"Akan apa? Membunuhku?"Seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Kiara. Kaivan melontarkan pertanyaan yang cukup membuat Kaira terkejut. Wanita itu memejamkan kedua mata. Menetralisir dan mengontrol amarahnya agar tidak meluap.Kaivan mendekati Kaira dan menegakkan dagu lancip milik Kaira. Memaksa wanita itu menatapnya dan mendekatkan sedikit wajahnya."Kau punya dua pilihan. Menikah denganku dan kau bisa bertemu Kiara, atau tetap kukuh pada pendirian ku dan kau tidak akan bisa bertemu dengan anak kita untuk selamanya," ucap Kaivan penuh ancaman."Kau tidak bisa memaksaku untuk memilih. Kau tidak berhak untuk melakukannya!" seru Kaira yang kini menatap tajam ke arah Kaivan.Kaivan tersenyum kecut. "Hidup itu pilihan, Sayang. Kau harus memilihnya. Aku telah menyelidiki dan mengetahui semua tentangmu. Termasuk keluarga yang saat ini bersamamu. Aku juga tahu di mana Kiara bersekolah dan kapan dia pulang. Aku sudah memerintahkan anak buahku membawanya ke suatu tempat. Kau lihatlah sendiri."
Kaira terus memikirkan semua perkataan Kaivan hingga tidak berkonsentrasi dalam bekerja. Tangannya sempat terluka saat melakukan operasi. Beruntung ia di dampingi Harun yang bisa mengatasi situasi.Kaira berjalan kesal menuju ruang perawatan untuk mengobati lukanya. Harun mengikutinya dari belakang. Darah segar tampak menetes ke lantai meski sudah dibendung. Kaira membuka pintu ruangan sedikit kasar dan masuk. Kemudian, mengambil kotak obat di lemari. Lalu, melangkah menuju brankar dan duduk di atasnya.Harun langsung mengambil kotak obat itu dan membantu Kaira tanpa persetujuan wanita itu, ia tidak perduli wajah masam yang di tunjukan Kaira padanya. Harun paham, Kaira masih kesal dan marah dengan kejadian semalam di rumahnya.Kaira menolak diobati Harun. Namun, pria itu memaksa dan berhasil meraih tangan Kaira. Membuka paksa jari-jemarinya yang terkepal. Mencuci luka Kaira dengan alkohol dan mengambil alat jahit. Harun menyuntikkan obat pereda sakit agar tidak perih saat di jahit.L
Kaivan semakin panik melihat Kaira yang tampak aneh. Kaira berusaha terus menahan agar tidak meledak. Namun, ia tidak sanggup dan akhirnya meluap."Arghhh!" Kaira menepis kasar tangan Kaivan dari pundaknya dan meremas kuat rambutnya. Kaivan semakin panik dan bingung. Ini, pertama kalinya Kaivan melihat Kaira seperti itu."Kaira," panggilnya lembut."Pergi kau dari sini," usir Kaira pelan. Namun, Kaivan tidak mengindahkan malah ingin menyentuh kembali pundak Kaira."Aku bilang pergi!" seru Kaira menepis tangan Kaivan."Kaira, a--aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu. Namun, aku mohon tenangkan dirimu," ucap Kaivan dengan gugup."Pergi dari sini.""Kaira.""Pergi! Pergi! Pergi!""Kaira."Kaivan refleks langsung memeluk tubuh Kaira. Berusaha menenangkannya meski Kaira terus memberontak."Aku mohon, tenangkan dirimu," ucap Kaivan selembut mungkin."Pergilah. Pergi.""Kaira!"Tubuh Kaira melemas dalam pelukan Kaivan dan wanita itu pun tak sadarkan diri. Harun datang untuk mengecek kead
Kaira berusaha bangkit meski Kaivan melarang. Namun, akhirnya pria itu membantu Kiara untuk duduk dan mencegahnya berdiri."Kau mau ke mana? Baru sadar sudah mau pergi?" tanya Kaivan dengan curiga ."Aku harus memeriksa pasienku sekarang," ucap Kaira berusaha menepis kedua tangan Kaivan yang mencekalnya."Aish. Sekarang kau seorang pasien. Jadi, beristirahatlah." Kaivan tetap menahan Kaira agar tidak pergi meninggalkan ruang perawatan."Aku harus menjalankan kewajibanku sebagai seorang dokter. Aku ....""Dokter juga manusia biasa. Apa dokter tidak bisa sakit?""Aku sudah sehat. Lagipula, bukan sakit yang serius.""Tidak serius? Kenapa tanganmu di perban dan di infus? Kau saja tidak bisa merawat dirimu sendiri, bagaimana kau mau merawat pasienmu dengan keadaan seperti itu?""Aku bisa mengurus dirimu sendiri. Kau tidak perlu risaukan aku.""Apa perlu aku meminta direktur rumah sakit ini untuk memberimu cuti supaya kau bisa beristirahat?"Kaira dan Kaivan berdebat. Keduanya sama-sama ker
Kaira berjalan mondar-mandir di kamarnya. Wanita itu masih di runding bingung dan gelisah. Sebab, hari ini adalah hari pernikahan dirinya dengan Kaivan. Sebenarnya, Kaira masih belum yakin dengan pernikahan yang akan di jalaninya beberapa waktu lagi.'Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menjalani pernikahan ini? Sementara, hatiku masih ragu. Jika aku tidak menikah dengannya, maka aku tidak bisa bertemu dengan Kiara. Kaivan pasti tidak akan mengizinkannya.'Kaira bermonolog dalam hati sambil meremas ujung bajunya. Memikirkan bimbang di hati yang kian merasuki. Hani membuka pintu kamar Kaira, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik meski usia tak lagi muda itu menghela napas sejenak saat melihat sang putri yang tengah dirundung dilema tersebut."Sayang, ada apa? Sepertinya kau gelisah sekali?" tanyanya lembut sambil menepuk pelan pundak Kaira. Membuat wanita itu sedikit berjingkit kaget."I--Ibu. Sejak kapan ada di Kamarku?" tanya Kaira dengan gugup."Baru saja. Maaf, jika Ibu
Usai rangkaian acara pernikahan selesai, Kaivan membawa Kaira ke mansion miliknya. Tempat itu sengaja di beli untuk tempat tinggal mereka setelah menikah. Kaira disuguhkan oleh kemegahan dari bangunan yang di desain khusus dengan arsitek kelas internasional. Begitu elegan dan berkesan mewah.Kaivan membimbing Kaira mengelilingi tempat yang nantinya akan mereka tempati bersama. Kaira tertegun dengan keindahan yang ia saksikan di hadapannya kini. Meski pun Kaira sudah terbiasa dengan kemewahan selama tinggal di rumah keluarga Harun. Namun, mansion itu lebih mewah dan megah."Ini kamar kita, Sayang. Bagaimana? Apa kau suka?" ucap Kaivan saat tiba di kamar utama. Cukup luas untuk mereka berdua dengan fasilitas lengkap di dalamnya. Ada sebuah ranjang berukuran king size, satu set sofa, televisi layar datar berukuran besar dengan home teater, lemari pendingin berukuran sedang, lemari pakaian berukuran besar empat pintu, kamar mandi dengan bathtub, shower, dan kloset duduk, lengkap dengan p
Satu minggu setelah pernikahan Kaira dan Kaivan, wanita itu mulai kembali bekerja seperti biasa. Kaivan juga mulai di sibukkan dengan segudang pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan. Hari pertama Kaira setelah libur pun sibuk. Banyak pasien IGD yang masuk karena terjadi bencana longsor di desa Sekar Sari. Jarak dari tempat itu menuju rumah sakit Kusuma Pratama Hospital cukup jauh. Sekitar tiga sampai empat jam.Rumah sakit tersebut merupakan tempat terdekat yang bisa mereka jangkau. Begitu banyak korban hingga kamar IGD begitu penuh dan hampir tidak dapat menampung pasien yang terus berdatangan."Dokter, bagaimana ini? Kapasitas ruang IGD hampir penuh dan pasien terus berdatangan. Apa kita masih bisa menampung mereka?" ucap perawat Rifki yang merupakan kepala perawat IGD.Kaira menghela napas kasar bersamaan dengan Harun yang juga turun tangan menangani pasien korban tanah longsor tersebut."Kita buat tenda darurat di depan ruang IGD. Pisahkan pasien yang terluka dari luka ringan hin
Kaivan dan Ferdinan terus menyusuri hutan. Melewati jalan terjal dan pohon-pohon yang tumbang akibat terpaan angin dan longsor. Tidak perduli berapa pun beratnya rintangan yang harus mereka hadapi. Meski pun itu membahayakan nyawanya. Bagi Kaivan, menemukan Kaira dalam keadaan hidup adalah tujuan utamanya.Saat di perjalanan, Kaivan bertemu dengan Harun dan tim SAR yang masih berupaya mencari keberadaan Kaira. Kaivan langsung menghampiri mereka."Harun, bagaimana? Apa sudah menemui tanda-tanda keberadaan Kaira?" tanya Kaivan dengan tidak sabar"Kaivan ....""Iya, ini aku. Aku sudah dengar semuanya," jelas Kaivan sambil mendekati Harun."Kami sudah berusaha mencari. Namun, belum bisa menemukannya. Aku sama beberapa tim SAR juga sudah turun ke bawah mencari. Akan tetapi, belum bisa menemukannya," jelas Harun dengan wajah datar."Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Kaira bisa jatuh ke jurang?" tanya Kaivan dengan penasaran."Kami sedang menyelamatkan korban longsor di sini. Namun, saat K