“Aku akan tidur sama laki-laki mana pun yang pertama kali datang ke sini.”
Ucapan penuh tekad itu diucapkan oleh Padma Hardjaja sebelum menenggak minumannya dengan barbar.
Selain perempuan seksi yang ingin bersenang-senang, biasanya di klub juga sering ditemukan perempuan patah hati seperti Padma.
Sudah sebulan ia berusaha baik-baik saja setelah mengetahui kekasihnya memilih menikah dengan seorang janda kaya, tapi sampai saat ini lukanya benar-benar masih menganga.
Ternyata Papa benar, batin Padma dengan setengah hati. Galih hanya mau uang, makanya dia pacaran denganku.
Saat isi botolnya sudah habis tak bersisa, Padma pun memanggil bartender. “Satu botol lagi, please.”
Sang bartender sudah ingin menolak karena Padma terlihat sudah sangat mabuk, tapi melihat tatapan tajam yang masih bisa diberikan Padma, bartender itu mengurungkan niatnya dan memberikan apa yang Padma pinta.
Di sisi lain The Clouds yang merupakan klub malam paling ramai dikunjungi itu, ada ruangan VIP di lantai dua yang diisi enam lelaki dengan tiga kriteria yang sama—tampan, mapan, dan jantan, incaran kaum hawa yang sering datang ke The Clouds.
“Tantangannya nggak sulit kok. Cukup tiduri perempuan itu. Kalau dia menolakmu, maka semua minuman kita harus digratiskan selama satu bulan ke depan.”
Badai Tanaka langsung mendengus mendengar tantangan dari permainan konyol seperti spin the bottle yang mereka jalani saat ini. Ia melihat ke layar ponselnya yang terhubung dengan jaringan CCTV.
Teman-temannya yang sialan itu menunjuk satu-satunya perempuan yang tengah duduk sendirian di bar. Di sekelilingnya, ada banyak lelaki yang menatapnya dengan penuh minat tapi sepertinya tak berani mendekati perempuan itu.
“Dia, tiduri dia,” ulang teman Badai sekali lagi. “Rayu dia dalam lima belas menit, ajak dia tidur bersamamu. Kita pantau dari sini.”
“Dasar otak selangkangan,” maki Badai sambil menenggak minumannya dan berdiri dari duduknya.
Tapi tak urung Badai pun menuruti tantangan konyol tersebut. Kebetulan sekali, sudah hampir dua minggu ia tak menyalurkan hasratnya karena pekerjaannya sangat banyak. Belum lagi ia harus terus menerus menolak dorongan ayahnya untuk mengambil alih perusahaan mereka.
Jualan jamu? Yang benar saja! batin Badai saat kembali mengingat permintaan sang ayah.
Begitu turun ke lantai satu The Clouds, Badai segera berjalan menuju area bar. Ia menyapa beberapa orang yang ia kenal dan menolak dengan halus ajakan perempuan-perempuan cantik di sekitarnya.
Lelaki itu menatap perempuan yang duduk membelakanginya. Saat ia mendapati seorang lelaki tua dan berperut buncit ingin menyapanya, Badai segera mendorong bahu lelaki itu agar menjauh dan memberi tatapan ‘perempuan ini milikku’ padanya.
Enak saja, ia tak mau mengalah pada lelaki itu! Badai harus berhasil menjalani tantangan ini kalau tidak mau diperas habis-habisan oleh teman-temannya.
“Hai, Cantik,” sapa Badai sambil duduk di sebelah bar stool yang kosong.
Perempuan berambut lurus hitam legam itu langsung menoleh padanya dan terkejut. “Hai,” sapanya. Walau begitu, Badai bisa menilai kalau perempuan itu gugup.
“Sendirian?”
“Yap, as you can see.”
“Bisa-bisanya perempuan seperti kamu sendirian?”
“Memangnya aku perempuan seperti apa?”
Badai memanggil bartender dan memesan minuman untuknya lagi. Ia perhatikan, perempuan itu sepertinya sudah minum cukup banyak. “Cantik dan nggak pantas ditinggalkan sendiri,” jawab Badai.
Padma harusnya tahu, keahlian nomor satu bagi lelaki seperti Badai adalah berkata-kata manis hingga membuat siapa pun yang mendengarnya terlena begitu saja.
Tapi efek patah hati yang dikombinasikan dengan alkohol rupanya menumpulkan insting Padma. Padma malah tersenyum dan menopang pipinya dengan tangan kiri hingga ia bisa benar-benar menatap ke samping—ke arah Badai.
“Kamu bohong,” kata Padma dengan nada merajuk. “Buktinya Galih meninggalkanku cuma demi seorang janda kaya.”
“Lelaki itu sudah jelas brengsek, kenapa kamu harus bersedih karena dia?” Badai menyentuh wajah Padma dan terkejut saat tangannya seperti disengat oleh listrik statis.
Ketika Badai bisa melihat dengan lebih jelas, Padma benar-benar sangat cantik dan membuat Badai heran, apa temannya yang memilih perempuan ini untuk tidur dengannya benar-benar melihat wajahnya?
‘Baik’ sekali mereka jika mereka memang sengaja memilihkan perempuan seperti dewi ini untuknya.
“Karena dia pacarku!”
“Masih jadi pacar?” Kini Badai jadi penasaran.
“Nggak, udah putus.” Padma memicingkan matanya. “Kamu siapa sih? Kenapa mengorek informasi tentang aku?”
“Oh, aku orang yang dikirimkan Tuhan untuk menyembuhkan patah hatimu.” Badai kembali menelusuri wajah Padma dan ibu jarinya berhenti di bibir.
Padma menahan napasnya saat mendapati tatapan Badai kini jatuh pada bibirnya. Kalau ia sedang tak mabuk, pastilah heels-nya sudah melayang ke wajah tampan lelaki di sampingnya ini.
Tapi… Badai adalah lelaki pertama yang mendatanginya di sini dan Padma langsung teringat ikrarnya beberapa waktu yang lalu.
Tanpa sadar, Padma menempelkan bibirnya di ibu jari Badai dan Badai malah menangkap hal tersebut sebagai ‘kode’ untuknya.
Badai menunduk dan menyingkirkan ibu jarinya dari bibir Padma supaya ia bisa menciumnya. Saat bibir mereka bersentuhan, Badai melumatnya dengan tak sabaran saat rasa manis dari bibir ranum tersebut membuatnya menggila.
Ciuman itu tak ada manis-manisnya sama sekali. He likes it rough but it seems Padma also like the way he kissed her.
Perempuan itu memberi akses untuk untuk lidah Badai bermain-main di mulutnya dan gairah Badai mulai membara seiring dengan balasan Padma.
Saat ia mengakhiri ciuman tersebut, Badai sudah bersiap dengan tatapan kemarahan dan tamparan di pipinya—sesuatu yang bisa ia dapatkan ketika ia mencoba merayu perempuan yang terlihat independent serta tak mudah jatuh dalam bujuk rayunya.
Tapi ketika ia menjauhkan wajahnya dari wajah Padma, paha Padma tanpa sengaja menyenggol pusat gairahnya. Tatapan sayu perempuan yang belum ia ketahui namanya tersebut semakin membuat Badai gelap mata.
“That kiss…,” desah Padma yang semakin linglung—percampuran antara alkohol dan kehebatan ciuman Badai yang seolah mengobrak-abrik otaknya.
Dengan tak sabaran, Badai menarik Padma dari bar stool dan mengajaknya ke bagian belakang klub. Ia punya kamar pribadi yang aksesnya hanya dimiliki olehnya dan beberapa pegawai terpercaya.
Begitu tiba di kamar tersebut, Badai kembali memeluk Padma dan kembali menciumnya sambil mendesak Padma ke arah ranjang. Dengan tak sabaran, Badai membuka kancing kemeja Padma.
Ia bahkan sudah lupa taruhan yang mengharuskannya tidur dengan Padma. Di pikirannya kini, perempuan itu harus jadi miliknya malam ini.
Badai tahu, bukan hanya ia yang ingin berlanjut ke tahap selanjutnya saat mendengar Padma berbisik di telinganya, “You’re a good kisser.”
“When on the bed, I’m a God, Honey,” bisik Badai di telinga Padma dan membuat perempuan itu mendesah pelan, mulai hilang akal karena alkohol dan rayuan maut Badai lewat sentuhannya.
Hai, selamat datang di ceritaku! Semoga suka yaaa. Kalian bisa follow sosmedku untuk tahu informasi bukuku yang lainnya di @saraamaureen
“Ternyata aku udah gila! Bisa-bisanya aku tidur sama laki-laki yang nggak kukenal!”“Kenapa, Sayang?”Wajah Padma langsung pucat pasi saat sang ayah sudah ada di depan kamarnya yang terbuka. “Ng-nggak, Pa.”“Dari tadi kamu ngomong sendiri aja soalnya.” Sang ayah kini bersandar di kosen pintu kamar Padma yang tadi lupa ia tutup usai dari lantai satu. “Kamu semalam dari mana? Kok baru pulang tadi pagi?”Padma menggigit bibirnya. Ayahnya memang bukan orang yang sangat ketat dan menerapkan jam malam. Tapi setiap tindakannya pasti diminta alasan yang rasional dan logis.“Dari klub,” jawab Padma dengan jujur. “Terus ketiduran di tempat temen.”“Perempuan atau laki-laki?”“Perempuan,” jawab Padma dengan tenang. Padahal hatinya sudah ketar-ketir karena sepertinya baru kali ini ia berbohong.“Oh, oke….” Ayahnya mengangguk paham, Padma hampir tak pernah berbohong padanya, jadi ia percaya saja. “Kamu hari ini nggak ada rencana ke mana-mana kan? Kita diundang keluarga Tanaka untuk makan malam di
“Kalau kamu nggak mau terima perjodohan ini, buang bisnis klub malam kamu dan ambil alih Sadira Group! Kalau kamu menikah dengan Padma, Padma yang akan bergabung dengan perusahaan kita dan kamu akan bebas dari tanggung jawab itu. Pilihannya ada di tangan kamu, Badai.”Ketika kembali mengingat apa yang dikatakan ayahnya, Badai langsung merasa pusing dan menggeram kesal.Usai keluarga Hardjaja pulang dari rumahnya setelah mendengar penolakan dari Padma dan dirinya, sang ayah mengajaknya bicara empat mata dan menjabarkan semua alasan logis yang harusnya bisa membuat Badai menyetujui perjodohan itu.Di kalangan mereka, pernikahan bisnis adalah hal yang biasa. Tapi bukan berarti Badai tertarik untuk mengikuti jejak banyak orang.“Pak Badai, ada yang cari Bapak.” Teguran salah seorang pegawai The Clouds di depan ruangannya membuat Badai tersentak kaget. “Namanya Bu Padma.”“Oh.” Badai mengangguk. “Antar dia ke sini dan tanyakan dia mau minum apa.”Pegawai tersebut mengiakan dan segera beran
“Padma, ada Badai di bawah.”Padma yang baru saja membuka pintu kamarnya untuk sang ibu langsung menatap perempuan paruh baya tersebut dengan tak percaya. “Badai?”“Iya, pacar kamu.” Walaupun sudah ratusan kali dibilang kalau ia dan Badai masih di tahaop ‘pendekatan’, bagi sang ibu tetap saja lebih mudah menyebut Badai sebagai pacar Padma. “Buruan gih, ganti baju yang sopan dikit buat ketemu Badai.”Padma menunduk untuk menatap pakaian yang ia kenakan—celana pendek lima senti di atas lutut dan kaos universitasnya yang sudah lusuh tapi nyaman untuk dipakai.Hari ini adalah hari Jumat dan ia baru saja pulang dari kantor, berharap bisa me time dengan nonton Netflix sampai malam.“Ketemu Badai doang kan? Begini ajalah.” Padma berdecak pelan. Baru juga lima hari yang lalu mereka memberi tahu para orangtua mengenai keputusan mereka, tapi Badai sudah gencar datang ke rumahnya ‘selayaknya’ calon suami sungguhan.“Padma….”“Ma, dia kan calon suami aku….” Padma rasanya mau muntah saat mengataka
Badai langsung bersiul begitu melihat penampilan Padma di Sabtu pagi yang cerah tersebut.“Wow, seksi banget.”“Ucapan kamu lebih seperti pelecehan dibanding pujian.” Padma mendelik tajam pada Badai yang hari ini berpenampilan kasual dengan kaos bertuliskan VLTN dan celana jeans hitam.Sedangkan Padma hari itu mengenakan skinny jeans 7/8 dan kaos Polo yang ia tutupi dengan kardigan.“Padahal itu pujian lho,” kilah Badai sambil memainkan kunci mobil di tangannya. “Orangtuamu mana? Aku mau pamit bawa anak gadisnya dulu.”“Mereka lagi pergi ke Bali hari ini, kamu nggak usah repot-repot mau pamit sama mereka.” Padma berjalan mendahului Badai dan berhenti di samping pintu mobil Badai.Badai berlari kecil menyusul Padma dan dengan gaya sok gentleman, ia membukakan pintu mobilnya untuk Padma dan setelah memastikan Padma sudah duduk dengan nyaman, ia menutup pintu mobilnya dan beralih ke sisi pengemudi.“Mau ke mana kita?” tanya Badai sambil memasang seatbelt-nya.“Senayan.”“Kamu mau ke Sena
“Mainan Padma? Badai, ini kamu kan?”Saat kebisingan sudah hilang dari sekitarnya, barulah Badai sadar siapa yang bicara dengannya barusan.Refaldy Hardjaja.Badai masih sibuk mengarang alasan di otaknya ketika Padma yang tadi belum mengenakan penutup telinganya dengan sempurna, masih bisa mendengar apa yang diteriakkan Badai.Perempuan itu meminta maaf pada pelatihnya untuk menunda sebentar latihan mereka.“My phone.” Padma mengulurkan tangannya pada Badai, meminta ponselnya dari Badai.Setelah Badai menyerahkannya, Padma langsung bicara pada sang ayah begitu melihat caller ID yang tertera.“Halo, Pa. Maaf, tadi itu Badai. Kayaknya dia jadi agak-agak mengkhawatirkan karena tanpa sarapan udah kuajak ke lapangan tembak.”Badai mendengus mendengar alasan karangan Padma. Perempuan itu menjawab pertanyaan sang ayah dengan singkat dan tersenyum saat mendengar pesan-pesan terakhir dari sang ayah.“Udah teleponnya?” Badai terkejut saat Padma kembali menyerahkan ponselnya. “Aku belum minta ma
“Gandeng tanganku.”Permintaan Badai membuat Padma langsung menoleh dan menatap lelaki itu dengan tak percaya. “Buat apa?”“Biar kamu nggak nyasar,” jawab Badai dengan asal. “Ya buat gandengan ajalah. Aku mau gandeng kamu dan hal ini juga nggak dilarang di perjanjian kita.”Dengan enggan, Padma menggandeng lengan Badai. Mereka berjalan memasuki ballroom hotel di mana acara Sadira Group tengah digelar. Malam ini mereka datang sebagai pasangan atas permintaan Badai, tentu saja.Sekaligus penampilan perdana mereka di publik sebagai pasangan. Awalnya Padma tak terlalu setuju, tapi setelah ia pikir-pikir lagi, akhirnya ia mengiakan ajakan Badai.“Supaya orang-orang perusahaanmu bisa mengenal aku, calon jajaran d
“You’re so sexy.”“I’m sexy and I know it.”Jawaban Padma yang mengutip dari lirik sebuah lagu tersebut membuat Badai langsung terkekeh pelan. Padahal kakeknya yang merupakan generasi kedua pemilik Sadira Group tengah memberi sambutannya di podium.Padma pun menoleh pada Badai. “Apa hal yang membuat kamu bilang aku seksi?”“Waktu kamu bikin Galih dan Mbak Irina melongo karena jawabanmu.” Badai mengedikkan bahunya. “Kamu lumayan keren.”“Sebenarnya aku lebih suka dibilang pintar daripada seksi. Tapi ya… terima kasih atas pujiannya.” Perempuan itu mengangkat tangannya dan memperlihatkan jemari yang terpasang cincin berlian dari Badai. “Dan terima kasih atas cinc
“Badai, beneran kamu udah punya calon istri?”Badai yang baru masuk ke The Clouds pukul satu siang tersebut langsung mengernyit, begitu mendapati kehadiran Shua Tanaka di klubnya yang belum buka.“Wah, berita cepat menyebar ya,” komentar Badai sambil mengangguk sopan pada para pegawainya.Badai dengan cepat memberi instruksi pada manajer klub dan setelah mengundur jam meeting mengenai tema untuk bulan Februari yang akan datang, lelaki itu mengedikkan dagunya ke arah lorong khusus menuju ruangannya.Perempuan bertubuh tinggi, langsing, dan memiliki warna kulit seputih susu tersebut mengikuti Badai dengan cepat. Walaupun kakinya mengenakan pump heels sembilan senti, tak menghalangi Shua untuk melangkah cepat menyusul sepupu tersayangnya.
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec