Bab 88"Ada apa, Nak?" tanya sang Papa setelah Hafiz berangkat beberapa saat yang lalu."Emangnya kenapa, Pa? Perasaan nggak ada apa-apa," elak Yasmin. "Papa lihat tadi dari kejauhan, kalian seperti tengah berdebat," ujar haji Hilman. "Ada masalah apa lagi?"Keduanya kini duduk di sofa ruang tamu. Yasmin tengah memangku putrinya, Nadhira."Nggak ada masalah yang paling membuat Yasmin kesel, kecuali soal Azizah. Sudah jadi mantan pun, dia masih merajai sebagian besar isi hati Bang Hafiz," keluh kesah Yasmin."Azizah itu kan mantan istrinya dan mereka berpisah secara baik-baik. Wajar saja kalau suamimu masih ingat mantannya," tanggap lelaki tua itu. Sekarang ia mengerti duduk perkaranya."Tidak segitunya juga kali, Pa. Lagipula, ngapain coba, Azizah mau nikah lagi, Bang Hafiz malah rusuh sendiri ....""Azizah mau menikah?" Haji Herman tersentak kaget. "Kapan rencananya?" "Mana Yasmin tahu, Pa! Dia cuma bilang kalau akan menikah dan minta pendapat Bang Hafiz." Segaris senyum terbit da
Bab 89Perempuan tua itu asyik dalam lamunan. Dia tak sadar kalau dua sosok perempuan muncul dari balik pintu di iringi oleh asisten pribadi masing-masing."Mama ...." Azizah berteriak. Dia menghambur ke hadapan perempuan yang duduk di kursi roda itu."Putriku ...." Sepasang mata tua itu menatap sosok wanita cantik di hadapannya. Azizah yang sekarang malah terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya dan tentu saja lebih cantik dibandingkan terakhir kali ia melihat jelang kepergian wanita itu ke Riyadh.Bermenit-menit waktu berlalu dan keduanya masih terus berpelukan. "Azizah tidak menyangka kalau Mama akan datang. Terima kasih, Mama," bisiknya. "Terima kasih sudah menyambut kedatangan Mama. Mama datang ke sini tidak lain untuk memberikan restu atas pernikahanmu dengan Tuan Emir ...." "Berhenti memanggil Kak Emir dengan panggilan Tuan, Mama. Dia adalah menantu Mama," ucap Azizah. "Benarkah?" tanyanya. "Tentu, Mama. Aku adalah putrimu dan Kak Emir adalah menantumu." "Masya Alla
Bab 90Akhirnya Azizah masuk ke ruangan ini dengan di antar oleh ummu Fathia. Salah satu kamar kosong di kediaman ayahnya yang akhirnya di rias menjadi kamar pengantinnya. Memasuki tempat ini membuat dadanya berdegup kencang.Hari ini ia resmi melepas status jandanya dan menjadi istri Emir bin Salim Al-Maliki. Seorang lelaki dari klan Al-Maliki yang sebenarnya masih merupakan saudara sepupunya. Dia masih ingat, bagaimana bahagianya syekh Ali dengan ummu Fathia saat ia memutuskan untuk menerima pinangan dari Emir. Rasanya kebahagiaan dari keluarganya merupakan hal yang utama buat Azizah kini. Dia yang awalnya ragu dengan keputusan ini akhirnya membulatkan tekad untuk menerima Emir sebagai calon suaminya saat itu.Taruhlah kata dia melakukan semua ini karena berada di bawah pengaruh orang tuanya, tetapi kasusnya sama sekali berbeda dengan Hafiz, sang mantan suami. Azizah memutuskan untuk menerima Emir saat statusnya sudah janda dan tentu dia bebas menikah dengan siapa pun. Sementara Ha
Bab 91Tubuhnya menggeliat. Sejujurnya dia masih merasa malu, tak nyaman dengan suasana seintim ini. Namun, sorot mata setajam pedang yang penuh kabut itu seperti jaring laba-laba yang memerangkapnya dalam gairah dan nafsu.Dia ingin menolak, tetapi hatinya berkata tidak. Azizah pasrah dengan semua perlakuan Emir kepadanya. Lelaki itu terus memegang kendali atas tubuhnya, membelainya bak gulungan ombak yang meraup bibir karang. Terkadang lembut, tetapi sering agak kasar persis seorang pemangsa yang tak sabar menerkam hewan buruannya. Semua sentuhan yang akhirnya membuat Azizah terasa mabuk kepayang.Dia tak menyadari entah sejak kapan tangan kokoh itu bergerilya di tubuhnya. Menyusuri lekuk-lekuk nan indah, memunculkan desahan serupa nyanyian cinta. Tak ingin kalah, Azizah mengalungkan sepasang tangannya ke leher lelaki yang sekarang sudah berada di atasnya.Keringat yang membanjiri wajah cantik Azizah seolah membuang rasa malu bercampur takut dalam dirinya. Raut wajahnya semakin mera
Bab 92Perempuan itu menatap kosong langit-langit kamar. Sepeninggal tamu-tamunya, Azizah lebih memilih masuk ke dalam kamar pengantinnya, sementara anggota keluarga yang lain memilih untuk berbincang di ruang tamu, tak terkecuali dengan Emir. Hanum memilih bermain dengan Ibrahim.Semuanya kini benar-benar berakhir. Hafiz sudah pulang kembali ke negaranya dan dia di sini menjalani hidup yang baru."Kisah kita benar-benar berakhir, Bang. Namun tak ada yang perlu disesali. Ini adalah yang terbaik untuk kita. Apapun itu, peristiwa yang telah terjadi hari ini tetap jauh lebih baik daripada seandainya kita memaksakan diri untuk hidup bersama." Azizah membatin.Azizah memejamkan matanya sesaat, mencoba meresapi perasaannya. Bayangan masa lalu itu berkelebatan di benaknya. Kebersamaan yang pernah ia rajut dengan Hafiz. Namun, lagi-lagi ia harus menggunakan logikanya sendiri. Tidak mungkin dia seumur hidup memaksa dirinya sendiri untuk berbagi dengan wanita lain, sementara dia tidak bisa mene
Bab 93"Tapi kamu tidak berkeberatan, kan membantu mengurus rumah sebesar ini?" tanya Yasmin menatap lekat wajah adik madunya."Sama sekali tidak berkeberatan, Kak," sahut Naura. Perhatiannya lantas tertuju pada tubuh mungil Nadhira yang kembali tertidur pulas setelah ia rebahkan di pembaringan. Seulas senyum terukir dari bibirnya."Wajah Nadhira mirip sekali dengan Abang ya, Kak?" komentarnya."Ya, iyalah. Dia ayahnya kok." Yasmin balas tersenyum."Pastilah, Kak. Tapi entahlah nanti anak Naura mirip siapa." Perempuan muda itu tertawa dengan pertanyaan absurd yang dibuatnya sendiri ."Yang jelas mirip orang tuanya. Emang mau mirip siapa lagi?" Keduanya tertawa lepas. "Emang kenapa, Dek?" Yasmin menangkap ada yang berbeda dengan Naura saat ia menyebut soal anak tadi. "Nggak papa, Kak." Naura tertunduk malu. "Ayo cerita sama Kakak. Kamu kenapa?" desak Yasmin.Naura menghela nafasnya sesaat. "Nggak papa, Kak. Cuman mikirin aja, gimana ya kira-kira perasaan Bang Hafiz setelah Kak Aziza
Bab 94"Naura? Istri ketiganya mantan suamimu itu?" Zahwa tak habis pikir. Dari dulu sampai sekarang, sampai Azizah sudah menikah dengan suami keduanya pun, perempuan itu tak juga bisa lepas dari permasalahan keluarga mantan suaminya."Iya, dia yang paling sering bercerita kepadaku. Mungkin karena dia tidak memiliki teman lain untuk bercerita, jadi akhirnya malah bercerita kepadaku.""Aku tidak tahu lagi harus ngomong gimana, Zah." Zahwa tampak pasrah."Tidak apa-apa. Aku tidak memiliki masalah apapun dengan mereka. Sekarang fokusku hanya membantu pesantren sebisaku. Aku tahu, selain Papa Yasmin, ada beberapa orang donatur yang mulai menarik diri. Jadi sudah tugas kita sebagai alumni pondok pesantren Al-Istiqomah membantu agar keberlangsungan pesantren tetap berlanjut. Kasihan para santri.""Kamu terlalu baik, Zah," keluh Zahwa."Apa yang aku dapat sekarang adalah karunia dari Allah dan itu harus aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan orang banyak. Semua harta itu han
Bab 95Sampai akhirnya mereka berada di sebuah ruangan tidur yang sangat luas. Ruangan ini lebih mewah dari kamar tidurnya yang ada di rumah ayahnya di Riyadh. "Ini adalah ruang tidur kita, Sayang," ujar Emir. Dia merebahkan tubuh mungil Ibrahim yang tengah tidur itu dengan hati-hati. Tubuh kecil itu menggeliat, mungkin merasa tidak familiar dengan tempat barunya. Namun, dia kembali tenang saat Azizah menepuk-nepuk pahanya.Sembari merangkul pinggang Azizah, lelaki itu menunjukkan setiap sudut ruangan. Azizah begitu takjub. Dia merasa seperti berada di istana. Kamar tidurnya yang mewah di kediaman ayahnya di Riyadh ternyata kalah jauh dengan tempat ini."Mungkin ruangan tipe president suite di hotel-hotel pun kalah mewah dengan kamar ini," gumam Azizah. Dia teringat sebuah kamar hotel yang menjadi tempat bermalamnya saat melaksanakan ibadah umroh beberapa waktu yang lalu.Langkah kaki keduanya berakhir dengan duduk di sofa mewah. Lelaki itu merangkul bahu istrinya, membuat tubuh Aziz
Bab 109 (ekstra part 2)"Serius pakai ini?" tunjuk Azizah pada sebuah motor gede yang terparkir di halaman hotel. Entah darimana orang-orang mereka mendapatkan kendaraan itu."Serius dong! Memangnya kamu nggak mau naik motor?" Matanya lurus menatap istrinya."Mau dong, apalagi sama Kakak!" Perempuan itu tertawa kecil."Pintar!" sahutnya. Emir menaiki motor, kemudian di susul dengan Azizah.Sebenarnya Azizah merasa ragu. Sudah lama ia tidak mengendarai motor, karena selama di Saudi, pergi kemanapun selalu di antar sopir pribadi, di iringi oleh asisten dan para pengawal. Ruang geraknya terbatas. Apalagi motor khas laki-laki ini. Dia tidak pernah mengendarainya.Perempuan itu memeluk erat pinggang suaminya, menempelkan wajahnya di pundak lelaki itu. Azizah merasakan hatinya seperti penuh dengan wangi bunga.Mereka menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel. Di kiri dan kanan bahu jalan, penuh dengan toko dan lapak souvenir khas Bali. Bali memang primadona. Alamnya yang indah, budaya yang kha
Bab 108 (ekstra part 1)Azizah menatap sendu dari balik kaca jendela pesawat. Kota Banjarbaru yang semakin mengecil akhirnya menghilang dari pandangan saat posisi pesawat kian meninggi. Kini mereka tengah berada di atas awan."Sayang...." Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang rampingnya.Perempuan itu berdehem. "Iya, Kak." Azizah memutar tubuhnya menghadap sang suami. Sepasang kakinya berjinjit dengan tangan yang terulur memeluk leher itu."Aku merindukanmu," bisik Emir parau."Terlebih lagi diriku, Sayang." "Yang bener? Jangan-jangan sekarang ini malah merindukan ayahnya Ibrahim?" Sepasang mata kelamnya menatap wajah sang istri. Pipi yang merah merona itu membuatnya tak sabar mendaratkan sebuah kecupan hangat."Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi juga tidak membencinya. Bagiku sekarang ayahnya Ibrahim hanya sekedar sahabat. Jikalau pun kami masih berhubungan baik, itu semua demi Ibrahim....""Percaya kok," sela Emir. Sebenarnya ia hanya ingin memancing, tapi Azizah menyika
Bab 107"Ibrahim bisa bermain kembali dengan adik-adikmu lain kali, Nak. Untuk saat ini, kamu nurut ya, sama Abi. Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan kita bisa kembali ke mari berkunjung ke rumah kakek dan nenekmu ini," bujuk Azizah."Apa memang tidak bisa diundur lagi, Nak?" tanya kiai Rahman. Bukan cuma Ibrahim, dia pun juga serasa tak rela jika harus berpisah kembali secepat ini dengan cucu kesayangannya."Maafkan kami, Abah, tetapi jadwal kegiatan Azizah memang hanya satu hari. Silaturahmi di pesantren Al-Istiqomah dan di rumah Abah." Perempuan itu berusaha memberi pengertian kepada mantan ayah mertuanya."Abah hanya masih kangen dengan Ibrahim. Tidak ada maksud lain," ralat lelaki tua itu."Insya Allah kami akan berkunjung kembali kesini lain kali, Abah," jawab Azizah seraya memijat kepalanya. "Bukannya sok sibuk, tetapi bagaimanapun sebagai seorang istri, harus menuruti apa kata suami. Pagi ini pesawat akan terbang dari Sydney, singgah sebentar di bandara Syamsudin Noor
Bab 106Emir melangkah gontai menuju kamar tempat dia menginap. Tubuhnya benar-benar lelah, pikirannya pun terkuras. Hari ini dia menghadiri beberapa pertemuan, salah satunya adalah peresmian beroperasinya Almeera hotel di Sydney. Seharusnya di acara itu ia didampingi oleh Azizah. Namun sayang, wanita itu tengah berada di pesantren Al-Istiqomah, di tengah keluarga mantan suaminya.Mengingat itu membuat hati Emir berdenyut. Dia percaya seratus persen dengan cinta istrinya, tapi sedikit banyaknya pasti akan terjadi romansa masa lalu mereka. Bagaimanapun, Azizah dan Hafiz berpisah secara baik-baik, bukan karena pertengkaran, tetapi hanya sekedar perbedaan cara pandang terhadap sebuah rumah tangga. Kenangan indah itu akan senantiasa tersimpan di hati."Tuan, agenda besok siang adalah pertemuan dengan para investor di Bali," ujar Alex, asisten pribadinya mengingatkan."Ya, aku tahu itu, Alex. Terima kasih sudah mengingatkan," ujarnya. Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar."Silahkan,
Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A
Bab 104Sepasang netranya menangkap sosok beberapa perempuan yang berlari kecil ke arahnya saat ia baru saja keluar dari mobil. "Azizah!"Telinganya sangat mengenali suara dari balik cadar itu. Marwiah, mantan kakak iparnya. "Kak Marwiah?" ujarnya. Kedua perempuan itu berpelukan. "Apa kabar, Kak?""Baik, Dek. Ayo masuk. Mama dan Abah sudah menunggumu sedari tadi."Kedua perempuan itu berjalan sembari tangan saling merangkul. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang. Rumah ini tidak banyak berubah. Ruang tamu yang luas dengan sofa yang telah disingkirkan membuat ruangan ini kian bertambah luas. Hanya ada karpet yang dihamparkan melapisi lantai seisi ruangan.Seorang laki-laki tua tampak duduk bersandar di salah satu bidang dinding. Azizah mempercepat langkahnya menghampiri laki-laki itu. Ada rasa rindu yang menyesak di hati saat mereka berdekatan. Bagaimanapun, Azizah sudah menganggap lelaki itu seperti orang tuanya sendiri. "Abah," ujar Azizah. Dia merendahkan tubuhnya sembar
Bab 103Hari masih pagi. Tiga unit mobil mewah meluncur meninggalkan halaman sebuah hotel terkenal di kota Banjarmasin. Azizah merasakan dadanya sedikit berdebar. Ada rasa yang tak biasa, mengingat betapa lama dia tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Sembari tetap memangku Rihanna, dia menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tujuh tahun telah berlalu dan begitu banyak hal yang berubah di daerahnya. Entah apalagi kejutan yang akan ditemui sesampainya dia di pesantren Al-Istiqomah.Sebenarnya bukan Azizah tak ingin pulang, apalagi tidak rindu dengan kampung halamannya. Namun, Azizah perlu waktu yang panjang untuk melupakan cintanya kepada ayah Ibrahim itu. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memurnikan cintanya hanya untuk Emir saja.Rihanna duduk dengan manis. Sama seperti ibunya, balita cantik nan menggemaskan berumur dua tahun itu sepertinya juga sangat menikmati perjalanan mereka pagi ini.Jadwal Azizah pagi ini adalah kunjungan ke pondok pesantren Al-Istiqomah Putri
Bab 102Berkat bantuan beberapa orang pengawal, akhirnya Azizah berhasil menembus kerumunan orang-orang dan masuk ke dalam mobil mewahnya. Sebenarnya inilah yang paling dia takutkan. Dia tidak mau kedatangannya menarik perhatian banyak orang, apalagi sampai ke telinga pejabat daerah. Dia tidak mau kepulangannya menjadi bahan berita dan viral di media sosial, apalagi dia melihat banyak orang yang mengarahkan ponsel kepadanya. Azizah mengusap kepala mungil Rihanna demi menenangkan putri kecilnya. Rihanna sudah beberapa kali diajak melakukan perjalanan ke luar negeri, tetapi baru kali ini dia diajak pergi ke negara asal ibunya, Indonesia. "Kita istirahat dulu di hotel, Tuan Putri, setelah itu baru melakukan kunjungan ke pesantren Al-Istiqomah," beritahu Hanum tentang jadwal tuan putrinya."Iya," sahutnya singkat. Mobil terus meluncur dan Azizah tenggelam dalam pikirannya. Sesekali dia menepuk paha putrinya. Rihanna terlihat lelah dan mengantuk.Sepasang matanya fokus dengan pemandanga
Bab 101"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah memberikan keturunan untukku," ujar Emir seraya mencium perut Azizah berulang kali. Rasa lelah dan capek sepulangnya dari Almeera Hotel lenyap tak berbekas saat menerima kado terindah berupa tespek yang memiliki garis dua dari istrinya."Aku bisa memberikan keturunan untuk Kakak, karena kakak sudah begitu kuat mempertahankan diriku. Terima kasih juga, karena Kakak selalu sabar menghadapi kecemburuanku yang terkadang berlebihan," sahut wanita itu. Dia melingkarkan tangan ke leher sang suami, balas mengecup pipi kanan dan kiri suaminya."Kecemburuanmu masih dalam taraf yang wajar, Sayang. Cemburu itu pertanda cinta. Bukankah Sayyidah Aisyah juga seorang wanita pencemburu?" Emir bangkit lantas merangkul pinggang istrinya dan dalam sekali gerakan ia menggendong tubuh istrinya menuju pembaringan."Mulai detik ini, jangan terlalu banyak bergerak ya, Sayang. Banyak istirahat. Biarkan semuanya diurus oleh para asisten kita," pinta Emir."Aku b