Satu tahun kemudian.Kaira tampak sibuk memilih pakaian pada sebuah pusat perbelanjaan. Sementara, Kiara sang putri sedang asyik duduk di kursi menunggu bundanya memilih baju sambil menggoyang-goyangkan kedua kaki kecilnya dan bermain boneka juga bola kecil.Namun, ketika sedang asyik bermain, bola Kiara terjatuh dan menggelinding. Gadis kecil itu turun dari kursi meletakkan bonekanya di sana dan mengejar bola kecil itu. Cukup jauh bola itu bergelinding hingga tanpa sengaja mengenai kaki seorang pria yang tengah berjalan.Kiara berhenti di hadapan orang itu yang tengah memungut bolanya sambil meremas ujung pakaiannya. Kiara dan orang itu saling beradu tatap. Kedua mata Kiara berkaca menahan tangis dan takut. Terlihat memerah seperti tomat yang baru saja di petik.Kiara tertunduk sambil terus meremas ujung roknya. Poni tipis di kening menutupi kedua mata yang tak berani menatap pria itu.Pria itu mendekat dan sedikit berjongkok di hadapan Kiara. Mensejajarkan tubuhnya dengan gadis keci
Ruang IGD tampak sepi. Kaira duduk di depan layar komputer. Mengecek hasil pemeriksaan. Beberapa data pasien yang ia operasi. Mulai dari riwayat penyakit sampai operasi yang di jalani. Wanita itu begitu serius dan teliti sekali.Namun, fokusnya terganggu saat ia teringat akan pertemuannya dengan Kaivan di pusat perbelanjaan kemarin. Kaira khawatir Kaivan akan benar-benar mengejarnya. Apalagi, pria itu sudah tahu jika Kiara adalah putrinya yang ternyata masih hidup. Tentu, Kaivan tidak akan begitu saja melepaskan Kaira.'Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau Kaivan terus mengusikku? Apalagi dia sudah tahu tentang Kiara. Aku harus bagaimana menghadapinya?' monolog Kaira dalam hati sambil menopang sebelah wajahnya pada tangan yang bersandar di meja.'Kenapa dia harus hadir di hidupku?' batinnya dengan wajah kesal.Harun berdiri tidak jauh dari tempatnya berada. Memperhatikan Kaira yang tampak gelisah. Pria itu melangkah mendekati Kaira dan berdiri di sampingnya. Wanita itu sibuk de
Pria itu terus menatap Kaira tajam sambil memberi sedikit ancaman. Kaira yang sedang fokus bekerja merasa kesal dan ingin sekali mengusirnya dengan paksa. Namun, ia tahu itu tidak akan berhasil. Laki-laki keras kepala seperti orang tersebut tidak akan mudah menyerah.Kaira berusaha bertahan. Wanita itu kembali fokus pada pekerjaannya tanpa memedulikan pria yang sedang menatap dirinya tersebut."Baiklah, itu pilihanmu. Aku akan meminta perhatian mereka untuk mendengarkan apa yang ingin aku katakan padamu," ucap pria itu kembali sambil berdiri tegap dan menatap ke arah sekitar."Kaira, aku ...."Dengan cepat Kaira bangkit dari kursi dan menutup mulut pria itu dengan sebelah tangannya. Menghentikan kalimat lelaki tersebut yang berbicara cukup keras. Kaira tidak ingin ada keributan di sana."Hentikan kekonyolanmu! Oke, kita keluar sekarang," ucap Kaira dengan kesal sambil menghela napas, ia pun terpaksa mengikuti keinginan pria itu daripada membuat onar di rumah sakit dan mengganggu pasie
"Akan apa? Membunuhku?"Seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Kiara. Kaivan melontarkan pertanyaan yang cukup membuat Kaira terkejut. Wanita itu memejamkan kedua mata. Menetralisir dan mengontrol amarahnya agar tidak meluap.Kaivan mendekati Kaira dan menegakkan dagu lancip milik Kaira. Memaksa wanita itu menatapnya dan mendekatkan sedikit wajahnya."Kau punya dua pilihan. Menikah denganku dan kau bisa bertemu Kiara, atau tetap kukuh pada pendirian ku dan kau tidak akan bisa bertemu dengan anak kita untuk selamanya," ucap Kaivan penuh ancaman."Kau tidak bisa memaksaku untuk memilih. Kau tidak berhak untuk melakukannya!" seru Kaira yang kini menatap tajam ke arah Kaivan.Kaivan tersenyum kecut. "Hidup itu pilihan, Sayang. Kau harus memilihnya. Aku telah menyelidiki dan mengetahui semua tentangmu. Termasuk keluarga yang saat ini bersamamu. Aku juga tahu di mana Kiara bersekolah dan kapan dia pulang. Aku sudah memerintahkan anak buahku membawanya ke suatu tempat. Kau lihatlah sendiri."
Kaira terus memikirkan semua perkataan Kaivan hingga tidak berkonsentrasi dalam bekerja. Tangannya sempat terluka saat melakukan operasi. Beruntung ia di dampingi Harun yang bisa mengatasi situasi.Kaira berjalan kesal menuju ruang perawatan untuk mengobati lukanya. Harun mengikutinya dari belakang. Darah segar tampak menetes ke lantai meski sudah dibendung. Kaira membuka pintu ruangan sedikit kasar dan masuk. Kemudian, mengambil kotak obat di lemari. Lalu, melangkah menuju brankar dan duduk di atasnya.Harun langsung mengambil kotak obat itu dan membantu Kaira tanpa persetujuan wanita itu, ia tidak perduli wajah masam yang di tunjukan Kaira padanya. Harun paham, Kaira masih kesal dan marah dengan kejadian semalam di rumahnya.Kaira menolak diobati Harun. Namun, pria itu memaksa dan berhasil meraih tangan Kaira. Membuka paksa jari-jemarinya yang terkepal. Mencuci luka Kaira dengan alkohol dan mengambil alat jahit. Harun menyuntikkan obat pereda sakit agar tidak perih saat di jahit.L
Kaivan semakin panik melihat Kaira yang tampak aneh. Kaira berusaha terus menahan agar tidak meledak. Namun, ia tidak sanggup dan akhirnya meluap."Arghhh!" Kaira menepis kasar tangan Kaivan dari pundaknya dan meremas kuat rambutnya. Kaivan semakin panik dan bingung. Ini, pertama kalinya Kaivan melihat Kaira seperti itu."Kaira," panggilnya lembut."Pergi kau dari sini," usir Kaira pelan. Namun, Kaivan tidak mengindahkan malah ingin menyentuh kembali pundak Kaira."Aku bilang pergi!" seru Kaira menepis tangan Kaivan."Kaira, a--aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu. Namun, aku mohon tenangkan dirimu," ucap Kaivan dengan gugup."Pergi dari sini.""Kaira.""Pergi! Pergi! Pergi!""Kaira."Kaivan refleks langsung memeluk tubuh Kaira. Berusaha menenangkannya meski Kaira terus memberontak."Aku mohon, tenangkan dirimu," ucap Kaivan selembut mungkin."Pergilah. Pergi.""Kaira!"Tubuh Kaira melemas dalam pelukan Kaivan dan wanita itu pun tak sadarkan diri. Harun datang untuk mengecek kead
Kaira berusaha bangkit meski Kaivan melarang. Namun, akhirnya pria itu membantu Kiara untuk duduk dan mencegahnya berdiri."Kau mau ke mana? Baru sadar sudah mau pergi?" tanya Kaivan dengan curiga ."Aku harus memeriksa pasienku sekarang," ucap Kaira berusaha menepis kedua tangan Kaivan yang mencekalnya."Aish. Sekarang kau seorang pasien. Jadi, beristirahatlah." Kaivan tetap menahan Kaira agar tidak pergi meninggalkan ruang perawatan."Aku harus menjalankan kewajibanku sebagai seorang dokter. Aku ....""Dokter juga manusia biasa. Apa dokter tidak bisa sakit?""Aku sudah sehat. Lagipula, bukan sakit yang serius.""Tidak serius? Kenapa tanganmu di perban dan di infus? Kau saja tidak bisa merawat dirimu sendiri, bagaimana kau mau merawat pasienmu dengan keadaan seperti itu?""Aku bisa mengurus dirimu sendiri. Kau tidak perlu risaukan aku.""Apa perlu aku meminta direktur rumah sakit ini untuk memberimu cuti supaya kau bisa beristirahat?"Kaira dan Kaivan berdebat. Keduanya sama-sama ker
Kaira berjalan mondar-mandir di kamarnya. Wanita itu masih di runding bingung dan gelisah. Sebab, hari ini adalah hari pernikahan dirinya dengan Kaivan. Sebenarnya, Kaira masih belum yakin dengan pernikahan yang akan di jalaninya beberapa waktu lagi.'Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menjalani pernikahan ini? Sementara, hatiku masih ragu. Jika aku tidak menikah dengannya, maka aku tidak bisa bertemu dengan Kiara. Kaivan pasti tidak akan mengizinkannya.'Kaira bermonolog dalam hati sambil meremas ujung bajunya. Memikirkan bimbang di hati yang kian merasuki. Hani membuka pintu kamar Kaira, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik meski usia tak lagi muda itu menghela napas sejenak saat melihat sang putri yang tengah dirundung dilema tersebut."Sayang, ada apa? Sepertinya kau gelisah sekali?" tanyanya lembut sambil menepuk pelan pundak Kaira. Membuat wanita itu sedikit berjingkit kaget."I--Ibu. Sejak kapan ada di Kamarku?" tanya Kaira dengan gugup."Baru saja. Maaf, jika Ibu