Bab 69Malam semakin larut dan Azizah belum bisa memejamkan mata. Tempat ini sungguh asing, meskipun ini rumah ayahnya sendiri.Rumah ini terlalu besar buatnya. Rumah dengan puluhan kamar tidur ini bukanlah sebuah rumah, tapi istana. Azizah merasa kerdil. Di kamar ia hanya bersama dengan Ibrahim. Bibi Rahmah dan bibi Sarah tidur di ruangan yang berbeda.Di ruangan ini dia hanya di bekali oleh bel yang langsung tersambung ke kamar pelayan pribadinya. Namanya Hanum. Perempuan berusia 40 tahun yang kebetulan juga berasal dari Indonesia. Selama Azizah tinggal disini, Hanum lah yang akan bertugas mengurus keperluannya dan Ibrahim.Azizah menghela nafas. Baru saja dia akan bangkit dari tempat tidur, sebuah suara dering ponsel mengusiknya."Abang," desahnya. Dia mengamati ponsel yang tergeletak di pembaringan dekat bantal."Abang ...." Suara desah Azizah nyaris tak terdengar."Sayang, Abang kangen." Suara itu tak kalah lirih."Adek juga," sahut Azizah."Abang tidur dimana?""Abang dan Abah t
Bab 70Malam sudah semakin larut dan Hafiz belum bisa memejamkan mata. Dia masih teringat percakapan mereka di saat jamuan makan barusan. Besok dia akan segera berangkat ke kota Mekkah kemudian ke Madinah dalam rangkaian ibadah umroh.Di satu sisi Hafiz merasa senang karena akan segera mewujudkan cita-citanya untuk berkunjung ke Baitullah dan ziarah ke makam Rasulullah. Akan tetapi, masalahnya, yang menjadi pimpinan rombongan mereka kali ini adalah Emir, lebih tepatnya pangeran Emir bin Salim Al Maliki, lelaki muda pemilik salah satu hotel terkenal di Mekah itu akan ikut serta bersama mereka.Kenapa Emir harus ikut?Sejujurnya dia merasa heran mengapa orang sekelas Emir mau bersusah payah untuk memimpin rombongan mereka. Padahal ini hanya rombongan untuk umroh, bukan tamu penting kerajaan yang harus senantiasa dilayani dengan pelayanan paripurna.Laki-laki itu bangkit dari tempat duduknya. Dia melangkah perlahan menuju jendela. Dari balik kaca dia melihat pemandangan malam kota ini. L
Bab 71Ah, mengingat masa lalu memang bukan pilihan. Sudah cukup ia mengalami masa-masa yang menyakitkan itu. Sudah saatnya ia menatap ke depan, memutuskan apa yang terbaik untuknya. Perempuan itu menatap tubuh mungil yang tertidur lelap. Wajah yang begitu mirip dengan orang yang diam-diam begitu di cintainya, meskipun hubungan mereka sudah di fasakh. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Azizah mendesah.Suara ayahandanya masih terngiang-ngiang di telinganya sesaat sebelum ia akan berangkat."Abi pikir kamu sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap dan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Firasat Abi mengatakan, rumah tanggamu bersama dengan lelaki itu kurang bahagia. Kenapa, Nak?" Tangan tua itu terulur mengusap kepala putrinya."Bukan soal bahagia atau tidak, Abi, tetapi kemungkinan, apa yang Azizah rasakan saat ini sama seperti yang Mama rasakan disaat Abi memutuskan untuk menikah dengan Ummu Fathia," balas Azizah diplomatis.Sejenak lelaki itu terkesiap. Di benaknya langsung
Bab 72Meskipun hari masih pagi, tetapi hiruk-pikuk di masjid Tan'im atau yang lebih dikenal dengan masjid Aisyah sangat terasa. Calon jemaah yang berniat menunaikan ibadah umrah berkumpul disini untuk mengambil miqat.Tan'im adalah batas tanah haram dari arah Madinah. Jarak antara Tan'im ke Masjidil haram hanya sekitar enam atau tujuh km.Hafiz melihat pemandangan ini dengan rasa haru. Inilah yang begitu diimpikannya siang dan malam. Bisa melaksanakan rukun Islam kelima meskipun hanya sekedar umrah. Namun, karena ini umrah yang pertama kali, berarti ini adalah umrah yang wajib.Kesibukan yang semakin terasa. Jamaah yang hilir mudik silih berganti berdatangan ke masjid ini. Sementara di teras masjid, sejumlah pedagang souvenir menggelar aneka pernak-pernik. Ada juga pedagang jasa kursi roda bagi jamaah yang lanjut usia."Haram ... haram ... haram ...." Suara teriakan silih berganti dari para sopir yang menawarkan jasa taksi untuk mengantar ke Masjidil haram.Hafiz mengekor langkah Emi
Bab 73Perjalanan dari Jeddah ke Riyadh tentunya tidak memakan waktu yang lama apalagi jika menggunakan jet pribadi milik keluarga Al-Maliki. Sesampainya di bandara internasional Raja Khalid, mereka langsung masuk ke dalam mobil dan bertolak menuju kediaman syekh Ali.Tiga buah mobil beriringan menembus jalan-jalan di kota Riyadh. Hafiz yang tengah duduk satu mobil dengan ayahnya, mendadak terkejut saat mendapati ponselnya berbunyi dan nama Naura tertera di layar."Iya, Sayang," sahut Hafiz."Kenapa Abang tidak pernah menghubungi kami? Adek udah tanya kepada Mama dan Kak Yasmin. Kata mereka, Abang tidak kunjung memberi kabar. Abang kenapa?" Suara Naura terdengar cemas."Tidak apa-apa, Naura. Adek tidak perlu cemas. Abang baik-baik saja di sini. Kami baru saja selesai umroh. Sekarang Abang sedang dalam perjalanan menuju kediaman Syekh Ali." Ucapan Hafiz beruntun."Tapi Abang baik-baik saja, kan? Abang ada masalah?" potong Naura.Hafiz melirik ayahnya yang tetap tenang duduk di sampingn
Bab 74Azizah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan syekh Ali seorang diri di sofa. Dia melangkah pelan menuju pembaringan. Di tatapnya putra kecilnya yang tengah tertidur. Wajah dan tubuh mungil itu adalah miniatur Hafiz. Azizah mendesah. Mana mungkin dia bisa melupakan lelaki itu, seandainya ia memilih jalan ini?Beberapa hari berada di Riyadh, Mekkah dan Madinah, mendengar dan mencerna percakapan semua orang tentang ibunya. Banyak sekali pelajaran yang bisa ia petik. "Berdosakah aku jika harus mengikuti jejak Mama?" kata Azizah dalam hati, saat melirik ayahnya yang masih menyunggingkan senyuman. Azizah duduk di pinggir ranjang, mengelus kepala putranya. "Mungkin ini akan terlihat egois, Sayang. Namun, hidup itu adalah pilihan. Setiap kita dihadapkan oleh pilihan dan tak ada pilihan yang tidak memiliki sebuah risiko." Senyum itu teramat manis saat memandang putranya."Suatu saat, di kala engkau telah dewasa, kamu pasti akan memahami semua ini," ucapnya dalam hati, lalu dia b
Bab 75Burung besi itu terus melaju di udara semakin menurunkan jarak ketinggian. Kota Banjarmasin dan Banjarbaru terlihat semakin jelas dari balik jendela pesawat. Hiruk pikuk kota dan segala dinamikanya seolah menyadarkan Hafiz akan sesuatu yang telah ia tinggalkan sejak memutuskan mengantar kekasih hatinya ke Riyadh.Pesawat landing dengan mulus menyisakan getaran yang bahkan terasa sampai ke hati yang terdalam, membuat laki-laki itu menengok arloji di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 14 siang WITA. Sungguh, inilah perjalanan panjang dan begitu melelahkan, fisik dan juga hatinya.Dia seperti tak lagi memiliki jiwa. Anggota tubuhnya bergerak menuruti apa yang dititahkan oleh ayahandanya serta bibi Rahmah. Mereka bertiga keluar dari bandara setelah selesai mengurus bagasi.Di lokasi parkir, salah seorang kepercayaan kiai Rahman sudah standby dengan sebuah mobil. Mereka lantas bergerak masuk ke mobil kemudian meninggalkan kawasan bandara, menyusuri jalanan dan meni
Bab 76"Naura!" Hafiz berseru. Lelaki muda itu bangkit dari tempat duduk, menyongsong kedatangan istrinya. Naura menyusup dalam pelukan sang suami. Betapa rindu hatinya. Selama berminggu-minggu dia ditinggalkan tanpa kabar berita, kecuali satu kali itu, keduanya bertukar pesan saat Hafiz dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Jeddah.Saat itulah ia baru mengetahui kabar Hafiz. Perempuan itu menghela nafas. Aroma nafasnya tanpa sadar begitu menggelitik sang suami, membuat darah mudanya bergejolak. Ada hasrat terpendam dari dalam tubuhnya.Hafiz melepaskan pelukannya. Dia tak mau terjebak dalam hasrat yang diciptakan oleh tubuh istrinya. Hafiz membimbing istrinya duduk di sofa, berdampingan dengan Bibi Rahmah."Adek sudah dua hari menginap di rumah Mama. Mama yang minta ditemani. Kata Mama, hari ini Abang dan rombongan akan pulang." Perempuan muda itu celingukan menatap sekeliling ruangan. "Mana Kak Azizah?""Kakakmu tidak ikut dengan kami, Dek. Dia bersama Ibrahim dan Bibi Sarah memut
Bab 109 (ekstra part 2)"Serius pakai ini?" tunjuk Azizah pada sebuah motor gede yang terparkir di halaman hotel. Entah darimana orang-orang mereka mendapatkan kendaraan itu."Serius dong! Memangnya kamu nggak mau naik motor?" Matanya lurus menatap istrinya."Mau dong, apalagi sama Kakak!" Perempuan itu tertawa kecil."Pintar!" sahutnya. Emir menaiki motor, kemudian di susul dengan Azizah.Sebenarnya Azizah merasa ragu. Sudah lama ia tidak mengendarai motor, karena selama di Saudi, pergi kemanapun selalu di antar sopir pribadi, di iringi oleh asisten dan para pengawal. Ruang geraknya terbatas. Apalagi motor khas laki-laki ini. Dia tidak pernah mengendarainya.Perempuan itu memeluk erat pinggang suaminya, menempelkan wajahnya di pundak lelaki itu. Azizah merasakan hatinya seperti penuh dengan wangi bunga.Mereka menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel. Di kiri dan kanan bahu jalan, penuh dengan toko dan lapak souvenir khas Bali. Bali memang primadona. Alamnya yang indah, budaya yang kha
Bab 108 (ekstra part 1)Azizah menatap sendu dari balik kaca jendela pesawat. Kota Banjarbaru yang semakin mengecil akhirnya menghilang dari pandangan saat posisi pesawat kian meninggi. Kini mereka tengah berada di atas awan."Sayang...." Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang rampingnya.Perempuan itu berdehem. "Iya, Kak." Azizah memutar tubuhnya menghadap sang suami. Sepasang kakinya berjinjit dengan tangan yang terulur memeluk leher itu."Aku merindukanmu," bisik Emir parau."Terlebih lagi diriku, Sayang." "Yang bener? Jangan-jangan sekarang ini malah merindukan ayahnya Ibrahim?" Sepasang mata kelamnya menatap wajah sang istri. Pipi yang merah merona itu membuatnya tak sabar mendaratkan sebuah kecupan hangat."Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi juga tidak membencinya. Bagiku sekarang ayahnya Ibrahim hanya sekedar sahabat. Jikalau pun kami masih berhubungan baik, itu semua demi Ibrahim....""Percaya kok," sela Emir. Sebenarnya ia hanya ingin memancing, tapi Azizah menyika
Bab 107"Ibrahim bisa bermain kembali dengan adik-adikmu lain kali, Nak. Untuk saat ini, kamu nurut ya, sama Abi. Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan kita bisa kembali ke mari berkunjung ke rumah kakek dan nenekmu ini," bujuk Azizah."Apa memang tidak bisa diundur lagi, Nak?" tanya kiai Rahman. Bukan cuma Ibrahim, dia pun juga serasa tak rela jika harus berpisah kembali secepat ini dengan cucu kesayangannya."Maafkan kami, Abah, tetapi jadwal kegiatan Azizah memang hanya satu hari. Silaturahmi di pesantren Al-Istiqomah dan di rumah Abah." Perempuan itu berusaha memberi pengertian kepada mantan ayah mertuanya."Abah hanya masih kangen dengan Ibrahim. Tidak ada maksud lain," ralat lelaki tua itu."Insya Allah kami akan berkunjung kembali kesini lain kali, Abah," jawab Azizah seraya memijat kepalanya. "Bukannya sok sibuk, tetapi bagaimanapun sebagai seorang istri, harus menuruti apa kata suami. Pagi ini pesawat akan terbang dari Sydney, singgah sebentar di bandara Syamsudin Noor
Bab 106Emir melangkah gontai menuju kamar tempat dia menginap. Tubuhnya benar-benar lelah, pikirannya pun terkuras. Hari ini dia menghadiri beberapa pertemuan, salah satunya adalah peresmian beroperasinya Almeera hotel di Sydney. Seharusnya di acara itu ia didampingi oleh Azizah. Namun sayang, wanita itu tengah berada di pesantren Al-Istiqomah, di tengah keluarga mantan suaminya.Mengingat itu membuat hati Emir berdenyut. Dia percaya seratus persen dengan cinta istrinya, tapi sedikit banyaknya pasti akan terjadi romansa masa lalu mereka. Bagaimanapun, Azizah dan Hafiz berpisah secara baik-baik, bukan karena pertengkaran, tetapi hanya sekedar perbedaan cara pandang terhadap sebuah rumah tangga. Kenangan indah itu akan senantiasa tersimpan di hati."Tuan, agenda besok siang adalah pertemuan dengan para investor di Bali," ujar Alex, asisten pribadinya mengingatkan."Ya, aku tahu itu, Alex. Terima kasih sudah mengingatkan," ujarnya. Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar."Silahkan,
Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A
Bab 104Sepasang netranya menangkap sosok beberapa perempuan yang berlari kecil ke arahnya saat ia baru saja keluar dari mobil. "Azizah!"Telinganya sangat mengenali suara dari balik cadar itu. Marwiah, mantan kakak iparnya. "Kak Marwiah?" ujarnya. Kedua perempuan itu berpelukan. "Apa kabar, Kak?""Baik, Dek. Ayo masuk. Mama dan Abah sudah menunggumu sedari tadi."Kedua perempuan itu berjalan sembari tangan saling merangkul. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang. Rumah ini tidak banyak berubah. Ruang tamu yang luas dengan sofa yang telah disingkirkan membuat ruangan ini kian bertambah luas. Hanya ada karpet yang dihamparkan melapisi lantai seisi ruangan.Seorang laki-laki tua tampak duduk bersandar di salah satu bidang dinding. Azizah mempercepat langkahnya menghampiri laki-laki itu. Ada rasa rindu yang menyesak di hati saat mereka berdekatan. Bagaimanapun, Azizah sudah menganggap lelaki itu seperti orang tuanya sendiri. "Abah," ujar Azizah. Dia merendahkan tubuhnya sembar
Bab 103Hari masih pagi. Tiga unit mobil mewah meluncur meninggalkan halaman sebuah hotel terkenal di kota Banjarmasin. Azizah merasakan dadanya sedikit berdebar. Ada rasa yang tak biasa, mengingat betapa lama dia tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Sembari tetap memangku Rihanna, dia menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tujuh tahun telah berlalu dan begitu banyak hal yang berubah di daerahnya. Entah apalagi kejutan yang akan ditemui sesampainya dia di pesantren Al-Istiqomah.Sebenarnya bukan Azizah tak ingin pulang, apalagi tidak rindu dengan kampung halamannya. Namun, Azizah perlu waktu yang panjang untuk melupakan cintanya kepada ayah Ibrahim itu. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memurnikan cintanya hanya untuk Emir saja.Rihanna duduk dengan manis. Sama seperti ibunya, balita cantik nan menggemaskan berumur dua tahun itu sepertinya juga sangat menikmati perjalanan mereka pagi ini.Jadwal Azizah pagi ini adalah kunjungan ke pondok pesantren Al-Istiqomah Putri
Bab 102Berkat bantuan beberapa orang pengawal, akhirnya Azizah berhasil menembus kerumunan orang-orang dan masuk ke dalam mobil mewahnya. Sebenarnya inilah yang paling dia takutkan. Dia tidak mau kedatangannya menarik perhatian banyak orang, apalagi sampai ke telinga pejabat daerah. Dia tidak mau kepulangannya menjadi bahan berita dan viral di media sosial, apalagi dia melihat banyak orang yang mengarahkan ponsel kepadanya. Azizah mengusap kepala mungil Rihanna demi menenangkan putri kecilnya. Rihanna sudah beberapa kali diajak melakukan perjalanan ke luar negeri, tetapi baru kali ini dia diajak pergi ke negara asal ibunya, Indonesia. "Kita istirahat dulu di hotel, Tuan Putri, setelah itu baru melakukan kunjungan ke pesantren Al-Istiqomah," beritahu Hanum tentang jadwal tuan putrinya."Iya," sahutnya singkat. Mobil terus meluncur dan Azizah tenggelam dalam pikirannya. Sesekali dia menepuk paha putrinya. Rihanna terlihat lelah dan mengantuk.Sepasang matanya fokus dengan pemandanga
Bab 101"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah memberikan keturunan untukku," ujar Emir seraya mencium perut Azizah berulang kali. Rasa lelah dan capek sepulangnya dari Almeera Hotel lenyap tak berbekas saat menerima kado terindah berupa tespek yang memiliki garis dua dari istrinya."Aku bisa memberikan keturunan untuk Kakak, karena kakak sudah begitu kuat mempertahankan diriku. Terima kasih juga, karena Kakak selalu sabar menghadapi kecemburuanku yang terkadang berlebihan," sahut wanita itu. Dia melingkarkan tangan ke leher sang suami, balas mengecup pipi kanan dan kiri suaminya."Kecemburuanmu masih dalam taraf yang wajar, Sayang. Cemburu itu pertanda cinta. Bukankah Sayyidah Aisyah juga seorang wanita pencemburu?" Emir bangkit lantas merangkul pinggang istrinya dan dalam sekali gerakan ia menggendong tubuh istrinya menuju pembaringan."Mulai detik ini, jangan terlalu banyak bergerak ya, Sayang. Banyak istirahat. Biarkan semuanya diurus oleh para asisten kita," pinta Emir."Aku b