Januari, 2001
Suara Tante Dina menangis, membuat Matari terbangun. Hari itu, seingatnya adalah Hari Minggu di awal bulan Januari yang cukup menguras emosi seluruh anggota keluarga di Rumah Eyang Poer.
Matari duduk di kasurnya. Kakak dan Sandra tak tampak di manapun. Dia melihat jam weker di meja kakaknya yang menunjukkan pukul setengah 7 pagi.
“Matari, ayo bantu-bantu. Pakai baju muslim kamu yang warna putih," kata Bulan, lirih dan sendu menjadi satu.
Tiba-tiba Bulan masuk, rambutnya masih tampak berantakan dan segera membuka lembari pakaian.
“Kenapa, Kak?” tanya Matari kebingungan.
“Tengah malam, Om Budi drop. Subuh tadi, Ayah bangunin gue dan Sandra untuk menemani Tante Dina yang baru datang dari Rumah Sakit. Om Budi meninggal sebelum subuh di Rumah Sakit. Jenasah baru saja datang. Sandra sudah siap di depan. Lo sikat gigi, wudhu, cuci muka, ganti baju muslim putih yang kembaran sama gue. Gue ke kamar mandi sekarang, abis itu gantian lo ya.”
Matari masih tampak bingung. “Tapi Kak, baju muslim itu udah kesempitan.”
Bulan menarik napas. “Oke, lo gue cariin baju muslim. Sekarang, lo bebersih dulu di kamar mandi. Nggak ada waktu kalau harus mandi. Sandra kasihan di depan sendirian. Gue harus ke warung buat beli aqua gelas. Si mbok masih siap-siap di belakang.”
Matari turun dari kasurnya menatap kasur Sandra yang kosong tanpa pemiliknya dan tampak masih berantakan seperti ditinggalkan begitu saja.
“Masih bengong? Cepet!!!!” seru Bulan kesal dan berlalu keluar.
***
Dengan baju muslim putih kebesaran milik Tante Marini yang tertinggal, Matari perlahan-lahan mendekat ke arah Sandra.
Sepupu kesayangannya itu tampak berbeda dari biasanya. Tatapan matanya kosong. Dia menggenggam tissue yang sudah entah berapa kali dipakai untuk menyeka air matanya. Beberapa orang berlalu-lalang menyalami Sandra.
Dengan sedikit ragu, Matari mendekat ke arah Sandra.
“San, yang tabah ya. Maaf gue baru bangun.” kata Matari berbisik di belakang Sandra sambil mengelus-elus pundaknya.
Sandra hanya tersenyum tipis. Matanya bengkak dan merah.
“Lo temenin gue ya, Ri. Gue… entahlah, Ri…” bisik Sandra berusaha kuat.
Matari merangkul sepupunya dan tidak sadar airmatanya jatuh. Saat Ibunya meninggal beberapa tahun lalu, dia tidak sesedih ini. Malah di hari itu dia bermain barbie dengan Sandra di ruang tidur utama, tempat belakangan ini Om Budi berbaring sakit di sana. Saat itu dia masih lebih muda dan belum begitu mengerti.
Namun entah kenapa, hari ini, bayangan Ibunya saat meninggal terlintas lagi. Dan dia pun ikut menangis. Entah karena teringat kejadian itu atau memang sedih saat melihat Sandra tak seperti biasanya.
*************************************************************************
“Ri, turut berduka cita ya.” Kata Iko sambil mendekat ke arah Matari.
Saat itu, pemakaman telah usai. Di rumah Eyang hanya tersisa kerabat dekat, teman-teman Om Budi dan Tante Dina yang datang belakangan. Teman sekolah Sandra pun beberapa sudah pulang, hanya menyisakan Lia dan sahabat-sahabat dekat Sandra yang kebanyakan cowok-cowok di geng Pramukanya.
Matari sedikit merasa senang saat melihat dari jauh Sandra sudah mulai sedikit tertawa akibat bercandaan konyol teman-temannya. Dia akhirnya hanya duduk di sisi lain rumah sambil makan camilan. Dia menyadari perutnya kosong dan lapar karena belum terisi apa-apa.
Seseorang yang dikenalnya, tiba-tiba menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Dia adalah Iko.
“Kenapa ya, orang kaya kita ini salah apa, ya, Ko?” tanya Matari pada Iko.
“Kenapa memangnya, Ri?” Iko mengambil aqua gelas dan meminumnya. “Untung ya, hari ini nggak hujan.”
“Lo kehilangan Abang, gue nyokap, sekarang Sandra kehilangan bokapnya. Kenapa ya? Gue pikir nggak semua orang merasakan kehilangan kaya gitu. Kenapa cuma kita-kita yang merasakan di saat kita masih butuh mereka?”
“Kayanya kita bisa bikin geng tahu nggak?”
“Apa sih, Ko? Kadang suka nggak nyambung lo!”
“Loh, gue masih nyambung omongan lho yang tadi loh hahaha. Kita bisa bikin geng orang-orang yang kehilangan orang yang disayanginya. Nanti anggotanya lo, gue, Mama, Papa, sekeluarga besar lo, eh Mbok Kalis juga nggak???”
“Hahaha, dasar gila lo!”
“Akhirnya ketawa juga.”
“Aneh juga kenapa gue ketawa. Padahal nggak lucu.”
“Btw, keluarga lo banyak juga ya. Gue tadi dikenalin Mama sampe bingung. Yang namanya Kak Tiwi cantik yaaaa, kaya Dian Sastro.”
“Hah, siapa tuh?”
“Artis film baru keluar. Filmnya judulnya Bintang Jatuh.”
Tentu bagi Matari wajar dia tidak tahu. Karena pada saat itu, tahun 2000an, Dian Sastrowardoyo belum seterkenal sekarang. Dia baru debut di film-film indie. Belum masuk ke Box Office.
“Nggak tahu gue. Belum pernah nonton bioskop. Petualangan Sherina aja gue nonton vcd bajakannya aja.”
“Ya udah, kapan-kapan kita nonton bareng ya kalau ada film bagus.”
Deg! Jantung Matari berdegup kencang lagi. Diajak nonton? Oleh Iko?
“Kok bengong gitu sih?”
“Gue belum pernah nonton bioskop. Kampungan banget ya gue?”
“Nggaklah. Wajar, lo masih SMP kan. Jadi nanti kita akan cari film yang ratingnya bisa lo tonton.”
***************************************************************************
Meskipun besok adalah hari Senin, pengajian hari pertama untuk mengenang Om Budi di rumah Eyang terlihat cukup ramai. Tante Dina masih di kamar, ditemani Sandra dan Tante Marini sambil membawa buku yasin. Tasbih tak terlihat lepas dari jemari tangannya yang panjang-panjang.
Matari sedang membantu Bulan dan Kak Tiwi mengantarkan minuman teh hangat pada masing-masing peserta pengajian yang didominasi oleh Bapak-bapak kompleks. Di antaranya menyelip Iko dan Papanya. Tante Indira ikut membantu dengan menemani Eyang Putri yang masih tampak syok dan berdiam juga di kamarnya.
“Lan, kamu masih jomblo aja?” tiba-tiba terdengar suara Kak Tiwi setengah berbisik.
Matari memperhatikan Kak Tiwi berbisik pada kakaknya. Logat Banjarmasinnya tampak kental berpadu dengan Bahasa Indonesia yang tidak baku.
“Kagak. Kenapa sih?” tanya Bulan heran.
“Trus yang mana pacar kamu? Nggak datang?” tanya Kak Tiwi lagi.
“Kagak. Kagak usah datang. Nanti digenitin sama lo.”
“Dih, emang aku cewek apaan? Aku penasaran aja. Miss paskibra tahun 2001 ini cowoknya kaya apa?” timpal Kak Tiwi sambil tersenyum-senyum ingin tahu.
Kemudian giliran menatap ke arah Matari, mencari korban baru. “Kalo kamu, Ri?”
Matari pura-pura tidak dengar dengan panggilan Kak Tiwi padanya.
“Ihhh, rese deh. Tuh pacarnya Matari dateng sama Papanya. Mamanya yang cakep banget itu, yang nemenin Eyang Putri di kamar.”
“Oh, tante-tante yang rumahnya gede banget itu ya?”
“Iyah, itu pacar Matari, puas lo?”
“Ciyeee, Matari. Cowoknya keren juga, rambutnya ikal-ikal gitu. Gemes.”
“Heiiii, dia tuh junior kita.” Tandas Bulan sambil menginjak kaki Kak Tiwi.
“Bulaaaan, sakit tau! Kan aku cuma muji aja. Matari kamu hebat banget bisa dapet gituan.”
Matari tersenyum malu, kemudian menatap Iko. Iko membalas senyumnya dengan tulus. Kupu-kupu kembali terasa menari-nari di perutnya.
*************************************************************************
Saat Matari tiba di rumah saat hari Senin setelah sekolah, Sandra tampak tiduran di samping Mamanya. Tante Dina masih sedih dan tiduran di kamarnya terus menerus. Eyang Putri pun juga. Rumah tampak begitu sepi. Semua orang masih berduka dengan kehilangan Om Budi.
Kak Bulan, seperti biasa, sudah bisa kembali dengan kegiatan Paskibrakanya. Mbok Kalis tampak kembali melakukan aktivitasnya yang sudah teratur seperti hapal di luar kepala. Salah satunya dengan memberikan makanan pada ikan-ikan koi. Rumah Eyang Putri telah kembali sepi tidak seperti kemarin-kemarin.
Keluarga Tante Marini dan Om Wiryo, adik ke 3 dan 4 Ayah Matari, sudah kembali ke kotanya tadi pagi-pagi dengan pesawat. Ayah Matari mengambil cuti dan sibuk membantu mengurus surat kematian di Pak RT, karena Tante Dina masih belum mampu mengurusnya sendirian.
Kata Mbok Kalis, pagi tadi hingga menjelang siang masih ada pelayat yang menyusul datang. Beberapa ada teman Om Budi dan Tante Dina.
Tiba-tiba telepon berdering. Setelah beberapa kali, Matari mengangkatnya.
“Halo, assalamualaikum.”
“Walaikumsalam, hai. Lagi sibuk?” suara serak-serak basah itu langsung dikenalinya.
“Hai, Dav.”
“Gue turut berdukacita ya, Matari. Maaf kemarin gue nggak ngedeket ke lo. Karena kayanya lo lagi sibuk banget.”
“Oh, lo datang kemarin?”
“Iya. Sebenernya barengan sama Abdi dan Lisa.”
“Hmm, kok gue nggak liat?”
“Iya. Lo lagi sibuk menyapa tamu di sebelah sepupu lo itu. Titip salam buat dia ya.”
“Iya, makasih.”
“Dia masih sedih ya, pasti?”
“Iya. Mungkin sebenernya keluarganya udah siap, karena Om gue itu udah lama sakitnya. Cuma sekarang mungkin Tante gue mulai merasa kesepian karena ngerasa benar-benar ditinggalkan untuk selamanya. Kata orang, emang lebih terasa sedih waktu seluruh pelayat sudah pergi dan rumah kembali sepi.”
Davi terdiam.
“Sorry, maaf ya. Gue ngomong apa ya tadi, hahaha…”
Matari merasa aneh berbagi perasaan kehilangan itu pada Davi, yang mungkin tidak mengerti rasanya. Setidaknya untuk sekarang.
“Gue yang mau minta maaf, Ri. Gue nggak tahu gimana rasanya. Gue pun nggak tahu mau ngomong apa sama lo. Itulah kenapa gue kemarin nggak ngedeket sama lo. Bukan karena lo sibuk.”
Matari tersenyum lega meski dia tahu, Davi tidak akan melihat dirinya tersenyum.
“Ri, kata Abdi, lo kalo hari Rabu, Kamis, Jumat ekskul ya?”
“Eh…. Iya. Abdi rasa-rasanya kaya informan lo ya?”
“Kurang lebih. Karena soal lo gue buta sama sekali.”
“Beda ya kalo soal Thea…”
“Udahlah, nggak usah nyebut dia lagi.”
“Lo marah sama dia?”
“Nggak sih. Cuma itu kan udah masa lalu. Udah ya. End. Trus kalo pas nggak ekskul, boleh ya gue nelepon elo sepulang sekolah kaya gini?”
“Ya terserah lo sih…”
“Kalo pulang ekskul kira-kira jam berapa?”
“Kenapa emangnya, Dav?”
“Enggak, nanya doang.”
“Beda-beda, gue ngga bisa bilang secara pasti jam berapa gue udah pulang.”
“Iya, iya. Lo seneng banget ya sama ekskul-ekskul lo itu.”
“Ya soalnya kalo ada wadah buat nyalurin hobi gue. Kenapa nggak? Kaya lo kan suka bola, ya elo gabung di ekskul bola bareng Abdi.”
“Iya, sebenarnya dia masuk mading itu nggak sengaja. Gue yang iseng nulis di formulir tanpa dia tahu. Hahaha….”
“Pantesan…. Mana bentrok mulu sama jadwal ekskul bola.”
“Iya. Makanya dia lebih sering nitip tas doang. Setor muka sama Bu Tasya.”
“Jahat banget lo.”
“Ya tapi sekarang, ada gunanya juga dia masuk mading.”
“Kenapa gitu?”
Davi tertawa. “Lo ngegemesin ya. Masa nggak tahu?”
“Nggak….”
Davi cuma tertawa lagi.
“Matari, kalau gue nelepon gini ada yang marah ga sih?”
“Ada….”
“Siapa?”
Matari menyadari nada suara Davi berubah dingin.
“Eyang gue. Dia suka kesel kalo gue make telepon lama-lama.”
“HAHAHAHA. Ya ampun MATARI! Gue kiraaa…”
“Gue serius.”
Davi masih tertawa. Padahal bagi Matari tidak ada yang lucu.
“Eh iya, gue pernah lihat lo sepedaan sama cowo. Cowok lo?”
Matari terdiam. Dirinya berpikir sebentar.
“Bukan. Dan belum sih.”
“Kok belum?”
“Gila lo. Dia anak SMA. Eyang gue bisa marah-marah dong. Tetangga gue pula.”
“Berarti kalo sama anak SMP boleh dong?”
Matari bingung harus menjawab apa. Davi tampak begitu pintar membuatnya merasa kebingungan.
“Tuh, kan, diem aja. Boleh nggak?”
“Hmmm, tergantung. Emang kenapa?
“Nggak, nggak papa.”
Jumat sore yang ditunggu Matari tiba. Setelah selesai ekskul Pramuka, topi pramukanya dia letakkan dengan sekadarnya di keranjang sepeda kemudian bersandar di dekat possecuritySMP. Dia melihat ke arah datangnya Iko. Namun cowok berambut Ikal dan berkulit terang itu belum Nampak sama sekali.“Nungguin siapa, Ri?” tanya Davi, kali ini dia berjalan dengan canggung, mendekat ke arah Matari.Abdi hanya mengawasi dari beberapa meter saja.“Temen.”Davi hendak bertanya siapa, namun diurungkan niatnya.“Hmmm, gitu. Gue temenin boleh?”“Boleh. Tapi kalo dia dateng gue langsung cabut, nggak papa?”“Iya, nggak papa. Sini, Di. Jangan di situ dong kaya patung aja.”Abdi menggeleng dengan mantap sambil menjulurkan lidahnya.“Nggak mau ah. Mending gue di sini jadi patung, daripada di situ jadi obat nyamuk.”Matari dan Davi sontak langsun
Februari 2001“Kalo gue jadi lo, gue akan mendadak sakit perut. Trus nggak jadi ikut, padahal gue akan seharian di kasur pake selimut dan nangis sepuasnya.” kata Lisa berbisik di hari Senin pagi saat mereka sedang mengikuti upacara. “Terus gue akan bertanya-tanya siapa cewek itu? Kenapa bisa mengusap kepala Iko semudah itu? Kenapa Iko harus menanyakan capek nggak terus-terusan sama dia? Menurut lo? Ya capeklah! Kita itu ngayuh sepedabro, bukan santai-santai di tepi jalan!”Matari cuma tersenyum tipis. Matari menatap Thea yang berdiri dua baris di depannya. Sebagai anak bertubuh jangkung, Matari dan Lisa berdiri di deretan murid perempuan bagian belakang, hampir sejajar dengan deretan murid laki-laki. Thea menoleh dan menatapnya, menatap dengan tatapan ikut menyesal atas apa yang terjadi antara dirinya dan Iko kemarin.“Mana bisa? Gue kalo seharian di kasur dan pake selimut akan diomelin sama
Davi menghentikan Lisa yang sedang membayar dua buah aqua botol di kantin. Aqua itu akan diberikannya pada Matari yang sedang berlatih menyanyi di ruang ekskul mading.“Apa sih, Dav? Kaget gue! Gue lagi bayar nih!” bentak Lisa sambil tetap memakan lolipopnya.“Kalian ke mana aja sih? Ekskul mading sama Panahan juga nggak keliatan?” tnya Davi heran."Eh, kalian-kalian… Matari doang kali maksudnya?” tanya Lisa.“Iya, iya, si Matari maksud gue. Ke mana sih dia? Kok nggak keliatan? Masuk kan? Gue telepon ke rumahnya Mbok… mbok siapa itu yang ngangkat teleponnya mulu. Bahkan Sabtu aja dia nggak ada.”“Mbok Kalis maksud lo? Iyaaa dia lagi sibuk persiapan buat lomba puisi.”“Dia ikut? Kayanya nggak ada namanya deh di daftar peserta yang ditempel sama si Ben.”“Emang. Bukan sebagai peserta.”Lisa tiba-tiba mendadak punya ide untuk memberikan sur
14 Februari 2001Semua siswa berkumpul di Gedung serbaguna berukuran sebesar lapangan basketindooritu. Ada yang duduk di kursi penonton, namun lebih banyak yang memilih duduk lesehan di pinggir lapangan sambil membawa snack dan minum yang sudah dibeli di kantin. Panggungperformanceberada di salah satu sisi lapangan. Lengkap dengan lampu-lampu dan alat band. Tahun ini, lomba puisinya terasa megah dengan bantuan sponsor orangtua murid, termasuk orangtua Lisa tentu saja.Dan karenanya, seluruh siswa tertarik untuk datang, mereka tidak menyangka akan diadakan semegah itu. Tahun lalu mendapatkan peserta lomba saja sudah bersyukur. Tapi tahun ini antusiasmenya luar biasa. Kak Ben sebagai ketua panitia tampak senang dan sumringah. Tidak sia-sia usahanya selama ini.Davi berjalan santai bersama Abdi. Di depan mereka, team ekskul sepakbola berjalan mendahului.“Mau di atas atau di bawah aja?
Abdi menatap sahabatnya yang sedang menggambar mobil F1 acakadul di buku tulisnya. Saat itu pelajaran Matematika. Semua anak kelas 1 B, sesuai absen mendapat giliran mengerjakan soal di depan. Abdi dan Davi yang termasuk abjad awal sudah mendapat giliran. Sehingga mereka hanya duduk-duduk mengobrol sambil berpura-pura memperhatikan.“Gimana, gimana, kapan nembaknya?” tanya Abdi setengah berbisik.“Nggak bisa sekarang. Gue kudu pelan-pelan, Di. Matari itu kaya bunga yang nggak berani sama sekali gue sentuh, takut rusak,” sahut Davi.“Hmmm, tapi waktu Thea dulu lo maju terus pantang mundur.”“Beda. Thea sama Matari beda banget. Matari itubackgroundkeluarganya aja udah kaya gitu kan. Gue beberapa kali denger cerita dari Lisa aja, gue jadi kasihan sama dia. Gue nggak mau nyakiti dia. Jadi gue kudu pelan-pelan banget.”“Masalahnya, Dav, pesona Matari pas perform di lomba puisi ke
Theana Gemintang Puspitasariadalah anak kedua dari Ibu Irma Sudibyo dan Bapak Paulus Andika. Panggilannya Thea. Thea memiliki kakak perempuan yang bernama Nikita Gemintang Puspasari atau yang biasa dipanggil Niki. Niki hanya berjarak sekitar 2 tahun dari Thea. Niki tidak bersekolah di SMP yang sama, dia mengambil SMA swasta Kristen yang berjarak cukup dekat dari rumahnya, sehingga hanya berjalan kaki pun sudah cukup.Seperti halnya Thea, Niki juga memiliki tubuh yang bagus dan atletis, meski sama-sama tidak terlalu tinggi. Thea sangat disayang kedua orangtuanya, karena saat lahir, Thea hampir kehilangan nyawanya karena keracunan air ketuban.Akibatnya, seluruh kasih sayang orangtuanya tercurah sepenuhnya pada Thea sejak kecil. Menjadi pusat perhatian, mendapatkan apa yang diinginkan, selalu menjadi yang pertama diberikan sesuatu, menjadikan Thea tumbuh sebagai anak yang narsistik. Itulah yang menyebabkan Niki selalu merasa tidak adil atas perlaku
Saat tiba di rumah, Eyang Putri belum tampak di mana-mana. Menurut info dari Mbok Kalis, Eyang Putri pergi bersama rombongan arisannya menjenguk seorang tetangga lain di RSCM yang tengah dirawat karena sakit lambung.Tante Dina dan Sandra sedang berkunjung dan berencana menginap di rumah mereka sekaligus bebersih. Kak Bulan belum pulang, seperti biasa ada latihan paskibraka di sekolahnya. Ayah belum tampak kehadirannya, biasanya setelah magrib baru tiba.Saat Matari sedang mengobrol dengan Mbok Kalis yang sedang menyiram tanaman di depan rumah, Iko tiba-tiba lewat. Dia menghentikan sepedanya dan masih menggunakan seragam SMAnya, tersenyum menyapa Matari. Rambut ikalnya tertiup angin sesekali. Wajah tampannya tampak semakin terang tertimpa cahaya matahari sore.“Halo, Ri, Mbok Kalissss…. Lama nggak ketemu…” sapa Iko.Mbok Kalis tersenyum sambil mengangguk tanpa menjawab apa-apa. Matari hanya melempar senyum tipis dengan enggan.
Saat itu hari Senin di pertengahan semester kedua (Bulan Maret 2001). Dua orang siswa laki-laki kembar identik berdiri di dekat ruang mading. Matari yang datang pagi itu hendak meletakkan kertas asturo baru, terlihat bingung. Siapa mereka?“Nahhhh, ada Matariiiii. Ri, tolong bantu Ibu ya, antar mereka ke kelas mereka masing-masing. Untuk Ricko, yang ada tahi lalatnya, dia sekelas sama kamu. Sedangkan untuk Rocky, dia akan di kelas 1 B,” kata Bu Tasya yang memang wali kelas dari kelas 1 B, kelas di mana Abdi dan Davi berada. “Ayo kenalan dulu.”“Hai, saya Ricko,” sapa anak cowok bertahi lalat yang cukup jelas itu di wajahnya.“Saya Rocky,” sapa yang satu lagi, tanpa bertahi lalat, namun mirip sekali bahkan bentuk dan postur tubuhnya.Matari menyalami mereka satu-satu sambil menyebutkan namanya. Tanpa tahi lalat itu, Matari bahkan tidak bisa membedakan keduanya.“Yang sekelas sama gue, ikut aja du
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak
Tak banyak yang tahu kalau Matari suka banget kucing. Saat dulu masih tinggal di rumah lama, Matari memelihara beberapa kucing bersama Ibunya. Saat di rumah Eyang Putri pun, dia kerap memanggil kucing-kucing lewat dan memberikan makanan sisa rumah mereka. Mbok Kalis pun sering melakukan hal yang sama karena majikan kecilnya menyukainya.Suatu sore, dia sedang bermain bersama kucing liar di teras rumahnya. Hari itu hari Sabtu sore. Jadwal bimbel tidak ada. Sehingga Matari bebas untuk melakukan apapun di rumahnya. Eyang Putri sedang arisan. Mbok Kalis sedang mempersiapkan makan malam sekaligus memasak nasi. Hari ini, Kak Bulan akan pulang. Dan menginap sampai Senin pagi.“Kak Matari?” seseorang menyapanya dari luar pagar.Matari mendongak. Dan mendapati Arga di sana. Dia masih memakai seragam basket yang basah di bagian punggungnya. Tas gym mahalnya tampak penuh dengan bola dan
“Tahu nggak, di ekskul basket ada anak baru join. Ganteng. Bersiiiih banget, lalet nempel kepleset kayanya,” kata Thea disuatu hari saat mereka semua sedang makan di kantin saat jam istirahat.Tahu gue, anak kelas 2 F kan? Namanya Arga kan?” tebak Sandra sambil mencomot cimol dengan lahap.“Lahhhh, kok udah tahu duluan lo? Jangan-jangan udah ada yang ngincer ya, di antara kalian?” tanya Thea kaget.“Kaga ada yang ngincer. Kita baru sebatas cuma suka ngeliatin doang. Nyegerin mata ya nggak, Ri?” timpal Sandra sambil tertawa.“Seriusan lo? Ama adik kelas?” ledek Lisa. "Bukannya nyari level di atas kita, malah downgrade lo!”Matari terkekeh. “Anjir, kagak! Kita aja baru kenal! Lagian ngeliatin doang tuh bukan berarti suka beneran. Nggak semua-muanya itu dihubungin sama perasaan, Lis!”“Kalian kenal di mana? Baru join b
Persiapan UN bahkan udah dimulai sejak Matari menginjakkan kakinya di kelas 3. Setengah tahun berlalu, dia memutuskan untuk ikut bimbel di sekolah, karena biayanya jauh lebih murah dibanding di luar. Biaya itu dipakai untuk jasa yang diberikan kepada para guru honorer yang ikut serta membantu mereka. Setiap selesai kelas, pasti Matari dan Sandra udah nongkrong di kantin untuk makan siang sambil nungguin jadwal bimbel. Seperti hari itu.“Arah jam 11,” kata Sandra sambil berbisik pada Matari.“Apaan?” tanya Matari bingung.“Anak baru, seragamnya beda, mau pindahan sini kayanya. Perasaan sekolah ini banyak banget nerima anak baru,” jawab Sandra sambil menunjuk sebuah mobil yang datang dari arah gerbang.Matari menatap mobil kijang kapsul itu dengan lekat-lekat. Di samping mobil itu, ada seorang anak laki-laki seusia dengannya. Badannya tinggi, berkulit putih dan berkacamata. Rambutnya di