Desember 2000
Matari memakai sarung tangan ekskul panahnya saat Abdi mendekat. Saat itu ekskul panahan akan mulai beberapa saat lagi.
“Lo lagi sibuk, Ri? Ekskulnya belum mulai kan?” tanya Abdi sambil memperhatikan Matari.
Matari merapikan anak panahnya dengan cepat. Pembina ekskul, Pak Adnan sudah tampak mengumpulkan peserta ekskul di kejauhan.
“Elo nggak main bola?” tanya Matari, tanpa menjawab pertanyaan Abdi sebelumnya.
“Minta nomor rumah lo dong, Ri.” jawab Abdi sambil mengambil bolpoinnya dari saku celana biru tuanyanya.
“Hah? Buat apaan? Tumbennn…” sahut Matari heran.
“Enggak, cuma mau nanyain soal mading.” kata Abdi.
Matari mengerutkan keningnya, kemudian menyebutkan nomor telepon rumahnya dengan cepat. “Udah ya, gue ekskul dulu.”
**************************************************************************
Keesokan harinya Matari tidak masuk sekolah. Malam sebelumnya dia demam setelah ekskul panahan selesai.
Seperti biasa, Eyang Putri memarahinya namun belakangan, tetap menyuruh Mbok Kalis merawatnya dengan sungguh-sungguh. Membawakan makanan, membuatkan bubur, memijat dan mengerokinya dengan pelan-pelan.
Menjelang siang, Eyang Putri tidak terdengar suaranya. Matari tahu, biasanya siang hari di minggu ketiga, setiap bulan, Eyang Putri pergi arisan. Arisannya sih sore, tapi Eyang Putri selalu membantu siapapun yang mendapat giliran rumahnya dipakai untuk arisan. Entah menyiapkan kue, membuatkan gelas-gelas berisi teh, merapikan dan menyapu rumah dan lain sebagainya.
Dan saat itulah Tante Dina masuk ke kamarnya bersama Sandra. Matari ingat, ini hari Jumat, Sandra sudah pulang lebih awal.
“Gimana, masih sakit, Nak?” tanya Tante Dina lembut, mendekati kasur tempat Matari tiduran.
“Lumayan, Tante.”
“Coba Tante cek suhu kamu ya. Kalau besok masih demam, kita ke dokter. Nanti Tante yang setirin. Besok kan Sabtu, Tante nggak kerja.” kata Tante Dina.
Tante Dina mengecek suhu dengan cekatan. Hal yang sudah biasa dilakukannya karena selama ini selalau mengurus Om Budi yang telah menderita diabetes bertahun-tahun. Om Budi sendiri masih terbaring lemah di kamar utama.
“Masih di angka 39. Kamu nggak papa? Apa yang dirasain? Kamu mau makan apa? Nanti biar Tante dan Sandra cariin.” kata Tante Dina lagi.
Matari cuma tersenyum lemah. “Nggak pengen apa-apa, Tante. Nanti biar Mbok Kalis aja yang antar.”
“Nggak bisa begitu, woi. Mendingan nurut nyokap gue deh, Ri. Justru Papa bisa dititipin ke Mbok Kalis sebentar. Papa udah baikan kok. Palingan seminggu lagi Papa bisa masuk kerja lagi ya, Ma?”
Tante Dina cuma tersenyum. “Nggak papa, Ri. Besok pagi kalau masih demam, Tante anter ke dokter. Nanti biar Tante yang bantu bilang sama Eyang.”
Matari cuma mengangguk pasrah.
Setelah berbasa-basi sebentar Tante Dina keluar dari kamar tidur Matari. Beliau selalu datang saat makan siang, mengecek keadaan suaminya. Kemudian kembali ke kantor lagi.
Sandra kemudian langsung tiduran dengan seenaknya di sebelah Matari sambil mengambil majalah An*ka Yess! milik Bulan dan membacanya sekilas-sekilas.
“Gue heran sama Eyang Putri ya, sekarang dia emosional banget ya? Dulu, tiap kali cuma main ke sini atau lebaran kayanya dia jarang marah tuh. Tapi sejak gue tinggal ama dia. Baru tahu gue kalo nada bicaranya tinggi juga. Apalagi kalau ngomong sama Mama. Sadis banget. Mentang-mentang sama menantu. Kesel banget gue.” kata Sandra membuka pembicaraan.
“Gue kan biasa ya makan depan tv sambil kakinya naik. Karena di rumah Mama juga nggak ngomel gue makan depan tv kaya gitu. Si Eyang Putri marah banget, katanya cewek harus tahu sopan santun. Anjiiirrrr, ini kan gue ya nggak bakalan bersikap kaya gitu kalau ada tamu atau di luar rumah.”
Matari terkekeh. “Makanya, gue selama ini, cuma mau makan kalau pas malam aja di rumah. Selain itu paling-paling hari minggu aja gue yang ikutin table manner. Tapi ini rahasia ya.”
“Eyang Putri kenapa sih, Ri?”
“Nggak tahu juga gue. Mungkin sejak kedatangan gue ama Bulan jadi kaya gitu. Kalau pas lebaran ya mungkin dia karena seneng, anak-anaknya pada pulang. Semua orang melayani dia. Mungkin lho yaaaa….”
“Jangan ngomong gitu dong. Nggak ada yang mau kali nyokap lo pergi secepet itu.”
“Yaaa, sama yang kaya lo rasain dulu. Gue pun merasa kalau pas dulu Eyang Putri baik banget. Apalagi pas masih ada Eyang Kakung. Inget nggak, dia kan hobi masak masakan Belanda, dulu jaman masih ada Eyang Kakung sering banget bikinin poffertjesdan kroket belandanya, rasanya juarak banget! Sekarang? Boro-boro. Masak sayur yang gampang aja ngomel-ngomel. Padahal Mbok Kalis banyak bantuin tuh.”
“Bener! Bener banget. Eyang Putri beda banget. Udah gitu gue kan sering kesiangan karena malam begadang nonton bola nemenin Papa, dia marah-marah. Papa sampe ngebentak Eyang Putri kemarin itu.”
“Oya?”
“Iyah. Dia bilang gini: Bu, udah biarin aja, namanya anak-anak masih labil. Kita yang dewasa harus pelan-pelan membimbing. Padahal Papa masih sakit tuh, ngebentak emaknya kaya gitu coba?”
“Trus?”
“Eyang Putri mana berani sama Papa. Tapi kalau Papa tidur ya marah-marah lagi. Elo sih ekskul mulu.”
“Maklum lagi sibuk. Eyang itu kalau gue sibuk karena acara sekolahan ngga protes. Makanya gue pun sering makan siang di sekolah aja. Males, kalau makan siang di rumah suka diomelin, katanya makan kok bunyi ngecap cap cap? Apa tuh cewek makan kok duduknya ngangkang? Hadehhhh, setreesss gue…”
“Kabur lu yeee…?”
“Ya elu kenapa ngga nongkrong, biasanya anak pramuka SEJATI kan lu!”
“Mana bisa, Papa lagi kaya gitu. Gue sadar dirilah.”
“Eh, lupa. Iya sih…”
“Ekskul lu masih panahan?”
“Masih. Sebenarnya Eyang agak kurang suka. Agak ya, gue bilang. Karena Eyang Kakung dulu hobi panahan juga, makanya dia nggak terlalu protes. Untung gue nggak gabung ekskul basket. Pasti bakalan diomelin karena bisa bikin itemlah, bau asem lah, keringatanlah dan lain-lain.”
“Bukannya panahan tu panas-panas juga ya?”
“Kagak, di sekolah gue di indoor sih. Soalnya lapangannya sering dipake anak basket ama anak sepakbola. Belom ekskul paskib nyempil Latihan.”
“Ada kejuaraannya nggak sih?”
“Ada. Tapi biasanya anak senior yang diikutin. Gue masih pemula sih. Tapi asik kok.”
“Ya, ya, ya… Udah, lo istirahat dulu. Nggak usah peduliin gue di sini.”
Matari tersenyum. Kemudian memejamkan matanya. Ada sedikit rasa senang di hatinya semenjak kehadiran Sandra. Mungkin karena seusia, jadi dia cukup bisa nyambung dengan berbagai macam topik anak seusia mereka.
***
Hari Sabtu pagi, Matari masih demam, meskipun sudah turun di kisaran 38 derajat. Untuk itu, Matari masih izin sakit di sekolahnya. Tante Dina mengantarkan dirinya ke dokter. Eyang Putri ikut serta.
Menjelang siang, Matari sudah merasa jauh lebih baik dan memutuskan untuk duduk di halaman belakang sambil memperhatikan ikan-ikan koi di kolam.
“Neng, udah baikan?” tanya Mbok Kalis sambil memberi makan ikan koi kesayangan Eyang.
“Lumayan, Mbok. Tinggal pusing sedikit. Tadi di kamar keringatnya keluar semua. Jadi cari angin di sini.”
“Kemarin siang, ada anak laki pakai seragam SMP deh, Neng, lewat di depan rumah, terus nanya sama Mbok, kan si Mbok lagi kebetulan abis dari warung. Nanya beneran rumahnya Matari Ayulaksmi Soedjojo bukan?”
“Oh ya? Kaya apa anaknya Mbok?”
“Lupa, Neng. Ya kaya anak laki seumuran Neng aja, hahahah.”
Matari menggeleng-gelengkan kepalanya, antara kesal dan geli dengan jawaban polos Mbok Kalis. “Trus nggak disuruh masuk?”
“Nggak, Neng, kayanya nggak berani kali sama Eyang. Tapi dia sempet tanya sakit apa? Si mbok jawab aja demam, meriang, nggak enak badan.”
“Trus?”
“Udah, kaya orang bingung gitu sih. Dua orang anak laki sebenernya. Cuma yang satu diem aja.”
Matari bingung dan sama sekali tidak punya pikiran siapa yang datang menanyakannya. Apalagi Mbok Kalis tidak benar-benar hapal ciri-cirinya.
***************************************************************************
Hari Minggu sore, Matari meminta izin pada Eyangnya untuk memakai telepon menanyakan PR untuk hari Senin, mengingat hari Jumat dan Sabtu dia tidak masuk sekolah.
“Jangan lama-lama ya.” Kata Eyang Putri.
“Yaelah yang, kaya interlokal aja. Paling sesama DKI.” Timpal Sandra dari depan tv.
“Heiii, ini berlaku buat kamu juga. Semua orang di rumah ini. Pokoknya tagihan telepon nggak boleh di atas 100RIBU, titik!” sahut Eyang Putri.
“Yang, justru kaya kita-kita ini telepon sejam juga masih murah. Temen-temen kita kan area sini semuanya. Kalau Eyang Putri, telepon Tante Marini aja bisa sejam, Banjarmasin tuh. Belum ke Om Wiryo, kadang nelepon ke HPnya.” tandas Sandra lagi.
“Kamu ya, jawab terus. Hei, sejam murah juga kalau keseringan jadi mahal. Emang kalian udah bisa menghasilkan uang sendiri? Bobok aja masih pada ditemenin.” kata Eyang Putri lagi.
“Enak aja, Sandra mah kalo di rumah tidur sendiri, Yang. Di sini doang aja bareng-bareng.” Sahut Sandra lagi.
“Sudah, SANDRA! CUKUP! Kasihan tuh si Matari mau nelepon temennya nanya PR jadi lihat kamu berantem dulu.” kata Tante Dina.
“Kasih tahu, Din, anakmu. Pasti sifat jelek nurun dari Mamanya ya? Anakku semuanya nurut.”
“Eyang Putri, sudah. Sudah. Kasihan tuh si Matari, sampe diem bengong gitu. Matari, ini kunci gembok teleponnya. Jangan lama-lama ya.” ujar Tante Dina.
Pada sekitar tahun 2000an, telepon rumah biasanya bisa dikunci atau ditambahkan kotak aklirik lengkap dengan gembok, agar pemilik dan anggota keluarganya tidak bisa leluasa menekan tombol nomor untuk menghubungi orang lain dan mengontrol pengeluaran telepon rumah yang bisa membengkak. Beda dengan jaman sekarang hampir semua orang punya telepon pribadi yaitu handphone.
“Halo? Lisa, sorry, besok ada PR nggak?” tanya Matari saat Lisa sudah mengangkat teleponnya.
Meskipun Lisa tidak pintar dalam mata pelajaran apapun, ingatan dia untuk tugas dan PR cukup baik. Hanya tidak pernah bisa mengerjakannya saja.
“IPS Sejarah, buka halaman 31, di situ ada essay itu dikerjakan. Terus Bahasa Indonesia di LKS (Lembar Kerja Siswa) dari hal 11 sampe 12. Semua.” Sahut Lisa.
“Banyak banget, Lis. Lu udah?”
“Belom. Lagi make kutek gue. Ntar aja, nunggu mood. Lu gimana, udah baikan? Besok masuk?”
“InshaAllah masuk, tapi kayanya sih nggak ikut upacara dulu.”
“Ikut dong, gue lagi mau dateng bulan. Nyeri. Ke UKS aja yuk?”
“Gue sih ada surat dokter. Lo emang bisa ngeles ke Bu Jen, penjaga UKS?”
“Nggak bisa, dia galak. Hmmm ya udah deh, gue tidur cepet aja kalau gitu.”
“PR lo?”
“Kerjain sebisanya aja. Besok datang pagi, mau nyontek punya Haidar.”
Haidar adalah anak paling pintar serta rajin di kelas mereka. Dan selalu datang paling pagi. Dan tidak pernah pelit berbagi jawaban PR.
“Gue juga deh.”
“Ya ampun, lo aja kemarin rangking 3. Masih mau nyontek?”
“Otak gue mampet banget, Lis. Gara-gara sakit.”
“Gue sih mampet terus, Ri, hehehe.”
“Matari, nggak usah banyak bercanda! Besok di kelas juga ketemu.” Suara Eyang Putri mengagetkan Matari.
“Udah, udah, tutup aja. Ntar panjang urusannya, Ri.” kata Lisa akhirnya yang sepertinya mendengar hardikan Eyang Putri.
“Iya, udah dulu ya, Lis. Thank you infonya.”
***************************************************************************
Senin itu, meskipun mendung dan hampir pasti akan hujan, upacara tetap berlangsung. Ruang UKS sudah penuh dengan anak sakit. Maklum, musim sakit FLU. Maka, Matari akhirnya hanya duduk di bangku panjang depan kelasnya. Wajahnya tampak pucat, setiap guru yang sedang keliling untuk patroli apakah ada anak yang diam-diam tidak ikut upacara, tidak perlu lagi menanyakan alasannya. Bahkan mereka menawarkan untuk menunggu di ruang Pramuka saja yang ada kasurnya. Namun Matari enggan, ruang Pramuka terkenal angker dan gelap.
Jaketnya dirapatkan. Udara Jakarta pagi itu begitu dingin baginya.
Setengah jam berlalu. Suara riuh di kejauhan menandakan upacara telah selesai. Beberapa anak mulai berlalu lalang melewatinya. Beberapa menanyakan keadaannya. Beberapa duduk di sebelahnya.
Sampai akhirnya Lisa datang.
“Aduh, kemarin lo nggak masuk dua hari. Sekarang gantian si Thea.”
“Lagi musim, Lis.” kata Gilang, wakil ketua kelas mereka. “Hari ini ada 3 anak yang nggak masuk. Thea, Rifki dan Opan. Semua sakit.”
“Lo masih pucet gitu, yakin mau lanjut sampe siang?” tanya Lisa pada Matari.
“Gue kalau di rumah tuh tambah sakit. Eyang marah-marah mulu. Bisa nggak sembuh-sembuh gue.” sahut Matari disambut derai tawa Lisa.
Abdi tiba-tiba datang mendekat. Menyerahkan susu kotak kecil pada Matari.
“Nih, buat lo.” kata Abdi sambil menyerahkan susu itu.
“Ciyeee, Abdi….” kata Gilang diikuti beberapa anak lain.
“Bukan, bukan dari gue. Sumpah!”
Matari tampak bingung sambil menerima susu itu. “Oke, makasih ya. Tapi dari siapa, Di?”
“Sumpah! Bukan gue. Kalian kok ngeliatinnya gitu sih.”
“Heiiii, kan elo juga kemarin Sabtu nanyain Matari udah masuk belum?” sahut Gilang sambil tersenyum jahil.
“Tapi bukan gue yang nanya. Gue cuma bantuin orang.” timpal Abdi sambil berbalik ke kelasnya.
“Eits, tunggu dulu, jagoan. Kasih tahu dong, siapa yang ngasih?” tanya Lisa sambil berusaha menghalangi Abdi.
“Nggak bisa sekarang. Nanti kalau udah saatnya gue kasih tahu deh, janji!” kata Abdi sambil berlalu cepat-cepat.
Lisa duduk di sebelah Matari yang tampak bingung. “Wah, gue yang wira-wiri di majalah Gadis, elo duluan yang ada pemuja rahasia.”
Matari menatap Lisa dengan bingung. “Hahaha, siapa ya, Lis?”
Matari menatap ruang ekskul Mading yang sepi seperti biasanya. Hanya ada Kak Citra yang sedang mengobrol dengan Kak Nana. Kak Seno tak terlihat di manapun. Bahkan Echa.“Itu dia, Matari. Gimana Ri? Denger-denger lo abis sakit ya?” tanya Kak Citra.“Si Seno pake bilang Matari kecapekan ngurus mading. Kita jadi enggak enak. Maap ya, Ri. Gue sekarang udah nggak akan bolos ekskul lagi, kok.”Matari tersenyum. “Bukan, Kak. Emang lagi drop aja.”“Oh iya, tadi Abdi nitipin ini buat lo. Roti sama susu kotak. Duh, enaknyaaaaa punya temen baik banget.” kata Kak Citra.Matari menatap merk susu kotak yang sama yang diberikan Abdi hari Senin kemarin lusa. Roti yang diberikan pun roti yang bukan dibeli di koperasi atau kantin sekolah. Orang yang memberikannya pasti terlalu niat sampai membeli produk di luar sekolah.“Sekarang Abdinya mana, Kak?” tanya Matari lagi.“Udah main bola lag
Rembulan menatap adiknya lekat-lekat.“Siapa? Siapa? Coba ulangi!” tanya Bulan heran.“Iko, Kak. Kakak tahu nggak?” ulang Matari sambil tersenyum lagi.“Iko siapa? Siapa nama panjangnya?” tanya Bulan lagi.“Nggak tahu, Kak. Pokoknya dia tetangga kita yang rumahnya gede banget itu. Yang warnacream, yang ada keliatan kolam renangnya.” sahut Matari.“Maksud lo, dia tinggal di rumah Bu Indira? Tetangga kita?”“Iyah. Dia anaknya.”“Gue nggak tahu Iko yang mana. Tapi gue tahu anak Bu Indira yang satu lagi. Mungkin kalo sekarang masih hidup, udah mau lulus kuliah kali ya. Dulu kan meninggal gara-gara balap liar kan di jalan besar sana. Heboh banget dulu. Gue masih SMP. Tapi Eyang bantu Bu Indira banget sih waktu pemakaman. Ibu juga datang ke pemakaman. Gue waktu itu disuruh jagain lo. Cuma gue nggak tahu namanya.”“Abangnya Iko itu
Saat tahun 2000-an, seperti beberapa orang di zaman sekarang, hampir semua remaja gemar mengirim salam lewat radio dan memesan lagu untuk diputarkan setelah pesan diucapkan oleh si pembawa acara. Tak terkecuali Thea. Dia hampir setiap hari memesan lagu untuk Kak Ben. Entah Kak Ben dengar atau tidak, tapi, Thea selalu merasa puas mengirimkan pesan dan lagunya lewat radio Prambors, radio yang digemari Thea dan teman-temannya saat itu.“Lo beneran nggak mau kirim salam buat Iko, Ri?” tanya Thea saat mereka berempat mengerjakan tugas kelompok bersama di rumah Lisa.Lagu yang dipesan oleh Thea: “Baby One More Time” nya Britney Spears mengalun di radio.“Iko? Siapa?” tanya Gilang, salah satu anggota kelompok mereka yang terpaksa bergabung karena harus genap sesuai jumlah kelompok yang diinformasikan Bu Tasya, guru Bahasa Indonesia mereka.“Gebetannya Matari, Gilang.” Sahut Lisa.“Loh terus Abdi dikema
Sabtu itu hujan deras sepanjang hari sejak mata pelajaran pertama. Matari menatap sepedanya dengan kesal. Dia bingung harus bagaimana.“Kenapa lo?” tanya Lisa.“Bingung gue, gimana pulangnya?”“Ya pulang tinggal pulang aja kan. Lo kan selalu bawa payung.”“Sepeda gue?”“Gampang, bareng aja sama gue. Tapi agak telat ya. Supir gue masih otw. Nanti sepeda lo masukin ke mobil aja.”Matari memeluk Lisa. “Entah gimana tanpa lo, Lis.”Lisa memutar bola matanya. “Kaya sama siapa aja. Lagian mendingan musim ujan elo kurangin bawa sepeda deh. Kejadian gini bakalan ada lagi tahu, nggak. Untung Sabtu gue nggak les. Coba kalo pas gue lagi nggak bisa nolongin elo.”“Ya paling gue nungguin sampe hujan kelar.”“Kalo kelarnya malem? Gila lo. Gue sih ogah sendirian di sekolah malem-malem.”“Iya juga ya.”&l
Januari, 2001Suara Tante Dina menangis, membuat Matari terbangun. Hari itu, seingatnya adalah Hari Minggu di awal bulan Januari yang cukup menguras emosi seluruh anggota keluarga di Rumah Eyang Poer.Matari duduk di kasurnya. Kakak dan Sandra tak tampak di manapun. Dia melihat jam weker di meja kakaknya yang menunjukkan pukul setengah 7 pagi.“Matari, ayo bantu-bantu. Pakai baju muslim kamu yang warna putih," kata Bulan, lirih dan sendu menjadi satu.Tiba-tiba Bulan masuk, rambutnya masih tampak berantakan dan segera membuka lembari pakaian.“Kenapa, Kak?” tanya Matari kebingungan.“Tengah malam, Om Budi drop. Subuh tadi, Ayah bangunin gue dan Sandra untuk menemani Tante Dina yang baru datang dari Rumah Sakit. Om Budi meninggal sebelum subuh di Rumah Sakit. Jenasah baru saja datang. Sandra sudah siap di depan. Lo sikat gigi, wudhu, cuci muka, ganti baju muslim putih yang kembaran sama gue. G
Jumat sore yang ditunggu Matari tiba. Setelah selesai ekskul Pramuka, topi pramukanya dia letakkan dengan sekadarnya di keranjang sepeda kemudian bersandar di dekat possecuritySMP. Dia melihat ke arah datangnya Iko. Namun cowok berambut Ikal dan berkulit terang itu belum Nampak sama sekali.“Nungguin siapa, Ri?” tanya Davi, kali ini dia berjalan dengan canggung, mendekat ke arah Matari.Abdi hanya mengawasi dari beberapa meter saja.“Temen.”Davi hendak bertanya siapa, namun diurungkan niatnya.“Hmmm, gitu. Gue temenin boleh?”“Boleh. Tapi kalo dia dateng gue langsung cabut, nggak papa?”“Iya, nggak papa. Sini, Di. Jangan di situ dong kaya patung aja.”Abdi menggeleng dengan mantap sambil menjulurkan lidahnya.“Nggak mau ah. Mending gue di sini jadi patung, daripada di situ jadi obat nyamuk.”Matari dan Davi sontak langsun
Februari 2001“Kalo gue jadi lo, gue akan mendadak sakit perut. Trus nggak jadi ikut, padahal gue akan seharian di kasur pake selimut dan nangis sepuasnya.” kata Lisa berbisik di hari Senin pagi saat mereka sedang mengikuti upacara. “Terus gue akan bertanya-tanya siapa cewek itu? Kenapa bisa mengusap kepala Iko semudah itu? Kenapa Iko harus menanyakan capek nggak terus-terusan sama dia? Menurut lo? Ya capeklah! Kita itu ngayuh sepedabro, bukan santai-santai di tepi jalan!”Matari cuma tersenyum tipis. Matari menatap Thea yang berdiri dua baris di depannya. Sebagai anak bertubuh jangkung, Matari dan Lisa berdiri di deretan murid perempuan bagian belakang, hampir sejajar dengan deretan murid laki-laki. Thea menoleh dan menatapnya, menatap dengan tatapan ikut menyesal atas apa yang terjadi antara dirinya dan Iko kemarin.“Mana bisa? Gue kalo seharian di kasur dan pake selimut akan diomelin sama
Davi menghentikan Lisa yang sedang membayar dua buah aqua botol di kantin. Aqua itu akan diberikannya pada Matari yang sedang berlatih menyanyi di ruang ekskul mading.“Apa sih, Dav? Kaget gue! Gue lagi bayar nih!” bentak Lisa sambil tetap memakan lolipopnya.“Kalian ke mana aja sih? Ekskul mading sama Panahan juga nggak keliatan?” tnya Davi heran."Eh, kalian-kalian… Matari doang kali maksudnya?” tanya Lisa.“Iya, iya, si Matari maksud gue. Ke mana sih dia? Kok nggak keliatan? Masuk kan? Gue telepon ke rumahnya Mbok… mbok siapa itu yang ngangkat teleponnya mulu. Bahkan Sabtu aja dia nggak ada.”“Mbok Kalis maksud lo? Iyaaa dia lagi sibuk persiapan buat lomba puisi.”“Dia ikut? Kayanya nggak ada namanya deh di daftar peserta yang ditempel sama si Ben.”“Emang. Bukan sebagai peserta.”Lisa tiba-tiba mendadak punya ide untuk memberikan sur
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak
Tak banyak yang tahu kalau Matari suka banget kucing. Saat dulu masih tinggal di rumah lama, Matari memelihara beberapa kucing bersama Ibunya. Saat di rumah Eyang Putri pun, dia kerap memanggil kucing-kucing lewat dan memberikan makanan sisa rumah mereka. Mbok Kalis pun sering melakukan hal yang sama karena majikan kecilnya menyukainya.Suatu sore, dia sedang bermain bersama kucing liar di teras rumahnya. Hari itu hari Sabtu sore. Jadwal bimbel tidak ada. Sehingga Matari bebas untuk melakukan apapun di rumahnya. Eyang Putri sedang arisan. Mbok Kalis sedang mempersiapkan makan malam sekaligus memasak nasi. Hari ini, Kak Bulan akan pulang. Dan menginap sampai Senin pagi.“Kak Matari?” seseorang menyapanya dari luar pagar.Matari mendongak. Dan mendapati Arga di sana. Dia masih memakai seragam basket yang basah di bagian punggungnya. Tas gym mahalnya tampak penuh dengan bola dan
“Tahu nggak, di ekskul basket ada anak baru join. Ganteng. Bersiiiih banget, lalet nempel kepleset kayanya,” kata Thea disuatu hari saat mereka semua sedang makan di kantin saat jam istirahat.Tahu gue, anak kelas 2 F kan? Namanya Arga kan?” tebak Sandra sambil mencomot cimol dengan lahap.“Lahhhh, kok udah tahu duluan lo? Jangan-jangan udah ada yang ngincer ya, di antara kalian?” tanya Thea kaget.“Kaga ada yang ngincer. Kita baru sebatas cuma suka ngeliatin doang. Nyegerin mata ya nggak, Ri?” timpal Sandra sambil tertawa.“Seriusan lo? Ama adik kelas?” ledek Lisa. "Bukannya nyari level di atas kita, malah downgrade lo!”Matari terkekeh. “Anjir, kagak! Kita aja baru kenal! Lagian ngeliatin doang tuh bukan berarti suka beneran. Nggak semua-muanya itu dihubungin sama perasaan, Lis!”“Kalian kenal di mana? Baru join b
Persiapan UN bahkan udah dimulai sejak Matari menginjakkan kakinya di kelas 3. Setengah tahun berlalu, dia memutuskan untuk ikut bimbel di sekolah, karena biayanya jauh lebih murah dibanding di luar. Biaya itu dipakai untuk jasa yang diberikan kepada para guru honorer yang ikut serta membantu mereka. Setiap selesai kelas, pasti Matari dan Sandra udah nongkrong di kantin untuk makan siang sambil nungguin jadwal bimbel. Seperti hari itu.“Arah jam 11,” kata Sandra sambil berbisik pada Matari.“Apaan?” tanya Matari bingung.“Anak baru, seragamnya beda, mau pindahan sini kayanya. Perasaan sekolah ini banyak banget nerima anak baru,” jawab Sandra sambil menunjuk sebuah mobil yang datang dari arah gerbang.Matari menatap mobil kijang kapsul itu dengan lekat-lekat. Di samping mobil itu, ada seorang anak laki-laki seusia dengannya. Badannya tinggi, berkulit putih dan berkacamata. Rambutnya di