Kaira berusaha bangkit meski Kaivan melarang. Namun, akhirnya pria itu membantu Kiara untuk duduk dan mencegahnya berdiri."Kau mau ke mana? Baru sadar sudah mau pergi?" tanya Kaivan dengan curiga ."Aku harus memeriksa pasienku sekarang," ucap Kaira berusaha menepis kedua tangan Kaivan yang mencekalnya."Aish. Sekarang kau seorang pasien. Jadi, beristirahatlah." Kaivan tetap menahan Kaira agar tidak pergi meninggalkan ruang perawatan."Aku harus menjalankan kewajibanku sebagai seorang dokter. Aku ....""Dokter juga manusia biasa. Apa dokter tidak bisa sakit?""Aku sudah sehat. Lagipula, bukan sakit yang serius.""Tidak serius? Kenapa tanganmu di perban dan di infus? Kau saja tidak bisa merawat dirimu sendiri, bagaimana kau mau merawat pasienmu dengan keadaan seperti itu?""Aku bisa mengurus dirimu sendiri. Kau tidak perlu risaukan aku.""Apa perlu aku meminta direktur rumah sakit ini untuk memberimu cuti supaya kau bisa beristirahat?"Kaira dan Kaivan berdebat. Keduanya sama-sama ker
Kaira berjalan mondar-mandir di kamarnya. Wanita itu masih di runding bingung dan gelisah. Sebab, hari ini adalah hari pernikahan dirinya dengan Kaivan. Sebenarnya, Kaira masih belum yakin dengan pernikahan yang akan di jalaninya beberapa waktu lagi.'Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menjalani pernikahan ini? Sementara, hatiku masih ragu. Jika aku tidak menikah dengannya, maka aku tidak bisa bertemu dengan Kiara. Kaivan pasti tidak akan mengizinkannya.'Kaira bermonolog dalam hati sambil meremas ujung bajunya. Memikirkan bimbang di hati yang kian merasuki. Hani membuka pintu kamar Kaira, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik meski usia tak lagi muda itu menghela napas sejenak saat melihat sang putri yang tengah dirundung dilema tersebut."Sayang, ada apa? Sepertinya kau gelisah sekali?" tanyanya lembut sambil menepuk pelan pundak Kaira. Membuat wanita itu sedikit berjingkit kaget."I--Ibu. Sejak kapan ada di Kamarku?" tanya Kaira dengan gugup."Baru saja. Maaf, jika Ibu
Usai rangkaian acara pernikahan selesai, Kaivan membawa Kaira ke mansion miliknya. Tempat itu sengaja di beli untuk tempat tinggal mereka setelah menikah. Kaira disuguhkan oleh kemegahan dari bangunan yang di desain khusus dengan arsitek kelas internasional. Begitu elegan dan berkesan mewah.Kaivan membimbing Kaira mengelilingi tempat yang nantinya akan mereka tempati bersama. Kaira tertegun dengan keindahan yang ia saksikan di hadapannya kini. Meski pun Kaira sudah terbiasa dengan kemewahan selama tinggal di rumah keluarga Harun. Namun, mansion itu lebih mewah dan megah."Ini kamar kita, Sayang. Bagaimana? Apa kau suka?" ucap Kaivan saat tiba di kamar utama. Cukup luas untuk mereka berdua dengan fasilitas lengkap di dalamnya. Ada sebuah ranjang berukuran king size, satu set sofa, televisi layar datar berukuran besar dengan home teater, lemari pendingin berukuran sedang, lemari pakaian berukuran besar empat pintu, kamar mandi dengan bathtub, shower, dan kloset duduk, lengkap dengan p
Satu minggu setelah pernikahan Kaira dan Kaivan, wanita itu mulai kembali bekerja seperti biasa. Kaivan juga mulai di sibukkan dengan segudang pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan. Hari pertama Kaira setelah libur pun sibuk. Banyak pasien IGD yang masuk karena terjadi bencana longsor di desa Sekar Sari. Jarak dari tempat itu menuju rumah sakit Kusuma Pratama Hospital cukup jauh. Sekitar tiga sampai empat jam.Rumah sakit tersebut merupakan tempat terdekat yang bisa mereka jangkau. Begitu banyak korban hingga kamar IGD begitu penuh dan hampir tidak dapat menampung pasien yang terus berdatangan."Dokter, bagaimana ini? Kapasitas ruang IGD hampir penuh dan pasien terus berdatangan. Apa kita masih bisa menampung mereka?" ucap perawat Rifki yang merupakan kepala perawat IGD.Kaira menghela napas kasar bersamaan dengan Harun yang juga turun tangan menangani pasien korban tanah longsor tersebut."Kita buat tenda darurat di depan ruang IGD. Pisahkan pasien yang terluka dari luka ringan hin
Kaivan dan Ferdinan terus menyusuri hutan. Melewati jalan terjal dan pohon-pohon yang tumbang akibat terpaan angin dan longsor. Tidak perduli berapa pun beratnya rintangan yang harus mereka hadapi. Meski pun itu membahayakan nyawanya. Bagi Kaivan, menemukan Kaira dalam keadaan hidup adalah tujuan utamanya.Saat di perjalanan, Kaivan bertemu dengan Harun dan tim SAR yang masih berupaya mencari keberadaan Kaira. Kaivan langsung menghampiri mereka."Harun, bagaimana? Apa sudah menemui tanda-tanda keberadaan Kaira?" tanya Kaivan dengan tidak sabar"Kaivan ....""Iya, ini aku. Aku sudah dengar semuanya," jelas Kaivan sambil mendekati Harun."Kami sudah berusaha mencari. Namun, belum bisa menemukannya. Aku sama beberapa tim SAR juga sudah turun ke bawah mencari. Akan tetapi, belum bisa menemukannya," jelas Harun dengan wajah datar."Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Kaira bisa jatuh ke jurang?" tanya Kaivan dengan penasaran."Kami sedang menyelamatkan korban longsor di sini. Namun, saat K
Kaivan menunggu dengan cemas di luar ruang operasi bersama Ferdinan. Semetara, Harun dan tim sedang melakukan operasi pada Kaira. Wanita itu akan melakukan beberapa rangakaian pembedahan. Yaitu, pengangkatan gumpalan di kepala dan ortopedi tangan kiri yang patah."Dok, kondisi Dokter Kaira memburuk. Jantungnya berhenti," ucap salah seorang dokter yang bertugas memperhatikan monitor untuk memantau kondisi Kaira selama operasi."Kita lakukan CPR," ucap Dokter Harun sambil mendekati ke arah dada Kaira dan menekannya pelan. Kemudian, mulai memompa jantung Kaira. Setelah lima belas menit melakukan CPR, Harun mulai melakukan deflibrillator. Salah seorang perawat menyiapkan peralatannya. Setelah siap. Harun mengambil jel dan mengolesi alat kejut jantung yang ia pegang, kemudian menggosok-gosokan sebentar dan mulai mengejutkan jantung Kaira."Deflibrillator 200 joule!" seru Harun kepada salah seorang perawat di samping monitor."Siap!" seru perawat itu sambil memutar volume sesuai instruksi
Kaivan masih setia menjaga Kaira. Meski ia lega sebab Kaira sudah sadarkan diri. Namun, hatinya masih sedih melihat kondisi sang istri yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Apa yang dulu pernah di alami Kaivan, kini terjadi pada Kaira.Pria itu masih memandangi wajah Kaira. Masih terlihat pucat dan tampak lemah. Sesekali, ia membelai rambut hitam Kaira yang terurai dengan perban yang membalut mengitari kepala sang istri."Cepatlah sembuh, Sayang," ucap Kaivan lirih.Suara pintu berderit saat di buka dan nada suara lembut ketika mengucap salam, membuyarkan lamunan Kaivan. Tampak Harun dan perawat Jenar memasuki ruangan ICU, tempat Kaira dan Kaivan berada. Pemuda berparas manis dengan kumis tipis dan kacamata yang membingkai kedua matanya itu mendekat ke arah sepasang suami-istri di dekatnya."Dokter Harun," ucap Kaivan sambil menoleh ke arah pemuda itu.Dokter Harun tersenyum. "Aku mau periksa kondisi Kaira dulu," ucapnya sambil mengambil stetoskop dari saku jasnya. Kaivan mengang
Tasya menoleh ke arah sumber suara. Kaira mendongak sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya. Orang itu mendekat, kedua tangan mengepal. Wajahnya memerah menahan amarah. Dengan napas bergemuruh ia mendekati dua wanita tersebut."Apa yang kau lakukan pada Kaira, Tasya?" tanya orang itu dengan tatapan tajam ke arah Tasya."A--aku. Aku baru saja datang dan me--melihat Kaira terjatuh. A--aku hanya berusaha menolongnya," ucap Tasya dengan gugup sambil berpura-pura membantu Kaira."Jangan berani bohongi aku!" ucap orang itu kembali semakin kesal."A--aku tidak bohong. Kaira, kenapa kau tidak berhati-hati? Kenapa sampai terjatuh seperti ini." Tasya kembali berbohong dan berpura-pura, ia takut jika orang itu murka."Jangan sentuh dia!" Orang itu menepis kasar tangan Tasya saat hendak memegang tangan kanan Kaira.Dengan segera, orang itu menggendong tubuh Kaira dan membaringkan di ranjang perlahan. "Kau tidak papa, Sayang?" ucap orang itu yang ternyata Kaivan. Kaira mengangguk lemah sambil me
Karin dan Tasya tampak melangkah menuju gagang pintu ruang tamu setelah mendengar deru mobil dan mengintip siapa yang datang. Begitu pintu terbuka, seorang pria mengenakan jaket hitam, celana panjang hitam, masker, serta topi, dan kacamata berwarna sama langsung masuk ke dalam."Kenapa lama sekali? Kita sudah hampir mati kelaparan di sini," omel Karin sambil mengambil kardus yang dibawa orang itu dan meletakkannya di meja."Kau pikir mudah untuk bisa sampai ke sini? Aku harus memastikan situasi aman. Lagipula, askes ke sini juga sulit, butuh waktu lama untuk bisa sampai," jelas orang itu sambil mengambil lagi kardus yang lain."Kau sudah pastikan aman selama perjalanan ke sini? Tidak ada yang mengikutimu?" tanya Tasya curiga."Aku pastikan aman. Sepertinya, Kaivan dan anak buahnya belum mencium keberadaan kalian di sini," jelas orang yang ternyata lelaki tersebut kembali."Syukurlah. Kapan kami bisa keluar dari sini? Kami sudah tidak betah tinggal di hutan belantara ini. Tidak ada sin
Kaivan kembali memegang kedua pundak Kaira dan memijitnya lembut. Kaira menghela napas sambil sesekali memejamkan kedua matanya. Menikmati setiap pijitan Kaivan."Kasihan sekali istriku. Pasti kelelahan bekerja sampai seperti ini," ucap Kaivan sambil terus memijit."Tadi banyak pasien. Ruang IGD pun ramai. Jadi, memang agak sibuk hingga kurang beristirahat," jelas Kaira sambil menenglengkan kepalanya."Jangan terlalu capai, kau sedang hamil. Apalagi, kandunganmu sudah besar. Apa tidak sebaiknya mengambil cuti dan beristirahat saja di rumah," saran Kaivan."Waktu melahirkan masih lama. Kalau aku ambil cuti sekarang, akan lama di rumah. Aku pasti akan bosan," tolak Kaira."Sayang, kalau kau bosan kan bisa jalan-jalan. Ke mall, atau ke mana saja. Aku akan mengantarmu. Kalau terlalu lelah seperti ini, calon bayi kita pasti akan semakin aktif dan itu akan membahayakan kalian," jelas Kaivan yang masih berusaha membujuk Kaira."Tapi, Mas ....""Kau bisa sibuk mengantar jemput Kiara. Bisa ber
Seorang wanita paruh baya yang meski tidak muda lagi. Namun, masih tetap terlihat cantik tampak sedang mondar-mandir di dalam kamarnya. Kekhawatiran tampak di balik wajah setengah keriputnya. Sesekali, ia melirik ke arah ponsel yang di genggamnya. Sudah hampir satu jam perempuan tersebut seperti itu. Karan, sang suami tampak memasuki kamar tersebut. Pria tua itu mengerutkan kedua alisnya. Merasa heran dengan apa yang telah istrinya lakukan. Lelaki itu mendekati dan menepuk pelan pundak Kanza, nama wanita tersebut. "Mam, ada apa? Kau tampak gelisah sekali?" tanya Karan dengan curiga. Wanita itu terperanjat. Kemudian, menghela napas dan mengeluarkannya kasar. Menelan ludah dan menatap ke arah suaminya dengan raut wajah panik. "Pa--Papi, mengejutkan Mami saja," ucap Kanza dengan gugup. "Maaf, Mam. Dari tadi, Papi perhatikan Mami mondar-mandir sambil melirik ponsel. Ada apa? Siapa yang sedang Mami tunggu teleponnya?" tanya Karan semakin penasaran. "Tidak ada, Pap," bohong Kanza
Kaira tampak termenung di kamar. Wanita berparas cantik itu duduk di balkon sambil menatap ke arah langit. Napasnya terdengar berat. Terlintas dalam pikirannya akan bayangan masa lalunya. Ketika pertama kali ia mengenal Kaivan hingga kejadian malam itu terjadi yang membuat dirinya kehilangan keluarga kandungnya.Napas Kaira semakin bergemuruh, kedua tangannya mencengkeram kuat pinggiran kursi. Keringat dingin mengucur membasahi wajah cantiknya. Kaivan yang baru saja datang, terkejut dengan ekspresi dari istrinya dan langsung mendekatinya."Sayang, kau kenapa?" tanya pemuda itu sambil berjongkok di hadapan Kaira.Wanita itu memejamkan kedua mata dan menggeleng ketakutan. Napas Kaira semakin sesak. Ketakutan itu semakin menyiksanya. Kaivan langsung memeluknya."Tenanglah, Sayang. Ini aku, Kaivan, suamimu. Aku mohon tenanglah," ucap Kaivan sambil mengusap-usap punggung Kaira. Berusaha menenangkannya.Kaira berusaha melepaskan pelukan Kaivan. Namun, pria itu mempererat pelukannya, ia tahu
Kaira dan Kaivan terdiam. Keduanya masih syok dengan apa yang menimpa Kiara. Harun yang masih penasaran pun kembali bertanya."Kaira, jawab!" seru Harun semakin penasaran.Kembali Kaira dan Kaivan saling beradu tatap, kemudian menatap ke arah Harun. Menatap pemuda berkumis tipis berparas manis tersebut."ki--Kiara yang ada di dalam," jawab Kaivan dengan gugup."Apa? Ki--Kiara? A--apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia bisa ada di sini?" tanya Harun dengan terkejut dan penasaran."Kiara tadi diculik saat pulang sekolah oleh Karin dan Tasya. Kami berhasil menggagalkannya, tetapi Kiara terluka karena terkena pecahan beling yang ditodongkan ke arah leher Kiara oleh Tasya," jelas Kaivan, menceritakan kronologi kejadiannya."Apa? Ini semua ulah Tasya dan Karin?" tanya Harun kembali yang tidak menyangka."Iya.""Lalu, ke mana mereka? Apa berhasil ditangkap?""Mereka berhasil meloloskan diirketika kami fokus pada Kiara.""kurang ajar! Berani sekali mereka menyakiti keponakanku! Aku akan menca
Kaivan menelan ludah. Menghela napas, mencoba menahan amarahnya. Bukan tidak berani mendekat ke arah Tasya dan Karin. Namun, ia tidak ingin gegabah dan membuat putrinya terluka. Karin tampak tersenyum melihat wajah menyedihkan Kaira."Lihatlah, Kaira. Kau akan kehilangan putrimu. Itu semua hukuman yang setimpal dari semua yang sudah kau lakukan padaku dan Tasya. Terutama, Kau, Kaivan! Kau sudah buat hidup kami menderita cukup lama di pulau terpencil. Kalian harus membayar mahal untuk itu," ucap Karin dengan tatapan menyeringai."Apa yang kalian inginkan? Lepaskan putriku! Jangan sakiti dia. Urusan kalian denganku, bukan dengannya," ucap Kaira berusaha untuk berbicara baik-baik."Aku ingin kau hancur, Kaira. Tanda tangani surat ini," ucap Karin sambil melemparkan map cokelat ke arah Kaira.'Rupanya mereka sudah menyiapkan dan merencanakan semuanya. Aku harus cari cara membuat Karin dan Tasya lengah hingga bisa menyelamatkan Kiara,' monolog Kaivan dalam hati.Kaivan mengambil map cokela
Setelah satu minggu berada di rumah sakit melakukan perawatan, pasca insiden yang terjadi beberapa waktu lalu, Kaira pun diizinkan pulang ke rumah. Namun, belum diperbolehkan bekerja. Kaivan pun menjadi sangat posesif menjaga Kaira, demi keselamatan istri dan calon anak keduanya.Kaira yang masih lemas berbaring di ranjang. Sementara Kaivan, berada di ruang tamu bersama dengan Ferdinan yang ikut menjemput Kaira di rumah sakit. Mereka tampak berbincang serius di sana."Bagaimana kondisi Dokter Kaira? Apa sudah membaik?" tanya Ferdinan membuka pembicaraan."Sudah. Dokter bilang, Kaira tidak boleh emosi dan terlalu stres. Itu bisa berbahaya bagi diri dan calon bayinya," jelas Kaivan dengan pelan."Kau harus ekstra hati-hati dalam menjaganya. Apa dia tahu mengenai pengintaian kita terhadap Karin dan Tasya?" tanya Ferdinan sembari menasihati Kaivan."Dia belum tahu kalau kita kemarin pergi mengintai dan ingin menangkap Karin dan Tasya. Dia ....""Apa? Jadi kalian kemarin pergi tanpa kabar
Kaivan masih menunggu di depan ruang pemeriksaan. Pemuda itu masih mencemaskan Kaira yang belum juga selesai diperiksa oleh dokter. Setengah jam berlalu, dokter keluar dari tempat itu dan langsung di hadang oleh Kaivan."Dokter, bagaimana kondisi istri saya?" tanyanya dengan cemas sambil menatap ke arah dokter.Dokter itu menghela napas dan menyeka dahinya dengan lengan jasnya. Kemudian, menatap Kaivan dengan wajah serius."Kondisi istri Anda baik-baik saja. Janinnya pun sama. Untung saja cepat dibawa ke sini. Hanya saja, pasien harus istirahat total karena mengalami sedikit pendarahan," jelas dokter itu dengan wajah serius."Apa? Pendarahan? Apa berbahaya, Dok?" tanya Kaivan kembali dengan terkejut."Berbahaya jika tidak lekas di atasi. Saya harap, Anda mengikuti saran saya demi keselamatan istri dan calon bayi Anda," jelas dokter itu kembali."Baik, Dok. Emm, kira-kira, kenapa istri saya bisa seperti itu, Dok? Apa karena kelelahan?" "Iya, bisa karena kelelahan, atau emosi berlebih
Kaivan dan Ferdinan, beserta anak buahnya kembali ke kota J setelah pengintaian dan usaha penangkapan atas Karin dan Tasya gagal. Kini, Kaivan mengkhawatirkan Kaira yang tidak mengangkat panggilan telepon dan membalas pesannya.Kaivan terus gelisah, takut hal buruk terjadi pada Kaira. Harun pun tidak dapat dihubungi. Semakin membuat pemuda itu bertambah khawatir."Bagaimana ini? Kak Harun pun tidak bisa dihubungi. Ke mana sebenarnya mereka?" monolog Kaivan sambil meremas kasar rambutnya."Tetaplah tenang. Mungkin mereka sedang ada tugas dan tidak ada sinyal sehingga sulit dihubungi," jelas Ferdinan berusaha menenangkan Kaivan."Bagaimana aku bisa tenang. Karin dan Tasya berhasil lolos. Kaira tidak bisa dihubungi. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Kau tahu bagaimana ular berbisa itu memperlakukan Kaira. Aku khawatir mereka menemui Kaira dan melakukan hal buruk pada istriku," omel Kaivan yang masih saja terus gelisah."Aku mengerti kekhawatiranmu. Namun, berpikirlah positif. Semoga tid