“Ada apa Bang?” tanya Ridwan membuka obrolan mereka di teras rumah di lantai atas itu. “Dari tadi pagi aku lihat kamu berbeda dari hari-hari sebelumnya, kamu terlihat lebih semangat. Makanya aku mengajakmu ngobrol di teras ini karena merasa penasaran ingin mengetahui apa penyebabnya,” ujar Randi. “Hemmm, nggak ada apa-apa kok Bang,” Ridwan tersenyum berusaha menyembunyikan penyebab sikapnya yang terlihat lebih bersemangat itu. “Kamu mungkin bisa saja menyembunyikan semua itu pada orang lain tapi aku nggak bisa Ridwan, ayo bicaralah.” “Malam jum’at kemarin entah kenapa aku tiba-tiba kangen sama Kintani, hingga membawaku melamunkan semua yang telah terjadi di antara kami. Mulai awal bertemu, berkenalan dan menjalin hubungan asmara,” tutur Ridwan. “Oh, pantas saja kamu terlihat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Lebih fress dan energik rupanya karena itu penyebabnya? He..he..he..!” Randi tertawa karena dia tahu persis hal itu dapat membangkitkan semangat dan gairah dalam menjalani
“Seperti yang aku katakan tadi ciri-ciri cewek yang mungkin memiliki perasaan kepada kita, diajak jalan dia tidak menolak begitu pula di telpon dan di chat melalui handphone dia selalu angkat dan balas. Apakah Kintani seperti itu juga terhadap kamu?” “Ya Rama, dia jarang menolak jika aku ajak jalan begitu juga selalu ngangkat dan balas bila aku telpon dan chat di handphone,” jawab Iptu Yoga. “Nah, apalagi yang kamu sangsikan. Sesegera mungkin kamu ungkapkan perasaanmu padanya, nggak mungkinlah dia yang duluan nyatakan rasa sayangnya ke kamu Yoga,” ujar Iptu Rama. “Bagaimana kalau dugaan itu salah dan Kintani tak menerima ungkapan perasaanku itu?” “Loh, kamu harus siap menerima segala konsekuensinya. Kalau di tolak kamu harus bisa berlapang dada,” jelas Iptu Rama. “Wah, berat juga resikonya ya? Aku sepertinya belum siap jika nanti perasaanku di tolaknya.” “Kalau begitu kamu harus bersabar dan musti benar-benar siap untuk segala kemungkinan yang terjadi, karena urusan cinta terkad
“Jadi besok kita nggak bisa jalan ya, Kintani?” tanya Iptu Yoga saat berada di halaman kos-kosan mengantar Kintani pulang. “Nggak Bang, soalnya besok aku ada perlu dengan Dila dan Eva. Nggak jelas dari jam berapa kami pergi dan jam berapa pulanya nanti kami kembali ke kos-kosan,” jawab Kintani. “Oh ya udah kalau gitu, kapan-kapan lagi aja kita jalan lagi.” “Iya Bang, aku turun ya. Hati-hati di jalan,” ujar Kintani turun dari mobil fortuner itu, lalu Iptu Yoga memutar mobilnya dan berlalu pergi dari halaman kos-kosan itu. Pagi itu cuaca Kota Padang terlihat cerah, sekitar jam 9 pagi Kintani dan kedua sahabatnya itu ke luar dari kos-kosan menuju pasar raya dengan menggunakan mobil jazz milik mahasiswi cantik itu. Lebih kurang 15 menit mereka pun tiba di tempat parkir kendaraan roda 4 di kawasan pasar raya itu, mereka pun turun dan langsung menuju toko bahan dasar pakaian yang berada di dalam los pasar raya tempat dulu Ridwan mengajak Kintani belanja bahan dasar untuk seragam kuliah
Atau mungkin karena dia tadi pagi membawa Dila ke toko dan tailor yang pernah Ridwan tunjukan kepadanya itu? Entahlah yang pasti saat ini muncul kembali kerinduan yang beberapa minggu belakangan ini dapat ia tepis. “Ya Allah, kenapa tiba-tiba saja bayangan Uda Ridwan hadir dan membuatku sulit untuk memejamkan mata? Apa yang terjadi dengannya di sana? Pada siapa aku musti bertanya tentang dia, sementara tak satupun orang yang aku kenali tinggal di Jakarta,” gumam Kintani dalam hati masih dalam posisi duduk di atas tempat tidurnya memeluk bantal. “Uda, aku bukannya melupakanmu. Aku berusaha untuk tidak mengingat-ingat karena kuatir hari-hariku akan selalu di rundung kesedihan yang mendalam, sampai kapan pun rasanya aku takan bisa menghapus rasa sayang ini kepadamu. Meskipun kelak kita memang tak di takdirkan hidup bersama oleh yang kuasa,” kembali Kintani bergumam kali ini sembari menatap langit-langit kamarnya. Kintani kembali rebahkan tubuhnya dan berusaha untuk menenangkan hati, h
Pagi-pagi sekali Ridwan dan Randi telah bangun dan mempersiapkan barang-barang bawaan mereka berupa pakaian dan oleh-oleh yang kemarin sore mereka beli, setelah sarapan bersama Gita dan suaminya Ridwan dan Randi pun bersiap berangkat karena jemputan ke bandara telah tiba.“Om..! Om..Ridwan..!” panggil si kecil Nisa saat Ridwan dan Randi telah berada di halaman rumah hendak menuju pagar.“Eh..Nisa..!” Ridwan membalikan tubuhnya kemudian berjongkok menyambut si kecil yang berlari menghampirinya.“Om Ridwan jangan lama-lama ya di tempat Opa dan Oma..!” seru manja si kecil itu.“Iya, Om Ridwan dan Om Randi hanya 3 hari di sana. Om akan kembali lagi ke sini, oh ya nanti Nisa mau dibawain oleh-oleh apa dari Padang?” Ridwan menjelaskan sembari membelai-belai rambut Nisa yang saat itu berada di pelukannya.“Nggak tahu,” ujar Nisa menggelengkan kepalanya.“Oh ya udah, nanti Om pilihin aja ya oleh-olehnya. Sekarang Om pamit dulu pergi ke rumah Oma dan Opa, jangan nakal sama Mama dan Papa di rum
Selepas sholat zhuhur mereka makan siang bersama, Bu Indri yang biasa hanya memasak sedikit dengan menu seadanya saja karena di rumah itu dia hanya tinggal berdua bersama suaminya, siang itu di samping memasak 2 kali lipat lebih banyak juga terdapat berbagai macam menu khas masakan Minang. “Wah, udah lama aku nggak pernah makan masakan Mama yang super lezat ini. Mulai dari rendang hingga asam pedas kepala ikan,” Randi sangat senang dan menikmati sekali menu masakan yang disuguhkan Mamanya. “Hemmm, kalian berdua habiskan saja semuanya. Nanti Mama masakin lagi,” Bu Indri sangat senang karena Randi dan Ridwan begitu lahap makannya. “Sangat jauh berbeda rendang dan menu di rumah makan di tempat langganan kita di Jakarta dengan yang di masak Ibu, Bang.” “Jelas saja Ridwan, terkadang di sana bumbu masakannya tidak selengkap yang ada di sini. Ya kan Ma?” “Benar, karena rempah-rempah masakan untuk segela jenis khas Minang lengkap tersedia di pasar raya, dan mudah di dapatkan juga di daer
Dila dan Eva duduk menghadap ke arah jalan raya atau pagar masuk ke kos-kosan itu, sementara Kintani dan Iptu Yoga sebaliknya memunggung ke arah jalan raya dan mereka terlihat semakin larut dengan obrolan yang terkadang di selingi senda-gurau. Tak lama Ridwan pun tiba di depan pagar, setelah membayar biaya gojek dari rumah orang tua angkatnya, Ridwan melangkah memasuki halaman kos-kosan itu dengan hati berbunga-bunga penuh kerinduan. “Duuuuuaaaaaar..!” bagai petir menyambar Eva dan Dila terkejut terlonjak dari duduk, saat mereka melihat sosok pria yang baru saja masuk dan sekarang berada di halaman kos-kosan itu. Untuk beberapa saat Eva dan Dila hanya saling pandang, sementara Ridwan yang belum mengetahui jika Kintani berada di ruang terbuka itu masih terlihat senyum-senyum sendiri berjalan santai makin mendekat. “Tidak mungkin...! Tidak mungkin..!” setengah sadar Dila berseru. “Dila, apanya yang tidak mungkin?” Kintani terkejut mendengar Dila tiba-tiba saja berseru seperti itu.
Eva mengambil segelas air putih lalu diberikan pada Kintani, perlahan sahabatnya itu pun meminumnya. Sementara Dila mengelus-elus punggung Kintani berusaha menenangkan hati temannya itu, Dila dan Eva merasakan betapa shoknya Kintani yang secara tiba-tiba dikunjungi Ridwan sementara saat itu Iptu Yoga duduk di sampingnya. “Kintani, apa sekarang kamu udah sedikit tenang?” tanya Eva setelah melihat sahabatnya itu beberapa kali meneguk air putih yang ia berikan, Kintani menjawab dengan anggukan kepalanya. “Nah, sekarang apa yang hendak kamu lakukan? Aku dan Dila siap membantumu,” ujar Eva. “Uda Ridwan pasti sangat kecewa dan sakit hati saat ia datang melihat aku duduk bersebelahan dengan Bang Yoga tadi, aku bingung harus bagaimana untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini,” tutur Kintani sambil mengusap air mata di kedua pipinya dengan tisu. “Kesalahpahaman?” Eva dan Dila serentak terkejut dan tak mengerti apa yang dimaksudkan Kintani itu. “Ya, Uda Ridwan telah salah faham dan aku maklu