Bab 82Hafiz berlari-lari kecil menyusuri lorong rumah sakit, sementara di belakangnya Yasmin mengikuti dengan langkah-langkah panjang. Yasmin sedikit kesusahan untuk mengimbangi langkah suaminya mengingat kondisinya yang tengah hamil tua. "Abah!" Hafiz menemukan sang ayah tengah duduk di kursi panjang. "Bagaimana keadaan Mama?""Masih ditangani di ruangan," ucap sang ayah. "Sini, duduk dulu, Yasmin," tegur kiai Rahman saat melihat kondisi menantu perempuannya itu yang tengah sibuk menata napasnya."Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa. Mama kamu hanya jatuh di kamar mandi. Setelah itu dia langsung tidak sadarkan diri, makanya dibawa ke rumah sakit," ucap kiai Rahman menenangkan."Emangnya kenapa sih, kok sampai terjatuh kamar mandi?" Hafiz menatap serius wajah ayahnya. Kiai Rahman hanya mengangkat bahu. Dia menggelengkan kepala."Abah juga tidak tahu, Nak. Saat itu Abah tidak ada di rumah. Bukannya kita hari ini ada jadwal dengan para donatur?" Lelaki tua itu mengingatkan.Hafiz
Bab 83"Bang, katanya Abang belum memberikan kunci sama Zahwa ya?" tanya Azizah."Aduh, maaf, Dek. Abang sibuk banget sekarang, belum sempat ke Azizah Bakery. Maaf ya." Hafiz memegang ponselnya kuat-kuat. Andai saja Azizah tidak mengingatkan, tentu selamanya dia akan melupakan memberikan kunci rumah Azizah kepada Zahwa."Adek cuma memastikan saja. Kata Zahwa, Abang belum memberikan kunci rumah, jadi dia belum bisa tinggal di rumah itu.""Maaf, Dek. Begini saja, bagaimana kalau Zahwa yang mendatangi Abang ke rumah sakit? Sekarang Abang ada di rumah sakit Ratu Zaleha?" tawarnya. Hafiz benar-benar tidak punya waktu luang. tidak mungkin sekarang ia mengantar kunci rumah itu kepada Zahwa."Rumah sakit? Siapa yang sakit? Bukan Abang, kan? Abang sehat-sehat aja, kan?' Pertanyaan beruntun lantas meluncur dari mulut Azizah diseberang telepon, membuat seketika senyum di bibir lelaki itu mengembang.***Secara fisik, sebenarnya tak ada yang perlu dia khawatirkan dari ibunya, kecuali separuh tubu
Bab 84Lelaki muda itu mendaratkan tubuhnya di bangku panjang, persis di samping Raidah. Wanita itu menatap adiknya sesaat. Wajah lelah Hafiz langsung tertangkap bola matanya. "Kamu kenapa, Hafiz? Wajahmu terlihat murung?""Bukan murung, Kak. Hafiz hanya kurang tidur. Kemarin malam ngobrol sama Abah di taman," ralatnya."Oh..." Wanita itu ber oh ria. "Pantas aja kamu tak terlihat saat Kakak lagi asyik ngobrol sama kak Halimah.""Iya, hanya sekedar ngobrol biasa. Kebetulan akhir-akhir ini jarang bisa ngobrol dengan Abah," sahutnya sembari melirik arlojinya. "Kak Raidah sama Kak Halimah tidak apa-apa, kan kalau Hafiz tinggal? Hafiz mau ke pesantren nih!""Lah kok gitu sih? Gimana sama dokter Ratih?" tanya Raidah. "Kakak mana ngerti sama urusan di rumah sakit dan dokter.""Nggak apa-apa. Lagian masih ada Abah yang stay disini. Kalau Abah yang ke pesantren, malah kasihan. Beliau sudah tua. Lebih baik Hafiz saja yang stay di pesantren hari ini." Lelaki itu melirik arlojinya sekali lagi.
Bab 85"Kamu ikhlas, Nak?" tanya kiai Rahman saat mereka sudah keluar dari gedung notaris."Ikhlas banget, Abah. Jangan khawatir. Kakak yang lain juga pasti ikhlas," jawab Hafiz. Dia menjejeri langkah ayahnya."Alhamdulillah, terima kasih ya, Nak.""Kami akan selalu mendukung apapun keputusan Abah, sepanjang itu baik," ujar Hafiz."Kalian memang anak-anak yang berbakti." Laki-laki tua itu menepuk pundak putranya, sementara sebelah tangan yang lain memegang beberapa buah map.Hari ini mereka ke kantor notaris untuk mengambil akta balik nama untuk beberapa properti milik kiai Rahman. Setelah melalui beberapa pertimbangan dan masukan dari putra-putrinya, akhirnya kiai Rahman memutuskan untuk melakukan balik nama kepemilikan beberapa properti yang dimilikinya, sebuah rumah, sebidang tanah dan beberapa toko menjadi atas nama Ummu Salamah, istrinya.Setelah pertemuan pertama antara istrinya dengan dokter Ratih, akhirnya semuanya menjadi jelas. Dengan hati-hati, perempuan berusia empat pulu
Bab 86"Tadi sore, syekh Salim, ayah dari Emir datang dan menemui Abi. Dia melamarmu untuk menjadi istri Emir, putranya."Azizah menghela nafas. "Azizah sudah menduganya, Abi."Laki-laki tua itu tersenyum. "Terus, apa jawabanmu?""Azizah belum bisa memberikan jawaban. Mungkin Azizah perlu bertemu dengan Kak Emir dulu, berbicara hanya berdua saja," sahut Azizah sembari tertunduk."Abi akan berikan kesempatan itu, Nak. Nanti akan Abi sampaikan pesanmu kepada Emir. Kalian bisa bertemu di rumah ini, berbicara di ruang perpustakaan." Syekh Ali mengangguk-angguk."Emir itu laki-laki yang baik, Nak," ucap ibu sambungnya."Azizah tahu, Ummu. Selama ini Kak Emir perhatian dengan Azizah, bahkan dengan Ibrahim pun, dia akrab." Mata perempuan muda itu menerawang, menatap gorden bercorak yang menutupi kaca jendela."Apakah Emir sudah bercerita padamu, kalau dia sebenarnya pernah patah hati?" selidik ummu Fathia."Iya, Ummu." Perempuan muda itu tersenyum kecil. "Kak Emir terus terang kalau dia mema
Bab 87"Beri waktu Azizah beberapa hari lagi untuk mengambil keputusan, Kak." Azizah mencoba memperbaiki letak duduknya. Dia merasa gelisah.Berdekatan dengan Emir, meskipun tak terlalu dekat dan menyisakan jarak berjengkal-jengkal, membuatnya seakan masuk dan terkurung dalam ruang di matanya. Sorot mata lelaki itu bagaikan ingin memakannya hidup-hidup. "Aku akan selalu menunggumu, Azizah. Tidak ada wanita lain yang aku harapkan untuk menjadi istriku selain kamu," ujarnya."Apa yang membuat Kak Emir begitu ingin memperistri Azizah?""Kamu cantik," ujarnya lugas. "Namun, bukan sekadar fisikmu yang cantik, tapi juga hati dan otakmu. Kamu cantik, pintar dan memiliki pribadi yang berbeda dari kebanyakan wanita lain. Bukan sekadar baik, kepribadianmu adalah kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang putri bangsawan.""Maksud Kakak?" telisik Azizah.Emir menggelengkan kepala. "Susah untuk menjabarkannya, Azizah." Pendar cahaya di matanya nampak jelas saat tatapan mereka beradu. "Kamu ma
Bab 88"Ada apa, Nak?" tanya sang Papa setelah Hafiz berangkat beberapa saat yang lalu."Emangnya kenapa, Pa? Perasaan nggak ada apa-apa," elak Yasmin. "Papa lihat tadi dari kejauhan, kalian seperti tengah berdebat," ujar haji Hilman. "Ada masalah apa lagi?"Keduanya kini duduk di sofa ruang tamu. Yasmin tengah memangku putrinya, Nadhira."Nggak ada masalah yang paling membuat Yasmin kesel, kecuali soal Azizah. Sudah jadi mantan pun, dia masih merajai sebagian besar isi hati Bang Hafiz," keluh kesah Yasmin."Azizah itu kan mantan istrinya dan mereka berpisah secara baik-baik. Wajar saja kalau suamimu masih ingat mantannya," tanggap lelaki tua itu. Sekarang ia mengerti duduk perkaranya."Tidak segitunya juga kali, Pa. Lagipula, ngapain coba, Azizah mau nikah lagi, Bang Hafiz malah rusuh sendiri ....""Azizah mau menikah?" Haji Herman tersentak kaget. "Kapan rencananya?" "Mana Yasmin tahu, Pa! Dia cuma bilang kalau akan menikah dan minta pendapat Bang Hafiz." Segaris senyum terbit da
Bab 89Perempuan tua itu asyik dalam lamunan. Dia tak sadar kalau dua sosok perempuan muncul dari balik pintu di iringi oleh asisten pribadi masing-masing."Mama ...." Azizah berteriak. Dia menghambur ke hadapan perempuan yang duduk di kursi roda itu."Putriku ...." Sepasang mata tua itu menatap sosok wanita cantik di hadapannya. Azizah yang sekarang malah terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya dan tentu saja lebih cantik dibandingkan terakhir kali ia melihat jelang kepergian wanita itu ke Riyadh.Bermenit-menit waktu berlalu dan keduanya masih terus berpelukan. "Azizah tidak menyangka kalau Mama akan datang. Terima kasih, Mama," bisiknya. "Terima kasih sudah menyambut kedatangan Mama. Mama datang ke sini tidak lain untuk memberikan restu atas pernikahanmu dengan Tuan Emir ...." "Berhenti memanggil Kak Emir dengan panggilan Tuan, Mama. Dia adalah menantu Mama," ucap Azizah. "Benarkah?" tanyanya. "Tentu, Mama. Aku adalah putrimu dan Kak Emir adalah menantumu." "Masya Alla