Matari menatap ruang ekskul Mading yang sepi seperti biasanya. Hanya ada Kak Citra yang sedang mengobrol dengan Kak Nana. Kak Seno tak terlihat di manapun. Bahkan Echa.
“Itu dia, Matari. Gimana Ri? Denger-denger lo abis sakit ya?” tanya Kak Citra.
“Si Seno pake bilang Matari kecapekan ngurus mading. Kita jadi enggak enak. Maap ya, Ri. Gue sekarang udah nggak akan bolos ekskul lagi, kok.”
Matari tersenyum. “Bukan, Kak. Emang lagi drop aja.”
“Oh iya, tadi Abdi nitipin ini buat lo. Roti sama susu kotak. Duh, enaknyaaaaa punya temen baik banget.” kata Kak Citra.
Matari menatap merk susu kotak yang sama yang diberikan Abdi hari Senin kemarin lusa. Roti yang diberikan pun roti yang bukan dibeli di koperasi atau kantin sekolah. Orang yang memberikannya pasti terlalu niat sampai membeli produk di luar sekolah.
“Sekarang Abdinya mana, Kak?” tanya Matari lagi.
“Udah main bola lagi tu. Nih tadi datang cuma nitip tas doang sama makanan buat lo itu.” sahut Kak Citra.
“Sendirian?”
“Enggak. Sama temen deketnya itu lho. Gue enggak tahu namanya. Yang sering sama dia.”
Matari mengangguk paham. Kemudian memasukkan roti dan susunya ke dalam tasnya sendiri.
***************************************************************************
Pulang ekskul, Abdi masih tak tampak kehadirannya. Matari memutuskan pulang. Sudah terlalu sore. Dia tidak mungkin hanya menunggu Abdi untuk menanyakan perihal susu tempo hari.
Dia berjalan pelan melewati lapangan bola. Abdi tampak ada di sana dengan anak-anak ekskul bola.
Matari akhirnya menunggu di pinggir lapangan dan mencari kesempatan untuk memanggil Abdi.
“Kata Pito, lo manggil gue?” tanya Abdi sambil menghampiri Matari di tepi lapangan.
Matari menatap Abdi. “Di, lo bisa kasih tahu nggak, ada apa dengan susu ini?”
“Hmmm, nggak bisa, Mat. Terlalu dini kalo sekarang.”
“Kenapa? Ini dari lo?”
Abdi menggeleng. Kemudian terengah-engah menatap sekilas ke team sepakbolanya.
“Terus, kalo bukan lo siapa?”
“Gue juga kesel dititipin gini, takut lo salah sangka. Tapi itu bukan dari gue. Udah deh, itu yang terakhir. Gue nggak mau dititipin lagi.”
“Lagi? Maksud lo bakalan ada lagi?”
Abdi mengangkat bahu. “Nggak tahu. Tapi gue nggak bisa kasih tahu sekarang itu dari siapa. Sorry ya, Mat. Udah ya, gue balik lagi. Udah sore, lo mendingan pulang daripada dicariin Eyang Putri lo deh.”
Matari menatap Abdi yang kembali ke lapangan. Di lapangan itu cukup banyak anak lelaki yang dikenalnya. Hampir semua dikenalnya. Dan dia sama sekali tidak memiliki petunjuk siapakah yang memberikannya susu dan roti. Apakah ada diantara mereka?
Kepopuleran Lisa sebagai G*dis Sampul tentu membuat dirinya cukup dikenal juga. Apalagi Thea juga menonjol di ekskul Basket. Dirinya tak lebih dari petugas mading. Namun petugas mading yang populer karena bergaul bersama anak-anak populer.
Lisa selalu mampu dengan pesonanya membuat orang-orang menoleh. Wajahnya blasteran arab dan Indonesia. Masih ada sedikit darah Inggris mengalir pula di sana. Rambutnya kecokelatan dan hidungnya mancung. Namun hampir semua orang di sekolahnya tahu, Lisa tidak pernah cukup pintar dalam bidang mata pelajaran apapun.
Thea, tinggi badannya hanya rata-rata. Namun dia tegas dan galak. Keangkuhannya bahkan terlihat saat dia berjalan. Dia sangat cocok jadi ketua kelas atau kapten tim apapun. Kecerdasannya rata-rata. Biasa saja. Rangking 15 dari 40 siswa sudah lumayan memuaskannya. Menjadi pemimpin sesuatu hal adalah salah satu cita-citanya. Nilai akademis belakangan.
Matari sendiri adalah gadis berwajah Jawa namun telah melebur dengan ibukota. Matanya bulat, hidungnya tidak mancung, tapi tidak pula sepesek itu. Bibirnya tipis. Wajahnya bulat namun tirus. Rambutnya bergelombang tanpa harus ke salon. Dan tentu saja tindikan diam-diam di telinga kanan atasnya adalah pencapaian pemberontakannya yang sedikit-sedikit pada Eyang Putrinya.
Matari bingung, jika ada cowok yang menaruh perhatian padanya, apakah benar-benar serius? Tidak salah orangkah? Bukan demi mendapatkan perhatian Lisa? Atau Thea?
**************************************************************************
Hari Sabtu Ayahnya datang membawa sepeda. Dia bilang itu hadiah jalan sehat. Karena Matari jalan kaki selama ini, Ayahnya akhirnya memberikannya pada Matari sebagai kompensasi agar bisa lebih cepat berangkat sekolah.
“Kalau mau coba, jangan jauh-jauh ya. Jangan keluar kompleks.” kata Ayahnya kemudian.
Matari berbinar. Dituntunnya sepedanya keluar rumah secara santai.
Baru beberapa kali mengayuh, tanpa disadarinya dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh begitu keras.
“Kamu nggak papa?” suara seorang cowok di dekatnya.
Matari meringis menyadari luka dilututnya tanpa memedulikan cowok yang datang di dekatnya.
“Ke rumah saya dulu, yuk.” kata cowok itu.
Matari tampak bingung antara ingin menghargai ajakannya atau tidak enak karena baru bertemu saat itu.
“Nggak papa, kita tetanggaan kok, Ri. Saya rumah warna cream itu, yang ada pohon anggurnya. Nama saya Iko.”
“Kamu kenal saya?”
“Mama sih yang kenal sama Eyang kamu. Hehehe. Yuk masuk. Maaaa… ada cucunya Eyang Poer ni.”
Seorang wanita cantik berusia 40an keluar. Sebenarnya Matari tidak asing dengan wajahnya. Cukup familiar. Mungkin karena teman satu arisan Eyang Putri. Pasti beberapa kali pernah mampir ke rumah.
“Astaughfirullah, kamu habis jatuh, Ri?” tanya Tante itu saat melihat luka Matari.
“Sepeda kamu rantainya agak miring tuh, saya benerin dulu ya. Kamu biar dibantu Mama dulu buat ngebersihin lukanya.” kata Iko sambil masuk ke dalam.
Iko keluar lagi sambil membawa kotak P3K dan kotak perkakasnya yang berwarna abu-abu.
“Kamu tahu nggak nama saya siapa?” tanya Tante itu ramah sambil membersihkan luka Matari dengan air dan kapas.
“Nggak tahu, Tante. Hmm… Maaf ya. Saya jarang bergaul ke lingkungan sekitar.” sahut Matari sopan.
Dia sadar, rumah besar ini hanya berjarak 100 meter dari rumahnya sendiri.
“Nggak papa. Santai aja. Namanya ABG mah. Iko aja juga nggak kenal siapa-siapa. Kecuali keluarga Eyang kamu. Soalnya pernah ngomelin dia gara-gara parkir motor sembarangan di depan rumah kalian. Waktu kejadian apa ya tu, Ko? Udah lama banget kan…”
“Itu lho, Ma, waktu Iko mau fotokopi di deket rumah Eyang Poer. Kan lagi rame depan kios itu, Ma. Ya Iko parkirin aja di depan rumah Eyang Poer. Kan mereka nggak ada mobil keluar masuk, lagian kalo ada pun masih bisa lewat kok, Ma. Abis gitu diomelin dah. Galak bener Eyang kamu ya?”
“Hush, kamu nih. Masa ngomong gitu di depan cucunya? Kenalin ya, nama saya Indira. Kamu boleh panggil saya Tante Indira. Saya tahu banyak soal kamu. Eyang kamu sering cerita soal kamu dan Rembulan ya, kakak kamu. Sebenarnya Rembulan itu kakak kelasnya Iko sekarang. Tapi Iko nggak pernah berani nyapa. Soalnya nggak kenal. Apalagi kata dia neneknya galak.”
Matari meringis sambil melihat ke arah Iko yang sedang mengecek sepedanya. Iko tersenyum padanya. Rambut ikal Iko tampak bergerak tak beraturan ditiup angin sore hari.
“Makasih ya Kak, udah ditolongin. Makasih ya Tante, maaaf repotin. Jujur saya nggak tahu Eyang Putri kalau di luar arisannya sama siapa aja. Cuma emang wajah Tante cukup familiar sih.”
“Panggil gue Iko aja. Nggak usah kakak-kakakan. Kak Bulan sih masih gue panggil KAK karena dia senior gue hahahah.”
Matari cuma terkekeh mendengar omongan Iko. Dia tampak mahir membetulkan sepeda barunya.
“Iya emang kalau mau berangkat arisan kadang-kadang Tante sama Bu Aris suka nyamperin Eyang. Cuma Eyang sering udah berangkat duluan.”
“Eyang kan selalu bantu siap-siap sama yang rumahnya giliran buat arisan, Tante. Katanya kalau kita banyak ngebantu nanti mau minta tolong bantuan ke rumah tetangga manapun nggak sungkan-sungkan.”
“Betul kata Eyang kamu, Ri. Tante setuju. Nih, tinggal di plester terus kelar kok ya. Besok diangin-anginkan ya jangan ditutup plester terus. Biar cepet kering. Ini sementara aja biar ga kena infeksi. Ada alat P3K kan di rumah? Revanol punya nggak?”
“Kayanya masih ada sih Tante.”
“Maklum ya, Ri. Mama saya tuh pensiunan perawat. Jadi kalo hal kaya ginian udah biasa banget. Persediaan di rumah juga cukup untuk ngerawat luka orang sekompleks. Hahahaa…”
“Ihhh, Iko nih ya, suka banget ngeledekin Mamanya. Kamu nanti kalo udah kenal dia juga bakalan diledekin terus sama dia. Sering-sering main ke sini ya. Yah, walaupun umur kalian jaraknya cukup jauh, tapi Iko nih di sekitar sini nggak punya teman sama sekali. Minimal temen buat sepedaan. Daripada kelayapan terus naik motor.”
“Iya, Tante. Makasih ya. Sepedanya nggak papa kan, Ko?”
“Nggak papa. Masih baru ya? Tadi cuma rantainya agak miring aja. Mungkin gara-gara jatuh tadi itu lho, Ri.”
“Iya, dikasih bokap. Menang undian jalan sehat di kantornya. Trus karena dia nggak pake ya dikasih ke gue.” kata Matari sambil mendekat ke arah sepedanya sambil terpincang-pincang.
“Hmmm, kayanya sakit banget tu, Ko. Kamu antar ya ke rumah Eyang Poer. Bisa kan? Jalan kaki aja, biar Matari ngelemesin otot-ototnya juga.”
“Yah Mama, aku ada janji sama Kamal ni mau ke Gramed.” sahut Iko.
“Langsung aja ketemu di Gramed dari sini kan tinggal naik angkot sekali. Nanti Mama jemput.” kata Tante Indira tegas.
“Angkot? Nggak keren, Ma.”
“Ya udah, kalo gitu berarti hari ini terakhir naik motor ya. Besok kuncinya Mama sita.”
“Mamaaaa… tega banget…”
“Makanya anterin Matari dong. Dia mana bisa nuntun sepeda pincang gitu.”
“Hhhhh, iya, iya. Ri, tunggu dulu ya, gue kasih kabar temen gue dulu buat ketemuan langsung di Gramed.”
Iko berlalu masuk ke dalam dan terdengar menelepon dengan telepon rumah. Tante Indira cuma bisa geleng-geleng kepala.
**************************************************************************
“Jadi, lo masih ada kakak sebenarnya, Ko?” tanya Matari saat Iko bercerita sikap Mamanya mengenai dirinya naik kendaraan bermotor disebabkan karena kakaknya meninggal akibat naik kendaraan bermotor juga.
“Iya, walaupun udah lama banget kejadiannya. Cuma Mama tuh nggak mau terulang. Anaknya sekarang tinggal gue doang. Abang gue udah tenang di alam sana. Mama nggak suka gue ikut jejak abang naik motor juga. Sebenarnya gue ini sudah 17 tahun walopun kelas 1 SMA. Motor selama ini cuma buat pulang pergi ke sekolah aja. Gue nggak ikut balap liar kok kaya Abang gue. Gue tahu resikonya.”
Matari hanya mengangguk. “Iya, gue tahu nggak enak rasanya kehilangan orang yang kita sayang secepat itu.”
Iko menepuk bahu Matari dengan lembut. “Iya, Ri. Gue kehilangan saudara aja, setahunan kemudian gue baru bisa move on. Entah gimana rasanya kehilangan Mama. Makanya, lo kalau mau main ke rumah, main aja. Nyokap gue pasti seneng tuh ada anak cewek main. Ajak dong Kak Bulan. Tapi dia agak di luar jangkauan gue sih.”
“Maksudnya?”
“Lo tahu nggak, Kak Bulan kalo di sekolah itu kan masuk ke paskib inti sekolah tuh. Geng mereka itu yang nguasain sekolah selain anak cheers dan basket. Kakak lo emang sekeren itu. Cuma dia memang kurang berbaur sama rakyat jelata kaya gue.”
“Jelata apaan sih, Ko? Rumah lo aja lebih gede dan bagus daripada rumah gue.”
“Hahaha, gue lupa lo masih SMP. Jadi di sekolah gue, gerombolan kaya Kak Bulan itu untouchable, alias geng kelas atas. Dihormati siapapun, dihargai guru, selalu di sapa security. Semua orang kenal ama mereka. Gue kan nggak masuk geng mana pun. Nah makanya gue suka nyebut diri gue rakyat jelata kalo di sekolah. Ekskul gue aja cuma outdoor activity.”
“Naik gunung gitu?”
“Bisaaaa… tapi gue nggak milih yang itu. Gue milih sepeda BMX aja barengan anak-anak skaters.”
“Keren amat ya ekskul-ekskul di SMA. Jadi pengen buru-buru SMA.”
“Hahaha, gue malah pengen buru-buru kuliah.”
“Assalamualaikum, Eyang Putri…”
“Walaikumsalam. Loh kamu jatuh? Bimaaaaa, ini loh anak perempuanmu….!”
Ayah Matari keluar. “Kenapa sih, Bu? Loh, Matari?”
“Iya, Yah. Tadi jatuh di depan rumah Tante Indira. Ditolongin sama keluarga mereka. Terus anaknya, Iko antar aku ke sini.”
“Kok manggilnya nggak sopan gitu, Ri? Kamu jauh lebih muda dibanding Iko, kan?” tanya Eyang lagi.
“Ah, nggak papa, Eyang. Saya yang minta dia buat manggil nama aja, kok.” timpal Iko segera.
“Hmmm, jangan kaya gitu. Panggilnya pakek Abang atau Kakak atau Mas terserah kamu. Eyang Putri nggak suka ya kalo nggak sopan gitu.”
“Sudahlah, Bu. Bukan saatnya ngurusin nama panggilan orang. Makasih ya, Iko, salam buat Mama Papamu ya. Maaf merepotkan.” potong Ayah.
“Nggak masalah kok, Om. Oke, saya permisi dulu ya. Ini ada bungkusan obat-obatan buat Matari. Tadi Mama yang kasih, takutnya di rumah Eyang stoknya kurang.”
“Makasih banyak ya I…. Kak Iko…” kata Matari sambil tersenyum lebar.
Iko membalas senyuman itu pada Matari. Deg! Jantung Matari pun berdegup lebih cepat. Mendadak dia merasa malu melihat wajah Iko. Senyuman yang tadi dilihatnya biasa saja menjadi tampak tidak biasa.
Rembulan menatap adiknya lekat-lekat.“Siapa? Siapa? Coba ulangi!” tanya Bulan heran.“Iko, Kak. Kakak tahu nggak?” ulang Matari sambil tersenyum lagi.“Iko siapa? Siapa nama panjangnya?” tanya Bulan lagi.“Nggak tahu, Kak. Pokoknya dia tetangga kita yang rumahnya gede banget itu. Yang warnacream, yang ada keliatan kolam renangnya.” sahut Matari.“Maksud lo, dia tinggal di rumah Bu Indira? Tetangga kita?”“Iyah. Dia anaknya.”“Gue nggak tahu Iko yang mana. Tapi gue tahu anak Bu Indira yang satu lagi. Mungkin kalo sekarang masih hidup, udah mau lulus kuliah kali ya. Dulu kan meninggal gara-gara balap liar kan di jalan besar sana. Heboh banget dulu. Gue masih SMP. Tapi Eyang bantu Bu Indira banget sih waktu pemakaman. Ibu juga datang ke pemakaman. Gue waktu itu disuruh jagain lo. Cuma gue nggak tahu namanya.”“Abangnya Iko itu
Saat tahun 2000-an, seperti beberapa orang di zaman sekarang, hampir semua remaja gemar mengirim salam lewat radio dan memesan lagu untuk diputarkan setelah pesan diucapkan oleh si pembawa acara. Tak terkecuali Thea. Dia hampir setiap hari memesan lagu untuk Kak Ben. Entah Kak Ben dengar atau tidak, tapi, Thea selalu merasa puas mengirimkan pesan dan lagunya lewat radio Prambors, radio yang digemari Thea dan teman-temannya saat itu.“Lo beneran nggak mau kirim salam buat Iko, Ri?” tanya Thea saat mereka berempat mengerjakan tugas kelompok bersama di rumah Lisa.Lagu yang dipesan oleh Thea: “Baby One More Time” nya Britney Spears mengalun di radio.“Iko? Siapa?” tanya Gilang, salah satu anggota kelompok mereka yang terpaksa bergabung karena harus genap sesuai jumlah kelompok yang diinformasikan Bu Tasya, guru Bahasa Indonesia mereka.“Gebetannya Matari, Gilang.” Sahut Lisa.“Loh terus Abdi dikema
Sabtu itu hujan deras sepanjang hari sejak mata pelajaran pertama. Matari menatap sepedanya dengan kesal. Dia bingung harus bagaimana.“Kenapa lo?” tanya Lisa.“Bingung gue, gimana pulangnya?”“Ya pulang tinggal pulang aja kan. Lo kan selalu bawa payung.”“Sepeda gue?”“Gampang, bareng aja sama gue. Tapi agak telat ya. Supir gue masih otw. Nanti sepeda lo masukin ke mobil aja.”Matari memeluk Lisa. “Entah gimana tanpa lo, Lis.”Lisa memutar bola matanya. “Kaya sama siapa aja. Lagian mendingan musim ujan elo kurangin bawa sepeda deh. Kejadian gini bakalan ada lagi tahu, nggak. Untung Sabtu gue nggak les. Coba kalo pas gue lagi nggak bisa nolongin elo.”“Ya paling gue nungguin sampe hujan kelar.”“Kalo kelarnya malem? Gila lo. Gue sih ogah sendirian di sekolah malem-malem.”“Iya juga ya.”&l
Januari, 2001Suara Tante Dina menangis, membuat Matari terbangun. Hari itu, seingatnya adalah Hari Minggu di awal bulan Januari yang cukup menguras emosi seluruh anggota keluarga di Rumah Eyang Poer.Matari duduk di kasurnya. Kakak dan Sandra tak tampak di manapun. Dia melihat jam weker di meja kakaknya yang menunjukkan pukul setengah 7 pagi.“Matari, ayo bantu-bantu. Pakai baju muslim kamu yang warna putih," kata Bulan, lirih dan sendu menjadi satu.Tiba-tiba Bulan masuk, rambutnya masih tampak berantakan dan segera membuka lembari pakaian.“Kenapa, Kak?” tanya Matari kebingungan.“Tengah malam, Om Budi drop. Subuh tadi, Ayah bangunin gue dan Sandra untuk menemani Tante Dina yang baru datang dari Rumah Sakit. Om Budi meninggal sebelum subuh di Rumah Sakit. Jenasah baru saja datang. Sandra sudah siap di depan. Lo sikat gigi, wudhu, cuci muka, ganti baju muslim putih yang kembaran sama gue. G
Jumat sore yang ditunggu Matari tiba. Setelah selesai ekskul Pramuka, topi pramukanya dia letakkan dengan sekadarnya di keranjang sepeda kemudian bersandar di dekat possecuritySMP. Dia melihat ke arah datangnya Iko. Namun cowok berambut Ikal dan berkulit terang itu belum Nampak sama sekali.“Nungguin siapa, Ri?” tanya Davi, kali ini dia berjalan dengan canggung, mendekat ke arah Matari.Abdi hanya mengawasi dari beberapa meter saja.“Temen.”Davi hendak bertanya siapa, namun diurungkan niatnya.“Hmmm, gitu. Gue temenin boleh?”“Boleh. Tapi kalo dia dateng gue langsung cabut, nggak papa?”“Iya, nggak papa. Sini, Di. Jangan di situ dong kaya patung aja.”Abdi menggeleng dengan mantap sambil menjulurkan lidahnya.“Nggak mau ah. Mending gue di sini jadi patung, daripada di situ jadi obat nyamuk.”Matari dan Davi sontak langsun
Februari 2001“Kalo gue jadi lo, gue akan mendadak sakit perut. Trus nggak jadi ikut, padahal gue akan seharian di kasur pake selimut dan nangis sepuasnya.” kata Lisa berbisik di hari Senin pagi saat mereka sedang mengikuti upacara. “Terus gue akan bertanya-tanya siapa cewek itu? Kenapa bisa mengusap kepala Iko semudah itu? Kenapa Iko harus menanyakan capek nggak terus-terusan sama dia? Menurut lo? Ya capeklah! Kita itu ngayuh sepedabro, bukan santai-santai di tepi jalan!”Matari cuma tersenyum tipis. Matari menatap Thea yang berdiri dua baris di depannya. Sebagai anak bertubuh jangkung, Matari dan Lisa berdiri di deretan murid perempuan bagian belakang, hampir sejajar dengan deretan murid laki-laki. Thea menoleh dan menatapnya, menatap dengan tatapan ikut menyesal atas apa yang terjadi antara dirinya dan Iko kemarin.“Mana bisa? Gue kalo seharian di kasur dan pake selimut akan diomelin sama
Davi menghentikan Lisa yang sedang membayar dua buah aqua botol di kantin. Aqua itu akan diberikannya pada Matari yang sedang berlatih menyanyi di ruang ekskul mading.“Apa sih, Dav? Kaget gue! Gue lagi bayar nih!” bentak Lisa sambil tetap memakan lolipopnya.“Kalian ke mana aja sih? Ekskul mading sama Panahan juga nggak keliatan?” tnya Davi heran."Eh, kalian-kalian… Matari doang kali maksudnya?” tanya Lisa.“Iya, iya, si Matari maksud gue. Ke mana sih dia? Kok nggak keliatan? Masuk kan? Gue telepon ke rumahnya Mbok… mbok siapa itu yang ngangkat teleponnya mulu. Bahkan Sabtu aja dia nggak ada.”“Mbok Kalis maksud lo? Iyaaa dia lagi sibuk persiapan buat lomba puisi.”“Dia ikut? Kayanya nggak ada namanya deh di daftar peserta yang ditempel sama si Ben.”“Emang. Bukan sebagai peserta.”Lisa tiba-tiba mendadak punya ide untuk memberikan sur
14 Februari 2001Semua siswa berkumpul di Gedung serbaguna berukuran sebesar lapangan basketindooritu. Ada yang duduk di kursi penonton, namun lebih banyak yang memilih duduk lesehan di pinggir lapangan sambil membawa snack dan minum yang sudah dibeli di kantin. Panggungperformanceberada di salah satu sisi lapangan. Lengkap dengan lampu-lampu dan alat band. Tahun ini, lomba puisinya terasa megah dengan bantuan sponsor orangtua murid, termasuk orangtua Lisa tentu saja.Dan karenanya, seluruh siswa tertarik untuk datang, mereka tidak menyangka akan diadakan semegah itu. Tahun lalu mendapatkan peserta lomba saja sudah bersyukur. Tapi tahun ini antusiasmenya luar biasa. Kak Ben sebagai ketua panitia tampak senang dan sumringah. Tidak sia-sia usahanya selama ini.Davi berjalan santai bersama Abdi. Di depan mereka, team ekskul sepakbola berjalan mendahului.“Mau di atas atau di bawah aja?
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak
Tak banyak yang tahu kalau Matari suka banget kucing. Saat dulu masih tinggal di rumah lama, Matari memelihara beberapa kucing bersama Ibunya. Saat di rumah Eyang Putri pun, dia kerap memanggil kucing-kucing lewat dan memberikan makanan sisa rumah mereka. Mbok Kalis pun sering melakukan hal yang sama karena majikan kecilnya menyukainya.Suatu sore, dia sedang bermain bersama kucing liar di teras rumahnya. Hari itu hari Sabtu sore. Jadwal bimbel tidak ada. Sehingga Matari bebas untuk melakukan apapun di rumahnya. Eyang Putri sedang arisan. Mbok Kalis sedang mempersiapkan makan malam sekaligus memasak nasi. Hari ini, Kak Bulan akan pulang. Dan menginap sampai Senin pagi.“Kak Matari?” seseorang menyapanya dari luar pagar.Matari mendongak. Dan mendapati Arga di sana. Dia masih memakai seragam basket yang basah di bagian punggungnya. Tas gym mahalnya tampak penuh dengan bola dan
“Tahu nggak, di ekskul basket ada anak baru join. Ganteng. Bersiiiih banget, lalet nempel kepleset kayanya,” kata Thea disuatu hari saat mereka semua sedang makan di kantin saat jam istirahat.Tahu gue, anak kelas 2 F kan? Namanya Arga kan?” tebak Sandra sambil mencomot cimol dengan lahap.“Lahhhh, kok udah tahu duluan lo? Jangan-jangan udah ada yang ngincer ya, di antara kalian?” tanya Thea kaget.“Kaga ada yang ngincer. Kita baru sebatas cuma suka ngeliatin doang. Nyegerin mata ya nggak, Ri?” timpal Sandra sambil tertawa.“Seriusan lo? Ama adik kelas?” ledek Lisa. "Bukannya nyari level di atas kita, malah downgrade lo!”Matari terkekeh. “Anjir, kagak! Kita aja baru kenal! Lagian ngeliatin doang tuh bukan berarti suka beneran. Nggak semua-muanya itu dihubungin sama perasaan, Lis!”“Kalian kenal di mana? Baru join b
Persiapan UN bahkan udah dimulai sejak Matari menginjakkan kakinya di kelas 3. Setengah tahun berlalu, dia memutuskan untuk ikut bimbel di sekolah, karena biayanya jauh lebih murah dibanding di luar. Biaya itu dipakai untuk jasa yang diberikan kepada para guru honorer yang ikut serta membantu mereka. Setiap selesai kelas, pasti Matari dan Sandra udah nongkrong di kantin untuk makan siang sambil nungguin jadwal bimbel. Seperti hari itu.“Arah jam 11,” kata Sandra sambil berbisik pada Matari.“Apaan?” tanya Matari bingung.“Anak baru, seragamnya beda, mau pindahan sini kayanya. Perasaan sekolah ini banyak banget nerima anak baru,” jawab Sandra sambil menunjuk sebuah mobil yang datang dari arah gerbang.Matari menatap mobil kijang kapsul itu dengan lekat-lekat. Di samping mobil itu, ada seorang anak laki-laki seusia dengannya. Badannya tinggi, berkulit putih dan berkacamata. Rambutnya di