"Putra," teriak Mei, sebelum Putra memberikan bunga mawar dengan warna merah itu, pada Yura.
"Aduh, ada apa sih?" kesalnya, seakan, Mei telah mengganggu rencananya untuk bisa memacari Yura.
Mei yang sudah mengetahui bahwa Yura tidak menyukai sahabatnya itu, langsung menarik lengan Putra. Dan berkata
"Ini buat gue kan, Put, makasih ya."
"Eh, bukan, Mei, siniin gak bunganya," Putra mencoba untuk mengambil kembali bunga yang Mei rebut darinya.
"Ada apa sih? Aneh banget kelakuan lo? Lo gak mungkin cemburu kan? Kan lo udah ada si Yuga." Putra berbalik dengan niat akan memberikan bunga mawar itu untuk Yura.
"Gak mungkin juga gue suka ama lo put, kita itu udah lama jadi sahabat, jangan mikir yang aneh-aneh. Yang aneh itu elo, Put, kalo belum tau itu cewek suka apa enggak itu jangan maen asal tembak," saran Mei, menarik kembali Putra untuk duduk di sampingnya.
"Di kampus ini, mana ada sih yang gak suka sama gue? Seorang Putra gitu loh, pria paling tampan di kampus ini." Dengan percaya dirinya, Putra mengatakan hal itu, pada Mei, membuat Mei mengaruk kepala.
"Pokoknya, jauhin itu cewek, gak usah di deketin lagi, gak usah ngarep, gue gak mau lo sakit hati," Mei sudah memberitahunya. Namun, Putra malah berlari menghindari Mei, dan mencoba untuk memberikan bunga pada Yura.
"Itu anak ya, kalo dikasih tau," lirih Mei.
"Yura." Dengan tiba-tiba, Putra menghalangi jalannya. Yura menghindar, tapi, Putra malah terus mendekat ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Yura dengan tatapan yang begitu dingin.
"Lo mau kan jadi pacar gue?" Putra memberikan bunga itu, dan berlutut dihadapan Yura. Sontak, banyak para mahasiswi dan mahasiswa berteriak, apalagi, para mahasiswi yang perasaannya, hancur melihat pemandangan itu.
"Gak mau," ucap Yura sembari membuang dan menginjak bunga mawar itu. Membuat semua orang yang menyaksikan itu, terkejut. Situasi di sana begitu gaduh, ada yang bersorak gembira, ada juga, yang sebagian besar menyayangkan jawaban dari Yura.
"Tapi apa alesannya?" tanyanya. Putra begitu kaget, saat ada wanita yang menolaknya dalam waktu satu detik.
"Karena gak suka," ucap Yura, memutar bola matanya pada Putra dan langsung beranjak pergi.
"Baru kali ini, gue liat, ada cowok ganteng ditolak di depan umum," celetuk Dinda. Kedua sahabat Yura itu, saling menatap.
"Sama, udah gitu, cuman satu detik lagi," timpal Tika.
"Hobi ya kalian ngomongin itu orang. Gue gak mau kalian sebut nama itu lagi." Yura melihat kedua temannya, dengan tatapan yang jengkel.
"Tapi, kita gak sebut nama Ra," ucap Dinda. Membuat Yura kembali menatap Dinda dengan tatapan kesal.
Sekarang, para mahasiswi dan mahasiswa menggosipkan Putra yang ditolak oleh Yura.
"Kok, bisa ya, si Yura kagak suka ama si Putra?, kalo gue jadi si Yura, udah gue terima tuh bunga, gue simpen biar gak layu," gunjing para mahasiswi.
"Gak usah banyak ngarep deh, lagian bagus juga lagi si Putra gak jadian ama si Yura, cewek angkuh gitu," timpal yang lain.
"Tapi, Yura cantik sih, ya wajarlah, kalo si Putra ampe ke pincut."
"Cantik, sih cantik, tapi, kalo sombong, buat apa?."
"Iya juga sih, mana diinjek lagi bunganya, kasian banget."
"Udah gue bilang, jangan deketin itu cewek," Mei mencoba untuk menutupi wajah Putra.
"Apa sih?" protes Putra yang keheranan melihat perlakuan Mei yang menutupi wajahnya dengan jaket Mei.
"Udah, diem aja, gue tau lo malu kan udah ditolak, makanya, gue tutupin ini muka ganteng lo," jawab Mei. Tiba-tiba saja, Yuga melihat situasi itu, dan langsung mengebut. Mei melihat Yuga juga, Mei terus melihat ke arah Yuga pergi, meskipun, kendaraan Yuga, sudah pergi jauh.
"Mei? Kok berenti sih?" Putra melepaskan jaket Mei. Mereka pun, melanjutkan perjalanan menuju mini market.
"Mayang sayang."
"Iya, Adit sayang." panggilan sayang satu sama lain itu, membuat Yura yang berada di dapur, langsung membanting pintu kamar.
"Yura, kamu kenapa sih?" Mayang hendak bergegas menuju kamar Yura.
"Udah, jangan berantem ya, sayang, mungkin, Yura lagi menstruasi, atau lagi ada masalah gitu sama temennya." Aditya mencoba untuk melerai pertengkaran yang mungkin saja terjadi.
" Siapa juga yang mau ngajakin berantem. Karena itu, aku mau tanya, dia kenapa," ucap Mayang.
"Mmm mungkin aja, Yura lagi gak mau diganggu, ya kan." Aditya mencoba untuk meyakinkan Mayang, bahwa Yura sedang tiba bisa diganggu.
"Aku gak ngerti sama perubahan sikap Yura yang begitu sama aku, Dit." Mayang menangis di pelukan Aditya. Mereka berbincang di kamar.
"Aku yakin, karena pacarnya, Dit, pokoknya, kita harus cari tau tentang pacarnya ini, Mungkin, kalo ngomong sama pacarnya, Yura bakalan nurut," ide Mayang, yang belum selesai dengan tangisannya.
"Kamu tenang ya, sayang," Aditya mengelus pelan rambut Mayang. Aditya juga ikut menangis, Aditya tidak mengira akibat dari hubungan terlarangnya dengan Yura akan membuat Mayang menangis sehebat itu.
"Iya?" Aditya keluar dari kamar, setelah menerima telepon dari Yura. Aditya pergi ke luar bersama Yura, setelah Mayang tertidur.
"Kamu bisa gak? Jangan terlalu menunjukkan sikap kamu yang gak bisa dipahami sama Mayang?" Aditya memohon pada Yura, untuk bisa berbuat lebih baik lagi pada Mayang.
"Justru aku mau menunjukkan sikap yang akan dia pahami." Tatapan mata Yura begitu tajam pada Aditya.
"Jadi, kamu itu, mau kasih kode, bahwa kita itu ada hubungan?"
"Kalo iya gimana?" Yura secara terang-terangan mengancam Aditya.
"Kamu tau gak, Tantemu itu nangis setiap malem, mikirin sikap kamu yang aneh," Aditya menjelaskan perasaan Mayang pada Yura, dengan harapan, Yura bisa merubah sikapnya yang angkuh itu.
"Apa kakak juga tau? Setiap malem, aku juga nangis? Aku juga sedih, liat kebahagiaan kalian, denger panggilan sayang kalian, liat kalian peluk-pelukan, apa kakak pikir, cuman Tante Mayang aja yang sedih?" celoteh Yura meluapkan isi hatinya, sambil menangis juga.
"Maafin aku ya, Yura, sayang," Aditya mengelus rambut panjang Yura, mencoba untuk menghentikan tangisannya.
"Aku mau pindah dari apartemen kalian, aku gak sanggup liat kalian mesra-mesraan lagi," ungkap Yura.
"Tapi, Mayang gak bakalan kasih izin," ucap Aditya.
"Kenapa aku harus dapet izin dari dia? Aku udah gede, gak perlu izin dari siapa pun," Yura menginginkan kebebasan, sebenarnya, Yura ingin lebih lama menghabiskan waktu dengan Aditya.
Aditya benar-benar bingung, dengan keadaan saat ini, situasi ini, membuat Aditya melukai perasaan dua wanita sekaligus. Bukan hanya Mayang yang menangis dengan perubahan sikap dari Yura. Tapi, Yura juga menangis dengan sikap mesra Aditya dan Mayang yang begitu jelas terlihat oleh mata Yura.
"Dit?" Mayang yang terbangun, meraba ranjang, setelah menyadari Aditya tidak di sampingnya, ia memanggil Aditya, tidak terdengar sahutan dari Aditya, Mayang mencoba mencari Aditya ke seluruh ruangan.
"Coba telepon deh," batin Mayang. Mayang mencoba untuk menelepon Aditya, sialnya, Aditya yang sedang pergi ke toilet itu, tidak membawa ponsel. Ponsel Aditya berada dalam genggaman Yura. Yura mengangkat panggilan itu dan mulai berbicara.
"Duh," gerutu Yura, saat seseorang menyenggol tangannya, dan membuat ponsel Aditya terjatuh. Yura pergi, saat banyak anak muda yang bertengkar."Kamu dimana sih, Dit?" tanya Mayang, saat menutup sambungan telepon. Suara bising yang terdengar dari tempat Aditya berada, membuat Mayang menjadi khawatir.Aditya mencari Yura di tempat duduknya. Namun, Yura telah pergi bersama ponselnya."Kak." Yura mencolek lengan Aditya dari belakang."Tadi, ada yang berantem kak, Yura takut, pulang aja yuk!" Yura mengajak Aditya untuk lekas kembali ke apartemen. Yura juga menggandeng lengan pamannya."Yaudah, ayo! Tapi Ra, kamu liat Hp kakak gak?" tanya Aditya."Oh, ini kak," Yura memberikan ponsel pada pemiliknya. Aditya mengecek ponsel, dan ternyata ada panggilan masuk dari Mayang."Ra, kok gak bilang sih? Ada panggilan masuk dari Tantemu?" tanya Aditya ketika mereka telah berada di dalam mobil."Aku, udah mau bilang kok,
"Apa Yura adalah keponakanmu?" tanya Tiara, teman arisan Mayang. Saat Mayang memeriksa foto-foto dahulu, saat Yura pertama kali menginjakkan kaki di apartemen Mayang."Kamu mengenalnya? Iya, dia keponakanku," ungkap Mayang. Tiara sedikit terkejut dengan fakta itu."Sepertinya, dia teman anakku." Tiara mengingat kembali kenangan busuk dulu, saat Tiara melihat Yura dan Aditya bergandengan tangan berdua. Ada rasa ingin mengadu, tapi, Tiara tidak tega pada Mayang."Mayang, maukah kamu menceritakan, bagaimana Yura bisa tinggal denganmu"? selidik Tiara."Kakakku menitipkan anaknya, padaku, kebetulan, saat itu, aku membutuhkan teman untuk tidur, karena Adit sering sekali berjaga malam. Sekarang, dia telah tumbuh menjadi dewasa. Dan memiliki kekasih, rasanya baru kemarin dia lahir, waktu memang tidak terasa," jelas Mayang."Kamu tahu siapa kekasihnya?" Pertanyaan Tiara, memang hal yang selama ini ingin Mayang tahu."Aku tidak
Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu dan bel pemilik apartement dengan nomor 779 berbunyi kencang, membuat Yura dan Aditya menghentikan aktivitas seksual mereka."Kak, itu pasti Tante Mayang." Yura memakai kembali kimono putih miliknya."Kak, pake baju dong! Jangan diem aja!" sambung Yura memakaikan kembali pakaian Aditya."Yura, kakak masih kangen, sayang." Aditya mencium lembut bibir Yura, sedetik itu pun, Yura langsung mendorong dada Aditya, kemudian. pergi ke kamarnya.Mayang tengah mencoba untuk membuka pintu apartement mereka dengan kunci cadangan yang dia punya. Namun, Aditya sudah ada tepat dihadapannya."Kamu lagi ngapain sih? Kok lama banget buka pintunya?" Mayang merasa kesal."Maaf ya sayang, tadi tuh, pasienku telepon, dan aku gak lagi di ruang tamu" jelas Aditya. Karena, memang jarak dari ruang tamu ke kamar milik mereka cukup jauh."Pasien atau cewek lain? Lagian aneh banget, masa pasien punya nomer kamu
"Mayang," panggil Aditya, ia kembali memasuki rumah, dengan dalih, ada yang tertinggal. Aditya menemukan Mayang dan Yura sedang saling menatap di dalam kamar keponakan istrinya."Kelarin dulu, apa yang mau kamu omongin." Mayang menatap serius pada Yura."Pacar aku itu, namanya A" Yura menatap pada Aditya, Aditya langsung menarik lengan Mayang."Adit, ada apa? Kok kamu balik lagi ke rumah?" Mayang bertanya dengan lemah lembut."Ada yang ketinggalan, kamu bisa tolong cariin gak?" pinta Aditya pada Mayang."Ya, apa itu?""Hp aku yang satunya lagi." Aditya berpura-pura mencarinya."Aku coba telepon, ya." Mayang menelepon nomor Aditya. Namun, Aditya lupa, ponselnya dalam keadaan berdering."Hehe." Aditya terkekeh sambil mengeluarkan ponsel yang berdering."Kebiasaan." Mayang pergi untuk menemui Yura lagi, dia begitu penasaran dengan sosok kekasih dari keponakannya itu. Aditya memegang pelan lengan Mayang den