Padma tak tahu kenapa ia harus merasa malu hingga wajahnya merona—tapi itulah yang terjadi sekarang.
Tangannya menerima plastik besar tersebut dan memangkunya. Tumpukan lima kotak donat tersebut untungnya belum menghalangi pandangannya.
“Thank you.” Padma mengangguk dan tersenyum. Bisa dibilang ini memang pertama kalinya ia menginginkan sesuatu sejak ada di Jakarta.
Selama hamil, setelah kepergian Catra Padma sudah tidak merasakan morning sickness lagi. Biasanya Catra-lah yang akan membantunya menyingkap rambut ketika ia mengeluarkan kembali apa yang ia makan di pagi hari.
Entah Padma harus senang atau sedih begitu morning sickness-nya hilang ketika Catra sudah pergi.
Setelahnya, ia ha
Padma melangkah keluar dari mobilnya dengan gamang. Rasanya seperti mimpi ketika tiba harinya ia pergi ke dokter kandungannya dan… sendirian.Dulu Padma hanya sempat pergi dengan Catra sekali, tak lama setelah hasil dari testpack menyatakan kalau Padma positif hamil. Setelahnya, Catra pergi dan kini ia sendirian.“Saya tunggu di parkiran ya, Bu,” ucap sopir yang mengantar Padma. “Nanti kalau udah mau selesai, Ibu kabarin saya aja jadi saya standby di depan lobi.”“Iya, Pak. Saya mungkin agak lama karena harus antre. Nanti Bapak bisa minum sama makan dulu ya.”“Siap, Bu.”Padma melangkah menuju koridor yang sudah ia hafal meskipun baru sekali mengunjunginya. Benar saja, antreannya agak ramai.Padma sudah menduganya karena dokter ini cukup dikenal banyak orang, jadi ia mengeluarkan buku dari tasnya dan mulai membaca setelah mendapat nomor antrean.Ia mencoba menahan diri untuk tidak melihat ke sekitar di mana ada beberapa pasangan yang juga tengah mengantre. Seandainya Catra di sini, le
“Asa kenapa?”Lita menggeleng. “Saya juga nggak tahu, Bu. Tapi dari kemarin emang Den Asa agak lebih banyak melamun. Saya ajak ngomong pun nggak diperhatiin.”“Apa karena saya nggak ke sini?” Padma memang harusnya ke rumah Badai kemarin, tapi ia mengatakan pada Asa kalau kemarin ia tidak bisa datang dan Asa terlihat mengerti.Padma memang tidak memberi tahu Badai, Asa, atau siapa pun mengenai jadwalnya bertemu dokter kemarin.Untuk kali ini saja ia memilih menutupnya dari siapa pun, kecuali ibu mertuanya yang memang sudah lebih dulu tahu jadwalnya karena beliau dan ibunya lah yang merekomendasikan dokter tersebut.“Bisa jadi sih, Bu. Tapi pas paginya Den Asa belum begini kok.”“Hm….” Padma menaruh tasnya di sofa ruang tengah. “Coba saya tanya dulu kali ya.”“Boleh, Bu. Saya buat minuman dulu buat Ibu ya.”Sebelum Padma mencegah Lita, perempuan itu sudah lebih dulu bergegas ke dapur. Padahal Padma bisa minum nanti saja. Tapi daripada mempermasalahkan hal itu, Padma memilih mendekati As
“Kupikir kamu nggak pernah mau keluar bareng aku.”“Eh?” Jujur saja, Padma tidak menyangka kalau Badai akan mengatakan hal tersebut. “Kok kamu bisa mikir begitu?”Badai mengedikkan bahunya. “Aku tahu kamu selalu berhati-hati sejak kita… nggak bersama lagi.”Padma melirik ke arah Asa yang masih asyik dengan buku barunya. Buku itu memiliki teknologi AR di mana dengan aplikasi yang sudah diunduh di ponsel Badai, Asa bisa melihat tampilan 4D dari halaman buku yang ia scandengan aplikasi bawaan dari buku tersebut.Jadilah Asa tidak memperhatikan Badai dan Padma lagi.“Yah… kamu nggak sepenuhnya salah sih.” Padma meringis. “Aku tahu seharusnya aku nggak dengerin apa kata orang. Tapi tetep aja akan ada saatnya kamu dengerin kata-kata mereka dan kepikiran kan?”“Iya.” Badai pun mengalaminya. Sejak ia menikah dengan Anastasya hingga kini hanya hidup berdua dengan Asa, Badai sudah berkali-kali mengalaminya.“Asa yang minta kita makan siang bareng.” Padma mengatakan yang sejujurnya pada Badai. “
Dulu Padma dikenal sebagai sosok yang tak kenal dengan kata ragu. Padma adalah perempuan yang selalu tahu apa yang ia inginkan, sekolah apa yang akan ia masuki, jurusan kuliah apa yang ia incar, dan sebagainya.Tidak pernah ada yang menyetir semua keputusannya sampai kemudian ia disadarkan bahwa tidak semua keputusan yang ia buat berakhir sesuai rencananya.Seperti mengenai Badai dan Anastasya, misalnya.Sejak saat itu, diam-diam setitik keraguan terkadang muncul di benaknya. Apalagi jika berhubungan dengan Badai.“Padma?”“Aku ikut kalian aja.” Padma akhirnya memutuskan. Ketika ia melihat Asa, Padma selalu teringat tatapannya dan bagaimana kesepiannya Asa selama ini.Kalau ia bisa meredakan sedikit saja kesepiannya, kenapa tidak?Tanpa disadari, Padma mengusap perutnya dengan pelan. Akankah nanti anaknya merasakan kesepian seperti Asa?Badai tak bertanya lagi pada Padma dan memfokuskan dirinya pada sisa pekerjaannya. Sementara itu, Padma mendekat pada Asa dan ikut membaca buku kedua
“Berempat,” ulang Badai tanpa sadar selama beberapa kali.Badai bersyukur saat ini ia sendirian di lift yang akan mengantarnya ke lantai di mana ruangannya berada.Senyum tak bisa ia sembunyikan dari wajahnya ketika mengingat kembali momen kemarin, di mana ia, Asa, dan Padma naik wahana bianglala bertiga dan melihat senja di Jakarta bersama.Setelah naik bianglala untuk dua kali atas permintaan Asa, mereka makan malam bersama dan Badai mengantar Padma pulang.Perempuan itu terlihat senang meskipun agak kelelahan. Maka dari itu Badai meminta Padma untuk istirahat saja di rumah dan ia bisa bertemu Asa lagi besok.“Pak Badai,” panggil sekretaris yang hampir ia lewati begitu saja setelah menyapanya dengan senyum dan anggukan seperti biasa. “Ada tamu buat Bapak. Tadi beliau minta nunggu di dalam ruangan Bapak.”“Siapa?” Badai tak merasa punya janji temu di kantor hari ini.“Ibu mertua Pak Badai.”Satu alis Badai langsung menukik tajam mendengar jawaban sekretarisnya. Senyum pun langsung lu
“Ketemu hari ini?“Iya, kalau kamu bisa,” tambah Badai.Padma berpikir sebentar, tatapannya tertuju pada laporan keuangan bisnis katering makanan sehat yang dijalani ibunya untuk mengisi kegiatan sejak lima tahun yang lalu. “Boleh deh. Mau kapan? Jam makan siang?”“Kalau habis pulang kerja, gimana?” tawar Badai. “Kalau jam makan siang takutnya diburu-buru waktu.”“Hm… boleh.”“Tempatnya kamu yang tentuin ya. Aku oke di mana pun kamu mau.”“Oke, nanti aku kabarin kamu di mananya ya.”“Iya. Kabarin aja.”Setelah sepakat, Badai mengakhiri panggilan tersebut dan membuat melepas kacamata baca yang ia pakai. Sehari-harinya kalau sedang tak bersama Asa, Padma memang membantu ibunya mengurus katering miliknya, karena lama-lama Padma tak tahan juga kalau tidak punya kegiatan.Ibunya setuju karena Padma berjanji ia akan mengerjakan pekerjaannya dari rumah dan hanya mengerjakan apa yang ibunya minta.“Siapa?”Padma terkejut hingga tak sengaja menjatuhkan ponselnya yang tadi masih menempel di tel
“Kamu ngidam apa lagi?”Padma tertawa mendengar pertanyaan yang dilontarkan dengan begitu serius oleh Badai. Mereka baru selesai makan dan Badai sengaja tak langsung mengajak Padma keluar karena ingin Padma beristirahat dulu.Tadi sebelum bertemu dengannya, Padma menghabiskan waktunya untuk berkeliling Ranch Market. Pastilah perempuan itu lelah dan Badai tak mau Padma semakin kelelahan.“Belum kok.” Padma menjawab dengan ragu.“Kamu nggak pernah ngidam tengah malem emangnya?” tanya Badai lagi dengan penasaran. “Dulu Shua pas hamil dia ngidamnya aneh-aneh.”“Belum pernah sih ngidam malem-malem.” Padma jadi terkekeh karena mendengar nama Shua disebut. “Emang kamu pernah disuruh sama Shua beliin sesuatu?”“Pernah. Disuruh beliin bakpia dari Jogja padahal waktu itu aku lagi dinas ke Surabaya. Nggak nyambung emang ngidamnya dia.”Padma tergelak mendengar jawaban Badai. Ia tahu kalau saat hamil Janar dulu, Shua termasuk orang yang ngidamnya aneh-aneh.Padma sendiri pernah harus menemani Shu
“Hari ini Mama Padma nggak ke rumah Asa dulu, nggak apa-apa kan?”Padma sudah cemas dengan respons Asa sejak berpikir kalau hari Sabtu ini ia tidak akan main dengan anak itu. Tapi senyum dan anggukan Asa langsung menenangkan Padma yang sebelumnya harap-harap cemas.Asa memang tidak pernah memaksa atau sampai tantrum jika tidak bertemu dengan Padma di hari yang mereka sepakati. Padma tentu saja bangga pada sifat Asa yang satu itu. Tapi ada kalanya ia berpikir kalau Asa mungkin bersikap lebih dewasa dibanding usianya saat ini.“Besok kita main lagi ya. Mama Padma kemarin beliin buku sama mainan buat Asa, besok Mama bawain.”Asa sudah melonjak kegirangan dan lari dari hadapan ponsel Badai di mana mereka tengah video call. Padma tergelak melihat reaksi Asa yang selalu senang jika dibelikan buku olehnya.“Asa lagi sibuk lari-larian tuh di kamarnya.” Kali ini wajah Badai yang muncul di layar ponsel Padma. “Kamu jadi investor rak mainannya Asa bareng temen-temenku.”“Nggak apa-apalah, aku se
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec