Bab 86"Tadi sore, syekh Salim, ayah dari Emir datang dan menemui Abi. Dia melamarmu untuk menjadi istri Emir, putranya."Azizah menghela nafas. "Azizah sudah menduganya, Abi."Laki-laki tua itu tersenyum. "Terus, apa jawabanmu?""Azizah belum bisa memberikan jawaban. Mungkin Azizah perlu bertemu dengan Kak Emir dulu, berbicara hanya berdua saja," sahut Azizah sembari tertunduk."Abi akan berikan kesempatan itu, Nak. Nanti akan Abi sampaikan pesanmu kepada Emir. Kalian bisa bertemu di rumah ini, berbicara di ruang perpustakaan." Syekh Ali mengangguk-angguk."Emir itu laki-laki yang baik, Nak," ucap ibu sambungnya."Azizah tahu, Ummu. Selama ini Kak Emir perhatian dengan Azizah, bahkan dengan Ibrahim pun, dia akrab." Mata perempuan muda itu menerawang, menatap gorden bercorak yang menutupi kaca jendela."Apakah Emir sudah bercerita padamu, kalau dia sebenarnya pernah patah hati?" selidik ummu Fathia."Iya, Ummu." Perempuan muda itu tersenyum kecil. "Kak Emir terus terang kalau dia mema
Bab 87"Beri waktu Azizah beberapa hari lagi untuk mengambil keputusan, Kak." Azizah mencoba memperbaiki letak duduknya. Dia merasa gelisah.Berdekatan dengan Emir, meskipun tak terlalu dekat dan menyisakan jarak berjengkal-jengkal, membuatnya seakan masuk dan terkurung dalam ruang di matanya. Sorot mata lelaki itu bagaikan ingin memakannya hidup-hidup. "Aku akan selalu menunggumu, Azizah. Tidak ada wanita lain yang aku harapkan untuk menjadi istriku selain kamu," ujarnya."Apa yang membuat Kak Emir begitu ingin memperistri Azizah?""Kamu cantik," ujarnya lugas. "Namun, bukan sekadar fisikmu yang cantik, tapi juga hati dan otakmu. Kamu cantik, pintar dan memiliki pribadi yang berbeda dari kebanyakan wanita lain. Bukan sekadar baik, kepribadianmu adalah kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang putri bangsawan.""Maksud Kakak?" telisik Azizah.Emir menggelengkan kepala. "Susah untuk menjabarkannya, Azizah." Pendar cahaya di matanya nampak jelas saat tatapan mereka beradu. "Kamu ma
Bab 88"Ada apa, Nak?" tanya sang Papa setelah Hafiz berangkat beberapa saat yang lalu."Emangnya kenapa, Pa? Perasaan nggak ada apa-apa," elak Yasmin. "Papa lihat tadi dari kejauhan, kalian seperti tengah berdebat," ujar haji Hilman. "Ada masalah apa lagi?"Keduanya kini duduk di sofa ruang tamu. Yasmin tengah memangku putrinya, Nadhira."Nggak ada masalah yang paling membuat Yasmin kesel, kecuali soal Azizah. Sudah jadi mantan pun, dia masih merajai sebagian besar isi hati Bang Hafiz," keluh kesah Yasmin."Azizah itu kan mantan istrinya dan mereka berpisah secara baik-baik. Wajar saja kalau suamimu masih ingat mantannya," tanggap lelaki tua itu. Sekarang ia mengerti duduk perkaranya."Tidak segitunya juga kali, Pa. Lagipula, ngapain coba, Azizah mau nikah lagi, Bang Hafiz malah rusuh sendiri ....""Azizah mau menikah?" Haji Herman tersentak kaget. "Kapan rencananya?" "Mana Yasmin tahu, Pa! Dia cuma bilang kalau akan menikah dan minta pendapat Bang Hafiz." Segaris senyum terbit da
Bab 89Perempuan tua itu asyik dalam lamunan. Dia tak sadar kalau dua sosok perempuan muncul dari balik pintu di iringi oleh asisten pribadi masing-masing."Mama ...." Azizah berteriak. Dia menghambur ke hadapan perempuan yang duduk di kursi roda itu."Putriku ...." Sepasang mata tua itu menatap sosok wanita cantik di hadapannya. Azizah yang sekarang malah terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya dan tentu saja lebih cantik dibandingkan terakhir kali ia melihat jelang kepergian wanita itu ke Riyadh.Bermenit-menit waktu berlalu dan keduanya masih terus berpelukan. "Azizah tidak menyangka kalau Mama akan datang. Terima kasih, Mama," bisiknya. "Terima kasih sudah menyambut kedatangan Mama. Mama datang ke sini tidak lain untuk memberikan restu atas pernikahanmu dengan Tuan Emir ...." "Berhenti memanggil Kak Emir dengan panggilan Tuan, Mama. Dia adalah menantu Mama," ucap Azizah. "Benarkah?" tanyanya. "Tentu, Mama. Aku adalah putrimu dan Kak Emir adalah menantumu." "Masya Alla
Bab 90Akhirnya Azizah masuk ke ruangan ini dengan di antar oleh ummu Fathia. Salah satu kamar kosong di kediaman ayahnya yang akhirnya di rias menjadi kamar pengantinnya. Memasuki tempat ini membuat dadanya berdegup kencang.Hari ini ia resmi melepas status jandanya dan menjadi istri Emir bin Salim Al-Maliki. Seorang lelaki dari klan Al-Maliki yang sebenarnya masih merupakan saudara sepupunya. Dia masih ingat, bagaimana bahagianya syekh Ali dengan ummu Fathia saat ia memutuskan untuk menerima pinangan dari Emir. Rasanya kebahagiaan dari keluarganya merupakan hal yang utama buat Azizah kini. Dia yang awalnya ragu dengan keputusan ini akhirnya membulatkan tekad untuk menerima Emir sebagai calon suaminya saat itu.Taruhlah kata dia melakukan semua ini karena berada di bawah pengaruh orang tuanya, tetapi kasusnya sama sekali berbeda dengan Hafiz, sang mantan suami. Azizah memutuskan untuk menerima Emir saat statusnya sudah janda dan tentu dia bebas menikah dengan siapa pun. Sementara Ha
Bab 91Tubuhnya menggeliat. Sejujurnya dia masih merasa malu, tak nyaman dengan suasana seintim ini. Namun, sorot mata setajam pedang yang penuh kabut itu seperti jaring laba-laba yang memerangkapnya dalam gairah dan nafsu.Dia ingin menolak, tetapi hatinya berkata tidak. Azizah pasrah dengan semua perlakuan Emir kepadanya. Lelaki itu terus memegang kendali atas tubuhnya, membelainya bak gulungan ombak yang meraup bibir karang. Terkadang lembut, tetapi sering agak kasar persis seorang pemangsa yang tak sabar menerkam hewan buruannya. Semua sentuhan yang akhirnya membuat Azizah terasa mabuk kepayang.Dia tak menyadari entah sejak kapan tangan kokoh itu bergerilya di tubuhnya. Menyusuri lekuk-lekuk nan indah, memunculkan desahan serupa nyanyian cinta. Tak ingin kalah, Azizah mengalungkan sepasang tangannya ke leher lelaki yang sekarang sudah berada di atasnya.Keringat yang membanjiri wajah cantik Azizah seolah membuang rasa malu bercampur takut dalam dirinya. Raut wajahnya semakin mera
Bab 92Perempuan itu menatap kosong langit-langit kamar. Sepeninggal tamu-tamunya, Azizah lebih memilih masuk ke dalam kamar pengantinnya, sementara anggota keluarga yang lain memilih untuk berbincang di ruang tamu, tak terkecuali dengan Emir. Hanum memilih bermain dengan Ibrahim.Semuanya kini benar-benar berakhir. Hafiz sudah pulang kembali ke negaranya dan dia di sini menjalani hidup yang baru."Kisah kita benar-benar berakhir, Bang. Namun tak ada yang perlu disesali. Ini adalah yang terbaik untuk kita. Apapun itu, peristiwa yang telah terjadi hari ini tetap jauh lebih baik daripada seandainya kita memaksakan diri untuk hidup bersama." Azizah membatin.Azizah memejamkan matanya sesaat, mencoba meresapi perasaannya. Bayangan masa lalu itu berkelebatan di benaknya. Kebersamaan yang pernah ia rajut dengan Hafiz. Namun, lagi-lagi ia harus menggunakan logikanya sendiri. Tidak mungkin dia seumur hidup memaksa dirinya sendiri untuk berbagi dengan wanita lain, sementara dia tidak bisa mene
Bab 93"Tapi kamu tidak berkeberatan, kan membantu mengurus rumah sebesar ini?" tanya Yasmin menatap lekat wajah adik madunya."Sama sekali tidak berkeberatan, Kak," sahut Naura. Perhatiannya lantas tertuju pada tubuh mungil Nadhira yang kembali tertidur pulas setelah ia rebahkan di pembaringan. Seulas senyum terukir dari bibirnya."Wajah Nadhira mirip sekali dengan Abang ya, Kak?" komentarnya."Ya, iyalah. Dia ayahnya kok." Yasmin balas tersenyum."Pastilah, Kak. Tapi entahlah nanti anak Naura mirip siapa." Perempuan muda itu tertawa dengan pertanyaan absurd yang dibuatnya sendiri ."Yang jelas mirip orang tuanya. Emang mau mirip siapa lagi?" Keduanya tertawa lepas. "Emang kenapa, Dek?" Yasmin menangkap ada yang berbeda dengan Naura saat ia menyebut soal anak tadi. "Nggak papa, Kak." Naura tertunduk malu. "Ayo cerita sama Kakak. Kamu kenapa?" desak Yasmin.Naura menghela nafasnya sesaat. "Nggak papa, Kak. Cuman mikirin aja, gimana ya kira-kira perasaan Bang Hafiz setelah Kak Aziza