Februari 2001
“Kalo gue jadi lo, gue akan mendadak sakit perut. Trus nggak jadi ikut, padahal gue akan seharian di kasur pake selimut dan nangis sepuasnya.” kata Lisa berbisik di hari Senin pagi saat mereka sedang mengikuti upacara. “Terus gue akan bertanya-tanya siapa cewek itu? Kenapa bisa mengusap kepala Iko semudah itu? Kenapa Iko harus menanyakan capek nggak terus-terusan sama dia? Menurut lo? Ya capeklah! Kita itu ngayuh sepeda bro, bukan santai-santai di tepi jalan!”
Matari cuma tersenyum tipis. Matari menatap Thea yang berdiri dua baris di depannya. Sebagai anak bertubuh jangkung, Matari dan Lisa berdiri di deretan murid perempuan bagian belakang, hampir sejajar dengan deretan murid laki-laki. Thea menoleh dan menatapnya, menatap dengan tatapan ikut menyesal atas apa yang terjadi antara dirinya dan Iko kemarin.
“Mana bisa? Gue kalo seharian di kasur dan pake selimut akan diomelin sama
Davi menghentikan Lisa yang sedang membayar dua buah aqua botol di kantin. Aqua itu akan diberikannya pada Matari yang sedang berlatih menyanyi di ruang ekskul mading.“Apa sih, Dav? Kaget gue! Gue lagi bayar nih!” bentak Lisa sambil tetap memakan lolipopnya.“Kalian ke mana aja sih? Ekskul mading sama Panahan juga nggak keliatan?” tnya Davi heran."Eh, kalian-kalian… Matari doang kali maksudnya?” tanya Lisa.“Iya, iya, si Matari maksud gue. Ke mana sih dia? Kok nggak keliatan? Masuk kan? Gue telepon ke rumahnya Mbok… mbok siapa itu yang ngangkat teleponnya mulu. Bahkan Sabtu aja dia nggak ada.”“Mbok Kalis maksud lo? Iyaaa dia lagi sibuk persiapan buat lomba puisi.”“Dia ikut? Kayanya nggak ada namanya deh di daftar peserta yang ditempel sama si Ben.”“Emang. Bukan sebagai peserta.”Lisa tiba-tiba mendadak punya ide untuk memberikan sur
14 Februari 2001Semua siswa berkumpul di Gedung serbaguna berukuran sebesar lapangan basketindooritu. Ada yang duduk di kursi penonton, namun lebih banyak yang memilih duduk lesehan di pinggir lapangan sambil membawa snack dan minum yang sudah dibeli di kantin. Panggungperformanceberada di salah satu sisi lapangan. Lengkap dengan lampu-lampu dan alat band. Tahun ini, lomba puisinya terasa megah dengan bantuan sponsor orangtua murid, termasuk orangtua Lisa tentu saja.Dan karenanya, seluruh siswa tertarik untuk datang, mereka tidak menyangka akan diadakan semegah itu. Tahun lalu mendapatkan peserta lomba saja sudah bersyukur. Tapi tahun ini antusiasmenya luar biasa. Kak Ben sebagai ketua panitia tampak senang dan sumringah. Tidak sia-sia usahanya selama ini.Davi berjalan santai bersama Abdi. Di depan mereka, team ekskul sepakbola berjalan mendahului.“Mau di atas atau di bawah aja?
Abdi menatap sahabatnya yang sedang menggambar mobil F1 acakadul di buku tulisnya. Saat itu pelajaran Matematika. Semua anak kelas 1 B, sesuai absen mendapat giliran mengerjakan soal di depan. Abdi dan Davi yang termasuk abjad awal sudah mendapat giliran. Sehingga mereka hanya duduk-duduk mengobrol sambil berpura-pura memperhatikan.“Gimana, gimana, kapan nembaknya?” tanya Abdi setengah berbisik.“Nggak bisa sekarang. Gue kudu pelan-pelan, Di. Matari itu kaya bunga yang nggak berani sama sekali gue sentuh, takut rusak,” sahut Davi.“Hmmm, tapi waktu Thea dulu lo maju terus pantang mundur.”“Beda. Thea sama Matari beda banget. Matari itubackgroundkeluarganya aja udah kaya gitu kan. Gue beberapa kali denger cerita dari Lisa aja, gue jadi kasihan sama dia. Gue nggak mau nyakiti dia. Jadi gue kudu pelan-pelan banget.”“Masalahnya, Dav, pesona Matari pas perform di lomba puisi ke
Theana Gemintang Puspitasariadalah anak kedua dari Ibu Irma Sudibyo dan Bapak Paulus Andika. Panggilannya Thea. Thea memiliki kakak perempuan yang bernama Nikita Gemintang Puspasari atau yang biasa dipanggil Niki. Niki hanya berjarak sekitar 2 tahun dari Thea. Niki tidak bersekolah di SMP yang sama, dia mengambil SMA swasta Kristen yang berjarak cukup dekat dari rumahnya, sehingga hanya berjalan kaki pun sudah cukup.Seperti halnya Thea, Niki juga memiliki tubuh yang bagus dan atletis, meski sama-sama tidak terlalu tinggi. Thea sangat disayang kedua orangtuanya, karena saat lahir, Thea hampir kehilangan nyawanya karena keracunan air ketuban.Akibatnya, seluruh kasih sayang orangtuanya tercurah sepenuhnya pada Thea sejak kecil. Menjadi pusat perhatian, mendapatkan apa yang diinginkan, selalu menjadi yang pertama diberikan sesuatu, menjadikan Thea tumbuh sebagai anak yang narsistik. Itulah yang menyebabkan Niki selalu merasa tidak adil atas perlaku
Saat tiba di rumah, Eyang Putri belum tampak di mana-mana. Menurut info dari Mbok Kalis, Eyang Putri pergi bersama rombongan arisannya menjenguk seorang tetangga lain di RSCM yang tengah dirawat karena sakit lambung.Tante Dina dan Sandra sedang berkunjung dan berencana menginap di rumah mereka sekaligus bebersih. Kak Bulan belum pulang, seperti biasa ada latihan paskibraka di sekolahnya. Ayah belum tampak kehadirannya, biasanya setelah magrib baru tiba.Saat Matari sedang mengobrol dengan Mbok Kalis yang sedang menyiram tanaman di depan rumah, Iko tiba-tiba lewat. Dia menghentikan sepedanya dan masih menggunakan seragam SMAnya, tersenyum menyapa Matari. Rambut ikalnya tertiup angin sesekali. Wajah tampannya tampak semakin terang tertimpa cahaya matahari sore.“Halo, Ri, Mbok Kalissss…. Lama nggak ketemu…” sapa Iko.Mbok Kalis tersenyum sambil mengangguk tanpa menjawab apa-apa. Matari hanya melempar senyum tipis dengan enggan.
Saat itu hari Senin di pertengahan semester kedua (Bulan Maret 2001). Dua orang siswa laki-laki kembar identik berdiri di dekat ruang mading. Matari yang datang pagi itu hendak meletakkan kertas asturo baru, terlihat bingung. Siapa mereka?“Nahhhh, ada Matariiiii. Ri, tolong bantu Ibu ya, antar mereka ke kelas mereka masing-masing. Untuk Ricko, yang ada tahi lalatnya, dia sekelas sama kamu. Sedangkan untuk Rocky, dia akan di kelas 1 B,” kata Bu Tasya yang memang wali kelas dari kelas 1 B, kelas di mana Abdi dan Davi berada. “Ayo kenalan dulu.”“Hai, saya Ricko,” sapa anak cowok bertahi lalat yang cukup jelas itu di wajahnya.“Saya Rocky,” sapa yang satu lagi, tanpa bertahi lalat, namun mirip sekali bahkan bentuk dan postur tubuhnya.Matari menyalami mereka satu-satu sambil menyebutkan namanya. Tanpa tahi lalat itu, Matari bahkan tidak bisa membedakan keduanya.“Yang sekelas sama gue, ikut aja du
Matari mengayuh sepedanya menuju warung Mba Sari, tetangga di kompleks mereka yang berjualan sembako di depan rumahnya. Tante Dina berencana memasak makan malam, karena beliau sedang ulang tahun. Namun tidak semua bahan ada. Bawang Bombay dan bawang putih habis.Saat itulah dia melihat Iko dan Raline duduk berdua di depan rumah. Raline terlihat menangis. Iko pun hanya diam mematung di sebelah gadis itu. Matari tahu, Raline adalah tipe gadis-gadis SMA Jakarta yang cantik danstylish. Wajahnya cantik memesona dengan kulitnya yang gelap. Dia cukup bisa menerima jika Iko jatuh cinta kepadanya. Dia tahu tidak mungkin bersaing dengan anak perempuan yang bahkan bisa bertemu Iko dengan waktu yang lebih lama dengan dirinya.Matari cuma mengangguk, menyapa sekilas pada Iko dan Raline, tanpa memberhentikan sepedanya. Dia tidak ingin mengganggu sepasang kekasih itu. Dirinya saja belum bisa memaafkan dirinya sendiri karena telah jatuh cinta dan patah hati dalam waktu
“Matari,Englishlo bagus nggak sih?” tanya Gilang pada Matari saat jam istirahat pertama.“Lebih bagusan dia daripada lo pastinya,” timpal Thea cepat sambil nyengir meledek Gilang.“Ngeselin lo. Gue nanya dia nih. Lo coba denger dua lagu ya. Cuma ini agak keluar dikit dari ciri khas lo. Untuk lagu pertama akan duet sama gue, jadi lo santai aja. Nah lagu kedua, gue pengen lo nyanyi sendiri,” seru Gilang.“Emang lagu apaan sih, Lang?” tanya Matari sambil duduk di sebelah Gilang.Gilang membuka majalahchordmusik. Dibukanya dua halaman yang telah ditandainya dengan lipatan di ujungnya.“Tenang, semua anggotabandudah gue rekamin di kaset. Tugas kalian semua minggu ini dengerin lagu itu berulang-ulang,” ujar Gilang dan menyerahkan kaset-kaset yang telah diisi dua lagu untuk didengarkan Matari dan beberapa sisanya untuk diserahkan pada
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak
Tak banyak yang tahu kalau Matari suka banget kucing. Saat dulu masih tinggal di rumah lama, Matari memelihara beberapa kucing bersama Ibunya. Saat di rumah Eyang Putri pun, dia kerap memanggil kucing-kucing lewat dan memberikan makanan sisa rumah mereka. Mbok Kalis pun sering melakukan hal yang sama karena majikan kecilnya menyukainya.Suatu sore, dia sedang bermain bersama kucing liar di teras rumahnya. Hari itu hari Sabtu sore. Jadwal bimbel tidak ada. Sehingga Matari bebas untuk melakukan apapun di rumahnya. Eyang Putri sedang arisan. Mbok Kalis sedang mempersiapkan makan malam sekaligus memasak nasi. Hari ini, Kak Bulan akan pulang. Dan menginap sampai Senin pagi.“Kak Matari?” seseorang menyapanya dari luar pagar.Matari mendongak. Dan mendapati Arga di sana. Dia masih memakai seragam basket yang basah di bagian punggungnya. Tas gym mahalnya tampak penuh dengan bola dan
“Tahu nggak, di ekskul basket ada anak baru join. Ganteng. Bersiiiih banget, lalet nempel kepleset kayanya,” kata Thea disuatu hari saat mereka semua sedang makan di kantin saat jam istirahat.Tahu gue, anak kelas 2 F kan? Namanya Arga kan?” tebak Sandra sambil mencomot cimol dengan lahap.“Lahhhh, kok udah tahu duluan lo? Jangan-jangan udah ada yang ngincer ya, di antara kalian?” tanya Thea kaget.“Kaga ada yang ngincer. Kita baru sebatas cuma suka ngeliatin doang. Nyegerin mata ya nggak, Ri?” timpal Sandra sambil tertawa.“Seriusan lo? Ama adik kelas?” ledek Lisa. "Bukannya nyari level di atas kita, malah downgrade lo!”Matari terkekeh. “Anjir, kagak! Kita aja baru kenal! Lagian ngeliatin doang tuh bukan berarti suka beneran. Nggak semua-muanya itu dihubungin sama perasaan, Lis!”“Kalian kenal di mana? Baru join b
Persiapan UN bahkan udah dimulai sejak Matari menginjakkan kakinya di kelas 3. Setengah tahun berlalu, dia memutuskan untuk ikut bimbel di sekolah, karena biayanya jauh lebih murah dibanding di luar. Biaya itu dipakai untuk jasa yang diberikan kepada para guru honorer yang ikut serta membantu mereka. Setiap selesai kelas, pasti Matari dan Sandra udah nongkrong di kantin untuk makan siang sambil nungguin jadwal bimbel. Seperti hari itu.“Arah jam 11,” kata Sandra sambil berbisik pada Matari.“Apaan?” tanya Matari bingung.“Anak baru, seragamnya beda, mau pindahan sini kayanya. Perasaan sekolah ini banyak banget nerima anak baru,” jawab Sandra sambil menunjuk sebuah mobil yang datang dari arah gerbang.Matari menatap mobil kijang kapsul itu dengan lekat-lekat. Di samping mobil itu, ada seorang anak laki-laki seusia dengannya. Badannya tinggi, berkulit putih dan berkacamata. Rambutnya di