Bab 94"Naura? Istri ketiganya mantan suamimu itu?" Zahwa tak habis pikir. Dari dulu sampai sekarang, sampai Azizah sudah menikah dengan suami keduanya pun, perempuan itu tak juga bisa lepas dari permasalahan keluarga mantan suaminya."Iya, dia yang paling sering bercerita kepadaku. Mungkin karena dia tidak memiliki teman lain untuk bercerita, jadi akhirnya malah bercerita kepadaku.""Aku tidak tahu lagi harus ngomong gimana, Zah." Zahwa tampak pasrah."Tidak apa-apa. Aku tidak memiliki masalah apapun dengan mereka. Sekarang fokusku hanya membantu pesantren sebisaku. Aku tahu, selain Papa Yasmin, ada beberapa orang donatur yang mulai menarik diri. Jadi sudah tugas kita sebagai alumni pondok pesantren Al-Istiqomah membantu agar keberlangsungan pesantren tetap berlanjut. Kasihan para santri.""Kamu terlalu baik, Zah," keluh Zahwa."Apa yang aku dapat sekarang adalah karunia dari Allah dan itu harus aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan orang banyak. Semua harta itu han
Bab 95Sampai akhirnya mereka berada di sebuah ruangan tidur yang sangat luas. Ruangan ini lebih mewah dari kamar tidurnya yang ada di rumah ayahnya di Riyadh. "Ini adalah ruang tidur kita, Sayang," ujar Emir. Dia merebahkan tubuh mungil Ibrahim yang tengah tidur itu dengan hati-hati. Tubuh kecil itu menggeliat, mungkin merasa tidak familiar dengan tempat barunya. Namun, dia kembali tenang saat Azizah menepuk-nepuk pahanya.Sembari merangkul pinggang Azizah, lelaki itu menunjukkan setiap sudut ruangan. Azizah begitu takjub. Dia merasa seperti berada di istana. Kamar tidurnya yang mewah di kediaman ayahnya di Riyadh ternyata kalah jauh dengan tempat ini."Mungkin ruangan tipe president suite di hotel-hotel pun kalah mewah dengan kamar ini," gumam Azizah. Dia teringat sebuah kamar hotel yang menjadi tempat bermalamnya saat melaksanakan ibadah umroh beberapa waktu yang lalu.Langkah kaki keduanya berakhir dengan duduk di sofa mewah. Lelaki itu merangkul bahu istrinya, membuat tubuh Aziz
Bab 96Dari suara yang terdengar serta tatap matanya, dalam sekejap Azizah sudah bisa mengenali perempuan itu."Madina?!" Dadanya seketika berdebar. Dia seketika teringat sepupu Hafiz yang satu itu memang tinggal di luar negeri dan memiliki suami yang berkebangsaan Turki. Seharusnya ia tak heran jika bertemu dengan Madina di sini. Hanya saja, tampaknya saat ini bukanlah waktu yang tepat."Kamu sama siapa kesini?" tanya wanita itu setelah mereka bersalaman. Madina terheran-heran melihat seorang laki-laki tampan berdiri di samping Azizah. Laki-laki yang jelas bukan Hafiz, sepupunya."Ah, kenalkan. Dia adalah Emir, suamiku. Kamu datang kemari untuk berlibur," ujar Azizah canggung. Wanita itu melirik sang suami, yang ditanggapi oleh lelaki itu dengan memberikan sebuah salam kepada Madina dengan menangkupkan tangan di dadanya."Suami...?!" Wanita itu seketika membeku. Dia belum setahun berada di negeri yang pernah menjadi saksi kejayaan Islam melalui kerajaan Turki Usmani, tetapi begitu b
Bab 97Wanita itu melirik resah kepada seorang bocah perempuan yang tengah bermain di dekatnya. Wanita itu lantas mengusap dadanya berulang kali. Namun ia merasa kedatangan pria itu ke tokonya bukan kebetulan. Ini adalah takdir. Dia sudah berusaha menyembunyikan dirinya selama 10 tahun. Bukan karena ia ingin menghilangkan jejaknya, tetapi hanya demi melindungi jejak cinta pria itu yang saat itu tengah berada di tubuhnya. Ya, dia hamil saat memutuskan untuk kembali kepada keyakinannya yang terdahulu dan meninggalkan Emir....Keyakinan memang tidak bisa dipaksakan meskipun oleh orang yang sangat kita cintai sekalipun. Jangan ditanya soal perasaannya. Aletha bahkan nyaris gila saat harus memilih antara melepas keyakinannya dan menikah dengan Emir atau melepaskan Emir demi keyakinannya. Pada akhirnya dia memang menikah dengan Emir, tetapi selalu saja batinnya menyuruhnya untuk kembali. Dia pun memutuskan kembali kepada keyakinannya yang terdahulu dan meninggalkan Emir. Seperti Emir yan
Bab 98"Lalu gadis kecil ini siapa? Apakah dia adalah putriku?" Meskipun hatinya sudah yakin, tetapi tetap saja pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.Aletha kembali mengangguk lemah dan pasrah."Ya, dia adalah putrimu, Elif Beyza Al-Maliki...."Rasanya jantung Emir berhenti berdetak saat Aletha mengucapkan kata-kata itu. Spontan ia menubruk Elif dan memeluknya sangat erat. Elif tidak menolak, meskipun gadis kecil itu terlihat kebingungan. Aletha segera memberitahu putrinya, jika lelaki yang tengah memeluknya itu adalah ayahnya."Baba (Ayah)?!" Mulut mungil itu berucap. Sepasang tangan mungilnya lantas membalas pelukan sang ayah."Kızım.... (Putriku)." Emir berjongkok dan mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil itu. Dia mencium wajah putrinya tanpa henti.Detik demi detik terus bergulir. Tak terasa hari semakin sore. Meskipun terasa sangat berat, tetapi Emir terpaksa harus meninggalkan Aletha dan Elif. Dia tidak mungkin merubah jadwal seenaknya, walaupun begitu banyak hal yang ing
Bab 99Wanita ini memang istimewa, bukan cuma cantik, tetapi tutur katanya pun halus. Azizah benar-benar terkesan. Pantas saja suaminya tak juga bisa melupakan istri pertamanya ini. Aletha memang benar-benar seorang Dewi."Saya minta maaf karena sudah membuat kegaduhan. Saya juga tidak menyangka jika ternyata takdir yang membuat Emir bertemu dengan putrinya," ujar Aletha dengan menggunakan bahasa Arab. Dia berpikir Azizah pasti mengerti bahasa arab saat melihat kain penutup kepala dan wajah wanita itu."Jujur saya sangat terkejut, Aletha. Saya tidak menyangka jika Kak Emir punya anak dari istri pertamanya, dan anak itu baru diketahuinya sekarang." Wanita itu menunduk dan memainkan ujung jemarinya. Emir dan Azizah memang tidak bisa mengubah jadwal mereka. Akhirnya setelah acara peletakan batu pertama Almeera Hotel di Istanbul, keduanya menyelinap keluar dari hotel seperti kemarin dan kembali ke toko bunga mungil ini, toko bunga yang sekaligus menjadi tempat tinggal Aletha dan Elif. T
Bab 100Sejak saat itu, hubungan Azizah dan Emir tak lagi hangat. Azizah memang masih melayani suaminya dengan baik, tetapi tidak dengan hatinya. Kecemasan, ketakutan, atau apapun namanya, terus menghantuinya setiap saat. Dia butuh bukti, bukan janji. Dan dia tidak akan pernah bisa menerima kenyataan diduakan dengan ibunda Elif itu, dengan alasan apapun. Kata-kata manis tidak lagi mempan untuknya. Dulu, Hafiz juga piawai mengucapkan kata-kata manis, tapi nyatanya dia menikah lagi dan lagi. Azizah sudah kenyang dengan penderitaan soal berbagi suami dan ia tidak mau lagi mengulanginya.Emir itu lelaki baik. Berulang kali kalimat itu ia ucapkan untuk meyakinkan hatinya. Bagaimanapun, ia harus bertahan, sepanjang Emir tidak ingkar janji. Dia tidak mau rumah tangganya kali ini gagal. Dia tidak mau menyandang status janda yang kedua kali. Sudah cukup kegagalan pernikahan pertamanya, apalagi Emir adalah suami yang di rekomendasikan oleh keluarganya. Tidak mungkin dia mundur dengan mudah. I
Bab 101"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah memberikan keturunan untukku," ujar Emir seraya mencium perut Azizah berulang kali. Rasa lelah dan capek sepulangnya dari Almeera Hotel lenyap tak berbekas saat menerima kado terindah berupa tespek yang memiliki garis dua dari istrinya."Aku bisa memberikan keturunan untuk Kakak, karena kakak sudah begitu kuat mempertahankan diriku. Terima kasih juga, karena Kakak selalu sabar menghadapi kecemburuanku yang terkadang berlebihan," sahut wanita itu. Dia melingkarkan tangan ke leher sang suami, balas mengecup pipi kanan dan kiri suaminya."Kecemburuanmu masih dalam taraf yang wajar, Sayang. Cemburu itu pertanda cinta. Bukankah Sayyidah Aisyah juga seorang wanita pencemburu?" Emir bangkit lantas merangkul pinggang istrinya dan dalam sekali gerakan ia menggendong tubuh istrinya menuju pembaringan."Mulai detik ini, jangan terlalu banyak bergerak ya, Sayang. Banyak istirahat. Biarkan semuanya diurus oleh para asisten kita," pinta Emir."Aku b