Bab 74Azizah beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan syekh Ali seorang diri di sofa. Dia melangkah pelan menuju pembaringan. Di tatapnya putra kecilnya yang tengah tertidur. Wajah dan tubuh mungil itu adalah miniatur Hafiz. Azizah mendesah. Mana mungkin dia bisa melupakan lelaki itu, seandainya ia memilih jalan ini?Beberapa hari berada di Riyadh, Mekkah dan Madinah, mendengar dan mencerna percakapan semua orang tentang ibunya. Banyak sekali pelajaran yang bisa ia petik. "Berdosakah aku jika harus mengikuti jejak Mama?" kata Azizah dalam hati, saat melirik ayahnya yang masih menyunggingkan senyuman. Azizah duduk di pinggir ranjang, mengelus kepala putranya. "Mungkin ini akan terlihat egois, Sayang. Namun, hidup itu adalah pilihan. Setiap kita dihadapkan oleh pilihan dan tak ada pilihan yang tidak memiliki sebuah risiko." Senyum itu teramat manis saat memandang putranya."Suatu saat, di kala engkau telah dewasa, kamu pasti akan memahami semua ini," ucapnya dalam hati, lalu dia b
Bab 75Burung besi itu terus melaju di udara semakin menurunkan jarak ketinggian. Kota Banjarmasin dan Banjarbaru terlihat semakin jelas dari balik jendela pesawat. Hiruk pikuk kota dan segala dinamikanya seolah menyadarkan Hafiz akan sesuatu yang telah ia tinggalkan sejak memutuskan mengantar kekasih hatinya ke Riyadh.Pesawat landing dengan mulus menyisakan getaran yang bahkan terasa sampai ke hati yang terdalam, membuat laki-laki itu menengok arloji di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 14 siang WITA. Sungguh, inilah perjalanan panjang dan begitu melelahkan, fisik dan juga hatinya.Dia seperti tak lagi memiliki jiwa. Anggota tubuhnya bergerak menuruti apa yang dititahkan oleh ayahandanya serta bibi Rahmah. Mereka bertiga keluar dari bandara setelah selesai mengurus bagasi.Di lokasi parkir, salah seorang kepercayaan kiai Rahman sudah standby dengan sebuah mobil. Mereka lantas bergerak masuk ke mobil kemudian meninggalkan kawasan bandara, menyusuri jalanan dan meni
Bab 76"Naura!" Hafiz berseru. Lelaki muda itu bangkit dari tempat duduk, menyongsong kedatangan istrinya. Naura menyusup dalam pelukan sang suami. Betapa rindu hatinya. Selama berminggu-minggu dia ditinggalkan tanpa kabar berita, kecuali satu kali itu, keduanya bertukar pesan saat Hafiz dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Jeddah.Saat itulah ia baru mengetahui kabar Hafiz. Perempuan itu menghela nafas. Aroma nafasnya tanpa sadar begitu menggelitik sang suami, membuat darah mudanya bergejolak. Ada hasrat terpendam dari dalam tubuhnya.Hafiz melepaskan pelukannya. Dia tak mau terjebak dalam hasrat yang diciptakan oleh tubuh istrinya. Hafiz membimbing istrinya duduk di sofa, berdampingan dengan Bibi Rahmah."Adek sudah dua hari menginap di rumah Mama. Mama yang minta ditemani. Kata Mama, hari ini Abang dan rombongan akan pulang." Perempuan muda itu celingukan menatap sekeliling ruangan. "Mana Kak Azizah?""Kakakmu tidak ikut dengan kami, Dek. Dia bersama Ibrahim dan Bibi Sarah memut
Bab 77Di saat yang bersamaan, Azizah tengah berada di sebuah ruangan yang sangat besar, penuh dengan rak-rak berisi ribuan judul buku. Ini adalah perpustakaan pribadi di kediaman Syekh Ali. Cuaca di Riyadh sudah mulai gelap, meskipun jarum jam masih menunjukkan jam 16:30. Saat ini sudah mulai masuk musim dingin.Dia terus berkeliling tempat itu, sembari menatap kagum deretan buku-buku di rak. Di sampingnya, Ummu Fathia menjelaskan beberapa hal mengenai tempat ini.Mereka baru sekarang bisa mengunjungi tempat ini setelah sebelumnya disibukkan dengan urusan Azizah dengan Hafiz dan menjalankan ibadah umroh."Sebagai salah satu anggota keluarga Al-Maliki, kamu memiliki hak, tetapi juga memiliki kewajiban," ujar ummu Fathia. Dia mengambil sebuah buku dan menyerahkannya kepada Azizah."Kamu bisa membaca ini agar kamu tahu silsilah keturunanmu, Nak. Sebagai bagian dari keluarga Al-Maliki, jangan pernah sekalipun kamu mendewakan nasab, tetapi semua kewajiban yang dibebankan kepadamu harus ka
Bab 78Pagi masih berselimut embun tatkala Hafiz dan Naura meninggalkan rumah. Keduanya nampak bergegas masuk ke dalam mobil dan meluncur membelah jalanan.Hari ini Hafiz berencana untuk mengambil kembali mobil yang berada di rumah Azizah dan untuk itu, dia harus singgah dulu di rumah orang tuanya karena mobil yang sekarang di pakainya adalah milik kiai Rahman.Naura duduk dengan setia disampingnya. Perempuan muda itu nampak tenang, meskipun pandangannya kosong menatap jalan yang masih sepi. Bahkan di sisi kanan dan kirinya, lampu lampu masih belum dimatikan. Cahayanya seperti bintang yang pudar oleh terang cahaya pagi yang semakin menyeruak.Sesekali Hafiz mencuri pandang kepada istri ketiganya itu, tetapi Naura terlihat tidak peduli, membuat laki-laki itu menghela nafas. "Ini pasti ada kaitannya dengan insiden tadi malam!"keluhnya. Dia mengerang dalam hati. "Dunia wanita memang rumit." Tak lama kemudian, mobilnya sudah memasuki halaman rumah kiai Rahman. Kedatangannya disambut ole
Bab 79Lelaki itu menyandarkan tubuhnya di sofa pendek itu. Matanya sendu menatap langit-langit ruang. Lampu kristal yang tergantung di sana menambah kesan anggun ruangan ini. Emir memejamkan matanya sejenak."Aku yang terlalu mencintainya, sehingga memaksanya untuk berpindah keyakinan. Nyatanya aku tak pernah benar-benar bisa. Aletha pergi, kembali kepada keluarga, dan juga keyakinan asalnya." Bibir lelaki itu komat-kamit menyuarakan sebuah gumaman.Tenggorokannya terasa kering. Ayahnya yang paling tahu bagaimana terpuruknya saat itu, sepuluh tahun yang lalu. Dia merasa seperti laki-laki yang paling malang di dunia. Begitu sulitnya merengkuh cinta di dalam perbedaan.Aletha....Perempuan cantik itu berasal dari Yunani. Emir mengenalnya saat melakukan kunjungan bisnis ke negara itu. Aletha saat itu bekerja sebagai public relation di sebuah hotel yang ia tinggali untuk sementara waktu.Aletha memiliki kecantikan bak seorang dewi. Kecantikannya membius seorang pemuda arab yang tak perna
Bab 80"Kak," tegur Wafa. Gadis itu menunjuk ponsel yang tergeletak di sisi bantal."Ya." Azizah menoleh. Tangannya refleks bergerak mengambil ponsel."Kak Emir," lirihnya. Wafa merapatkan tubuhnya kepada Azizah, ikut-ikutan menatap layar ponsel. [Azizah, maaf ya, kemarin kamu belum sempat aku ajak jalan-jalan keliling kota Mekkah. Bagaimana kalau kita jalan-jalan?]"Wah ... ide bagus tuh, Kak. Ayo kita jalan-jalan. Kapan lagi bisa jalan-jalan sama kak Emir?" celoteh Wafa. Kaum laki-laki di keluarganya sama saja. Semua gila kerja. Khaled dan Waleed sibuk dengan Almeera Oil Company, sedangkan saudara sepupunya itu sibuk dengan Almeera Hotel. Benar-benar menyebalkan!"Kemarin kami hanya dua hari. Satu hari di Mekah dan satu hari di Madinah." Azizah tertawa kecil. "Mungkin itu yang membuat Kak Emir ingin mengajakku jalan-jalan.""Tapi Wafa ikut ya, Kak," rengeknya."Izin dulu sama yang mengajak, Wafa." Azizah mencubit hidung bangir milik gadis remaja itu. Tingkah Wafa benar-benar mengge
Bab 81Tepat seperti perkiraan mereka sebelumnya, pertemuan hari ini pun akhirnya memenangkan Devan sebagai CEO. Haji Hilman hanya mendapat 20 suara, sedangkan Martin mendapat dukungan 23 suara. Devan pemegang suara mayoritas, karena orang tuanya sekarang menguasai lebih dari 40% saham di PT Prima Bumi.Yasmin dan Hafiz sudah pasrah. Mereka tidak memperdulikan siapapun yang terpilih menjadi CEO. Keduanya hanya memikirkan tentang mental Papa Yasmin yang terlihat drop saat mengetahui dirinya tak lagi terpilih sebagai CEO untuk satu tahun kedepan dan kemungkinan akan selamanya."Sudahlah, Pa. Anggap aja sekarang Papa sudah pensiun," hibur Yasmin.Saat ini mereka bertiga sedang berada di sebuah restoran. Hafiz sengaja memilih VIP room demi privasi mertuanya."Sekarang status Papa hanya sekedar pemegang saham biasa, Nak. Papa tidak lagi memiliki kekuasaan seperti sebelumnya," ujar Haji Hilman sembari mengelus kepala putrinya"Yasmin dan Bang Hafiz sama sekali tidak masalah, Pa. Yang pentin