Bab 98"Lalu gadis kecil ini siapa? Apakah dia adalah putriku?" Meskipun hatinya sudah yakin, tetapi tetap saja pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.Aletha kembali mengangguk lemah dan pasrah."Ya, dia adalah putrimu, Elif Beyza Al-Maliki...."Rasanya jantung Emir berhenti berdetak saat Aletha mengucapkan kata-kata itu. Spontan ia menubruk Elif dan memeluknya sangat erat. Elif tidak menolak, meskipun gadis kecil itu terlihat kebingungan. Aletha segera memberitahu putrinya, jika lelaki yang tengah memeluknya itu adalah ayahnya."Baba (Ayah)?!" Mulut mungil itu berucap. Sepasang tangan mungilnya lantas membalas pelukan sang ayah."Kızım.... (Putriku)." Emir berjongkok dan mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil itu. Dia mencium wajah putrinya tanpa henti.Detik demi detik terus bergulir. Tak terasa hari semakin sore. Meskipun terasa sangat berat, tetapi Emir terpaksa harus meninggalkan Aletha dan Elif. Dia tidak mungkin merubah jadwal seenaknya, walaupun begitu banyak hal yang ing
Bab 99Wanita ini memang istimewa, bukan cuma cantik, tetapi tutur katanya pun halus. Azizah benar-benar terkesan. Pantas saja suaminya tak juga bisa melupakan istri pertamanya ini. Aletha memang benar-benar seorang Dewi."Saya minta maaf karena sudah membuat kegaduhan. Saya juga tidak menyangka jika ternyata takdir yang membuat Emir bertemu dengan putrinya," ujar Aletha dengan menggunakan bahasa Arab. Dia berpikir Azizah pasti mengerti bahasa arab saat melihat kain penutup kepala dan wajah wanita itu."Jujur saya sangat terkejut, Aletha. Saya tidak menyangka jika Kak Emir punya anak dari istri pertamanya, dan anak itu baru diketahuinya sekarang." Wanita itu menunduk dan memainkan ujung jemarinya. Emir dan Azizah memang tidak bisa mengubah jadwal mereka. Akhirnya setelah acara peletakan batu pertama Almeera Hotel di Istanbul, keduanya menyelinap keluar dari hotel seperti kemarin dan kembali ke toko bunga mungil ini, toko bunga yang sekaligus menjadi tempat tinggal Aletha dan Elif. T
Bab 100Sejak saat itu, hubungan Azizah dan Emir tak lagi hangat. Azizah memang masih melayani suaminya dengan baik, tetapi tidak dengan hatinya. Kecemasan, ketakutan, atau apapun namanya, terus menghantuinya setiap saat. Dia butuh bukti, bukan janji. Dan dia tidak akan pernah bisa menerima kenyataan diduakan dengan ibunda Elif itu, dengan alasan apapun. Kata-kata manis tidak lagi mempan untuknya. Dulu, Hafiz juga piawai mengucapkan kata-kata manis, tapi nyatanya dia menikah lagi dan lagi. Azizah sudah kenyang dengan penderitaan soal berbagi suami dan ia tidak mau lagi mengulanginya.Emir itu lelaki baik. Berulang kali kalimat itu ia ucapkan untuk meyakinkan hatinya. Bagaimanapun, ia harus bertahan, sepanjang Emir tidak ingkar janji. Dia tidak mau rumah tangganya kali ini gagal. Dia tidak mau menyandang status janda yang kedua kali. Sudah cukup kegagalan pernikahan pertamanya, apalagi Emir adalah suami yang di rekomendasikan oleh keluarganya. Tidak mungkin dia mundur dengan mudah. I
Bab 101"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah memberikan keturunan untukku," ujar Emir seraya mencium perut Azizah berulang kali. Rasa lelah dan capek sepulangnya dari Almeera Hotel lenyap tak berbekas saat menerima kado terindah berupa tespek yang memiliki garis dua dari istrinya."Aku bisa memberikan keturunan untuk Kakak, karena kakak sudah begitu kuat mempertahankan diriku. Terima kasih juga, karena Kakak selalu sabar menghadapi kecemburuanku yang terkadang berlebihan," sahut wanita itu. Dia melingkarkan tangan ke leher sang suami, balas mengecup pipi kanan dan kiri suaminya."Kecemburuanmu masih dalam taraf yang wajar, Sayang. Cemburu itu pertanda cinta. Bukankah Sayyidah Aisyah juga seorang wanita pencemburu?" Emir bangkit lantas merangkul pinggang istrinya dan dalam sekali gerakan ia menggendong tubuh istrinya menuju pembaringan."Mulai detik ini, jangan terlalu banyak bergerak ya, Sayang. Banyak istirahat. Biarkan semuanya diurus oleh para asisten kita," pinta Emir."Aku b
Bab 102Berkat bantuan beberapa orang pengawal, akhirnya Azizah berhasil menembus kerumunan orang-orang dan masuk ke dalam mobil mewahnya. Sebenarnya inilah yang paling dia takutkan. Dia tidak mau kedatangannya menarik perhatian banyak orang, apalagi sampai ke telinga pejabat daerah. Dia tidak mau kepulangannya menjadi bahan berita dan viral di media sosial, apalagi dia melihat banyak orang yang mengarahkan ponsel kepadanya. Azizah mengusap kepala mungil Rihanna demi menenangkan putri kecilnya. Rihanna sudah beberapa kali diajak melakukan perjalanan ke luar negeri, tetapi baru kali ini dia diajak pergi ke negara asal ibunya, Indonesia. "Kita istirahat dulu di hotel, Tuan Putri, setelah itu baru melakukan kunjungan ke pesantren Al-Istiqomah," beritahu Hanum tentang jadwal tuan putrinya."Iya," sahutnya singkat. Mobil terus meluncur dan Azizah tenggelam dalam pikirannya. Sesekali dia menepuk paha putrinya. Rihanna terlihat lelah dan mengantuk.Sepasang matanya fokus dengan pemandanga
Bab 103Hari masih pagi. Tiga unit mobil mewah meluncur meninggalkan halaman sebuah hotel terkenal di kota Banjarmasin. Azizah merasakan dadanya sedikit berdebar. Ada rasa yang tak biasa, mengingat betapa lama dia tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Sembari tetap memangku Rihanna, dia menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tujuh tahun telah berlalu dan begitu banyak hal yang berubah di daerahnya. Entah apalagi kejutan yang akan ditemui sesampainya dia di pesantren Al-Istiqomah.Sebenarnya bukan Azizah tak ingin pulang, apalagi tidak rindu dengan kampung halamannya. Namun, Azizah perlu waktu yang panjang untuk melupakan cintanya kepada ayah Ibrahim itu. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memurnikan cintanya hanya untuk Emir saja.Rihanna duduk dengan manis. Sama seperti ibunya, balita cantik nan menggemaskan berumur dua tahun itu sepertinya juga sangat menikmati perjalanan mereka pagi ini.Jadwal Azizah pagi ini adalah kunjungan ke pondok pesantren Al-Istiqomah Putri
Bab 104Sepasang netranya menangkap sosok beberapa perempuan yang berlari kecil ke arahnya saat ia baru saja keluar dari mobil. "Azizah!"Telinganya sangat mengenali suara dari balik cadar itu. Marwiah, mantan kakak iparnya. "Kak Marwiah?" ujarnya. Kedua perempuan itu berpelukan. "Apa kabar, Kak?""Baik, Dek. Ayo masuk. Mama dan Abah sudah menunggumu sedari tadi."Kedua perempuan itu berjalan sembari tangan saling merangkul. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang. Rumah ini tidak banyak berubah. Ruang tamu yang luas dengan sofa yang telah disingkirkan membuat ruangan ini kian bertambah luas. Hanya ada karpet yang dihamparkan melapisi lantai seisi ruangan.Seorang laki-laki tua tampak duduk bersandar di salah satu bidang dinding. Azizah mempercepat langkahnya menghampiri laki-laki itu. Ada rasa rindu yang menyesak di hati saat mereka berdekatan. Bagaimanapun, Azizah sudah menganggap lelaki itu seperti orang tuanya sendiri. "Abah," ujar Azizah. Dia merendahkan tubuhnya sembar
Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A