Sepeninggal Paman Ramli pulang ke rumahnya setelah di jamu makan malam oleh keluarga Gita, mereka kembali ngobrol di ruang depan menjelang waktu istirahat malam. “Aku tadi kuatir kalau-kalau di antara kita keceplosan bicara pada Paman Ramli soal hubunganku dengan Kintani yang sekarang berlanjut secara diam-diam,” ujar Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Kami ngerti kok hal itu musti dirahasiakan, untung tadi kamu alihkan bicara ke arah lain kalau sampai Nisa ikut pasti bakal ketauan,” tutur Gita. “Ikut apaan Ma?” Nisa langsung bertanya karena namanya di sebut-sebut. “Tadi Mama bilang takutnya Nisa ikut-ikutan ngombol Om Ridwan gombal lagi, He..he..he..!” Ridwan yang menjawab dengan candanya. “Ha..ha..ha..! Om Ridwan nggak ngombal, tapi jeyek..!” Nisa tertawa, semua yang berada di ruangan depan itu pun ikut tertawa. Bukan hanya Ridwan saja yang musti merahasiakan tentang hubungannya dengan Kintani yang masih berlanjut itu pada keluarga dekatnya, melainkan juga Kintani harus merahasia
“Iya Fitria,” jawab Tante Ayu sembari tersenyum. “Terima kasih karena kalian udah mau turut andil jika Fitria kuliah nanti, kami juga lega karena sebelum ke Jakarta Ridwan telah membeli tanah pekerbunan dan sekarang telah ditanami kelapa sawit. Dengan kebun itu nantinya kebutuhan Fitria saat kuliah akan dapat terpenuhi,” ucap Bu Suci. “Meskipun ada kebun kelapa sawit milik Ridwan, Aku sebagai Paman tentunya punya tanggung jawab untuk membantu,” ujar Paman Ramli. “Memang begitulah ketentuan adat-istiadat kita di sini Ayu, Paman memiliki peran penting dan tanggung jawab atas keponakaannya. Segala tindakan dan keputusan hitam-putihnya ada di tangan seorang Paman, jika seorang Paman tidak menyetujui maka adat pun melarang,” tutur Bu Suci menerangkan pada Ayu pentingnya peran Paman di dalam keluarga besar di Tanah Minang. “Makanya aku merasa bersalah atas kejadian yang di alami Ridwan tempo hari, karena aku tak pernah pulang ke kampung ataupun memberi pemahaman tentang adat-istiadat kep
Oh ya udah kalau begitu, yuk sekarang kita makan dulu,” ajak Randi. Setelah sholat ashar dan membantu beberapa menit para karyawan di toko Gita, Ridwan pun pamitan pada Randi untuk mengantarkan dompet milik wanita yang tertera di KTP nya itu. Alamat dari pemilik dompet dengan toko Gita cukup jauh hingga butuh beberapa menit Ridwan dan gojek yang ia pesan tiba di sana, lewat dari jam 5 sore tibalah mereka di kawasan rumah elite dan gojek yang di tumpangi Ridwan berhenti di depan pagar sebuah rumah yang sangat besar dan megah serta memiliki halaman yang luas. Setelah membayar sewa gojek, Ridwan segera menghampiri pintu pagar rumah itu yang di sebelah kiri pagar terdapat pos satpam. Ridwan mengamati pintu pagar rumah besar dan mewah itu kalau-kalau ada tanda khusus untuk ia pencet untuk bertamu ke dalam, salah seorang satpam yang melihat Ridwan di depan pagar segera menghampirinya. “Maaf, Mas mau mencari siapa di sini?” tanya satpam itu. “Apakah benar ini alamat dari seorang wanita
“Terima kasih Anggelina, tidak usah. Aku pamit ya,” Anggelina hendak mencegah tapi keburu Ridwan melangkah ke luar dari rumah itu dan sekarang berada di halaman. “Hallo, ada apa Non?” “Pak Sigit melihat tidak pria yang berjalan di halaman menunju pintu pagar?” pria yang dipanggil Sigit itu yang berada di teras bagian samping kiri berdiri dari duduknya dan berjalan ke depan arahkan pandangan ke halaman rumah itu. “Ya Non, saya melihatnya. Memangnya kenapa Non?” “Pak Sigit cegat dia, dan bilang agar Pak Sigit saja yang antar dia pulang,” “Baik Non,” setelah pria yang di panggil Pak Sigit itu mengiyakan, panggilan melalui ponselnya itu di tutup. Pak Sigit berlari-lari kecil mengejar Ridwan yang hampir sampai di pintu pagar dekat pos satpam itu, melihat Pak Sigit berlari seorang satpam di pos itu pun ke luar dan menghadang Ridwan mengira telah terjadi sesuatu. “Mas...! Tunggu Mas..!” panggil Sigit, Ridwan yang baru saja kaget melihat seorang satpam menghadang di depannya kembali te
“Makasih Mbak,” ucap Pak Sigit, lalu ia juga Ridwan dan Gita minum bersama di ruang tamu itu. Kurang lebih setengah jam berada di ruang tamu itu, Pak Sigit mohon diri kembali ke rumah kediaman Anggelina Wijaya. Sebagai supir pribadi dia memang tak bisa berlama-lama di luar karena terkadang ada saja keperluan majikannya yang tentu itu merupakan tugasnya untuk dilaksanakan, meskipun demikian Anggelina Wijaya bukanlah sosok majikan yang terlalu ketat memperkerjakan karyawannya termasuk Pak Sigit sebagai supir pribadinya. Anggelina Wijaya seorang wanita keturunan Chinese yang telah menjadi kewarganegaraan tetap di Indonesia, bahkan dia sendiri dilahirkan di Jakarta. Ayahnya bernama Wijaya Kusuma dan Ibunya bernama Airin, salah satu keluarga konglomerat di kota itu. Wijaya Kusuma memiliki beberapa buah perusahaan di kota-kota besar di Pulau Jawa dan Singapura, salah satu perusahaannya yang berada di Jakarta kini dipercayakan pada putri bungsu mereka yaitu Anggelina Wijaya sebagai direkt
Sepulang dari kampus setelah makan siang dan bersih-bersih karena tak ada tugas yang musti di kerjakan dari dosen, Kintani seperti biasa duduk di teras depan kos-kosan bersama kedua sahabatnya. Beberapa menit mereka duduk dan ngobrol di teras itu, tiba-tiba saja terlihat masuk ke halaman kos-kosan sebuah mobil kijang innova yang Kintani hafal sekali dengan plat mobil itu. “Sepertinya itu mobil Ayahku deh, sebentar aku turun dulu mau melihatnya lebih dekat,” ujar Kintani pada kedua sahabatnya. Seiring ia menuruni anak tangga dari lantai 3 bangunan kos-kosan itu, sosok pria dan wanita turun dari mobil yang telah mereka parkirkan di tempat yang telah di sediakan bagi para tamu ataupun kendaraan milik penghuni kos-kosan itu. Meskipun agak terkejut karena tak menyangka Ayah dan Ibunya secara tiba-tiba saja datang mengunjunginya di sana, Kintani nampak tersenyum gembira karena merupakan surprise baginya. “Ayah, Ibu. Kenapa nggak bilang-bilang mau ke sini?” ujar Kintani menyalami dan me
Pak Sigit yang telah berjanji pada majikan untuk kembali mengunjungi rumah Kakak angkat Ridwan, sebelum jam 6 sore tadi sudah tiba di sana setelah mengantar Anggelina pulang dari kantornya 1 jam yang lalu. Di rumah itu Pak Sigit juga bertemu dengan Aldi suami gita yang sudah pulang pula dari kantor tempat ia bekerja, sementara Ridwan dan Randi tentunya nanti malam sekitar jam 8 hingga jam 9 baru akan kembali ke rumah itu. “Maaf Mbak Gita dan Mas Aldi, aku datang lagi mengunjungi rumah ini karena di minta oleh Non Anggelina,” ujar Pak Sigit yang di terima Gita dan suaminya di ruangan tamu itu. “Ya Pak Sigit nggak apa-apa, Pak Sigit ingin bertemu dengan Ridwan?” tanya Gita. “Bukan Mbak, kan Mbak Gita bilang jika Mas Ridwan biasanya pulang kerja sekitar jam 8 atau jam 9 malam. Aku datang hanya ingin meminta nomor handphone Mas Ridwan saja Mbak,” ujar Pak Sigit. “Oh, sebentar Pak Sigit aku ambil HP di kamar dulu,” Gita pamit ke kamar untuk mengambil ponselnya yang ia tinggal di sana.
Jum’at sekitar jam 10 siang Kintani dan kedua sahabatnya telah pulang dari kampus, karena kegiatan lain di kos-kosan dan tugas kampus juga tidak ada mereka berencana akan jalan ke luar selepas waktu sholat jum’at menghilangkan kejenuhan.Menjelang waktu itu tiba seperti biasa mereka hanya duduk di teras depan ruangan kos-kosan sambil ngobrol, tentunya sesekali mereka selingi pula untuk berkomunikasi lewat aplikasi WA dengan orang-orang terdekat mereka.“Bapak sama Ibu datang kemarin kok mendadak begitu? Nggak mungkin kalau mereka tahu jika Bang Ridwan dan kamu kembali menjalin hubungan?” tanya Dila.“Ya nggaklah, Ayah sengaja buat surprise aja karena Ibu kangen pengen ketemu.”“Oh, kirain ada apa-apa. Kenapa Bapak dan Ibu nggak nginap seperti biasa mereka berkunjung ke sini?” tanya Dila lagi.“Ayah sibuk besok pagi dan musti kembali karena harus mengurus perkebunan baru yang ia beli di kampung Uda Ridwan,” jawab Kintani.“Beli kebun di kampung Bang Ridwan? Kok bisa begitu Kintani, ken
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu