Bab 66"Apakah masih lama lagi, Bibi?" tanya Azizah tak sabar.Dia menatap bibi Rahmah yang terlihat sangat menikmati perjalanan ini. Mungkin beliau memang tengah bernostalgia dengan masa-masa saat masih tinggal di kota ini."Sebentar lagi, Sayang. Mungkin sekitar 15 menit lagi sampai," jawab Bibi Rahmah dengan mata tak lepas mengamati kondisi jalanan.***Akhirnya mobil pun berhenti di depan pagar. Salah seorang penjaga laki-laki membuka pintu dan mengangguk penuh hormat. Mobil meluncur masuk ke halaman dan berhenti seketika.Salah satu laki-laki yang mengawal mereka barusan membukakan pintu mobil dan tatkala dia keluar, Azizah benar-benar terpaku dengan pemandangan di sekitarnya."Ini rumah atau istana sih?" Perempuan muda itu menyapukan pandangan terhadap sekitarnya. Tak jauh dari tempat dia berdiri sekarang, ada sebuah air mancur dengan kolam dibawahnya. Sementara di beberapa sudut halaman ada pohon-pohon kurma yang masih belum terlalu tinggi. Tampaknya sengaja ditanam untuk men
Bab 67Meskipun dia berada di sebuah ruangan yang sangat mewah, tetapi Hafiz merasakan ada sebuah ketegangan yang menyelinap dihati. Dia dan ayahnya hanya berdua di tempat ini. Tempat yang sungguh mewah, tapi asing baginya. Bahkan seumur hidupnya belum pernah masuk ke tempat semewah ini.Laki-laki itu akan segera melancarkan protes yang ke berikutnya, tapi jari telunjuk tua milik ayahnya bergerak lebih cepat menempel di bibirnya, membuat laki-laki itu mengurungkan niatnya. Sebelah tangan kiai Rahman menepuk pundak anak laki-lakinya itu dan mengajaknya berdiri, saat melihat dua orang laki-laki berjalan menghampiri mereka. Dua lelaki itu terlihat masih muda, sebaya dengan Hafiz. Dibelakangnya mengiring laki-laki bertubuh kekar, berseragam dan berkafiyeh yang dikenalnya dan membawa mereka ke ruangan ini."Assalamu alaikum..." Kedua laki-laki itu mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Hafiz dan ayahnya."Wa alaikum salam,' balas keduanya nyaris berbarengan."Tafadhol bialjulus ya s
Bab 68Setelah selesai salat isya, seorang pelayan perempuan datang ke kamar Azizah untuk menjemputnya dan Ibrahim. Azizah mengenakan pakaian yang telah disediakan oleh ummu Fathia. Penampilannya nampak lebih mewah, meskipun tetap menggunakan cadarnya.Azizah merasa takjub dengan deretan makanan yang tersaji di atas meja makan besar. Menu yang tersaji bukanlah nasi kebuli, nasi mandi atau nasi kabsa khas Arab, tetapi nasi putih. Benar-benar nasi putih tanpa tambahan bumbu apapun."Ini adalah margoog. Lihatlah, dia terdiri dari daging, sayuran dan tepung gandum," jelas ummu Fathia. "Kami biasa mengkonsumsi sebagai lauk pelengkap nasi."Ummu Fathia mengajak Azizah untuk melihat lebih dekat."Sedangkan ini adalah Dajaj mashwi, barbeque khas Arab. Dada ayam tanpa tulang yang dipanggang. Rasanya memang agak pedas." Perempuan itu kembali menunjuk ke sebuah talam.Ummu Fathia menjelaskan beberapa macam masakan yang tersaji di meja makan. Malam ini adalah berkah baginya, karena dia berkesempa
Bab 69Malam semakin larut dan Azizah belum bisa memejamkan mata. Tempat ini sungguh asing, meskipun ini rumah ayahnya sendiri.Rumah ini terlalu besar buatnya. Rumah dengan puluhan kamar tidur ini bukanlah sebuah rumah, tapi istana. Azizah merasa kerdil. Di kamar ia hanya bersama dengan Ibrahim. Bibi Rahmah dan bibi Sarah tidur di ruangan yang berbeda.Di ruangan ini dia hanya di bekali oleh bel yang langsung tersambung ke kamar pelayan pribadinya. Namanya Hanum. Perempuan berusia 40 tahun yang kebetulan juga berasal dari Indonesia. Selama Azizah tinggal disini, Hanum lah yang akan bertugas mengurus keperluannya dan Ibrahim.Azizah menghela nafas. Baru saja dia akan bangkit dari tempat tidur, sebuah suara dering ponsel mengusiknya."Abang," desahnya. Dia mengamati ponsel yang tergeletak di pembaringan dekat bantal."Abang ...." Suara desah Azizah nyaris tak terdengar."Sayang, Abang kangen." Suara itu tak kalah lirih."Adek juga," sahut Azizah."Abang tidur dimana?""Abang dan Abah t
Bab 70Malam sudah semakin larut dan Hafiz belum bisa memejamkan mata. Dia masih teringat percakapan mereka di saat jamuan makan barusan. Besok dia akan segera berangkat ke kota Mekkah kemudian ke Madinah dalam rangkaian ibadah umroh.Di satu sisi Hafiz merasa senang karena akan segera mewujudkan cita-citanya untuk berkunjung ke Baitullah dan ziarah ke makam Rasulullah. Akan tetapi, masalahnya, yang menjadi pimpinan rombongan mereka kali ini adalah Emir, lebih tepatnya pangeran Emir bin Salim Al Maliki, lelaki muda pemilik salah satu hotel terkenal di Mekah itu akan ikut serta bersama mereka.Kenapa Emir harus ikut?Sejujurnya dia merasa heran mengapa orang sekelas Emir mau bersusah payah untuk memimpin rombongan mereka. Padahal ini hanya rombongan untuk umroh, bukan tamu penting kerajaan yang harus senantiasa dilayani dengan pelayanan paripurna.Laki-laki itu bangkit dari tempat duduknya. Dia melangkah perlahan menuju jendela. Dari balik kaca dia melihat pemandangan malam kota ini. L
Bab 71Ah, mengingat masa lalu memang bukan pilihan. Sudah cukup ia mengalami masa-masa yang menyakitkan itu. Sudah saatnya ia menatap ke depan, memutuskan apa yang terbaik untuknya. Perempuan itu menatap tubuh mungil yang tertidur lelap. Wajah yang begitu mirip dengan orang yang diam-diam begitu di cintainya, meskipun hubungan mereka sudah di fasakh. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Azizah mendesah.Suara ayahandanya masih terngiang-ngiang di telinganya sesaat sebelum ia akan berangkat."Abi pikir kamu sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap dan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Firasat Abi mengatakan, rumah tanggamu bersama dengan lelaki itu kurang bahagia. Kenapa, Nak?" Tangan tua itu terulur mengusap kepala putrinya."Bukan soal bahagia atau tidak, Abi, tetapi kemungkinan, apa yang Azizah rasakan saat ini sama seperti yang Mama rasakan disaat Abi memutuskan untuk menikah dengan Ummu Fathia," balas Azizah diplomatis.Sejenak lelaki itu terkesiap. Di benaknya langsung
Bab 72Meskipun hari masih pagi, tetapi hiruk-pikuk di masjid Tan'im atau yang lebih dikenal dengan masjid Aisyah sangat terasa. Calon jemaah yang berniat menunaikan ibadah umrah berkumpul disini untuk mengambil miqat.Tan'im adalah batas tanah haram dari arah Madinah. Jarak antara Tan'im ke Masjidil haram hanya sekitar enam atau tujuh km.Hafiz melihat pemandangan ini dengan rasa haru. Inilah yang begitu diimpikannya siang dan malam. Bisa melaksanakan rukun Islam kelima meskipun hanya sekedar umrah. Namun, karena ini umrah yang pertama kali, berarti ini adalah umrah yang wajib.Kesibukan yang semakin terasa. Jamaah yang hilir mudik silih berganti berdatangan ke masjid ini. Sementara di teras masjid, sejumlah pedagang souvenir menggelar aneka pernak-pernik. Ada juga pedagang jasa kursi roda bagi jamaah yang lanjut usia."Haram ... haram ... haram ...." Suara teriakan silih berganti dari para sopir yang menawarkan jasa taksi untuk mengantar ke Masjidil haram.Hafiz mengekor langkah Emi
Bab 73Perjalanan dari Jeddah ke Riyadh tentunya tidak memakan waktu yang lama apalagi jika menggunakan jet pribadi milik keluarga Al-Maliki. Sesampainya di bandara internasional Raja Khalid, mereka langsung masuk ke dalam mobil dan bertolak menuju kediaman syekh Ali.Tiga buah mobil beriringan menembus jalan-jalan di kota Riyadh. Hafiz yang tengah duduk satu mobil dengan ayahnya, mendadak terkejut saat mendapati ponselnya berbunyi dan nama Naura tertera di layar."Iya, Sayang," sahut Hafiz."Kenapa Abang tidak pernah menghubungi kami? Adek udah tanya kepada Mama dan Kak Yasmin. Kata mereka, Abang tidak kunjung memberi kabar. Abang kenapa?" Suara Naura terdengar cemas."Tidak apa-apa, Naura. Adek tidak perlu cemas. Abang baik-baik saja di sini. Kami baru saja selesai umroh. Sekarang Abang sedang dalam perjalanan menuju kediaman Syekh Ali." Ucapan Hafiz beruntun."Tapi Abang baik-baik saja, kan? Abang ada masalah?" potong Naura.Hafiz melirik ayahnya yang tetap tenang duduk di sampingn