“Makasih Mbak,” ucap Pak Sigit, lalu ia juga Ridwan dan Gita minum bersama di ruang tamu itu. Kurang lebih setengah jam berada di ruang tamu itu, Pak Sigit mohon diri kembali ke rumah kediaman Anggelina Wijaya. Sebagai supir pribadi dia memang tak bisa berlama-lama di luar karena terkadang ada saja keperluan majikannya yang tentu itu merupakan tugasnya untuk dilaksanakan, meskipun demikian Anggelina Wijaya bukanlah sosok majikan yang terlalu ketat memperkerjakan karyawannya termasuk Pak Sigit sebagai supir pribadinya. Anggelina Wijaya seorang wanita keturunan Chinese yang telah menjadi kewarganegaraan tetap di Indonesia, bahkan dia sendiri dilahirkan di Jakarta. Ayahnya bernama Wijaya Kusuma dan Ibunya bernama Airin, salah satu keluarga konglomerat di kota itu. Wijaya Kusuma memiliki beberapa buah perusahaan di kota-kota besar di Pulau Jawa dan Singapura, salah satu perusahaannya yang berada di Jakarta kini dipercayakan pada putri bungsu mereka yaitu Anggelina Wijaya sebagai direkt
Sepulang dari kampus setelah makan siang dan bersih-bersih karena tak ada tugas yang musti di kerjakan dari dosen, Kintani seperti biasa duduk di teras depan kos-kosan bersama kedua sahabatnya. Beberapa menit mereka duduk dan ngobrol di teras itu, tiba-tiba saja terlihat masuk ke halaman kos-kosan sebuah mobil kijang innova yang Kintani hafal sekali dengan plat mobil itu. “Sepertinya itu mobil Ayahku deh, sebentar aku turun dulu mau melihatnya lebih dekat,” ujar Kintani pada kedua sahabatnya. Seiring ia menuruni anak tangga dari lantai 3 bangunan kos-kosan itu, sosok pria dan wanita turun dari mobil yang telah mereka parkirkan di tempat yang telah di sediakan bagi para tamu ataupun kendaraan milik penghuni kos-kosan itu. Meskipun agak terkejut karena tak menyangka Ayah dan Ibunya secara tiba-tiba saja datang mengunjunginya di sana, Kintani nampak tersenyum gembira karena merupakan surprise baginya. “Ayah, Ibu. Kenapa nggak bilang-bilang mau ke sini?” ujar Kintani menyalami dan me
Pak Sigit yang telah berjanji pada majikan untuk kembali mengunjungi rumah Kakak angkat Ridwan, sebelum jam 6 sore tadi sudah tiba di sana setelah mengantar Anggelina pulang dari kantornya 1 jam yang lalu. Di rumah itu Pak Sigit juga bertemu dengan Aldi suami gita yang sudah pulang pula dari kantor tempat ia bekerja, sementara Ridwan dan Randi tentunya nanti malam sekitar jam 8 hingga jam 9 baru akan kembali ke rumah itu. “Maaf Mbak Gita dan Mas Aldi, aku datang lagi mengunjungi rumah ini karena di minta oleh Non Anggelina,” ujar Pak Sigit yang di terima Gita dan suaminya di ruangan tamu itu. “Ya Pak Sigit nggak apa-apa, Pak Sigit ingin bertemu dengan Ridwan?” tanya Gita. “Bukan Mbak, kan Mbak Gita bilang jika Mas Ridwan biasanya pulang kerja sekitar jam 8 atau jam 9 malam. Aku datang hanya ingin meminta nomor handphone Mas Ridwan saja Mbak,” ujar Pak Sigit. “Oh, sebentar Pak Sigit aku ambil HP di kamar dulu,” Gita pamit ke kamar untuk mengambil ponselnya yang ia tinggal di sana.
Jum’at sekitar jam 10 siang Kintani dan kedua sahabatnya telah pulang dari kampus, karena kegiatan lain di kos-kosan dan tugas kampus juga tidak ada mereka berencana akan jalan ke luar selepas waktu sholat jum’at menghilangkan kejenuhan.Menjelang waktu itu tiba seperti biasa mereka hanya duduk di teras depan ruangan kos-kosan sambil ngobrol, tentunya sesekali mereka selingi pula untuk berkomunikasi lewat aplikasi WA dengan orang-orang terdekat mereka.“Bapak sama Ibu datang kemarin kok mendadak begitu? Nggak mungkin kalau mereka tahu jika Bang Ridwan dan kamu kembali menjalin hubungan?” tanya Dila.“Ya nggaklah, Ayah sengaja buat surprise aja karena Ibu kangen pengen ketemu.”“Oh, kirain ada apa-apa. Kenapa Bapak dan Ibu nggak nginap seperti biasa mereka berkunjung ke sini?” tanya Dila lagi.“Ayah sibuk besok pagi dan musti kembali karena harus mengurus perkebunan baru yang ia beli di kampung Uda Ridwan,” jawab Kintani.“Beli kebun di kampung Bang Ridwan? Kok bisa begitu Kintani, ken
“Hemmm, maaf Anggelina soalnya aku belum pernah datang ke restoran ini jadi aku bingung mau pesan apa. Makanya aku serahin aja apa yang Anggelina pesan itu pula yang aku pesan,” ujar Ridwan polos apa adanya, dan itu membuat Anggelina menahan tawanya dengan mengulum senyum. Anggelina pun memesan menu yang ia pilihkan itu dengan memanggil salah seorang pelayan restoran mewah itu, ia masih tersenyum karena makin kagum pada pria tampan kharismatik di depannya. Menurutnya satu lagi kelebihan yang dimiliki Ridwan selain jujur, tampan, dan baik yaitu apa adanya tidak jaim dan sok-sokan. Melihat Anggelina yang senyum-senyum sendiri Ridwan pun jadi penasaran, apa gerangan yang tengah dipikirkan wanita cantik duduk di depannya itu. “Apa penampilanku di sini terlihat lucu ya, Anggelina?” tanya Ridwan membuat Anggelina tersentak dari rasa kagum yang membawanya seperti melamun dan senyum-senyum sendiri. “Oh nggak kok, Bang. Aku hanya lagi teringat sesuatu yang membuatku terlihat senyum-senyum s
Cukup lama Anggelina tertawa happy hingga membuat Ridwan risih sendiri karena banyaknya pasang mata di restoran mewah itu yang mengarah kepada mereka, melihat Anggelina tak perduli dengan situasi di sekitar mereka itu Ridwan pun akhirnya enjoy saja. “Ternyata Bang Ridwan lucu juga orangnya, aku nggak pernah tertawa begini sebelumnya terlebih di tempat seperti ini,” sambung Anggelina yang telah meredakan tawanya hanya menyisakan senyum saja. “Emangnya apa yang aku katakan tadi lucu ya? Perasaan nggak tuh, aku ngomong gitu karena memang kepikiran sebelumnya bagaimana cara menggunakan peralatan makan seperti pisau untuk menu yang di pesan tadi,” kembali Ridwan bicara apa adanya yang ia pikirkan. “Hemmm, itulah yang membuat lucu. Bang Ridwan blak-blakan aja kalau memang belum pernah makan di restoran ini dan belum tahu cara makan di sini,” ujar Anggelina. “He..he..he..! Maklum Anggelina, aku terbiasa makan dengan nasi bungkus di toko. Kalaupun makan di luar itupun di rumah makan bukan
Aldi yang tadi berada di ruang tengah mengerjakan sesuatu seketika saja menuju ke ruang depan menghampiri mereka, agaknya dia mendengar soal pembicaraan Ridwan dengan istrinya itu. “Ridwan di tawar Anggelina kerja di kantornya malah dia bingung, Bang?” ujar Gita pada Aldi yang telah duduk di samping istrinya itu. “Ya aku sempat mendengar makanya aku ke sini, kenapa kamu musti bingung Ridwan? Ini kesempatan baik yang jarang di peroleh orang lain. Perusahaan Anggelina bukan perusahaan kaleng-kaleng, perusahaannya itu salah satu perusahaan terbesar di kota ini,” tutur Aldi. “Ridwan ditawarkan kerja di bagian marketing,” tambah Gita. “Wah, untuk perusahaan sebesar itu bekerja di bagian marketingnya gaji perbulannya sangat besar,” jelas Aldi, Ridwan masih saja belum mengerti akan dukungan Kakak angkatnya itu. “Jadi aku musti bagaimana Bang? Sementara aku masih bekerja dengan Bang Randi di toko Kak Gita,” tanya Ridwan. “Aku dan Bang Aldi justru menganjurkan kamu segera menerima tawara
Sang surya begitu leluasa memancarkan sinarnya di pagi sabtu yang cerah itu, hampir tak tampak setitik awanpun menodai kebiruan langit, burung-burung berkicau merdu bertengger di atas dahan, meskipun kawasan pedesaan tidak se asri dulu ditumbuhi berbagai macam pepohonan di hutan-hutan rimbun yang kini telah berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, namun udaranya masih tetap segar alami di bandingkan perkotaan yang terkena polusi asap pabrik dan ramainya kendaraan. Sama dengan kenagarian lainnya, di kenagarian P di pagi yang cerah itu para petani begitu semangat berangkat ke lahan persawahan dan perkebunan mereka, begitu pula dengan para pekerja di perkebunan milik perusahaan dan pekerja harian di lahan milik pribadi. Di sebuah rumah tidak jauh dari rumah keluarga Kintani, tampak seorang pria yang sedari tadi duduk di teras di depannya tepat di atas meja terlihat sebuah laptop dan segelas teh hangat berserta panganan ringan, mata pria itu nyaris tak berkedip saat memandang laya