Setelah kepergian Deni, Luna lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu. Ia menangkupkan tubuhnya ke atas kasur dan menumpahkan air mata yang tiba-tiba berhamburan keluar.
“Lun, maafkan saya. Saya hanya ingin memastikan, apakah kamu mengenal orang yang ada di dalam foto ini?” Luna kembali teringat dengan pertanyaan Deni tadi. Lelaki itu mengeluarkan sebuah foto yang telah usang dari dompetnya dan memberikannya pada Luna. Foto itu sedikit terlipat di bagian ujungnya.
“Bapak dapat foto ini dari mana?” tanya Luna heran, ia pernah melihat foto yang sama dengan yang ada di tangannya kini, bahkan foto itu sekarang masih ada di dalam lemarinya. Terlihat di selembar kertas itu gambar sepasang suami istri dengan seorang anak kira-kira berumur satu tahun dipangku sang ibu. Sebuah keluarga kecil, itu adalah ayah, ibu dan Luna. Rahma dulu memberitahunya bahwa foto itu diambil beberapa hari sebelum ayahnya pergi ke kota. ‘bagaimana bisa foto ini ada padanya?’. Pikir Luna.
“Apa kamu tau itu foto siapa, Lun?” Deni balik bertanya.
“Ini adalah foto keluargaku, Pak” jawab Luna ragu, ia menatap Deni lekat, seolah ingin mencari sesuatu disana. Mendengar jawaban Luna, mata Deni berkaca-kaca membuat Luna kebingungan. Ia ingin sekali memeluk anak yang telah ia lupakan sekian tahun. Sementara Luna menatap aneh pada Deni ‘siapa dia? Apakah dia mengenalku? Atau dia adalah ….’ tanya Luna dalam hati. Ia menggelengkan kepala saat ia memikirkan bahwa yang di depannya kini mungkin adalah ayahnya.
Beberapa detik suasana menjadi hening, Deni bingung bagaimana cara memberi tahu pada Luna bahwa dirinya adalah ayah dari gadis di hadapannya. Sementara Luna masih sibuk dengan berbagai pertanyaan di pikirannya.
“Lun, saya adalah ayahmu, Nak!” ujar Deni akhirnya dengan suara bergetar, bening kristal tertahan di sudut matanya. Pernyataan Deni membuat Luna terbelalak. Ia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri ‘apa kupingku lagi rusak?
“Apa?!” pekik Luna, pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut gadis berambut panjang sepundak itu. Ia tidak menyangka akan mendengar pengakuan itu dari mulut Deni. Ayah yang selama ini ia rindukan ada di depan matanya. Meski hal itu sempat terlintas di pikirannya, tapi ia tidak menduga akan mendengar pengakuan dari mulut Deni.
“Maafkan ayah, Nak!” Deni beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Luna. “ayah banyak salah sama kalian, "Deni duduk jongkok di hadapan Luna dan meraih tangan anaknya. Wajahnya kini basah, sudah sejak lama ia menyimpan rasa bersalah pada keluarganya yang ia tinggalkan belasan tahun lalu. “maafkan ayah,” kembali kalimat itu keluar dari bibir pria itu, ia tidak tahu kata apa yang pantas diucapkan selain kata ‘maaf’. Deni memberanikan diri untuk memeluk anak dari istri pertamanya itu. Perlakuan Deni meyakinkan Luna bahwa ia tidak salah mendengar.
Luna yang dipeluk Deni merasakan ada kehangatan yang mengalir di dalam hatinya, dia membiarkan saja Deni memeluknya, ia ingin merasakan hangatnya pelukan seorang ayah yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Delapan belas tahun hidupnya, ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang lelaki bergelar ayah. Saat ia berusia setahun, ayahnya pergi meninggalkan ia dan ibunya, untuk mencari pekerjaan di kota. Namun, sekalipun ayahnya tidak pernah kembali, bahkan memberi kabar pun tidak.
Di saat Luna masih di dalam pelukan Deni, seseorang menarik tubuh Deni dari belakang. Luna terkejut saat mengetahui bahwa Farida, wanita yang telah menggantikan posisi ibunya kini ada di hadapannya. Ada rasa benci yang tiba-tiba terselip di dalam hati gadis itu. Wanita yang membuat Luna kehilangan kasih sayang seorang ayah itu kini memaki dan bahkan menampar wajah Luna. Ia dituduh telah merebut Deni.
Mengingat hal itu Luna tersenyum sedih. ‘Dia yang merebut ayah, tapi dia malah menuduh aku merebut suaminya? Sedih sekali hidupku. Aku bahkan nggak tau bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Bodohnya aku, bagaimana mungkin aku tidak mengenal ayahku sendiri? Menyedihkan!’ Luna merutuki dirinya sendiri. Ia kembali menatap foto yang diberikan Deni tadi.
Ia melihat dengan seksama wajah ayahnya yang ada di kertas itu. Rambut yang sedikit panjang, dan kulit wajah yang hitam legam serta tubuh yang kurus, membuatnya tidak mengenali ayahnya saat pertama kali bertemu, ketika ia mulai bekerja di restoran milik Deni. Kini wajah Deni lebih tampan, bersih dan tubuhnya berisi, lelaki itu lebih terawat dengan potongan rambut yang rapi, sangat jauh berbeda dengan yang ada di foto.
Entah mengapa setelah mengetahui Deni adalah ayahnya, Luna merasakan sakit di dalam hatinya. Rasa rindu yang dulu dirasakannya seperti menguap berubah menjadi kebencian. Rasa benci itu muncul karena ayahnya begitu tega membiarkannya hidup tanpa mengenal siapa ayahnya. Luna kecewa mengetahui ayahnya hidup bahagia dengan keluarga barunya, sementara ia dan Rahma harus hidup jauh dari kata layak. Ibunya harus berjuang sendiri untuk menghidupi dan menyekolahkan Luna.
“Kapan ayah pulang, Bu?” pertanyaan itu kerap kali keluar dari mulut mungil Luna.
“Sabar ya, Nak! Ayah pasti pulang, kalau ayah sudah dapat kerja. Makanya Luna harus doakan ayah, supaya cepat dapat kerjaan dan banyak uang agar ayah bisa jemput kita.” Selalu jawaban itu yang keluar dari mulut Rahma untuk menenangkan hati anak satu-satunya.
Rasa rindu yang begitu dalam membuat Luna selalu menanyakan hal yang sama. Ia begitu iri melihat teman-temannya di gendong, di antar ke sekolah, berjalan-jalan bersama ayah mereka. Sementara Luna, jangankan memeluk ayahnya, melihat wajahnya pun Luna tidak pernah. Luna hanya mampu melukis wajah ayahnya seperti di foto yang selalu ibunya tunjukkan, di dalam hatinya. Namun hal itu ternyata tidak mampu membuatnya mengenali ayahnya ketika ia berjumpa dengan lelaki yang membuatnya hadir ke dunia ini. Berbulan-bulan Deni selalu berada di dekatnya namun tidak sekalipun terbersit di pikiran Luna bahwa orang itu adalah orang yang selama ini ia rindukan.
Ia benar-benar tidak menduga bahwa hal ini akan terjadi. Ia menjadi teringat pada ibunya. ‘andai ibu tau kalau ayah telah menikah lagi, pasti hati ibu akan sangat sakit.’ Mengingat ibunya, kembali air mata membasahi pipi tirus gadis itu. Belasan tahun ibunya menunggu dengan setia tanpa ketidakpastian, ternyata berbuah sia-sia.
Saat Luna sedang terbayang wajah ibunya, tiba-tiba hp Luna berbunyi pertanda ada panggilan masuk. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, hati Luna semakin tidak karuan, gadis itu bingung harus bagaimana dengan perasaan yang ia sendiri tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Ia menarik nafas dalam sebelum ia mengangkat telepon.
"Halo, Lun!" sapa orang dari seberang telepon. "halo!" Kembali terdengar suara, setelah ia menunggu beberapa saat suara Luna yang tidak ia dengar. Sementara Luna, begitu berat untuk mengeluarkan suaranya, seperti ada sesuatu dalam tenggorokannya yang membuatnya kesulitan berkata-kata.
"Halo, Luna! Kenapa diam saja?""Halo, Bu!" Sapa Luna setelah ia mampu membuang sedikit rasa sesak di dadanya. Ia berusaha membuat suaranya senormal mungkin."Apa kabarmu, Nak! Tiba-tiba perasaan ibu gak enak saat ingat sama kamu. Ibu jadi khawatir ada apa-apa." Terdengar suara lemah Rahma dari seberang telepon. Penglihatan Luna kembali mengabur, cairan bening menutupi bola matanya. Seorang ibu memang bisa merasakan apa yang anaknya rasakan, meski jarak memisahkan."Luna baik-baik saja, Bu! Ibu gak usah khawatir." Cairan bening yang tertahan di pelupuk mata Luna menetes, ia membayangkan reaksi ibunya jika mengetahui gadis itu telah bertemu dengan orang yang selalu dirindukannya. Lelaki yang mampu melambungkan angan yang tinggi disaat Rahma selalu memuji kebaikannya, namun kini angan itu telah jatuh dan hancur tidak berbentuk.Luna sangat tahu bagaimana ibunya sangat menantikan kehadiran Deni. Berkali-kali ibunya mengabaikan saran dari
Deni hanya bisa terdiam begitu Luna menghempaskan tangannya. Dia tak menyangka akan mendapatkan penolakan dari putri kandungnya sendiri. Deni menyadari selama ini dia telah bersalah sebesar-besarnya pada Luna dan Rahma—istri pertama—yang belum diceraikannya sama sekali.Disaat mereka membutuhkan kehadirannya, Deni justru dengan teganya menghilang tanpa jejak, memberikan tabir luka pada kedua orang terkasih yang pernah sangat dicintainya, sebelum dia mengenal Farida.Seandainya segala sesuatu bisa diubah kembali, dia berharap kembali ke waktu 17 tahun yang lalu sebelum dia pergi meninggalkan Rahma dan Luna di kampung. Kembali menata ulang kehidupannya dari awal.Bahkan pertanyaan yang Luna pertanyakan padanya, tak mampu dijawab oleh Deni. Dia benar-benar malu dan merasa gagal sebagai seorang suami serta ayah.“Luna, Ayah memang bersalah pada kalian. Tapi tahukah kamu, Ayah ingin menebus semua dosa-dosa Ayah di masa lalu. Apakah tak ada se
Luna mengangkat dagunya begitu melihat Deni masih berdiri mematung tanpa melakukan apa-apa.“Ada apa, Pak Deni?” tanya Luna dengan suara yang tegas. Hatinya mulai membatu, tak ada lagi rasa rindu yang semula dirasa olehnya.“Luna, Ayah akan pulang. Tapi ... pikirkanlah kembali, apa yang sudah Ayah katakan padamu, Nak. Ayah meminta permohonan maaf darimu,” ucap Deni dengan sungguh-sungguh. Apa yang dapat dikatakan, istilah nasi sudah menjadi bubur pun berlaku bagi Deni.Sekian belas tahun menghilang, meninggalkan kedua orang yang menyayanginya, sedangkan dia?Bersama Farida, perempuan kaya, yang telah mengangkat derajatnya. Membuat Deni benar-benar lupa diri. Meski diakui dalam hatinya, rasa cinta untuk Rahma masih tetap ada.
Deni ingin Luna mendapatkan yang terbaik. Dia ingin menebus semua kesalahan yang terjadi di masa lampau pada putrinya bersama Rahma. Hanya saja, rasa takut akan penolakan Luna padanya kembali mendera perasaan Deni.Beberapa hari berlalu sejak terakhir Deni bertemu dengan Luna. Deni tak tahu jika Farida—isterinya—berencana untuk menceraikan Deni. Jika saja Farida menceraikan Deni, maka Deni akan kehilangan segala yang telah diperolehnya selama belasan tahun hidup bersama Farida.Berkali-kali Deni berusaha menemui Luna, kejadian serupa sebelumnya terulang kembali. Tapi pria itu sama sekali tak merasa putus asa. Dia hanya ingin gadis itu bisa memaafkannya. Tidak ada hal lain yang diinginkannya selain kata maaf dari bibir Luna.Ponsel Luna berdering, sebuah nama yang selalu dirindukannya muncul di layar ponsel.“Bu?”“Luna, bagaimana keadaanmu, Nak?&rdqu
Rahma benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Luna padanya. Hatinya benar-benar terasa sakit, bagai tertusuk sembilu, terluka begitu dalam. Selama ini dia mengira suami yang dicintainya setengah mati telah tiada.Tapi kenyataan yang hari ini didengarnya sendiri dari mulut Luna, benar-benar membuatnya tak percaya, jika takdir telah mempermainkan dengan bangga seluruh kehidupannya.“Lalu apakah Ayah sehat-sehat saja?” tanya Rahma pada puteri satu-satunya itu.Luna mendengus, rasanya dia sudah terlalu malas untuk membicarakan mengenai ayahnya. Hanya saja, jika dia tak menjawab pertanyaan ibunya, tentu Rahma akan merasa sedih. Meski sudah disakiti, Rahma masih saja mencintai Deni sepenuh hati, dan mendoakan kebahagiaan untuknya.“Dia sehat-sehat saja, Bu. Bahkan kehidupan Ayah jauh dari kata susah. Dia sudah mendapatkan segalanya, sehingga lupa pada kita,” ucap Luna dengan nada dingin.“Hmm, tapi kamu jangan kasar pada Ayah. Biar bagaimanapun, tanpa Ayah, kamu nggak aka
Terdengar suara getaran ponsel di atas nakas, dengan malas Luna meraihnya dan melihat panggilan dari nomor yang tidak dikenal."Halo …." sapanya."Halo, apa benar ini dengan Luna Elvira?" tanya wanita dari seberang telpon."Iya, saya Luna. Ini siapa?""Saya Farida Sulastri, istri dari Bapak Deni Hermawan!" Suara wanita itu lantang tapi bergetar."Si-siapa?" tanya Luna gugup. Dia bukan tidak mendengar, Luna hanya tidak percaya wanita itu akan menghubunginya."Farida Sulastri."Setelah menerima telpon dari Farida, Luna kemudian bersiap-siap untuk pergi ke taman dimana Farida meminta Luna menemuinya. Dengan memakai kaos berwarna hijau lumut dipadukan dengan celana jeans berwarna hitam Luna pergi meninggalkan rumah kost dengan mengendarai motor maticnya.Sebenarnya ia bingung, untuk apa istri pemilik restoran
Namun tidak jauh dari sana terlihat seorang wanita mengikuti mereka, yang tidak lain adalah Farida, istri Deni. Ia tidak menyangka suaminya akan sekeras ini mencari Luna. Hancur rasa hatinya, air mata tidak dapat ia tahan. Ia terus mengikuti suami dan gadis yang ia pikir adalah selingkuhan suaminya.Ia berhenti dibawah pohon ketika orang yang diikutinya sampai di sebuah rumah dan suaminya duduk di kursi yang terletak di teras dan tak lama kemudian Luna pun duduk di kursi di depan Deni. Farida terus memperhatikan Deni dan Luna dari balik pohon yang terletak di pinggir jalan di depan rumah Luna.Deni dan Luna terlihat berbincang dengan serius namun Farida tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Rasa panas di dada ia tahan, ia ingin tahu apa yang dilakukan suaminya itu setelah ini.Beberapa saat kemudian Deni terlihat berdiri lalu kemudian berjongkok di depan Luna dan meraih tangannya. Deni seperti menangis dan tak lama setelah itu Deni terlihat memeluk Luna da
Farida sedang menangis, di sebuah kamar hotel. Ia tidak tahu harus pergi kemana untuk mengusir kegalauan hatinya, hingga ia menyewa kamar hotel. Jika ia pulang ke rumah, ia takut anak-anaknya akan melihat Farida dalam keadaan kacau, tentu saja ia tidak ingin hal itu terjadi. Ia tidak ingin anak-anaknya melihat kalau ia dan Deni sedang bermasalah. Meski hatinya hancur berkeping-keping, saat melihat suaminya berpelukan di depan matanya, namun ia tidak ingin buah hatinya mengetahui itu.Selama ini rumah tangganya baik-baik saja, tidak pernah ada masalah yang terlalu berat. Ia begitu bahagia hidup dengan Deni dan juga anak-anaknya.Hingga hari itu, di saat seseorang mengirim sebuah foto melalui pesan wa, di foto itu terlihat Deni dan Luna sedang makan bersama di sebuah restoran, tapi bukan di restoran milik Deni. Melihat itu hati Farida panas, ia ingin sekali memaki dan menghajar lelaki yang menjadi imamnya itu, namun ia masih menahan diri.Di saat Farida seda
Rahma benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Luna padanya. Hatinya benar-benar terasa sakit, bagai tertusuk sembilu, terluka begitu dalam. Selama ini dia mengira suami yang dicintainya setengah mati telah tiada.Tapi kenyataan yang hari ini didengarnya sendiri dari mulut Luna, benar-benar membuatnya tak percaya, jika takdir telah mempermainkan dengan bangga seluruh kehidupannya.“Lalu apakah Ayah sehat-sehat saja?” tanya Rahma pada puteri satu-satunya itu.Luna mendengus, rasanya dia sudah terlalu malas untuk membicarakan mengenai ayahnya. Hanya saja, jika dia tak menjawab pertanyaan ibunya, tentu Rahma akan merasa sedih. Meski sudah disakiti, Rahma masih saja mencintai Deni sepenuh hati, dan mendoakan kebahagiaan untuknya.“Dia sehat-sehat saja, Bu. Bahkan kehidupan Ayah jauh dari kata susah. Dia sudah mendapatkan segalanya, sehingga lupa pada kita,” ucap Luna dengan nada dingin.“Hmm, tapi kamu jangan kasar pada Ayah. Biar bagaimanapun, tanpa Ayah, kamu nggak aka
Deni ingin Luna mendapatkan yang terbaik. Dia ingin menebus semua kesalahan yang terjadi di masa lampau pada putrinya bersama Rahma. Hanya saja, rasa takut akan penolakan Luna padanya kembali mendera perasaan Deni.Beberapa hari berlalu sejak terakhir Deni bertemu dengan Luna. Deni tak tahu jika Farida—isterinya—berencana untuk menceraikan Deni. Jika saja Farida menceraikan Deni, maka Deni akan kehilangan segala yang telah diperolehnya selama belasan tahun hidup bersama Farida.Berkali-kali Deni berusaha menemui Luna, kejadian serupa sebelumnya terulang kembali. Tapi pria itu sama sekali tak merasa putus asa. Dia hanya ingin gadis itu bisa memaafkannya. Tidak ada hal lain yang diinginkannya selain kata maaf dari bibir Luna.Ponsel Luna berdering, sebuah nama yang selalu dirindukannya muncul di layar ponsel.“Bu?”“Luna, bagaimana keadaanmu, Nak?&rdqu
Luna mengangkat dagunya begitu melihat Deni masih berdiri mematung tanpa melakukan apa-apa.“Ada apa, Pak Deni?” tanya Luna dengan suara yang tegas. Hatinya mulai membatu, tak ada lagi rasa rindu yang semula dirasa olehnya.“Luna, Ayah akan pulang. Tapi ... pikirkanlah kembali, apa yang sudah Ayah katakan padamu, Nak. Ayah meminta permohonan maaf darimu,” ucap Deni dengan sungguh-sungguh. Apa yang dapat dikatakan, istilah nasi sudah menjadi bubur pun berlaku bagi Deni.Sekian belas tahun menghilang, meninggalkan kedua orang yang menyayanginya, sedangkan dia?Bersama Farida, perempuan kaya, yang telah mengangkat derajatnya. Membuat Deni benar-benar lupa diri. Meski diakui dalam hatinya, rasa cinta untuk Rahma masih tetap ada.
Deni hanya bisa terdiam begitu Luna menghempaskan tangannya. Dia tak menyangka akan mendapatkan penolakan dari putri kandungnya sendiri. Deni menyadari selama ini dia telah bersalah sebesar-besarnya pada Luna dan Rahma—istri pertama—yang belum diceraikannya sama sekali.Disaat mereka membutuhkan kehadirannya, Deni justru dengan teganya menghilang tanpa jejak, memberikan tabir luka pada kedua orang terkasih yang pernah sangat dicintainya, sebelum dia mengenal Farida.Seandainya segala sesuatu bisa diubah kembali, dia berharap kembali ke waktu 17 tahun yang lalu sebelum dia pergi meninggalkan Rahma dan Luna di kampung. Kembali menata ulang kehidupannya dari awal.Bahkan pertanyaan yang Luna pertanyakan padanya, tak mampu dijawab oleh Deni. Dia benar-benar malu dan merasa gagal sebagai seorang suami serta ayah.“Luna, Ayah memang bersalah pada kalian. Tapi tahukah kamu, Ayah ingin menebus semua dosa-dosa Ayah di masa lalu. Apakah tak ada se
"Halo, Luna! Kenapa diam saja?""Halo, Bu!" Sapa Luna setelah ia mampu membuang sedikit rasa sesak di dadanya. Ia berusaha membuat suaranya senormal mungkin."Apa kabarmu, Nak! Tiba-tiba perasaan ibu gak enak saat ingat sama kamu. Ibu jadi khawatir ada apa-apa." Terdengar suara lemah Rahma dari seberang telepon. Penglihatan Luna kembali mengabur, cairan bening menutupi bola matanya. Seorang ibu memang bisa merasakan apa yang anaknya rasakan, meski jarak memisahkan."Luna baik-baik saja, Bu! Ibu gak usah khawatir." Cairan bening yang tertahan di pelupuk mata Luna menetes, ia membayangkan reaksi ibunya jika mengetahui gadis itu telah bertemu dengan orang yang selalu dirindukannya. Lelaki yang mampu melambungkan angan yang tinggi disaat Rahma selalu memuji kebaikannya, namun kini angan itu telah jatuh dan hancur tidak berbentuk.Luna sangat tahu bagaimana ibunya sangat menantikan kehadiran Deni. Berkali-kali ibunya mengabaikan saran dari
Setelah kepergian Deni, Luna lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu. Ia menangkupkan tubuhnya ke atas kasur dan menumpahkan air mata yang tiba-tiba berhamburan keluar.“Lun, maafkan saya. Saya hanya ingin memastikan, apakah kamu mengenal orang yang ada di dalam foto ini?” Luna kembali teringat dengan pertanyaan Deni tadi. Lelaki itu mengeluarkan sebuah foto yang telah usang dari dompetnya dan memberikannya pada Luna. Foto itu sedikit terlipat di bagian ujungnya.“Bapak dapat foto ini dari mana?” tanya Luna heran, ia pernah melihat foto yang sama dengan yang ada di tangannya kini, bahkan foto itu sekarang masih ada di dalam lemarinya. Terlihat di selembar kertas itu gambar sepasang suami istri dengan seorang anak kira-kira berumur satu tahun dipangku sang ibu. Sebuah keluarga kecil, itu adalah ayah, ibu dan Luna. Rahma dulu memberitahunya bahwa foto itu diambil beberapa hari sebelum ayahnya pergi ke kota. ‘bagaimana bisa foto ini ada
Farida yang mendengar suaminya berkata blak-blakan tentang perasaannya bertemu dengan perempuan lain, itu membuat hatinya semakin panas dan meradang. Bara di hatinya seolah membakar tubuhnya, wajah Farida memerah karena marah. Ia berusaha menahan ledakan yang ada di dadanya.Air mata yang tadi sempat berhenti mengalir, kini cairan bening itu tumpah ruah tanpa bisa ditahan. Goresan luka yang ada di hatinya kini semakin dalam bahkan telah hancur berkeping-keping. Hancur!"Ma, aku memang salah, aku sudah berbohong sama kamu, tapi aku nggak pernah mengkhianatimu." Deni semakin merasa bersalah melihat wajah istrinya yang basah karena cucuran air mata. Tidak pernah terbesit di dalam benaknya untuk menyakiti ibu dari anak-anaknya itu. Farida menatapnya tajam.'Apa maksudnya mengatakan gak pernah mengkhianati, tapi bahagia telah menemukan gadis itu?' batin ibu dari tiga orang anak itu. Ucapan suaminya sungguh tidak masuk dalam logikanya."Jahat
Farida berlalu begitu saja, tanpa merespon kata-kata Deni. Ia begitu muak melihat wajah lelaki yang telah membersamainya sekian tahun."Sudah sampai, Da?" tanya Asih pada anak semata wayangnya itu. Farida langsung memeluk ibunya, ia berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. Ia tidak ingin ibunya mengetahui masalahnya."Aku kangen, Bu!" isaknya, ia sengaja mengatakan itu agar ibunya tidak menanyakan hal yang macam-macam."Iya, ibu juga kangen. Ayo duduk, ibu tau kalian lagi ada masalah, selesaikanlah dengan baik-baik. Kalian sudah dewasa, nggak baik menghindar." Mendengar ucapan Asih, Farida semakin terisak. Ia memang tidak pintar menutupi sesuatu dari ibunya. Ia mengikuti ibunya untuk duduk di sofa."Aku mau pisah dari dia, Bu! Dia sudah menghianatiku." ucap Farida tiba-tiba saat mereka sudah duduk. Ia menghambur ke dalam pelukan Asih yang duduk di sebelahnya. Hal itu cukup membuat Asih syok, wajahnya memerah dan rahangnya mengeras, ia menahan amara
Farida sedang menangis, di sebuah kamar hotel. Ia tidak tahu harus pergi kemana untuk mengusir kegalauan hatinya, hingga ia menyewa kamar hotel. Jika ia pulang ke rumah, ia takut anak-anaknya akan melihat Farida dalam keadaan kacau, tentu saja ia tidak ingin hal itu terjadi. Ia tidak ingin anak-anaknya melihat kalau ia dan Deni sedang bermasalah. Meski hatinya hancur berkeping-keping, saat melihat suaminya berpelukan di depan matanya, namun ia tidak ingin buah hatinya mengetahui itu.Selama ini rumah tangganya baik-baik saja, tidak pernah ada masalah yang terlalu berat. Ia begitu bahagia hidup dengan Deni dan juga anak-anaknya.Hingga hari itu, di saat seseorang mengirim sebuah foto melalui pesan wa, di foto itu terlihat Deni dan Luna sedang makan bersama di sebuah restoran, tapi bukan di restoran milik Deni. Melihat itu hati Farida panas, ia ingin sekali memaki dan menghajar lelaki yang menjadi imamnya itu, namun ia masih menahan diri.Di saat Farida seda