah tanya kepada Mama dan Kak Yasmin. Kata mereka, Abang tidak kunjung memberi kabar. Abang kenapa?" Suara Naura terdengar cemas."Tidak apa-apa, Naura. Adek tidak perlu cemas. Abang baik-baik saja di sini. Kami baru saja selesai umroh. Sekarang Abang sedang dalam perjalanan menuju kediaman Syekh Ali." Ucapan Hafiz beruntun."Tapi Abang baik-baik saja, kan? Abang ada masalah?" potong Naura.Hafiz melirik ayahnya yang tetap tenang duduk di sampingn
Bab 74Azizah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan syekh Ali seorang diri di sofa. Dia melangkah pelan menuju pembaringan. Di tatapnya putra kecilnya yang tengah tertidur. Wajah dan tubuh mungil itu adalah miniatur Hafiz. Azizah mendesah. Mana mungkin dia bisa melupakan lelaki itu, seandainya ia memilih jalan ini?Beberapa hari berada di Riyadh, Mekkah dan Madinah, mendengar dan mencerna percakapan semua orang tentang ibunya. Banyak sekali pelajaran yang bisa ia petik. "Berdosakah aku jika harus mengikuti jejak Mama?" kata Azizah dalam hati, saat melirik ayahnya yang masih menyunggingkan senyuman. Azizah duduk di pinggir ranjang, mengelus kepala putranya. "Mungkin ini akan terlihat egois, Sayang. Namun, hidup itu adalah pilihan. Setiap kita dihadapkan oleh pilihan dan tak ada pilihan yang tidak memiliki sebuah risiko." Senyum itu teramat manis saat memandang putranya."Suatu saat, di kala engkau telah dewasa, kamu pasti akan memahami semua ini," ucapnya dalam hati, lalu dia b
Bab 75Burung besi itu terus melaju di udara semakin menurunkan jarak ketinggian. Kota Banjarmasin dan Banjarbaru terlihat semakin jelas dari balik jendela pesawat. Hiruk pikuk kota dan segala dinamikanya seolah menyadarkan Hafiz akan sesuatu yang telah ia tinggalkan sejak memutuskan mengantar kekasih hatinya ke Riyadh.Pesawat landing dengan mulus menyisakan getaran yang bahkan terasa sampai ke hati yang terdalam, membuat laki-laki itu menengok arloji di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 14 siang WITA. Sungguh, inilah perjalanan panjang dan begitu melelahkan, fisik dan juga hatinya.Dia seperti tak lagi memiliki jiwa. Anggota tubuhnya bergerak menuruti apa yang dititahkan oleh ayahandanya serta bibi Rahmah. Mereka bertiga keluar dari bandara setelah selesai mengurus bagasi.Di lokasi parkir, salah seorang kepercayaan kiai Rahman sudah standby dengan sebuah mobil. Mereka lantas bergerak masuk ke mobil kemudian meninggalkan kawasan bandara, menyusuri jalanan dan meni