Bulan November 2000
Davi menutup ruang kapel dengan kunci secepat mungkin. Mata pelajaran agama Kristen baru saja usai. Dan dia yang ditugaskan oleh Bu Dharma untuk menutup ruang kapel dan menyerahkan kuncinya pada Pak Agus, petugas yang bertanggung jawab menyimpan kunci seluruh ruangan di sekolah dan kebetulan juga tinggal di belakang kantin sekolah mereka.
Sebagai sekolah negeri yang memang khusus pelajaran agamanya di ruangan lain bagi murid penganut agama non-muslim, Bu Dharma akan secara acak menunjuk siapapun yang berwenang mengunci ruangan kapel hari itu. Sedangkan beliau sendiri akan menyerahkan daftar absensi ke Bu Ika, petugas Tata Usaha yang bertugas merekap seluruh absensi siswa SMP negeri tempat dia bekerja itu.
“Mau ditemenin nggak?” tanya Abdi, yang tiba-tiba muncul di belakang Davi.
“Ah, pasti lu mau sekalian ke kantin kan. Dasar! Tau aja gue mau kasih kunci ke Pak Agus.” Sahut Davi sambil menatap sahabat sekaligus teman sebelahnya di kelas, dengan tatapan mengejek.
“Dikasih tahu Irene. Kata dia, suruh nemenin elu, kasihan, biar mentalnya kuat kalau ntar mau nembak lagi. Lagian suntuk gue. Tadi disuruh hapalin ayat Al-Qur’an dan maju satu-satu di depan,” sahut Abdi sambil mengeluh mengenai pelajaran Agama Islam sebelumnya.
“Tadi agama Kristen juga lumayan bosen. Kalo gue liat, Bu Dharma lagi nggak mood nerangin panjang lebar kaya biasanya. Dia cuma kasih info untuk ngerjain essay tentang pengampunan. Yang mana gue cepet banget ngerjainnya. Gue udah tamat soal pengampunan secara gue dijudesin ama Thea tiap hari.” Sahut Davi sambil tertawa.
Abdi pun tertawa. “Lagian lu yah, udah tahu Thea ngga suka sama lo. Masih dikejer juga. Mana ntar pulang sekolah mau nembak lagi. Ini yang ke 3 kalinya ya?”
Davi tersenyum. “Iya. Nanti sepulang sekolah kayanya. Tenang, Di, ini kali terakhir. Kalo masih mental juga, gue move on.”
Abdi menggeleng-geleng menatap sahabatnya yang bermental entahlah itu. Pantang menyerah dan tidak tahu malu, bagi Davi kayanya tidak ada bedanya. Betul kata Irene, Davi harus didampingi ke mana-mana biar masih kekontrol mentalnya yang sedikit nekat.
***********************************************************************
Gayung bersambut tampaknya, ada Thea di kantin sekolah saat mereka sampai. Gadis berambut panjang lurus itu tampak duduk sambil bersenda gurau bersama Matari dan Lisa, dua sahabatnya yang selalu bersamanya ke mana pun Thea pergi. Rupanya mereka baru saja selesai pelajaran olahraga. Abdi melihat jam digitalnya dengan sekilas. Bel istirahat pertama masih sekitar 5 menit lagi. Pantas saja kantin masih tidak terlalu ramai. Hanya segelintir anak-anak yang selesa jam olahraga atau mata pelajaran yang selesai lebih awal beberapa menit saja.
Matari dan Lisa, dua gadis bertubuh jangkung itu berdiri hampir bersamaan saat melihat Thea mendenguskan nafasnya dengan kesal melihat kehadiran Davi. Thea langsung membayar pesanannya dan memberi isyarat pada dua sahabatnya untuk pergi dari situ. Tentu saja hal itu selalu terjadi setiap Davi datang. Sudah menjadi rahasia umum kalau Thea tidak pernah suka dengan kehadiran Davi. Dan sebisa mungkin Thea selalu berusaha menghindar tidak berada di dalam lokasi yang sama dan berdekatan.
Dan entah kerasukan apa, Davi pun tidak pernah menyerah akan perasaannya pada Thea. Dua kali ditembak. Satu kali ditelepon, dan satu lagi setelah ekskul basket, di mana Thea bergabung. Dan dua kali pula ditolak. Mungkin itulah keajaiban yang dinamakan cinta monyet, Davi tidak pernah sakit hati karena ditolak Thea dua kali. Bahkan hendak melakukannya lagi yang ketiga kali nanti sepulang sekolah.
Abdi menatap punggung sahabatnya yang tampak acuh menuju kediaman Pak Agus untuk mengembalikan kunci ruang kapel. Abdi malas untuk ikut ke sana. Karena bau harum soto kantin menggodanya untuk segera dibeli dan mengisi perutnya.
“Di, ntar jadi?” tanya Matari yang ternyata tidak mengikuti Thea dan Lisa kembali ke kelasnya.
“Lo tahu soal ntar, Mat?” sahut Abdi. “Perasaan Davi bilang sama gue buat rahasiain.”
“Mat mat mat, emang nama gue Somat? Tahulah gue. Udah bocor. Si Thea udah tahu deh kayanya. Soalnya tadi dia bilang ke Ibunya buat jemput lebih cepet. Gimana dong?”
Abdi tertawa. “Lah, nama lo Matari kan?”
Matari meninju lengan Abdi dengan kencang. “Sialan lo. Serius nih.”
“Gue sih yakin sobat gue nggak akan mundur. Tapi Thea mungkin bakalan menghindar. Tau dari siapa sih dia?”
“Dari Irene. Kan lo tahu mereka setim di basket. Lagian kenapa nggak kapok sih, Di?”
“Ya mana gue tahu, Mat. Lo jelas nggak kenal Davi berarti kalo lo ngomong soal kapok atau enggaknya.”
“Thea kan masih suka ama Kak Ben, senior kita. Lagian lo tuh ya, harusnya dinasehatin sahabatnya dong. Suruh move on kek.”
“Hmmm, santai. Kayanya sih ini bakalan jadi penembakan Davi yang terakhir.”
“Yakin lo? Jujur gue agak nggak tega sama Davi, Di. Thea… yah, emang sekejam itu sama dia.”
“Soal Thea kejam itu gue setuju banget. Tiap Davi telepon masih direspon kok, kasih kado yang kemarin tuh cokelat sama kamus bahasa alf*l**k*) yang mahalnya kaya gitu juga diterima. Itulah yang mungkin ya, bikin Davi mungkin mikir kalo masih ada kesempatan walopun 1 % aja.”
“Ya gue juga heran sih, Thea masih aja nerima hadiah Davi dan nerima telepon dia walopun responnya cuma kaya nggak tertarik gitu. Bingung juga gue. Ya udah, gue balik kelas ya. Eh bocorin soal ulangan Matematika dong, Di.”
“Nanti ya, gue tulisin kisi-kisinya di kertas. Nanti gue titip sama Echa pas keliling nempel mading.”
Matari berdiri saat Davi ternyata sudah ada di belakang mereka.
“Hai, Ri.” Sapa Davi ramah.
Matari membalas dengan tersenyum. Hubungan aneh antara sahabatnya dan Davi membuatnya kikuk untuk bersikap santai seperti antara dirinya dan Abdi.
“Gue duluan ya, guys...”
************************************************************************
Rupanya, keberuntungan masih berpihak pada Davi siang itu. Ibu dari Thea terlambat menjemput seperti yang direncanakan. Tampak Matari dan Lisa masih menemani Thea menunggu jemputan ibunya di halte dekat sekolah.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, Davi segera menyusul Thea menuju halte sekolah tanpa membereskan buku-buku pelajarannya dengan layak.
“Thea, ada waktu sebentar nggak?” tanya Davi sambil berdiri di dekat mereka.
Abdi menatap Matari dan saling memberi isyarat tidak mengenakkan. Lisa hanya terpaku menatap mereka, namun enggan berkomentar apa-apa.
“Gue lagi nggak mood ngomong, Dav. Apalagi sama lo. Lagian ada apa sih? Ngomong ya, tinggal ngomong aja kali.” Sahut Thea dingin, seperti biasanya.
“Ya enggak di sini juga, Thea. Rame nih.” Sahut Davi pelan sambil melihat kesekelilingnya yang mulai penasaran akan ada kejadian seru apa.
Siswa-siswi SMP yang berada di sekitaran mereka tampak diam-diam mendengarkan sambil cekikikan di sana-sini. Perihal Davi ditolak dua kali oleh Thea memang jadi berita yang cukup hangat. Karena Thea termasuk anak yang populer di kelas 1. Maklum nama populernya adalah ketua kelas cewe yang super galak.
“Di sini aja. Gue lagi nungguin Ibu.” Tandas Thea tanpa menoleh.
“Oke, kalau itu mau lo.” Kata Davi kemudian menarik nafas.
“Eh, enggak. Jangan di sini. Ke kantin aja. Yuk, Thea…” ujar Lisa tiba-tiba.
“Ih, kenapa sih? Di sini aja. Gue males ke kantin. Jauh dari sini,” timpal Thea lagi.
“Thea, lo bego ya. Bentar lagi rombongan Kak Ben lewat,” kata Lisa sambil menarik sahabatnya. “Ri, lo tolong tunggu Ibunya Thea di sini ya. Bilang Thea ke kamar mandi sebentar kalau beliau udah dateng.”
Matari hanya mengangguk. Lisa kemudian memimpin Thea, Davi dan Abdi menuju kantin, meninggalkan Matari di halte bersama siswa-siswi lain yang penasaran juga kelanjutan perbincangan itu.
Matari kemudian mengenakan earphone dan menyalakan w*lkman dan menyetel musiknya keras-keras sebagai tanda dia enggan berurusan dengan siapapun.
****************************************************************************
Setengah jam telah lewat. Suara motor tua berhenti tepat di depan Matari. Saat itu halte sudah tidak seramai tadi. Hanya tersisa beberapa anak yang entah hanya nongkrong atau menunggu jemputan. Halte sekolah memang terletak di dekat gerbang masuk sekolah persis. Selama ini selalu ada di situ dan selalu dipakai oleh siswa-siswi SMP negeri tersebut untuk hanya sekedar menunggu angkutan umum, menunggu dijemput orangtuanya, atau hanya sekedar nongkrong menghabiskan waktu sebelum pulang. Halte itu cukup besar mungkin panjangnya hampir 5 meter, karena memang dibangun untuk membantu siswa-siswi SMP di dekatnya. Apalagi jika musim penghujan datang.
“Halo, Tante Irma.” Sapa Matari sambil melepas headset miliknya. “Bentar ya, Thea lagi ke toilet, mendadak kebelet tadi.”
Tante Irma mengangguk sambil tersenyum tanpa turun dari motornya. “Ri, nanti bareng tante sekalian aja. Kita gonceng tiga. Nggak ada polisi kok.”
Matari tersenyum. “Nggak usah Tante. Saya jalan kaki aja sekalian olahraga. Hehehe.”
“Ya udah kalo gitu. Udah sepi ya? Maaf ya Tante agak telat, ban nya sempet kurang angin tadi. Jadi mampir dulu deh ke tukang ban. Pasti si Thea udah marah-marah ya tadi.”
“Hahaha, enggak kok, Tante.”
“Mana mungkin, Thea tuh kaya Bapaknya, emosional anaknya. Kalau nggak sesuai suka marah-marah. Di rumah tuh anak dua, sifatnya ikut Bapaknya semua. Kalau berantem teriak-teriak. Kepala Tante suka pusing deh kalau Thea udah berantem sama kakaknya, si Niki. Di sekolah gitu nggak?”
Matari hanya tersenyum tipis. Thea memang hobi berantem dan ngambek kalau keinginannya tidak dituruti. Apalagi kalau menjelang datang bulan. Satu kelas rasanya jadi sasaran empuk Thea buat marah-marah. Itulah kenapa mungkin karena sifat itu dan tampak di kepribadiannya. Sejak awal masuk, dia diamanatkan langsung menjadi ketua kelas 1 F. Iya, saat itu tahun 2000, kelas 1 SMP masih disebut sama sesuai tingkatannya, kelas 1, bukan kelas 7 seperti sekarang.
Matari menatap ke arah sekolah. Samar-samar dari kejauhan tampak Lisa dan Thea berjalan dengan terburu-buru. Di belakangnya jarak beberapa meter, tampak Davi dan Abdi berjalan dengan santai. Mereka bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Setidaknya itu yang tampak dari tempat Matari sekarang.
“Itu si Thea, Tan,” kata Matari pada Ibunya Thea.
Ibu Thea menoleh pada arah yang ditunjuk Matari.
“Eh, lho tumben sama Davi juga? Tumben mau jalan bareng sama anak laki itu?”
“Tante tahu soal Davi?”
“Ya tahulah, Ri. Davi itu kalau nelepon tiap hari dan lama banget. Tante jadi nggak enak sama orangtuanya. Pasti abonemen teleponnya mahal banget. Entah apa yang dibicarain sampe selama itu loh. Udah gitu, si Thea seringnya ogah-ogahan kalau nerima telepon. Kamu kasih tahu Davi ya, kamu kenal kan? Bilang kalau nelepon jangan lama-lama. Walaupun Tante tahu, Davi anak orang ada ya. Tapi ngga enak kalau nelepon selama itu. Kadang itu kalau malam minggu, kalau belum jam 9 malam ya belum ditutup teleponnya. Beberapa kali main ke rumah. Kadang Thea mau nerima, kadang suruh bilang ke Tante kalo tidur siang, hahahaah.”
“Oh iya ya, Tante? Hahaha…”
“Tapi setahu Tante, ya, Ri. Thea sih nggak suka sama Davi. Dia suka ngomongin senior kalian yang jago basket dan ketua Osis itu loh.”
“Oh, kak Ben…”
“Iya, si Ben. Sering banget ngomongin soal Ben. Tante malah nggak tahu yang namanya Ben. Kapan-kapan kamu kasih tahu Tante dong, Ri.”
“Iya, Tante…”
“Ibuuuu, lama banget sih.”
Teriakan Thea terdengar jelas meskipun masih berjarak beberapa meter saja.
“Ban nya tadi kurang angin. Lagian ya masih belom lama banget kok. Ayo naik, kita beli bakso dulu buat makan siang. Ayo, Ri, kamu ikut aja. Nggak ada polisiiii…”
Matari menggeleng. “Enggak, Tante. Terimakasih.”
“Ayolahhh… Lisa kan paling dijemput juga sama supirnya.” Kata Thea sambil menarik Matari.
“Nggak, Thea. Gue jalan aja.”
“Tunggu Thea, lupa gue. Gue kan dijemput di rumahnya Matari.” Kata Lisa tiba-tiba.
“Oh iya? Oh, ya udah. Titip Matari ya, Lis. Yuk deh bu, kita berdua aja beli baksonya. Matari, lain kali harus mau lho ya!” seru Thea sambil naik membonceng Ibunya di belakang.
“Yuk, anak-anak. Tante duluan ya.” Kata Ibu Thea sambil menstater kembali motor tuanya.
Setelah Ibu Thea dan Thea berlalu, Matari langsung merangkul Lisa.
“Makasih ya, Lis. Kalau nggak, aku pasti jadi ikut.”
Lisa menggeleng. “ No worry, sayang. Gue tahu lah keadaan lo gimana. Daripada lo diomelin ama Eyang lo kan?”
Matari mengangguk. “Ya udah, gue cabut ya. Lo nunggu di sini aja? Nggak mau di rumah gue?”
Lisa merogoh handphonenya. Saat itu, bahkan Matari sungguh masih takjub melihat handphone kecil yang bisa dibawa di saku ke mana-mana. Handphone pertama yang dilihatnya adalah milik Lisa. Tidak heran, mungkin anak SMP pertama yang membawa handphone ke sekolah saat itu hanyalah Lisa dan beberapa segelintir anak sekolah yang memang sudah terlahir kaya.
“Supir gue masih jauh, Ri. Ya udah yuk, gue SMS dia aja kalau minta jemput di rumah lo.”
Lisa masih sibuk mengetik SMS Ketika Davi dan Abdi lewat. Meski ini sudah kali ke 3, Davi tampak jauh lebih kecewa di banding sebelum-sebelumnya. Mungkin karena dia sudah berjanji bahwa ini akan menjadi penembakannya yang terakhir. Tanpa Matari bertanya pun, dia sudah tahu jawaban dari Thea apa. Akan tetap sama. Karena bagi Thea, cuma Kak Ben yang ada di hatinya sekarang.
“Semangat!” kata Matari pada Davi.
Davi menoleh dan tersenyum pada Matari. “Mau pulang ya, Ri?”
“Iya, Dav. Kalian juga langsung pulang?” tanya Matari basa-basi.
“Kayanya dia mau main PS dulu di rumah gue.” Sahut Abdi.
“Iyaaa, gitu dong. Ditemenin sohibnya dulu yang patah hati. Lagian elo, Dav. Thea itu cuma suka sama Kak Ben. Lo pake maksa diri sendiri.”
“Yaaaa, Namanya juga suka, Lis.” Sahut Davi tampak sedih.
“Iya, udah. Semangat ya! Good luck…” kata Lisa menutup pembicaraan hari itu.
“Masih bergaul sama anak orang kaya itu, Ri?” tanya Eyang Putri sambil menatap Matari dengan tajam.Matari mendengus. “Lisa, Eyang. Bukan anak orang kaya itu.”“Iyaaa, Lisa kan anak orang kaya. Kamu harus tahu diri. Jangan keseringan main sama dia.” hardik Eyang Putri lagi.Matari tak menjawab, kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. Di sana Bulan, kakak perempuannya sedang duduk belajar. Saat itu, kakaknya masih duduk di kelas 2 SMA.“Kamu harus contoh kakakmu, dia selalu rajin belajar. Kerjaan kamu kalau nggak teleponan, nonton tv, dengerin musik kalau nggak baca novel.” tambah Eyang Putri lagi yang ternyata mengikutinya sampai ke kamar tidurnya yang memang berbagi ruang dengan kakak perempuannya.“Sudahlah, Yang. Aku lagi belajar nih, besok ada ujian.” Kata Bulan.“Ya, kamu juga nasehatin adek kamu ini. Kalian berdua ini nasibnya berbeda dengan anak yang lain.
Desember 2000 Matari memakai sarung tangan ekskul panahnya saat Abdi mendekat. Saat itu ekskul panahan akan mulai beberapa saat lagi. “Lo lagi sibuk, Ri? Ekskulnya belum mulai kan?” tanya Abdi sambil memperhatikan Matari. Matari merapikan anak panahnya dengan cepat. Pembina ekskul, Pak Adnan sudah tampak mengumpulkan peserta ekskul di kejauhan. “Elo nggak main bola?” tanya Matari, tanpa menjawab pertanyaan Abdi sebelumnya. “Minta nomor rumah lo dong, Ri.” jawab Abdi sambil mengambil bolpoinnya dari saku celana biru tuanyanya. “Hah? Buat apaan? Tumbennn…” sahut Matari heran. “Enggak, cuma mau nanyain soal mading.” kata Abdi. Matari mengerutkan keningnya, kemudian menyebutkan nomor telepon rumahnya dengan cepat. “Udah ya, gue ekskul dulu.” ************************************************************************** Keesokan harinya Matari tidak masuk sekolah. Malam sebelumnya dia demam setel
Matari menatap ruang ekskul Mading yang sepi seperti biasanya. Hanya ada Kak Citra yang sedang mengobrol dengan Kak Nana. Kak Seno tak terlihat di manapun. Bahkan Echa.“Itu dia, Matari. Gimana Ri? Denger-denger lo abis sakit ya?” tanya Kak Citra.“Si Seno pake bilang Matari kecapekan ngurus mading. Kita jadi enggak enak. Maap ya, Ri. Gue sekarang udah nggak akan bolos ekskul lagi, kok.”Matari tersenyum. “Bukan, Kak. Emang lagi drop aja.”“Oh iya, tadi Abdi nitipin ini buat lo. Roti sama susu kotak. Duh, enaknyaaaaa punya temen baik banget.” kata Kak Citra.Matari menatap merk susu kotak yang sama yang diberikan Abdi hari Senin kemarin lusa. Roti yang diberikan pun roti yang bukan dibeli di koperasi atau kantin sekolah. Orang yang memberikannya pasti terlalu niat sampai membeli produk di luar sekolah.“Sekarang Abdinya mana, Kak?” tanya Matari lagi.“Udah main bola lag
Rembulan menatap adiknya lekat-lekat.“Siapa? Siapa? Coba ulangi!” tanya Bulan heran.“Iko, Kak. Kakak tahu nggak?” ulang Matari sambil tersenyum lagi.“Iko siapa? Siapa nama panjangnya?” tanya Bulan lagi.“Nggak tahu, Kak. Pokoknya dia tetangga kita yang rumahnya gede banget itu. Yang warnacream, yang ada keliatan kolam renangnya.” sahut Matari.“Maksud lo, dia tinggal di rumah Bu Indira? Tetangga kita?”“Iyah. Dia anaknya.”“Gue nggak tahu Iko yang mana. Tapi gue tahu anak Bu Indira yang satu lagi. Mungkin kalo sekarang masih hidup, udah mau lulus kuliah kali ya. Dulu kan meninggal gara-gara balap liar kan di jalan besar sana. Heboh banget dulu. Gue masih SMP. Tapi Eyang bantu Bu Indira banget sih waktu pemakaman. Ibu juga datang ke pemakaman. Gue waktu itu disuruh jagain lo. Cuma gue nggak tahu namanya.”“Abangnya Iko itu
Saat tahun 2000-an, seperti beberapa orang di zaman sekarang, hampir semua remaja gemar mengirim salam lewat radio dan memesan lagu untuk diputarkan setelah pesan diucapkan oleh si pembawa acara. Tak terkecuali Thea. Dia hampir setiap hari memesan lagu untuk Kak Ben. Entah Kak Ben dengar atau tidak, tapi, Thea selalu merasa puas mengirimkan pesan dan lagunya lewat radio Prambors, radio yang digemari Thea dan teman-temannya saat itu.“Lo beneran nggak mau kirim salam buat Iko, Ri?” tanya Thea saat mereka berempat mengerjakan tugas kelompok bersama di rumah Lisa.Lagu yang dipesan oleh Thea: “Baby One More Time” nya Britney Spears mengalun di radio.“Iko? Siapa?” tanya Gilang, salah satu anggota kelompok mereka yang terpaksa bergabung karena harus genap sesuai jumlah kelompok yang diinformasikan Bu Tasya, guru Bahasa Indonesia mereka.“Gebetannya Matari, Gilang.” Sahut Lisa.“Loh terus Abdi dikema
Sabtu itu hujan deras sepanjang hari sejak mata pelajaran pertama. Matari menatap sepedanya dengan kesal. Dia bingung harus bagaimana.“Kenapa lo?” tanya Lisa.“Bingung gue, gimana pulangnya?”“Ya pulang tinggal pulang aja kan. Lo kan selalu bawa payung.”“Sepeda gue?”“Gampang, bareng aja sama gue. Tapi agak telat ya. Supir gue masih otw. Nanti sepeda lo masukin ke mobil aja.”Matari memeluk Lisa. “Entah gimana tanpa lo, Lis.”Lisa memutar bola matanya. “Kaya sama siapa aja. Lagian mendingan musim ujan elo kurangin bawa sepeda deh. Kejadian gini bakalan ada lagi tahu, nggak. Untung Sabtu gue nggak les. Coba kalo pas gue lagi nggak bisa nolongin elo.”“Ya paling gue nungguin sampe hujan kelar.”“Kalo kelarnya malem? Gila lo. Gue sih ogah sendirian di sekolah malem-malem.”“Iya juga ya.”&l
Januari, 2001Suara Tante Dina menangis, membuat Matari terbangun. Hari itu, seingatnya adalah Hari Minggu di awal bulan Januari yang cukup menguras emosi seluruh anggota keluarga di Rumah Eyang Poer.Matari duduk di kasurnya. Kakak dan Sandra tak tampak di manapun. Dia melihat jam weker di meja kakaknya yang menunjukkan pukul setengah 7 pagi.“Matari, ayo bantu-bantu. Pakai baju muslim kamu yang warna putih," kata Bulan, lirih dan sendu menjadi satu.Tiba-tiba Bulan masuk, rambutnya masih tampak berantakan dan segera membuka lembari pakaian.“Kenapa, Kak?” tanya Matari kebingungan.“Tengah malam, Om Budi drop. Subuh tadi, Ayah bangunin gue dan Sandra untuk menemani Tante Dina yang baru datang dari Rumah Sakit. Om Budi meninggal sebelum subuh di Rumah Sakit. Jenasah baru saja datang. Sandra sudah siap di depan. Lo sikat gigi, wudhu, cuci muka, ganti baju muslim putih yang kembaran sama gue. G
Jumat sore yang ditunggu Matari tiba. Setelah selesai ekskul Pramuka, topi pramukanya dia letakkan dengan sekadarnya di keranjang sepeda kemudian bersandar di dekat possecuritySMP. Dia melihat ke arah datangnya Iko. Namun cowok berambut Ikal dan berkulit terang itu belum Nampak sama sekali.“Nungguin siapa, Ri?” tanya Davi, kali ini dia berjalan dengan canggung, mendekat ke arah Matari.Abdi hanya mengawasi dari beberapa meter saja.“Temen.”Davi hendak bertanya siapa, namun diurungkan niatnya.“Hmmm, gitu. Gue temenin boleh?”“Boleh. Tapi kalo dia dateng gue langsung cabut, nggak papa?”“Iya, nggak papa. Sini, Di. Jangan di situ dong kaya patung aja.”Abdi menggeleng dengan mantap sambil menjulurkan lidahnya.“Nggak mau ah. Mending gue di sini jadi patung, daripada di situ jadi obat nyamuk.”Matari dan Davi sontak langsun
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak
Tak banyak yang tahu kalau Matari suka banget kucing. Saat dulu masih tinggal di rumah lama, Matari memelihara beberapa kucing bersama Ibunya. Saat di rumah Eyang Putri pun, dia kerap memanggil kucing-kucing lewat dan memberikan makanan sisa rumah mereka. Mbok Kalis pun sering melakukan hal yang sama karena majikan kecilnya menyukainya.Suatu sore, dia sedang bermain bersama kucing liar di teras rumahnya. Hari itu hari Sabtu sore. Jadwal bimbel tidak ada. Sehingga Matari bebas untuk melakukan apapun di rumahnya. Eyang Putri sedang arisan. Mbok Kalis sedang mempersiapkan makan malam sekaligus memasak nasi. Hari ini, Kak Bulan akan pulang. Dan menginap sampai Senin pagi.“Kak Matari?” seseorang menyapanya dari luar pagar.Matari mendongak. Dan mendapati Arga di sana. Dia masih memakai seragam basket yang basah di bagian punggungnya. Tas gym mahalnya tampak penuh dengan bola dan
“Tahu nggak, di ekskul basket ada anak baru join. Ganteng. Bersiiiih banget, lalet nempel kepleset kayanya,” kata Thea disuatu hari saat mereka semua sedang makan di kantin saat jam istirahat.Tahu gue, anak kelas 2 F kan? Namanya Arga kan?” tebak Sandra sambil mencomot cimol dengan lahap.“Lahhhh, kok udah tahu duluan lo? Jangan-jangan udah ada yang ngincer ya, di antara kalian?” tanya Thea kaget.“Kaga ada yang ngincer. Kita baru sebatas cuma suka ngeliatin doang. Nyegerin mata ya nggak, Ri?” timpal Sandra sambil tertawa.“Seriusan lo? Ama adik kelas?” ledek Lisa. "Bukannya nyari level di atas kita, malah downgrade lo!”Matari terkekeh. “Anjir, kagak! Kita aja baru kenal! Lagian ngeliatin doang tuh bukan berarti suka beneran. Nggak semua-muanya itu dihubungin sama perasaan, Lis!”“Kalian kenal di mana? Baru join b
Persiapan UN bahkan udah dimulai sejak Matari menginjakkan kakinya di kelas 3. Setengah tahun berlalu, dia memutuskan untuk ikut bimbel di sekolah, karena biayanya jauh lebih murah dibanding di luar. Biaya itu dipakai untuk jasa yang diberikan kepada para guru honorer yang ikut serta membantu mereka. Setiap selesai kelas, pasti Matari dan Sandra udah nongkrong di kantin untuk makan siang sambil nungguin jadwal bimbel. Seperti hari itu.“Arah jam 11,” kata Sandra sambil berbisik pada Matari.“Apaan?” tanya Matari bingung.“Anak baru, seragamnya beda, mau pindahan sini kayanya. Perasaan sekolah ini banyak banget nerima anak baru,” jawab Sandra sambil menunjuk sebuah mobil yang datang dari arah gerbang.Matari menatap mobil kijang kapsul itu dengan lekat-lekat. Di samping mobil itu, ada seorang anak laki-laki seusia dengannya. Badannya tinggi, berkulit putih dan berkacamata. Rambutnya di