Sebelum tengah hari Ridwan dan Randi telah tiba di rumah setelah di antar bus angkutan bandara sebuah maskapai penerbangan, di rumah itu hanya ada Bi Sari karena Gita dan si kecil Nisa berada di toko di pasar tanah abang, sementara Aldi masih di kantor perusahaan tempat ia bekerja. Setelah menikmati segelas teh hangat yang dibuat Bi Sari, Ridwan dan Randi memanggil pembantu rumah itu yang berada di ruang belakang. “Ada apa Mas Randi dan Mas Ridwan?” tanya Bi Sari yang telah tiba di ruangan depan rumah itu. “Aku dan Ridwan pamit dulu ke toko nemui Kak Gita dan Nisa, Bi Sari jaga rumah ya?” ujar Randi. “Iya Mas, hati-hati di jalan,” ucap Bi Sari, Randi dan Ridwan mengangguk dan tersenyum kemudian mereka menuju toko tempat biasa mereka bekerja di pasar tanah abang itu menggunakan mobil milik Randi. Suasana pasar siang itu sedang ramai-ramainya menjelang istirahat siang nanti di mana para karyawan toko Gita saling bergantian, kedatangan Ridwan dan Randi tentu saja membuat Gita senang
5 hari sudah Kintani di tinggal kembali oleh Ridwan ke Jakarta, hari-hari yang ia lalui memang terlihat berbeda dari sebelumnya. Baik di kampus maupun di kos-kosan mahasiswi cantik itu tampak lebih bersemangat dan penuh keceriaan, Dila dan Eva juga ikut senang melihat sahabatnya itu. Sore sabtu itu kembali Iptu Yoga datang bertamu ke kos-kosan, Kintani yang ditemani Dila dan juga Eva menerimanya di ruangan terbuka di sebelah kanan halaman kos-kosan itu. “Minggu sore yang lalu aku ke sini, Eva dan Dila bilang kamu pergi ke luar dengan cowokmu. Benarkah begitu, Kintani?” Iptu Yoga mengawali obrolan di ruang tamu itu. “Iya Bang, dia lah Uda Ridwan yang datang sabtu sore kemarin ke sini lalu pergi begitu saja setelah melihat kita ngobrol di ruangan ini,” jawab Kintani. “Jadi dia itu cowokmu? Kenapa kamu nggak pernah cerita jika udah punya cowok?” Iptu Yoga merasa kecewa walaupun dia tak menunjukan sikap itu pada Kintani dan kedua sahabatnya. “Maaf Bang, aku memang tak pernah cerita p
“Wew, gombal..!” seru Kintani mencibir pada Ridwan. “Gombal?” Nisa bertanya karena dia tak mengerti apa yang dikatakan Kintani itu. “Tuh, Om Ridwan Nisa gombal,” tambah Kintani. “Gombal apaan sih, Om?” Nisa bertanya dengan polosnya, ditanya seperti itu Ridwan bingung harus jawab apa, beberapa saat ia hanya garuk-garuk kepala mencari kata-kata untuk menjawab. “Gombal itu sama dengan tampan atau ganteng, Nisa ngerti kan?” jawab Ridwan sekenanya saja. “Oh jadi Tante Kintani tadi bilang Om Ridwan tampan?” Ridwan anggukan kepalanya, sementara Kintani tak mampu lagi menahan tawanya melihat tingkah lucu Nisa yang dengan polosnya bertanya dan percaya dengan yang dikatakan Ridwan. Melihat Kintani tertawa di layar handphone Ridwan, Nisa pun ikut tertawa riang. Mereka bertiga tertawa bersama di teras rumah itu, hingga Gita yang duduk di ruang depan penasaran lalu berdiri dari duduknya menuju teras ingin mengetahui apa yang ditertawakan Ridwan dan putrinya itu. “Gembira sekali anak Mama, a
“Ya Kak, sebentar aku ngomong dulu sama Bang Randi.” “Ya udah, ditunggu di rumah. Assalamualaikum,” ucap Gita. “Waalaikum salam,” balas Ridwan menutup panggilan di ponselnya. “Ada apa ya? Kok Paman Ramli datang ingin bertemu denganku?” gumam Ridwan dalam hati sambil melangkah menghampiri Randi di bagian belakang ruang toko itu. “Bang barusan Kak Gita nelpon, kita diminta pulang sekarang,” Ridwan memberitahu Randi perihal pembicaraannya dengan Gita di telpon barusan. “Disuruh pulang sekarang?” Randi pun merasa heran. “Ya Bang, kata Kak Gita Paman Ramli sekarang ada di rumah.” “Oh, ya udah sebentar aku beresin ini dulu setelah itu kita pulang,” ujar Randi membereskan buku-buku catatan dan lainnya yang dianggap penting, Ridwan pun membantunya. Selang beberapa menit mereka berdua pun tiba di rumah, setelah mengucap salam Ridwan dan Randi duduk bergabung di ruang depan itu. “Tumben Paman datang, sepertinya ada hal yang penting ya yang ingin Paman Ramli sampaikan?” tanya Ridwan. “N
Sepeninggal Paman Ramli pulang ke rumahnya setelah di jamu makan malam oleh keluarga Gita, mereka kembali ngobrol di ruang depan menjelang waktu istirahat malam. “Aku tadi kuatir kalau-kalau di antara kita keceplosan bicara pada Paman Ramli soal hubunganku dengan Kintani yang sekarang berlanjut secara diam-diam,” ujar Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Kami ngerti kok hal itu musti dirahasiakan, untung tadi kamu alihkan bicara ke arah lain kalau sampai Nisa ikut pasti bakal ketauan,” tutur Gita. “Ikut apaan Ma?” Nisa langsung bertanya karena namanya di sebut-sebut. “Tadi Mama bilang takutnya Nisa ikut-ikutan ngombol Om Ridwan gombal lagi, He..he..he..!” Ridwan yang menjawab dengan candanya. “Ha..ha..ha..! Om Ridwan nggak ngombal, tapi jeyek..!” Nisa tertawa, semua yang berada di ruangan depan itu pun ikut tertawa. Bukan hanya Ridwan saja yang musti merahasiakan tentang hubungannya dengan Kintani yang masih berlanjut itu pada keluarga dekatnya, melainkan juga Kintani harus merahasia
“Iya Fitria,” jawab Tante Ayu sembari tersenyum. “Terima kasih karena kalian udah mau turut andil jika Fitria kuliah nanti, kami juga lega karena sebelum ke Jakarta Ridwan telah membeli tanah pekerbunan dan sekarang telah ditanami kelapa sawit. Dengan kebun itu nantinya kebutuhan Fitria saat kuliah akan dapat terpenuhi,” ucap Bu Suci. “Meskipun ada kebun kelapa sawit milik Ridwan, Aku sebagai Paman tentunya punya tanggung jawab untuk membantu,” ujar Paman Ramli. “Memang begitulah ketentuan adat-istiadat kita di sini Ayu, Paman memiliki peran penting dan tanggung jawab atas keponakaannya. Segala tindakan dan keputusan hitam-putihnya ada di tangan seorang Paman, jika seorang Paman tidak menyetujui maka adat pun melarang,” tutur Bu Suci menerangkan pada Ayu pentingnya peran Paman di dalam keluarga besar di Tanah Minang. “Makanya aku merasa bersalah atas kejadian yang di alami Ridwan tempo hari, karena aku tak pernah pulang ke kampung ataupun memberi pemahaman tentang adat-istiadat kep
Oh ya udah kalau begitu, yuk sekarang kita makan dulu,” ajak Randi. Setelah sholat ashar dan membantu beberapa menit para karyawan di toko Gita, Ridwan pun pamitan pada Randi untuk mengantarkan dompet milik wanita yang tertera di KTP nya itu. Alamat dari pemilik dompet dengan toko Gita cukup jauh hingga butuh beberapa menit Ridwan dan gojek yang ia pesan tiba di sana, lewat dari jam 5 sore tibalah mereka di kawasan rumah elite dan gojek yang di tumpangi Ridwan berhenti di depan pagar sebuah rumah yang sangat besar dan megah serta memiliki halaman yang luas. Setelah membayar sewa gojek, Ridwan segera menghampiri pintu pagar rumah itu yang di sebelah kiri pagar terdapat pos satpam. Ridwan mengamati pintu pagar rumah besar dan mewah itu kalau-kalau ada tanda khusus untuk ia pencet untuk bertamu ke dalam, salah seorang satpam yang melihat Ridwan di depan pagar segera menghampirinya. “Maaf, Mas mau mencari siapa di sini?” tanya satpam itu. “Apakah benar ini alamat dari seorang wanita
“Terima kasih Anggelina, tidak usah. Aku pamit ya,” Anggelina hendak mencegah tapi keburu Ridwan melangkah ke luar dari rumah itu dan sekarang berada di halaman. “Hallo, ada apa Non?” “Pak Sigit melihat tidak pria yang berjalan di halaman menunju pintu pagar?” pria yang dipanggil Sigit itu yang berada di teras bagian samping kiri berdiri dari duduknya dan berjalan ke depan arahkan pandangan ke halaman rumah itu. “Ya Non, saya melihatnya. Memangnya kenapa Non?” “Pak Sigit cegat dia, dan bilang agar Pak Sigit saja yang antar dia pulang,” “Baik Non,” setelah pria yang di panggil Pak Sigit itu mengiyakan, panggilan melalui ponselnya itu di tutup. Pak Sigit berlari-lari kecil mengejar Ridwan yang hampir sampai di pintu pagar dekat pos satpam itu, melihat Pak Sigit berlari seorang satpam di pos itu pun ke luar dan menghadang Ridwan mengira telah terjadi sesuatu. “Mas...! Tunggu Mas..!” panggil Sigit, Ridwan yang baru saja kaget melihat seorang satpam menghadang di depannya kembali te