Bab 80"Kak," tegur Wafa. Gadis itu menunjuk ponsel yang tergeletak di sisi bantal."Ya." Azizah menoleh. Tangannya refleks bergerak mengambil ponsel."Kak Emir," lirihnya. Wafa merapatkan tubuhnya kepada Azizah, ikut-ikutan menatap layar ponsel. [Azizah, maaf ya, kemarin kamu belum sempat aku ajak jalan-jalan keliling kota Mekkah. Bagaimana kalau kita jalan-jalan?]"Wah ... ide bagus tuh, Kak. Ayo kita jalan-jalan. Kapan lagi bisa jalan-jalan sama kak Emir?" celoteh Wafa. Kaum laki-laki di keluarganya sama saja. Semua gila kerja. Khaled dan Waleed sibuk dengan Almeera Oil Company, sedangkan saudara sepupunya itu sibuk dengan Almeera Hotel. Benar-benar menyebalkan!"Kemarin kami hanya dua hari. Satu hari di Mekah dan satu hari di Madinah." Azizah tertawa kecil. "Mungkin itu yang membuat Kak Emir ingin mengajakku jalan-jalan.""Tapi Wafa ikut ya, Kak," rengeknya."Izin dulu sama yang mengajak, Wafa." Azizah mencubit hidung bangir milik gadis remaja itu. Tingkah Wafa benar-benar mengge
Bab 81Tepat seperti perkiraan mereka sebelumnya, pertemuan hari ini pun akhirnya memenangkan Devan sebagai CEO. Haji Hilman hanya mendapat 20 suara, sedangkan Martin mendapat dukungan 23 suara. Devan pemegang suara mayoritas, karena orang tuanya sekarang menguasai lebih dari 40% saham di PT Prima Bumi.Yasmin dan Hafiz sudah pasrah. Mereka tidak memperdulikan siapapun yang terpilih menjadi CEO. Keduanya hanya memikirkan tentang mental Papa Yasmin yang terlihat drop saat mengetahui dirinya tak lagi terpilih sebagai CEO untuk satu tahun kedepan dan kemungkinan akan selamanya."Sudahlah, Pa. Anggap aja sekarang Papa sudah pensiun," hibur Yasmin.Saat ini mereka bertiga sedang berada di sebuah restoran. Hafiz sengaja memilih VIP room demi privasi mertuanya."Sekarang status Papa hanya sekedar pemegang saham biasa, Nak. Papa tidak lagi memiliki kekuasaan seperti sebelumnya," ujar Haji Hilman sembari mengelus kepala putrinya"Yasmin dan Bang Hafiz sama sekali tidak masalah, Pa. Yang pentin
Bab 82Hafiz berlari-lari kecil menyusuri lorong rumah sakit, sementara di belakangnya Yasmin mengikuti dengan langkah-langkah panjang. Yasmin sedikit kesusahan untuk mengimbangi langkah suaminya mengingat kondisinya yang tengah hamil tua. "Abah!" Hafiz menemukan sang ayah tengah duduk di kursi panjang. "Bagaimana keadaan Mama?""Masih ditangani di ruangan," ucap sang ayah. "Sini, duduk dulu, Yasmin," tegur kiai Rahman saat melihat kondisi menantu perempuannya itu yang tengah sibuk menata napasnya."Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa. Mama kamu hanya jatuh di kamar mandi. Setelah itu dia langsung tidak sadarkan diri, makanya dibawa ke rumah sakit," ucap kiai Rahman menenangkan."Emangnya kenapa sih, kok sampai terjatuh kamar mandi?" Hafiz menatap serius wajah ayahnya. Kiai Rahman hanya mengangkat bahu. Dia menggelengkan kepala."Abah juga tidak tahu, Nak. Saat itu Abah tidak ada di rumah. Bukannya kita hari ini ada jadwal dengan para donatur?" Lelaki tua itu mengingatkan.Hafiz
Bab 83"Bang, katanya Abang belum memberikan kunci sama Zahwa ya?" tanya Azizah."Aduh, maaf, Dek. Abang sibuk banget sekarang, belum sempat ke Azizah Bakery. Maaf ya." Hafiz memegang ponselnya kuat-kuat. Andai saja Azizah tidak mengingatkan, tentu selamanya dia akan melupakan memberikan kunci rumah Azizah kepada Zahwa."Adek cuma memastikan saja. Kata Zahwa, Abang belum memberikan kunci rumah, jadi dia belum bisa tinggal di rumah itu.""Maaf, Dek. Begini saja, bagaimana kalau Zahwa yang mendatangi Abang ke rumah sakit? Sekarang Abang ada di rumah sakit Ratu Zaleha?" tawarnya. Hafiz benar-benar tidak punya waktu luang. tidak mungkin sekarang ia mengantar kunci rumah itu kepada Zahwa."Rumah sakit? Siapa yang sakit? Bukan Abang, kan? Abang sehat-sehat aja, kan?' Pertanyaan beruntun lantas meluncur dari mulut Azizah diseberang telepon, membuat seketika senyum di bibir lelaki itu mengembang.***Secara fisik, sebenarnya tak ada yang perlu dia khawatirkan dari ibunya, kecuali separuh tubu
Bab 84Lelaki muda itu mendaratkan tubuhnya di bangku panjang, persis di samping Raidah. Wanita itu menatap adiknya sesaat. Wajah lelah Hafiz langsung tertangkap bola matanya. "Kamu kenapa, Hafiz? Wajahmu terlihat murung?""Bukan murung, Kak. Hafiz hanya kurang tidur. Kemarin malam ngobrol sama Abah di taman," ralatnya."Oh..." Wanita itu ber oh ria. "Pantas aja kamu tak terlihat saat Kakak lagi asyik ngobrol sama kak Halimah.""Iya, hanya sekedar ngobrol biasa. Kebetulan akhir-akhir ini jarang bisa ngobrol dengan Abah," sahutnya sembari melirik arlojinya. "Kak Raidah sama Kak Halimah tidak apa-apa, kan kalau Hafiz tinggal? Hafiz mau ke pesantren nih!""Lah kok gitu sih? Gimana sama dokter Ratih?" tanya Raidah. "Kakak mana ngerti sama urusan di rumah sakit dan dokter.""Nggak apa-apa. Lagian masih ada Abah yang stay disini. Kalau Abah yang ke pesantren, malah kasihan. Beliau sudah tua. Lebih baik Hafiz saja yang stay di pesantren hari ini." Lelaki itu melirik arlojinya sekali lagi.
Bab 85"Kamu ikhlas, Nak?" tanya kiai Rahman saat mereka sudah keluar dari gedung notaris."Ikhlas banget, Abah. Jangan khawatir. Kakak yang lain juga pasti ikhlas," jawab Hafiz. Dia menjejeri langkah ayahnya."Alhamdulillah, terima kasih ya, Nak.""Kami akan selalu mendukung apapun keputusan Abah, sepanjang itu baik," ujar Hafiz."Kalian memang anak-anak yang berbakti." Laki-laki tua itu menepuk pundak putranya, sementara sebelah tangan yang lain memegang beberapa buah map.Hari ini mereka ke kantor notaris untuk mengambil akta balik nama untuk beberapa properti milik kiai Rahman. Setelah melalui beberapa pertimbangan dan masukan dari putra-putrinya, akhirnya kiai Rahman memutuskan untuk melakukan balik nama kepemilikan beberapa properti yang dimilikinya, sebuah rumah, sebidang tanah dan beberapa toko menjadi atas nama Ummu Salamah, istrinya.Setelah pertemuan pertama antara istrinya dengan dokter Ratih, akhirnya semuanya menjadi jelas. Dengan hati-hati, perempuan berusia empat pulu
Bab 86"Tadi sore, syekh Salim, ayah dari Emir datang dan menemui Abi. Dia melamarmu untuk menjadi istri Emir, putranya."Azizah menghela nafas. "Azizah sudah menduganya, Abi."Laki-laki tua itu tersenyum. "Terus, apa jawabanmu?""Azizah belum bisa memberikan jawaban. Mungkin Azizah perlu bertemu dengan Kak Emir dulu, berbicara hanya berdua saja," sahut Azizah sembari tertunduk."Abi akan berikan kesempatan itu, Nak. Nanti akan Abi sampaikan pesanmu kepada Emir. Kalian bisa bertemu di rumah ini, berbicara di ruang perpustakaan." Syekh Ali mengangguk-angguk."Emir itu laki-laki yang baik, Nak," ucap ibu sambungnya."Azizah tahu, Ummu. Selama ini Kak Emir perhatian dengan Azizah, bahkan dengan Ibrahim pun, dia akrab." Mata perempuan muda itu menerawang, menatap gorden bercorak yang menutupi kaca jendela."Apakah Emir sudah bercerita padamu, kalau dia sebenarnya pernah patah hati?" selidik ummu Fathia."Iya, Ummu." Perempuan muda itu tersenyum kecil. "Kak Emir terus terang kalau dia mema
Bab 87"Beri waktu Azizah beberapa hari lagi untuk mengambil keputusan, Kak." Azizah mencoba memperbaiki letak duduknya. Dia merasa gelisah.Berdekatan dengan Emir, meskipun tak terlalu dekat dan menyisakan jarak berjengkal-jengkal, membuatnya seakan masuk dan terkurung dalam ruang di matanya. Sorot mata lelaki itu bagaikan ingin memakannya hidup-hidup. "Aku akan selalu menunggumu, Azizah. Tidak ada wanita lain yang aku harapkan untuk menjadi istriku selain kamu," ujarnya."Apa yang membuat Kak Emir begitu ingin memperistri Azizah?""Kamu cantik," ujarnya lugas. "Namun, bukan sekadar fisikmu yang cantik, tapi juga hati dan otakmu. Kamu cantik, pintar dan memiliki pribadi yang berbeda dari kebanyakan wanita lain. Bukan sekadar baik, kepribadianmu adalah kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang putri bangsawan.""Maksud Kakak?" telisik Azizah.Emir menggelengkan kepala. "Susah untuk menjabarkannya, Azizah." Pendar cahaya di matanya nampak jelas saat tatapan mereka beradu. "Kamu ma