Tak banyak yang tahu kalau Matari suka banget kucing. Saat dulu masih tinggal di rumah lama, Matari memelihara beberapa kucing bersama Ibunya. Saat di rumah Eyang Putri pun, dia kerap memanggil kucing-kucing lewat dan memberikan makanan sisa rumah mereka. Mbok Kalis pun sering melakukan hal yang sama karena majikan kecilnya menyukainya.
Suatu sore, dia sedang bermain bersama kucing liar di teras rumahnya. Hari itu hari Sabtu sore. Jadwal bimbel tidak ada. Sehingga Matari bebas untuk melakukan apapun di rumahnya. Eyang Putri sedang arisan. Mbok Kalis sedang mempersiapkan makan malam sekaligus memasak nasi. Hari ini, Kak Bulan akan pulang. Dan menginap sampai Senin pagi.
“Kak Matari?” seseorang menyapanya dari luar pagar.
Matari mendongak. Dan mendapati Arga di sana. Dia masih memakai seragam basket yang basah di bagian punggungnya. Tas gym mahalnya tampak penuh dengan bola dan
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Bulan November 2000Davi menutup ruang kapel dengan kunci secepat mungkin. Mata pelajaran agama Kristen baru saja usai. Dan dia yang ditugaskan oleh Bu Dharma untuk menutup ruang kapel dan menyerahkan kuncinya pada Pak Agus, petugas yang bertanggung jawab menyimpan kunci seluruh ruangan di sekolah dan kebetulan juga tinggal di belakang kantin sekolah mereka.Sebagai sekolah negeri yang memang khusus pelajaran agamanya di ruangan lain bagi murid penganut agama non-muslim, Bu Dharma akan secara acak menunjuk siapapun yang berwenang mengunci ruangan kapel hari itu. Sedangkan beliau sendiri akan menyerahkan daftar absensi ke Bu Ika, petugas Tata Usaha yang bertugas merekap seluruh absensi siswa SMP negeri tempat dia bekerja itu.“Mau ditemenin nggak?” tanya Abdi, yang tiba-tiba muncul di belakang Davi.“Ah, pasti lu mau sekalian ke kantin kan. Dasar! Tau aja gue mau kasih kunci ke Pak Agus.” Sahut Davi sambil menatap s
“Masih bergaul sama anak orang kaya itu, Ri?” tanya Eyang Putri sambil menatap Matari dengan tajam.Matari mendengus. “Lisa, Eyang. Bukan anak orang kaya itu.”“Iyaaa, Lisa kan anak orang kaya. Kamu harus tahu diri. Jangan keseringan main sama dia.” hardik Eyang Putri lagi.Matari tak menjawab, kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. Di sana Bulan, kakak perempuannya sedang duduk belajar. Saat itu, kakaknya masih duduk di kelas 2 SMA.“Kamu harus contoh kakakmu, dia selalu rajin belajar. Kerjaan kamu kalau nggak teleponan, nonton tv, dengerin musik kalau nggak baca novel.” tambah Eyang Putri lagi yang ternyata mengikutinya sampai ke kamar tidurnya yang memang berbagi ruang dengan kakak perempuannya.“Sudahlah, Yang. Aku lagi belajar nih, besok ada ujian.” Kata Bulan.“Ya, kamu juga nasehatin adek kamu ini. Kalian berdua ini nasibnya berbeda dengan anak yang lain.
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak
Tak banyak yang tahu kalau Matari suka banget kucing. Saat dulu masih tinggal di rumah lama, Matari memelihara beberapa kucing bersama Ibunya. Saat di rumah Eyang Putri pun, dia kerap memanggil kucing-kucing lewat dan memberikan makanan sisa rumah mereka. Mbok Kalis pun sering melakukan hal yang sama karena majikan kecilnya menyukainya.Suatu sore, dia sedang bermain bersama kucing liar di teras rumahnya. Hari itu hari Sabtu sore. Jadwal bimbel tidak ada. Sehingga Matari bebas untuk melakukan apapun di rumahnya. Eyang Putri sedang arisan. Mbok Kalis sedang mempersiapkan makan malam sekaligus memasak nasi. Hari ini, Kak Bulan akan pulang. Dan menginap sampai Senin pagi.“Kak Matari?” seseorang menyapanya dari luar pagar.Matari mendongak. Dan mendapati Arga di sana. Dia masih memakai seragam basket yang basah di bagian punggungnya. Tas gym mahalnya tampak penuh dengan bola dan
“Tahu nggak, di ekskul basket ada anak baru join. Ganteng. Bersiiiih banget, lalet nempel kepleset kayanya,” kata Thea disuatu hari saat mereka semua sedang makan di kantin saat jam istirahat.Tahu gue, anak kelas 2 F kan? Namanya Arga kan?” tebak Sandra sambil mencomot cimol dengan lahap.“Lahhhh, kok udah tahu duluan lo? Jangan-jangan udah ada yang ngincer ya, di antara kalian?” tanya Thea kaget.“Kaga ada yang ngincer. Kita baru sebatas cuma suka ngeliatin doang. Nyegerin mata ya nggak, Ri?” timpal Sandra sambil tertawa.“Seriusan lo? Ama adik kelas?” ledek Lisa. "Bukannya nyari level di atas kita, malah downgrade lo!”Matari terkekeh. “Anjir, kagak! Kita aja baru kenal! Lagian ngeliatin doang tuh bukan berarti suka beneran. Nggak semua-muanya itu dihubungin sama perasaan, Lis!”“Kalian kenal di mana? Baru join b
Persiapan UN bahkan udah dimulai sejak Matari menginjakkan kakinya di kelas 3. Setengah tahun berlalu, dia memutuskan untuk ikut bimbel di sekolah, karena biayanya jauh lebih murah dibanding di luar. Biaya itu dipakai untuk jasa yang diberikan kepada para guru honorer yang ikut serta membantu mereka. Setiap selesai kelas, pasti Matari dan Sandra udah nongkrong di kantin untuk makan siang sambil nungguin jadwal bimbel. Seperti hari itu.“Arah jam 11,” kata Sandra sambil berbisik pada Matari.“Apaan?” tanya Matari bingung.“Anak baru, seragamnya beda, mau pindahan sini kayanya. Perasaan sekolah ini banyak banget nerima anak baru,” jawab Sandra sambil menunjuk sebuah mobil yang datang dari arah gerbang.Matari menatap mobil kijang kapsul itu dengan lekat-lekat. Di samping mobil itu, ada seorang anak laki-laki seusia dengannya. Badannya tinggi, berkulit putih dan berkacamata. Rambutnya di