Namun tidak jauh dari sana terlihat seorang wanita mengikuti mereka, yang tidak lain adalah Farida, istri Deni. Ia tidak menyangka suaminya akan sekeras ini mencari Luna. Hancur rasa hatinya, air mata tidak dapat ia tahan. Ia terus mengikuti suami dan gadis yang ia pikir adalah selingkuhan suaminya.
Ia berhenti dibawah pohon ketika orang yang diikutinya sampai di sebuah rumah dan suaminya duduk di kursi yang terletak di teras dan tak lama kemudian Luna pun duduk di kursi di depan Deni. Farida terus memperhatikan Deni dan Luna dari balik pohon yang terletak di pinggir jalan di depan rumah Luna.
Deni dan Luna terlihat berbincang dengan serius namun Farida tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Rasa panas di dada ia tahan, ia ingin tahu apa yang dilakukan suaminya itu setelah ini.
Beberapa saat kemudian Deni terlihat berdiri lalu kemudian berjongkok di depan Luna dan meraih tangannya. Deni seperti menangis dan tak lama setelah itu Deni terlihat memeluk Luna dan bahkan Luna membalasnya.
Melihat suaminya yang berpelukan dengan wanita lain membuat hati Farida hancur. Cairan bening kini menganak sungai mengalir membasahi pipinya. Selama ini ia begitu percaya pada lelaki itu, namun dengan mudahnya ia berkhianat.
Melihat itu Farida tidak tahan lagi, ia bergegas menghampiri dua orang yang telah menyakitinya itu. Ditariknya baju suaminya dari belakang hingga suaminya berbalik.
"Tega kamu, Pa!" teriaknya sambil terisak.
"Ma, aku bisa jelasin, Ma!" ucap Deni tanpa ragu.
Plak!
Tiba-tiba Farida menampar Luna hingga gadis itu terhuyung karena tidak menyangka akan mendapat tamparan dari Farida. Luna hanya bisa mengelus pipinya yang terasa sakit.
"Dasar j*l*ng! Memangnya tidak ada laki-laki lain yang bisa kamu goda selain suami orang, ha!" ujar Farida sambil menunjuk ke arah Luna, namun gadis itu hanya diam saja, dia tidak tahu harus berbuat apa. Dada Farida terlihat naik turun, pertanda emosinya sedang meluap.
"Jangan begitu, Ma. Semua nggak seperti yang kamu pikirkan!" ujar Deni, lembut. Ia mencoba meraih tangan istrinya namun ditepis oleh Farida.
"Lalu apa, Pa? Aku melihat sendiri kamu memeluk perempuan ini, itu udah melihat langsung, nggak perlu lagi penjelasan darimu! Apa yang ku lihat, itu sudah cukup! Jahat kamu, Pa! Apa salahku?" teriak Farida, tangisnya kini semakin menjadi. Ia terduduk lemas di lantai, ia tidak pernah membayangkan kalau pernikahannya akan hancur untuk kedua kalinya.
"Jangan bicara seperti itu, Sayang. Luna bukan selingkuhanku." Deni mencoba menenangkan Farida , namun istri Deni itu tidak mau mendengarkan penjelasan Deni, ia lebih percaya dengan apa yang ia lihat. Deni berusaha untuk memeluk istrinya, namun ia didorong oleh Farida hingga tubuhnya terjungkal ke belakang.
“Lebih baik papa ceraikan saja aku, Pa! Aku nggak sanggup jika dimadu.” Ucap Farida seraya beranjak dari duduknya, lalu berlari meninggalkan Deni dan Luna.
“Maaf, Sayang! Saya harus mengejar istri saya dulu. Saya janji, akan datang kesini lagi setelah saya menjelaskan pada Farida. Dia pasti akan mengerti. Sekali lagi, tolong maafin saya.” Ucap Deni sebelum ia bergegas meninggalkan Luna yang masih syok dengan apa yang baru saja terjadi.
Deni pun menyusul Farida. Wanita itu menghentikan pengendara motor yang kebetulan lewat di sana, dan pengendara itu membawanya pergi. Hal itu membuat Deni tidak dapat mengejar istrinya. Akhirnya Deni memutuskan untuk menemui ibu dari anaknya itu langsung di rumah.
Sesampai di rumah, Deni langsung mencari Farida, namun ternyata wanita itu belum ada di rumah. Deni pun berusaha menghubungi Farida lewat panggilan telepon, namun tidak diangkat. Kemudian Deni langsung meninggalkan rumahnya, ia menuju ke rumah mertuanya yang kira-kira berjarak sepuluh kilometer dari rumahnya.
Rasa bersalah menggelayut di hati Deni, ia tidak berniat membohongi istrinya, ia takut jika ia menceritakan semua pada Farida, maka istrinya itu akan marah dan meninggalkannya. Deni tidak rela jika harus berpisah dari perempuan yang telah melahirkan anaknya itu, karena ia sangat mencintai Farida.
Tok! Tok! Tok!
Setelah sampai di rumah orang tua Farida, Deni mengetuk pintu. Beberapa waktu kemudian, akhirnya pintu dibukakan oleh seseorang.
"Sendirian, Den? Istri dan anak-anakmu mana?" tanya Asih, ibu Farida, setelah melihat menantunya datang sendirian. Pertanyaan Asih membuat Deni menelan ludah. 'Berarti Farida gak ada disini.' batinnya.
"Den?" panggil Asih, ia heran melihat Deni seperti orang yang sedang bingung. "ada apa?" Deni bingung harus menjawab apa.
"Farida nggak ada kesini, Bu?" tanya Deni akhirnya. Mata Asih menyipit mendengar pertanyaan menantunya itu.
"Loh, kok kamu tanya istri kamu, emang dia nggak bilang pergi kemana? Apa kalian lagi berantem?" Selidik Asih, ia menatap tajam Deni, membuat lelaki itu salah tingkah.
"Hanya sedikit salah paham, Bu!" Elak Deni.
"Salah paham gimana, sampai pergi dari rumah seperti ini. Duduklah dulu, ibu coba telpon dia. Biar ibu suruh kesini saja." ujar Asih, ia pun pergi untuk mengambil ponsel yang ia taruh di ruang keluarga.
Asih kemudian menelpon Farida, sambil berjalan ke ruang tamu, dimana Deni sedang menunggu. Terdengar suara pertanda panggilan telah terhubung.
"Halo, Bu!" Suara Farida dari seberang, suaranya terdengar parau. Asih yakin anaknya sedang menangis, hal itu membuatnya melirik pada Deni. 'apa yang telah orang ini lakukan, hingga anakku menangis?'
"Halo, Da! Kamu lagi dimana? Bisa kamu ke rumah ibu, Nak? Ibu kangen sama kamu." Asih tidak berbohong, ia memang sedang merindukan anaknya itu.
"Aku lagi di luar, Bu! Nanti aku mampir di rumah ibu." jawab Farida.
"Hal penting apa di luar sana yang membuat ibumu ini harus menunggu lebih lama, Da? Apa hal itu lebih penting dari ibu?" Asih memelas, ia tahu putrinya itu akan segera datang jika mendengar kata-kata itu.
"Bukan begitu, Bu! Aku lagi ada urusan sebentar, nanti kalau udah selesai, aku langsung ke sana, Bu." Sambungan telepon pun terputus. Tatapan Asih pada Deni membuat pria itu tertunduk, ia seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang mencuri. Ia tahu jika kesalahannya kali ini mungkin sulit dimaafkan. Wanita berusia enam puluh lima tahun itu beranjak meninggalkan Deni disana. Perasaannya mengatakan ada yang tidak beres dengan menantunya.
Setelah hampir satu jam Deni menunggu, tapi Farida belum juga menunjukkan keberadaannya di rumah Asih, akhirnya Deni minta izin pada mertuanya untuk pergi ke restoran.
"Bu," panggil Deni dari depan pintu kamar Asih. Tidak menunggu lama, Asih pun membuka pintu kamarnya.
"Ada apa, Den?"
"Aku mau pamit ke restoran sebentar, Bu. Nanti aku ke sini lagi."
"Oh, iya sudah, nanti kalau Farida sudah datang ibu kabari." Ucap Asih pada menantunya itu.
Farida sedang menangis, di sebuah kamar hotel. Ia tidak tahu harus pergi kemana untuk mengusir kegalauan hatinya, hingga ia menyewa kamar hotel. Jika ia pulang ke rumah, ia takut anak-anaknya akan melihat Farida dalam keadaan kacau, tentu saja ia tidak ingin hal itu terjadi. Ia tidak ingin anak-anaknya melihat kalau ia dan Deni sedang bermasalah. Meski hatinya hancur berkeping-keping, saat melihat suaminya berpelukan di depan matanya, namun ia tidak ingin buah hatinya mengetahui itu.Selama ini rumah tangganya baik-baik saja, tidak pernah ada masalah yang terlalu berat. Ia begitu bahagia hidup dengan Deni dan juga anak-anaknya.Hingga hari itu, di saat seseorang mengirim sebuah foto melalui pesan wa, di foto itu terlihat Deni dan Luna sedang makan bersama di sebuah restoran, tapi bukan di restoran milik Deni. Melihat itu hati Farida panas, ia ingin sekali memaki dan menghajar lelaki yang menjadi imamnya itu, namun ia masih menahan diri.Di saat Farida seda
Farida berlalu begitu saja, tanpa merespon kata-kata Deni. Ia begitu muak melihat wajah lelaki yang telah membersamainya sekian tahun."Sudah sampai, Da?" tanya Asih pada anak semata wayangnya itu. Farida langsung memeluk ibunya, ia berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. Ia tidak ingin ibunya mengetahui masalahnya."Aku kangen, Bu!" isaknya, ia sengaja mengatakan itu agar ibunya tidak menanyakan hal yang macam-macam."Iya, ibu juga kangen. Ayo duduk, ibu tau kalian lagi ada masalah, selesaikanlah dengan baik-baik. Kalian sudah dewasa, nggak baik menghindar." Mendengar ucapan Asih, Farida semakin terisak. Ia memang tidak pintar menutupi sesuatu dari ibunya. Ia mengikuti ibunya untuk duduk di sofa."Aku mau pisah dari dia, Bu! Dia sudah menghianatiku." ucap Farida tiba-tiba saat mereka sudah duduk. Ia menghambur ke dalam pelukan Asih yang duduk di sebelahnya. Hal itu cukup membuat Asih syok, wajahnya memerah dan rahangnya mengeras, ia menahan amara
Farida yang mendengar suaminya berkata blak-blakan tentang perasaannya bertemu dengan perempuan lain, itu membuat hatinya semakin panas dan meradang. Bara di hatinya seolah membakar tubuhnya, wajah Farida memerah karena marah. Ia berusaha menahan ledakan yang ada di dadanya.Air mata yang tadi sempat berhenti mengalir, kini cairan bening itu tumpah ruah tanpa bisa ditahan. Goresan luka yang ada di hatinya kini semakin dalam bahkan telah hancur berkeping-keping. Hancur!"Ma, aku memang salah, aku sudah berbohong sama kamu, tapi aku nggak pernah mengkhianatimu." Deni semakin merasa bersalah melihat wajah istrinya yang basah karena cucuran air mata. Tidak pernah terbesit di dalam benaknya untuk menyakiti ibu dari anak-anaknya itu. Farida menatapnya tajam.'Apa maksudnya mengatakan gak pernah mengkhianati, tapi bahagia telah menemukan gadis itu?' batin ibu dari tiga orang anak itu. Ucapan suaminya sungguh tidak masuk dalam logikanya."Jahat
Setelah kepergian Deni, Luna lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu. Ia menangkupkan tubuhnya ke atas kasur dan menumpahkan air mata yang tiba-tiba berhamburan keluar.“Lun, maafkan saya. Saya hanya ingin memastikan, apakah kamu mengenal orang yang ada di dalam foto ini?” Luna kembali teringat dengan pertanyaan Deni tadi. Lelaki itu mengeluarkan sebuah foto yang telah usang dari dompetnya dan memberikannya pada Luna. Foto itu sedikit terlipat di bagian ujungnya.“Bapak dapat foto ini dari mana?” tanya Luna heran, ia pernah melihat foto yang sama dengan yang ada di tangannya kini, bahkan foto itu sekarang masih ada di dalam lemarinya. Terlihat di selembar kertas itu gambar sepasang suami istri dengan seorang anak kira-kira berumur satu tahun dipangku sang ibu. Sebuah keluarga kecil, itu adalah ayah, ibu dan Luna. Rahma dulu memberitahunya bahwa foto itu diambil beberapa hari sebelum ayahnya pergi ke kota. ‘bagaimana bisa foto ini ada
"Halo, Luna! Kenapa diam saja?""Halo, Bu!" Sapa Luna setelah ia mampu membuang sedikit rasa sesak di dadanya. Ia berusaha membuat suaranya senormal mungkin."Apa kabarmu, Nak! Tiba-tiba perasaan ibu gak enak saat ingat sama kamu. Ibu jadi khawatir ada apa-apa." Terdengar suara lemah Rahma dari seberang telepon. Penglihatan Luna kembali mengabur, cairan bening menutupi bola matanya. Seorang ibu memang bisa merasakan apa yang anaknya rasakan, meski jarak memisahkan."Luna baik-baik saja, Bu! Ibu gak usah khawatir." Cairan bening yang tertahan di pelupuk mata Luna menetes, ia membayangkan reaksi ibunya jika mengetahui gadis itu telah bertemu dengan orang yang selalu dirindukannya. Lelaki yang mampu melambungkan angan yang tinggi disaat Rahma selalu memuji kebaikannya, namun kini angan itu telah jatuh dan hancur tidak berbentuk.Luna sangat tahu bagaimana ibunya sangat menantikan kehadiran Deni. Berkali-kali ibunya mengabaikan saran dari
Deni hanya bisa terdiam begitu Luna menghempaskan tangannya. Dia tak menyangka akan mendapatkan penolakan dari putri kandungnya sendiri. Deni menyadari selama ini dia telah bersalah sebesar-besarnya pada Luna dan Rahma—istri pertama—yang belum diceraikannya sama sekali.Disaat mereka membutuhkan kehadirannya, Deni justru dengan teganya menghilang tanpa jejak, memberikan tabir luka pada kedua orang terkasih yang pernah sangat dicintainya, sebelum dia mengenal Farida.Seandainya segala sesuatu bisa diubah kembali, dia berharap kembali ke waktu 17 tahun yang lalu sebelum dia pergi meninggalkan Rahma dan Luna di kampung. Kembali menata ulang kehidupannya dari awal.Bahkan pertanyaan yang Luna pertanyakan padanya, tak mampu dijawab oleh Deni. Dia benar-benar malu dan merasa gagal sebagai seorang suami serta ayah.“Luna, Ayah memang bersalah pada kalian. Tapi tahukah kamu, Ayah ingin menebus semua dosa-dosa Ayah di masa lalu. Apakah tak ada se
Luna mengangkat dagunya begitu melihat Deni masih berdiri mematung tanpa melakukan apa-apa.“Ada apa, Pak Deni?” tanya Luna dengan suara yang tegas. Hatinya mulai membatu, tak ada lagi rasa rindu yang semula dirasa olehnya.“Luna, Ayah akan pulang. Tapi ... pikirkanlah kembali, apa yang sudah Ayah katakan padamu, Nak. Ayah meminta permohonan maaf darimu,” ucap Deni dengan sungguh-sungguh. Apa yang dapat dikatakan, istilah nasi sudah menjadi bubur pun berlaku bagi Deni.Sekian belas tahun menghilang, meninggalkan kedua orang yang menyayanginya, sedangkan dia?Bersama Farida, perempuan kaya, yang telah mengangkat derajatnya. Membuat Deni benar-benar lupa diri. Meski diakui dalam hatinya, rasa cinta untuk Rahma masih tetap ada.
Deni ingin Luna mendapatkan yang terbaik. Dia ingin menebus semua kesalahan yang terjadi di masa lampau pada putrinya bersama Rahma. Hanya saja, rasa takut akan penolakan Luna padanya kembali mendera perasaan Deni.Beberapa hari berlalu sejak terakhir Deni bertemu dengan Luna. Deni tak tahu jika Farida—isterinya—berencana untuk menceraikan Deni. Jika saja Farida menceraikan Deni, maka Deni akan kehilangan segala yang telah diperolehnya selama belasan tahun hidup bersama Farida.Berkali-kali Deni berusaha menemui Luna, kejadian serupa sebelumnya terulang kembali. Tapi pria itu sama sekali tak merasa putus asa. Dia hanya ingin gadis itu bisa memaafkannya. Tidak ada hal lain yang diinginkannya selain kata maaf dari bibir Luna.Ponsel Luna berdering, sebuah nama yang selalu dirindukannya muncul di layar ponsel.“Bu?”“Luna, bagaimana keadaanmu, Nak?&rdqu
Rahma benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Luna padanya. Hatinya benar-benar terasa sakit, bagai tertusuk sembilu, terluka begitu dalam. Selama ini dia mengira suami yang dicintainya setengah mati telah tiada.Tapi kenyataan yang hari ini didengarnya sendiri dari mulut Luna, benar-benar membuatnya tak percaya, jika takdir telah mempermainkan dengan bangga seluruh kehidupannya.“Lalu apakah Ayah sehat-sehat saja?” tanya Rahma pada puteri satu-satunya itu.Luna mendengus, rasanya dia sudah terlalu malas untuk membicarakan mengenai ayahnya. Hanya saja, jika dia tak menjawab pertanyaan ibunya, tentu Rahma akan merasa sedih. Meski sudah disakiti, Rahma masih saja mencintai Deni sepenuh hati, dan mendoakan kebahagiaan untuknya.“Dia sehat-sehat saja, Bu. Bahkan kehidupan Ayah jauh dari kata susah. Dia sudah mendapatkan segalanya, sehingga lupa pada kita,” ucap Luna dengan nada dingin.“Hmm, tapi kamu jangan kasar pada Ayah. Biar bagaimanapun, tanpa Ayah, kamu nggak aka
Deni ingin Luna mendapatkan yang terbaik. Dia ingin menebus semua kesalahan yang terjadi di masa lampau pada putrinya bersama Rahma. Hanya saja, rasa takut akan penolakan Luna padanya kembali mendera perasaan Deni.Beberapa hari berlalu sejak terakhir Deni bertemu dengan Luna. Deni tak tahu jika Farida—isterinya—berencana untuk menceraikan Deni. Jika saja Farida menceraikan Deni, maka Deni akan kehilangan segala yang telah diperolehnya selama belasan tahun hidup bersama Farida.Berkali-kali Deni berusaha menemui Luna, kejadian serupa sebelumnya terulang kembali. Tapi pria itu sama sekali tak merasa putus asa. Dia hanya ingin gadis itu bisa memaafkannya. Tidak ada hal lain yang diinginkannya selain kata maaf dari bibir Luna.Ponsel Luna berdering, sebuah nama yang selalu dirindukannya muncul di layar ponsel.“Bu?”“Luna, bagaimana keadaanmu, Nak?&rdqu
Luna mengangkat dagunya begitu melihat Deni masih berdiri mematung tanpa melakukan apa-apa.“Ada apa, Pak Deni?” tanya Luna dengan suara yang tegas. Hatinya mulai membatu, tak ada lagi rasa rindu yang semula dirasa olehnya.“Luna, Ayah akan pulang. Tapi ... pikirkanlah kembali, apa yang sudah Ayah katakan padamu, Nak. Ayah meminta permohonan maaf darimu,” ucap Deni dengan sungguh-sungguh. Apa yang dapat dikatakan, istilah nasi sudah menjadi bubur pun berlaku bagi Deni.Sekian belas tahun menghilang, meninggalkan kedua orang yang menyayanginya, sedangkan dia?Bersama Farida, perempuan kaya, yang telah mengangkat derajatnya. Membuat Deni benar-benar lupa diri. Meski diakui dalam hatinya, rasa cinta untuk Rahma masih tetap ada.
Deni hanya bisa terdiam begitu Luna menghempaskan tangannya. Dia tak menyangka akan mendapatkan penolakan dari putri kandungnya sendiri. Deni menyadari selama ini dia telah bersalah sebesar-besarnya pada Luna dan Rahma—istri pertama—yang belum diceraikannya sama sekali.Disaat mereka membutuhkan kehadirannya, Deni justru dengan teganya menghilang tanpa jejak, memberikan tabir luka pada kedua orang terkasih yang pernah sangat dicintainya, sebelum dia mengenal Farida.Seandainya segala sesuatu bisa diubah kembali, dia berharap kembali ke waktu 17 tahun yang lalu sebelum dia pergi meninggalkan Rahma dan Luna di kampung. Kembali menata ulang kehidupannya dari awal.Bahkan pertanyaan yang Luna pertanyakan padanya, tak mampu dijawab oleh Deni. Dia benar-benar malu dan merasa gagal sebagai seorang suami serta ayah.“Luna, Ayah memang bersalah pada kalian. Tapi tahukah kamu, Ayah ingin menebus semua dosa-dosa Ayah di masa lalu. Apakah tak ada se
"Halo, Luna! Kenapa diam saja?""Halo, Bu!" Sapa Luna setelah ia mampu membuang sedikit rasa sesak di dadanya. Ia berusaha membuat suaranya senormal mungkin."Apa kabarmu, Nak! Tiba-tiba perasaan ibu gak enak saat ingat sama kamu. Ibu jadi khawatir ada apa-apa." Terdengar suara lemah Rahma dari seberang telepon. Penglihatan Luna kembali mengabur, cairan bening menutupi bola matanya. Seorang ibu memang bisa merasakan apa yang anaknya rasakan, meski jarak memisahkan."Luna baik-baik saja, Bu! Ibu gak usah khawatir." Cairan bening yang tertahan di pelupuk mata Luna menetes, ia membayangkan reaksi ibunya jika mengetahui gadis itu telah bertemu dengan orang yang selalu dirindukannya. Lelaki yang mampu melambungkan angan yang tinggi disaat Rahma selalu memuji kebaikannya, namun kini angan itu telah jatuh dan hancur tidak berbentuk.Luna sangat tahu bagaimana ibunya sangat menantikan kehadiran Deni. Berkali-kali ibunya mengabaikan saran dari
Setelah kepergian Deni, Luna lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu. Ia menangkupkan tubuhnya ke atas kasur dan menumpahkan air mata yang tiba-tiba berhamburan keluar.“Lun, maafkan saya. Saya hanya ingin memastikan, apakah kamu mengenal orang yang ada di dalam foto ini?” Luna kembali teringat dengan pertanyaan Deni tadi. Lelaki itu mengeluarkan sebuah foto yang telah usang dari dompetnya dan memberikannya pada Luna. Foto itu sedikit terlipat di bagian ujungnya.“Bapak dapat foto ini dari mana?” tanya Luna heran, ia pernah melihat foto yang sama dengan yang ada di tangannya kini, bahkan foto itu sekarang masih ada di dalam lemarinya. Terlihat di selembar kertas itu gambar sepasang suami istri dengan seorang anak kira-kira berumur satu tahun dipangku sang ibu. Sebuah keluarga kecil, itu adalah ayah, ibu dan Luna. Rahma dulu memberitahunya bahwa foto itu diambil beberapa hari sebelum ayahnya pergi ke kota. ‘bagaimana bisa foto ini ada
Farida yang mendengar suaminya berkata blak-blakan tentang perasaannya bertemu dengan perempuan lain, itu membuat hatinya semakin panas dan meradang. Bara di hatinya seolah membakar tubuhnya, wajah Farida memerah karena marah. Ia berusaha menahan ledakan yang ada di dadanya.Air mata yang tadi sempat berhenti mengalir, kini cairan bening itu tumpah ruah tanpa bisa ditahan. Goresan luka yang ada di hatinya kini semakin dalam bahkan telah hancur berkeping-keping. Hancur!"Ma, aku memang salah, aku sudah berbohong sama kamu, tapi aku nggak pernah mengkhianatimu." Deni semakin merasa bersalah melihat wajah istrinya yang basah karena cucuran air mata. Tidak pernah terbesit di dalam benaknya untuk menyakiti ibu dari anak-anaknya itu. Farida menatapnya tajam.'Apa maksudnya mengatakan gak pernah mengkhianati, tapi bahagia telah menemukan gadis itu?' batin ibu dari tiga orang anak itu. Ucapan suaminya sungguh tidak masuk dalam logikanya."Jahat
Farida berlalu begitu saja, tanpa merespon kata-kata Deni. Ia begitu muak melihat wajah lelaki yang telah membersamainya sekian tahun."Sudah sampai, Da?" tanya Asih pada anak semata wayangnya itu. Farida langsung memeluk ibunya, ia berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. Ia tidak ingin ibunya mengetahui masalahnya."Aku kangen, Bu!" isaknya, ia sengaja mengatakan itu agar ibunya tidak menanyakan hal yang macam-macam."Iya, ibu juga kangen. Ayo duduk, ibu tau kalian lagi ada masalah, selesaikanlah dengan baik-baik. Kalian sudah dewasa, nggak baik menghindar." Mendengar ucapan Asih, Farida semakin terisak. Ia memang tidak pintar menutupi sesuatu dari ibunya. Ia mengikuti ibunya untuk duduk di sofa."Aku mau pisah dari dia, Bu! Dia sudah menghianatiku." ucap Farida tiba-tiba saat mereka sudah duduk. Ia menghambur ke dalam pelukan Asih yang duduk di sebelahnya. Hal itu cukup membuat Asih syok, wajahnya memerah dan rahangnya mengeras, ia menahan amara
Farida sedang menangis, di sebuah kamar hotel. Ia tidak tahu harus pergi kemana untuk mengusir kegalauan hatinya, hingga ia menyewa kamar hotel. Jika ia pulang ke rumah, ia takut anak-anaknya akan melihat Farida dalam keadaan kacau, tentu saja ia tidak ingin hal itu terjadi. Ia tidak ingin anak-anaknya melihat kalau ia dan Deni sedang bermasalah. Meski hatinya hancur berkeping-keping, saat melihat suaminya berpelukan di depan matanya, namun ia tidak ingin buah hatinya mengetahui itu.Selama ini rumah tangganya baik-baik saja, tidak pernah ada masalah yang terlalu berat. Ia begitu bahagia hidup dengan Deni dan juga anak-anaknya.Hingga hari itu, di saat seseorang mengirim sebuah foto melalui pesan wa, di foto itu terlihat Deni dan Luna sedang makan bersama di sebuah restoran, tapi bukan di restoran milik Deni. Melihat itu hati Farida panas, ia ingin sekali memaki dan menghajar lelaki yang menjadi imamnya itu, namun ia masih menahan diri.Di saat Farida seda