“Seperti yang aku katakan tadi ciri-ciri cewek yang mungkin memiliki perasaan kepada kita, diajak jalan dia tidak menolak begitu pula di telpon dan di chat melalui handphone dia selalu angkat dan balas. Apakah Kintani seperti itu juga terhadap kamu?” “Ya Rama, dia jarang menolak jika aku ajak jalan begitu juga selalu ngangkat dan balas bila aku telpon dan chat di handphone,” jawab Iptu Yoga. “Nah, apalagi yang kamu sangsikan. Sesegera mungkin kamu ungkapkan perasaanmu padanya, nggak mungkinlah dia yang duluan nyatakan rasa sayangnya ke kamu Yoga,” ujar Iptu Rama. “Bagaimana kalau dugaan itu salah dan Kintani tak menerima ungkapan perasaanku itu?” “Loh, kamu harus siap menerima segala konsekuensinya. Kalau di tolak kamu harus bisa berlapang dada,” jelas Iptu Rama. “Wah, berat juga resikonya ya? Aku sepertinya belum siap jika nanti perasaanku di tolaknya.” “Kalau begitu kamu harus bersabar dan musti benar-benar siap untuk segala kemungkinan yang terjadi, karena urusan cinta terkad
“Jadi besok kita nggak bisa jalan ya, Kintani?” tanya Iptu Yoga saat berada di halaman kos-kosan mengantar Kintani pulang. “Nggak Bang, soalnya besok aku ada perlu dengan Dila dan Eva. Nggak jelas dari jam berapa kami pergi dan jam berapa pulanya nanti kami kembali ke kos-kosan,” jawab Kintani. “Oh ya udah kalau gitu, kapan-kapan lagi aja kita jalan lagi.” “Iya Bang, aku turun ya. Hati-hati di jalan,” ujar Kintani turun dari mobil fortuner itu, lalu Iptu Yoga memutar mobilnya dan berlalu pergi dari halaman kos-kosan itu. Pagi itu cuaca Kota Padang terlihat cerah, sekitar jam 9 pagi Kintani dan kedua sahabatnya itu ke luar dari kos-kosan menuju pasar raya dengan menggunakan mobil jazz milik mahasiswi cantik itu. Lebih kurang 15 menit mereka pun tiba di tempat parkir kendaraan roda 4 di kawasan pasar raya itu, mereka pun turun dan langsung menuju toko bahan dasar pakaian yang berada di dalam los pasar raya tempat dulu Ridwan mengajak Kintani belanja bahan dasar untuk seragam kuliah
Atau mungkin karena dia tadi pagi membawa Dila ke toko dan tailor yang pernah Ridwan tunjukan kepadanya itu? Entahlah yang pasti saat ini muncul kembali kerinduan yang beberapa minggu belakangan ini dapat ia tepis. “Ya Allah, kenapa tiba-tiba saja bayangan Uda Ridwan hadir dan membuatku sulit untuk memejamkan mata? Apa yang terjadi dengannya di sana? Pada siapa aku musti bertanya tentang dia, sementara tak satupun orang yang aku kenali tinggal di Jakarta,” gumam Kintani dalam hati masih dalam posisi duduk di atas tempat tidurnya memeluk bantal. “Uda, aku bukannya melupakanmu. Aku berusaha untuk tidak mengingat-ingat karena kuatir hari-hariku akan selalu di rundung kesedihan yang mendalam, sampai kapan pun rasanya aku takan bisa menghapus rasa sayang ini kepadamu. Meskipun kelak kita memang tak di takdirkan hidup bersama oleh yang kuasa,” kembali Kintani bergumam kali ini sembari menatap langit-langit kamarnya. Kintani kembali rebahkan tubuhnya dan berusaha untuk menenangkan hati, h
Pagi-pagi sekali Ridwan dan Randi telah bangun dan mempersiapkan barang-barang bawaan mereka berupa pakaian dan oleh-oleh yang kemarin sore mereka beli, setelah sarapan bersama Gita dan suaminya Ridwan dan Randi pun bersiap berangkat karena jemputan ke bandara telah tiba.“Om..! Om..Ridwan..!” panggil si kecil Nisa saat Ridwan dan Randi telah berada di halaman rumah hendak menuju pagar.“Eh..Nisa..!” Ridwan membalikan tubuhnya kemudian berjongkok menyambut si kecil yang berlari menghampirinya.“Om Ridwan jangan lama-lama ya di tempat Opa dan Oma..!” seru manja si kecil itu.“Iya, Om Ridwan dan Om Randi hanya 3 hari di sana. Om akan kembali lagi ke sini, oh ya nanti Nisa mau dibawain oleh-oleh apa dari Padang?” Ridwan menjelaskan sembari membelai-belai rambut Nisa yang saat itu berada di pelukannya.“Nggak tahu,” ujar Nisa menggelengkan kepalanya.“Oh ya udah, nanti Om pilihin aja ya oleh-olehnya. Sekarang Om pamit dulu pergi ke rumah Oma dan Opa, jangan nakal sama Mama dan Papa di rum
Selepas sholat zhuhur mereka makan siang bersama, Bu Indri yang biasa hanya memasak sedikit dengan menu seadanya saja karena di rumah itu dia hanya tinggal berdua bersama suaminya, siang itu di samping memasak 2 kali lipat lebih banyak juga terdapat berbagai macam menu khas masakan Minang. “Wah, udah lama aku nggak pernah makan masakan Mama yang super lezat ini. Mulai dari rendang hingga asam pedas kepala ikan,” Randi sangat senang dan menikmati sekali menu masakan yang disuguhkan Mamanya. “Hemmm, kalian berdua habiskan saja semuanya. Nanti Mama masakin lagi,” Bu Indri sangat senang karena Randi dan Ridwan begitu lahap makannya. “Sangat jauh berbeda rendang dan menu di rumah makan di tempat langganan kita di Jakarta dengan yang di masak Ibu, Bang.” “Jelas saja Ridwan, terkadang di sana bumbu masakannya tidak selengkap yang ada di sini. Ya kan Ma?” “Benar, karena rempah-rempah masakan untuk segela jenis khas Minang lengkap tersedia di pasar raya, dan mudah di dapatkan juga di daer
Dila dan Eva duduk menghadap ke arah jalan raya atau pagar masuk ke kos-kosan itu, sementara Kintani dan Iptu Yoga sebaliknya memunggung ke arah jalan raya dan mereka terlihat semakin larut dengan obrolan yang terkadang di selingi senda-gurau. Tak lama Ridwan pun tiba di depan pagar, setelah membayar biaya gojek dari rumah orang tua angkatnya, Ridwan melangkah memasuki halaman kos-kosan itu dengan hati berbunga-bunga penuh kerinduan. “Duuuuuaaaaaar..!” bagai petir menyambar Eva dan Dila terkejut terlonjak dari duduk, saat mereka melihat sosok pria yang baru saja masuk dan sekarang berada di halaman kos-kosan itu. Untuk beberapa saat Eva dan Dila hanya saling pandang, sementara Ridwan yang belum mengetahui jika Kintani berada di ruang terbuka itu masih terlihat senyum-senyum sendiri berjalan santai makin mendekat. “Tidak mungkin...! Tidak mungkin..!” setengah sadar Dila berseru. “Dila, apanya yang tidak mungkin?” Kintani terkejut mendengar Dila tiba-tiba saja berseru seperti itu.
Eva mengambil segelas air putih lalu diberikan pada Kintani, perlahan sahabatnya itu pun meminumnya. Sementara Dila mengelus-elus punggung Kintani berusaha menenangkan hati temannya itu, Dila dan Eva merasakan betapa shoknya Kintani yang secara tiba-tiba dikunjungi Ridwan sementara saat itu Iptu Yoga duduk di sampingnya. “Kintani, apa sekarang kamu udah sedikit tenang?” tanya Eva setelah melihat sahabatnya itu beberapa kali meneguk air putih yang ia berikan, Kintani menjawab dengan anggukan kepalanya. “Nah, sekarang apa yang hendak kamu lakukan? Aku dan Dila siap membantumu,” ujar Eva. “Uda Ridwan pasti sangat kecewa dan sakit hati saat ia datang melihat aku duduk bersebelahan dengan Bang Yoga tadi, aku bingung harus bagaimana untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini,” tutur Kintani sambil mengusap air mata di kedua pipinya dengan tisu. “Kesalahpahaman?” Eva dan Dila serentak terkejut dan tak mengerti apa yang dimaksudkan Kintani itu. “Ya, Uda Ridwan telah salah faham dan aku maklu
Selepas magrib barulah Ridwan kembali ke rumah orang tua angkatnya, dan betapa terkejutnya saat mengucapkan salam dan hendak masuk di ruangan tamu itu melihat Kintani dan kedua sahabatnya. Ridwan jadi serba salah, jika ia tidak berlalu saja dari ruang tamu itu menuju kamar merasa tidak enak karena di ruangan itu bukan hanya ada Bu Indri menemani Kintani dan dua sahabatnya itu tapi juga ada Pak Hendra. “Ridwan, sini duduk Nak,” pinta Pak Hendra yang mengetahui jika anak angkatnya itu serba salah dan merasa canggung. Ridwan mau tidak mau tentu menuruti permintaan Pak Hendra untuk duduk bergabung dengan mereka di ruang tamu itu, hanya saja untuk beberapa saat lamanya Ridwan hanya diam dan terlihat dingin. “Nah, sekarang waktunya buat kamu menjelaskan semuanya pada Ridwan. Agar kesalahpahaman ini tidak berlanjut,” Bu Indri membuka pembicaraan di ruang tamu itu. Kintani tiba-tiba saja tak sanggup berucap sepatah katapun, bibirnya terasa kelu dan kembali air matanya jatuh membasahi kedu
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu