Atau mungkin karena dia tadi pagi membawa Dila ke toko dan tailor yang pernah Ridwan tunjukan kepadanya itu? Entahlah yang pasti saat ini muncul kembali kerinduan yang beberapa minggu belakangan ini dapat ia tepis. “Ya Allah, kenapa tiba-tiba saja bayangan Uda Ridwan hadir dan membuatku sulit untuk memejamkan mata? Apa yang terjadi dengannya di sana? Pada siapa aku musti bertanya tentang dia, sementara tak satupun orang yang aku kenali tinggal di Jakarta,” gumam Kintani dalam hati masih dalam posisi duduk di atas tempat tidurnya memeluk bantal. “Uda, aku bukannya melupakanmu. Aku berusaha untuk tidak mengingat-ingat karena kuatir hari-hariku akan selalu di rundung kesedihan yang mendalam, sampai kapan pun rasanya aku takan bisa menghapus rasa sayang ini kepadamu. Meskipun kelak kita memang tak di takdirkan hidup bersama oleh yang kuasa,” kembali Kintani bergumam kali ini sembari menatap langit-langit kamarnya. Kintani kembali rebahkan tubuhnya dan berusaha untuk menenangkan hati, h
Pagi-pagi sekali Ridwan dan Randi telah bangun dan mempersiapkan barang-barang bawaan mereka berupa pakaian dan oleh-oleh yang kemarin sore mereka beli, setelah sarapan bersama Gita dan suaminya Ridwan dan Randi pun bersiap berangkat karena jemputan ke bandara telah tiba.“Om..! Om..Ridwan..!” panggil si kecil Nisa saat Ridwan dan Randi telah berada di halaman rumah hendak menuju pagar.“Eh..Nisa..!” Ridwan membalikan tubuhnya kemudian berjongkok menyambut si kecil yang berlari menghampirinya.“Om Ridwan jangan lama-lama ya di tempat Opa dan Oma..!” seru manja si kecil itu.“Iya, Om Ridwan dan Om Randi hanya 3 hari di sana. Om akan kembali lagi ke sini, oh ya nanti Nisa mau dibawain oleh-oleh apa dari Padang?” Ridwan menjelaskan sembari membelai-belai rambut Nisa yang saat itu berada di pelukannya.“Nggak tahu,” ujar Nisa menggelengkan kepalanya.“Oh ya udah, nanti Om pilihin aja ya oleh-olehnya. Sekarang Om pamit dulu pergi ke rumah Oma dan Opa, jangan nakal sama Mama dan Papa di rum
Selepas sholat zhuhur mereka makan siang bersama, Bu Indri yang biasa hanya memasak sedikit dengan menu seadanya saja karena di rumah itu dia hanya tinggal berdua bersama suaminya, siang itu di samping memasak 2 kali lipat lebih banyak juga terdapat berbagai macam menu khas masakan Minang. “Wah, udah lama aku nggak pernah makan masakan Mama yang super lezat ini. Mulai dari rendang hingga asam pedas kepala ikan,” Randi sangat senang dan menikmati sekali menu masakan yang disuguhkan Mamanya. “Hemmm, kalian berdua habiskan saja semuanya. Nanti Mama masakin lagi,” Bu Indri sangat senang karena Randi dan Ridwan begitu lahap makannya. “Sangat jauh berbeda rendang dan menu di rumah makan di tempat langganan kita di Jakarta dengan yang di masak Ibu, Bang.” “Jelas saja Ridwan, terkadang di sana bumbu masakannya tidak selengkap yang ada di sini. Ya kan Ma?” “Benar, karena rempah-rempah masakan untuk segela jenis khas Minang lengkap tersedia di pasar raya, dan mudah di dapatkan juga di daer
Dila dan Eva duduk menghadap ke arah jalan raya atau pagar masuk ke kos-kosan itu, sementara Kintani dan Iptu Yoga sebaliknya memunggung ke arah jalan raya dan mereka terlihat semakin larut dengan obrolan yang terkadang di selingi senda-gurau. Tak lama Ridwan pun tiba di depan pagar, setelah membayar biaya gojek dari rumah orang tua angkatnya, Ridwan melangkah memasuki halaman kos-kosan itu dengan hati berbunga-bunga penuh kerinduan. “Duuuuuaaaaaar..!” bagai petir menyambar Eva dan Dila terkejut terlonjak dari duduk, saat mereka melihat sosok pria yang baru saja masuk dan sekarang berada di halaman kos-kosan itu. Untuk beberapa saat Eva dan Dila hanya saling pandang, sementara Ridwan yang belum mengetahui jika Kintani berada di ruang terbuka itu masih terlihat senyum-senyum sendiri berjalan santai makin mendekat. “Tidak mungkin...! Tidak mungkin..!” setengah sadar Dila berseru. “Dila, apanya yang tidak mungkin?” Kintani terkejut mendengar Dila tiba-tiba saja berseru seperti itu.
Eva mengambil segelas air putih lalu diberikan pada Kintani, perlahan sahabatnya itu pun meminumnya. Sementara Dila mengelus-elus punggung Kintani berusaha menenangkan hati temannya itu, Dila dan Eva merasakan betapa shoknya Kintani yang secara tiba-tiba dikunjungi Ridwan sementara saat itu Iptu Yoga duduk di sampingnya. “Kintani, apa sekarang kamu udah sedikit tenang?” tanya Eva setelah melihat sahabatnya itu beberapa kali meneguk air putih yang ia berikan, Kintani menjawab dengan anggukan kepalanya. “Nah, sekarang apa yang hendak kamu lakukan? Aku dan Dila siap membantumu,” ujar Eva. “Uda Ridwan pasti sangat kecewa dan sakit hati saat ia datang melihat aku duduk bersebelahan dengan Bang Yoga tadi, aku bingung harus bagaimana untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini,” tutur Kintani sambil mengusap air mata di kedua pipinya dengan tisu. “Kesalahpahaman?” Eva dan Dila serentak terkejut dan tak mengerti apa yang dimaksudkan Kintani itu. “Ya, Uda Ridwan telah salah faham dan aku maklu
Selepas magrib barulah Ridwan kembali ke rumah orang tua angkatnya, dan betapa terkejutnya saat mengucapkan salam dan hendak masuk di ruangan tamu itu melihat Kintani dan kedua sahabatnya. Ridwan jadi serba salah, jika ia tidak berlalu saja dari ruang tamu itu menuju kamar merasa tidak enak karena di ruangan itu bukan hanya ada Bu Indri menemani Kintani dan dua sahabatnya itu tapi juga ada Pak Hendra. “Ridwan, sini duduk Nak,” pinta Pak Hendra yang mengetahui jika anak angkatnya itu serba salah dan merasa canggung. Ridwan mau tidak mau tentu menuruti permintaan Pak Hendra untuk duduk bergabung dengan mereka di ruang tamu itu, hanya saja untuk beberapa saat lamanya Ridwan hanya diam dan terlihat dingin. “Nah, sekarang waktunya buat kamu menjelaskan semuanya pada Ridwan. Agar kesalahpahaman ini tidak berlanjut,” Bu Indri membuka pembicaraan di ruang tamu itu. Kintani tiba-tiba saja tak sanggup berucap sepatah katapun, bibirnya terasa kelu dan kembali air matanya jatuh membasahi kedu
Setibanya di pinggir jalan raya di depan gang jalan menuju ke rumah orang tua angkat Ridwan itu, Kintani mengambil kunci kontak mobilnya di dalam tas dan bermaksud hendak membuka pintu bagian kemudi setelah sebelumnya membuka seluruh pintu mobil itu dengan remote control di kunci kontak itu. “Aku aja yang bawa,” ujar Ridwan mengulurkan telapak tangannya, Kintani malah tersenyum dan tertawa kecil karena dia tahu jika Ridwan dulu pernah ia tawari untuk mengemudi mobilnya itu namun di tolak karena belum bisa nyetir. “Eh, kok malah ketawa,” Ridwan mencolek hidung Kintani. “Ih, apa-apaan sih Uda nih. Malah becanda,” rengek manja Kintani. “Kamu yang becanda, aku serius nawarin aku aja yang bawa mobil ini,” ujar Ridwan. “Emang Uda udah bisa nyetir?” “Udah, aku diajari Bang Randi di Jakarta.” “Oh, nih kuncinya,” Kintani memberi kunci kontak mobil itu pada Ridwan. Eva dan Dila hanya tersenyum melihat kemesraan mereka, lalu masuk ke dalam mobil jazz itu yang kemudian di kemudikan Ridwan
Minggu pagi seperti biasa selepas bersih-bersih ruangan kos dan mandi Kintani sarapan di meja makan ruangan tengah, setelah itu duduk di teras ruangan bareng Dila dan Eva. Ngobrol sambil searching di handphone, tiba-tiba Kintani mendapat panggilan yang di layar handphonenya itu bertuliskan sayang, dengan segera Kintani menerimanya. “Hallo, Assalamualaikum Uda.” “Waalaikum salam,” sahut Ridwan. “Uda udah sarapan?” “Udah barusan bareng Bang Randi, Ibu dan Bapak.” “Uda mau ke kos ini atau langsung jalan? Kalau langsung jalan Uda tunggu aja di depan gang biar aku yang ke sana,” tawar Kintani. “Terserah kamu aja, Kintani.” “Ya udah dari pada Uda repot-repot jemput ke sini, kita langsung jalan aja dan Uda tunggu di depan gang ya?” “Oke sayang,” ucap Ridwan membuat hati Kintani kembali berbunga-bunga meskipun ucapan sayang itu tidak asing lagi ia dengar dari pria tampan penuh kharismatik itu, namun karena sudah lama tak mendengarnya terasa mendengar ucapan sayang untuk yang pertama k