Selepas magrib barulah Ridwan kembali ke rumah orang tua angkatnya, dan betapa terkejutnya saat mengucapkan salam dan hendak masuk di ruangan tamu itu melihat Kintani dan kedua sahabatnya. Ridwan jadi serba salah, jika ia tidak berlalu saja dari ruang tamu itu menuju kamar merasa tidak enak karena di ruangan itu bukan hanya ada Bu Indri menemani Kintani dan dua sahabatnya itu tapi juga ada Pak Hendra. “Ridwan, sini duduk Nak,” pinta Pak Hendra yang mengetahui jika anak angkatnya itu serba salah dan merasa canggung. Ridwan mau tidak mau tentu menuruti permintaan Pak Hendra untuk duduk bergabung dengan mereka di ruang tamu itu, hanya saja untuk beberapa saat lamanya Ridwan hanya diam dan terlihat dingin. “Nah, sekarang waktunya buat kamu menjelaskan semuanya pada Ridwan. Agar kesalahpahaman ini tidak berlanjut,” Bu Indri membuka pembicaraan di ruang tamu itu. Kintani tiba-tiba saja tak sanggup berucap sepatah katapun, bibirnya terasa kelu dan kembali air matanya jatuh membasahi kedu
Setibanya di pinggir jalan raya di depan gang jalan menuju ke rumah orang tua angkat Ridwan itu, Kintani mengambil kunci kontak mobilnya di dalam tas dan bermaksud hendak membuka pintu bagian kemudi setelah sebelumnya membuka seluruh pintu mobil itu dengan remote control di kunci kontak itu. “Aku aja yang bawa,” ujar Ridwan mengulurkan telapak tangannya, Kintani malah tersenyum dan tertawa kecil karena dia tahu jika Ridwan dulu pernah ia tawari untuk mengemudi mobilnya itu namun di tolak karena belum bisa nyetir. “Eh, kok malah ketawa,” Ridwan mencolek hidung Kintani. “Ih, apa-apaan sih Uda nih. Malah becanda,” rengek manja Kintani. “Kamu yang becanda, aku serius nawarin aku aja yang bawa mobil ini,” ujar Ridwan. “Emang Uda udah bisa nyetir?” “Udah, aku diajari Bang Randi di Jakarta.” “Oh, nih kuncinya,” Kintani memberi kunci kontak mobil itu pada Ridwan. Eva dan Dila hanya tersenyum melihat kemesraan mereka, lalu masuk ke dalam mobil jazz itu yang kemudian di kemudikan Ridwan
Minggu pagi seperti biasa selepas bersih-bersih ruangan kos dan mandi Kintani sarapan di meja makan ruangan tengah, setelah itu duduk di teras ruangan bareng Dila dan Eva. Ngobrol sambil searching di handphone, tiba-tiba Kintani mendapat panggilan yang di layar handphonenya itu bertuliskan sayang, dengan segera Kintani menerimanya. “Hallo, Assalamualaikum Uda.” “Waalaikum salam,” sahut Ridwan. “Uda udah sarapan?” “Udah barusan bareng Bang Randi, Ibu dan Bapak.” “Uda mau ke kos ini atau langsung jalan? Kalau langsung jalan Uda tunggu aja di depan gang biar aku yang ke sana,” tawar Kintani. “Terserah kamu aja, Kintani.” “Ya udah dari pada Uda repot-repot jemput ke sini, kita langsung jalan aja dan Uda tunggu di depan gang ya?” “Oke sayang,” ucap Ridwan membuat hati Kintani kembali berbunga-bunga meskipun ucapan sayang itu tidak asing lagi ia dengar dari pria tampan penuh kharismatik itu, namun karena sudah lama tak mendengarnya terasa mendengar ucapan sayang untuk yang pertama k
“Aku sedih dengan yang telah terjadi hingga membuat Uda menjadi korban harus pergi dari Kota Padang merantau ke Jakarta, padahal di Padang Uda udah memiliki pekerjaan tetap berpenghasilan lumayan besar walaupun kerja di pasar.” “Hemmm, nggak usah di ingat-ingat lagi semua yang telah terjadi itu Kintani. Mungkin sudah takdir perjalanan cinta kita seperti ini, aku iklas kok menerimanya. Saat Bang Randi mengajakku ke Padang, aku telah bertekad untuk melanjutkan dan memperjuangkan hubungan kita ini apapun resikonya, jujur aku tak bisa kehilangan kamu.” “Aku juga demikian Uda, berbulan lamanya aku jalani hari-hari penuh kehampaan. Aku nggak tahu harus bertanya pada siapa karena nomor kontak kita sama-sama diganti,” ujar Kintani tak ia sadari bergulir air matanya menetes di pipi. “Kamu pikir hanya kamu saja yang merasakan hal itu? Nggak Kintani. Aku juga merasakan hal yang sama, dan sekarang kita sudah bertemu kembali kamu nggak boleh bersedih lagi,” Ridwan mengusap air mata di pipi keka
Menjelang magrib Randi mengantar Ranti pulang dari rumah kedua orang tuanya, begitu pula Ridwan pun mohon pamit dari kos-kosan itu pulang ke rumah orang tua angkatnya. “Aku antar Uda, ya?” “Nggak usah Kintani, aku naik angkot aja. Lagian dari di sini dekat kok, aku pamit ya Kintani, Dila, Eva.” “Iya Bang Ridwan,” ujar Eva dan Dila. “Hati-hati di jalan,” ucap Kintani mengantar kekasihnya itu hingga depan pagar pinggir jalan raya, Ridwan hanya menjawab dengan mengangguk dan tersenyum. 15 menit berselang tibalah Ridwan di rumah kedua orang tua angkatnya itu, karena waktu magrib hampir tiba ia pamit untuk mandi. Pak Hendra, Bu Indri dan Ridwan sholat magrib berjama’ah di rumah karena letak mushola atau masjid tidak memungkinkan mereka untuk menuju ke sana dengan waktu magrib yang sangat singkat. Baru saja mereka hendak makan malam selepas sholat magrib itu, tiba-tiba terdengar suara sepeda motor masuk hingga ke teras rumah, mereka menunda makan malam itu karena mengetahui jika Randi
Sebelum tengah hari Ridwan dan Randi telah tiba di rumah setelah di antar bus angkutan bandara sebuah maskapai penerbangan, di rumah itu hanya ada Bi Sari karena Gita dan si kecil Nisa berada di toko di pasar tanah abang, sementara Aldi masih di kantor perusahaan tempat ia bekerja. Setelah menikmati segelas teh hangat yang dibuat Bi Sari, Ridwan dan Randi memanggil pembantu rumah itu yang berada di ruang belakang. “Ada apa Mas Randi dan Mas Ridwan?” tanya Bi Sari yang telah tiba di ruangan depan rumah itu. “Aku dan Ridwan pamit dulu ke toko nemui Kak Gita dan Nisa, Bi Sari jaga rumah ya?” ujar Randi. “Iya Mas, hati-hati di jalan,” ucap Bi Sari, Randi dan Ridwan mengangguk dan tersenyum kemudian mereka menuju toko tempat biasa mereka bekerja di pasar tanah abang itu menggunakan mobil milik Randi. Suasana pasar siang itu sedang ramai-ramainya menjelang istirahat siang nanti di mana para karyawan toko Gita saling bergantian, kedatangan Ridwan dan Randi tentu saja membuat Gita senang
5 hari sudah Kintani di tinggal kembali oleh Ridwan ke Jakarta, hari-hari yang ia lalui memang terlihat berbeda dari sebelumnya. Baik di kampus maupun di kos-kosan mahasiswi cantik itu tampak lebih bersemangat dan penuh keceriaan, Dila dan Eva juga ikut senang melihat sahabatnya itu. Sore sabtu itu kembali Iptu Yoga datang bertamu ke kos-kosan, Kintani yang ditemani Dila dan juga Eva menerimanya di ruangan terbuka di sebelah kanan halaman kos-kosan itu. “Minggu sore yang lalu aku ke sini, Eva dan Dila bilang kamu pergi ke luar dengan cowokmu. Benarkah begitu, Kintani?” Iptu Yoga mengawali obrolan di ruang tamu itu. “Iya Bang, dia lah Uda Ridwan yang datang sabtu sore kemarin ke sini lalu pergi begitu saja setelah melihat kita ngobrol di ruangan ini,” jawab Kintani. “Jadi dia itu cowokmu? Kenapa kamu nggak pernah cerita jika udah punya cowok?” Iptu Yoga merasa kecewa walaupun dia tak menunjukan sikap itu pada Kintani dan kedua sahabatnya. “Maaf Bang, aku memang tak pernah cerita p
“Wew, gombal..!” seru Kintani mencibir pada Ridwan. “Gombal?” Nisa bertanya karena dia tak mengerti apa yang dikatakan Kintani itu. “Tuh, Om Ridwan Nisa gombal,” tambah Kintani. “Gombal apaan sih, Om?” Nisa bertanya dengan polosnya, ditanya seperti itu Ridwan bingung harus jawab apa, beberapa saat ia hanya garuk-garuk kepala mencari kata-kata untuk menjawab. “Gombal itu sama dengan tampan atau ganteng, Nisa ngerti kan?” jawab Ridwan sekenanya saja. “Oh jadi Tante Kintani tadi bilang Om Ridwan tampan?” Ridwan anggukan kepalanya, sementara Kintani tak mampu lagi menahan tawanya melihat tingkah lucu Nisa yang dengan polosnya bertanya dan percaya dengan yang dikatakan Ridwan. Melihat Kintani tertawa di layar handphone Ridwan, Nisa pun ikut tertawa riang. Mereka bertiga tertawa bersama di teras rumah itu, hingga Gita yang duduk di ruang depan penasaran lalu berdiri dari duduknya menuju teras ingin mengetahui apa yang ditertawakan Ridwan dan putrinya itu. “Gembira sekali anak Mama, a