“Kalau kamu nggak mau terima perjodohan ini, buang bisnis klub malam kamu dan ambil alih Sadira Group! Kalau kamu menikah dengan Padma, Padma yang akan bergabung dengan perusahaan kita dan kamu akan bebas dari tanggung jawab itu. Pilihannya ada di tangan kamu, Badai.”
Ketika kembali mengingat apa yang dikatakan ayahnya, Badai langsung merasa pusing dan menggeram kesal.
Usai keluarga Hardjaja pulang dari rumahnya setelah mendengar penolakan dari Padma dan dirinya, sang ayah mengajaknya bicara empat mata dan menjabarkan semua alasan logis yang harusnya bisa membuat Badai menyetujui perjodohan itu.
Di kalangan mereka, pernikahan bisnis adalah hal yang biasa. Tapi bukan berarti Badai tertarik untuk mengikuti jejak banyak orang.
“Pak Badai, ada yang cari Bapak.” Teguran salah seorang pegawai The Clouds di depan ruangannya membuat Badai tersentak kaget. “Namanya Bu Padma.”
“Oh.” Badai mengangguk. “Antar dia ke sini dan tanyakan dia mau minum apa.”
Pegawai tersebut mengiakan dan segera beranjak keluar untuk menjemput perempuan yang mencari bosnya. The Clouds yang merupakan klub malam milik Badai tentu saja masih belum buka di jam makan siang seperti ini.
Tapi seminggu setelah makan malam mereka, Badai merasa ia tak punya pilihan lain. Ia harus berkompromi dengan Padma karena ia tak bisa kehilangan usaha yang dirintisnya dari nol, tanpa embel-embel nama Tanaka sebagai faktor pendukungnya.
Badai tak pernah tertarik bergabung dengan Sadira Group yang merupakan perusahaan jamu dan obat herbal terbesar di Indonesia tersebut. Sekalipun produk Saidra Group sudah diekspor keluar negeri, Badai tak pernah tertarik sama sekali.
“Kamu yang butuh tapi kenapa kamu yang menyuruhku ke sini?”
Kata-kata tajam dan diucapkan dengan lancang itu membuat Badai menoleh dari ponselnya. Padma Hardjaja memasuki ruangannya dengan gaya angkuhnya seperti biasa. Langkahnya teratur dan dagunya sedikit naik hingga benar-benar memberikan kesan sombong.
Bukannya kesal, Badai justru menyukai bagaimana perempuan itu terlihat bisa menguasai apa pun di hadapannya. Hal ini adalah hal yang baru di hidupnya dan… sepertinya bermain-main untuk menaklukan seorang Padma bukan hal yang buruk juga.
“Ayo, kita menikah.”
Tiga kata itu diucapkan Badai tepat saat Padma duduk di sofa ruangan khusus pemilik The Clouds. Padma langsung memicingkan matanya, menatap Badai yang kini bergerak menuju sofa di hadapan Padma.
“Gila kamu ya?”
“Emangnya kamu punya pilihan untuk menolak?”
Di sisi lain, Padma langsung memakinya. Sial, maki Padma di dalam hatinya seraya tetap menatap Badai dengan kekesalannya.
Padma tahu kalau ia tak punya pilihan. Kondisi keuangan perusahaan keluarganya sedang tak terlalu bagus karena kasus obat kadaluarsa yang beredar di pasaran dan membuat perusahaan mereka terkena masalah yang cukup besar.
Memang hal itu disebabkan oleh pihak ketiga yang ingin menghancurkan perusahaannya. Walau perusahaannya tak langsung hancur lebur, tapi cukup goyah untuk bertahan sendiri.
Dengan menjadi distributor tunggal dari produk-produk Sadira Group dan memulihkan nama baik perusahaan keluarganya, setidaknya hal itu bisa membantu cukup banyak.
Walau yang harus dipertaruhkan adalah dirinya untuk menikah dengan Badai.
“Emangnya kamu mau menikah?” Padma memiringkan kepalanya dan mengamati Badai dengan intens. Satu minggu adalah waktu yang cukup untuk Padma mencari tahu siapa Badai Tanaka sebenarnya.
Playboy nomor satu dan pemilik dari The Clouds—klub malam paling hits di beberapa kota besar di Indonesia. Setahu Padma, beberapa toko yang khusus menjual minuman beralkohol pun adalah usaha patungan Badai dengan teman-temannya.
Hal yang menarik adalah Badai Tanaka sama sekali tidak pernah terlibat sedikit pun di usaha keluarganya.
“Untuk saat ini, sepertinya iya.”
“Karena kamu nggak mau bekerja di Sadira Group?” tebak Padma yang menyebut nama perusahaan keluarga Badai.
Badai langsung memicingkan matanya. “Kenapa? Kamu mulai tertarik jadi istriku dan menguasai perusahaan keluargaku?”
“Kalau bisa, kenapa nggak?” Padma menyahut dengan pongah.
Sekalipun menikah dengan seorang lelaki yang suka melompat dari pangkuan satu perempuan ke pangkuan perempuan lainnya, gagasan masuk ke jajaran pemimpin Sadira Group cukup menggugah Padma.
Padma suka bekerja dan terlebih lagi dia adalah sosok ambisius. Seminggu ini, ia mulai berpikir kalau menaklukan Sadira Group jadi sebuah tantangan tersendiri untuknya.
Badai langsung mendecakkan lidahnya saat mendengar jawaban Padma. “Wow, ambisius juga kamu.”
“Aku selalu punya tujuan di dalam hidupku,” sahut Padma yang langsung menatap Badai dengan tatapan meremehkan. “Nggak kayak kamu.”
“Sok tahu.” Badai mendengus. “Gimana? Kamu mau menikah denganku?”
Padma menggeleng. “No, probation dulu tiga bulan. Baru setelahnya kita pertimbangkan lagi.”
“Probation?!” Kali ini Badai tak ragu lagi kalau perempuan di hadapannya benar-benar gila. “Aku bukan karyawan! Mana ada masa percobaan tiga bulan?”
Tapi Padma tak peduli. Ia sudah memikirkan masak-masak dan sejak kemarin sudah berinisiatif untuk menghubungi Badai, tepat ketika lelaki itu duluan yang menghubunginya.
“Kamu harap aku akan menikah dengan kamu sukarela?” tanya Padma dengan sinis. “Keep dreaming, Dude.”
Perempuan berambut panjang bergelombang itu mengeluarkan folder dari tasnya dan menaruh dua salinan surat yang telah ia buat.
“Ini surat perjanjian kita. Harus ada perjanjian supaya nggak ada yang melenceng.”
“Jadi intinya kita jadi nikah atau nggak sih?”
“Ini perjanjian untuk dijalankan sebelum kita menikah. Tiga bulan adalah waktu yang ideal, menurutku. Kita bisa bilang ke orangtua kita kalau kita akan mencoba pendekatan terlebih dahulu.” Padma menaikkan satu alisnya. “Kamu ngebet banget nikah sama aku?”
“Bukan begitu!” sentak Badai kesal. “Rencanaku tadinya adalah mengajak kamu menikah sampai beberapa tahun, lalu kita bercerai setelah perusahaan keluarga kita benar-benar stabil. Kalau sudah cerai, kamu bisa tetap berada di Sadira Group. Bisnisku sudah lebih cukup untukku.”
Pemaparan Badai membuat Padma terkesima setelah beberapa saat. “Wow, kamu banyak nonton drama juga ya, sampai-sampai terpikirkan untuk menikah kontrak seperti itu.”
“Menikah dengan kontrak bukan sesuatu yang asing.” Badai mendengus. “Banyak orang di sekitarku yang menikah karena kepentingan selama periode tertentu.”
Tadinya Padma memang terpikir untuk menikah dengan Badai, tapi tanpa periode waktu tertentu. Rasa-rasanya ia belum siap mempermainkan pernikahan sampai seperti itu.
Mereka memang bisa menikah karena kepentingan, tapi ketika sudah menikah, bukankah harusnya mereka berjuang untuk mempertahankannya?
Terlepas dari apa alasan mereka menikah.
“Baca dulu.” Padma berusaha mengabaikan gagasan Badai. “Perhatikan empat poin yang aku ajukan di sana.”
Badai segera mengambil satu salinan dan langsung mengajukan protes saat membaca poin pertama perjanjian mereka. Pihak pertama merupakan Padma Hardjaja dan Pihak Kedua adalah Badai Tanaka.
“Apa-apaan? ‘Tidak ada kontak fisik apa pun selain pegangan tangan dan peluk pinggang ketika situasi mengharuskan, terutama di depan para orangtua’?”
Diskusi mereka tersela karena pegawai Badai mengantarkan minuman untuk keduanya. Padma menyesap iced lychee tea-nya sebelum menyahut, “Iya, no kiss, no sex. Hal itu bisa membuat penilaian kita terhadap satu sama lain jadi bias.”
“Anak SMP aja sekarang udah ciuman,” gerutu Badai. “Bukannya aku ngebet cium kamu ya. Tapi orang mana percaya kalau kita benar-benar PDKT?”
“Itu urusan orang lain, bukan urusanku.”
“Seingatku kamu puas kok waktu kita tidur bersama. Kalau kita tidur lagi, kamu takut kamu jatuh cinta sama aku?”
“Yang benar aja.” Padma memutar kedua bola matanya. “Setuju nggak?” salaknya dengan galak.
“Oke, oke. Tapi tolong ditambahkan, ‘Semua skinship boleh terjadi kalau salah satu pihak meminta kepada pihak yang lain’.”
“Badai!”
“Tambahkan atau kita nggak usah mencoba sekalian!”
Keduanya saling melotot hingga akhirnya Padma mengangguk sambil memberi tambahan catatan di salinan miliknya.
“Poin kedua….” Badai kembali membacakan isi perjanjian tersebut. “Karena Pihak Pertama merupakan penganut monogami, maka tidak diizinkan ada lelaki atau perempuan lain di dalam masa pendekatan ini maupun di masa pernikahan nanti.”
“Apa kamu berpikir untuk poligami atau open marriage?” Padma bertanya pada Badai untuk memastikan.
“Nope.” Badai menjawab dengan pasti.
Jawaban itu membuat Padma mengerutkan keningnya. Lelaki yang sudah tidur dengan banyak perempuan ini mengaku kalau ia penganut monogami—sebuah hal yang agak rancu di benak Padma.
Seperti mengerti dengan apa yang ada di pikiran Padma, Badai menambahkan, “Selama ini aku tidur dengan perempuan-perempuan yang memang mau tidur bersamaku dan… hanya sebatas itu. Tidak ada hubungan—yang ada hanya persetujuan.”
“Whatever.” Padma memilih untuk tidak menghiraukannya. “Poin ketiga, kalau nanti ada perempuan yang datang mengaku hamil anak Pihak Kedua—baik itu di masa pendekatan sampai di masa pernikahan, maka Pihak Kedua harus bertanggung jawab dan Pihak Pertama dan Pihak Kedua akan berpisah.”
“Nggak akan ada anak yang akan muncul entah dari mana dengan mengaku kalau aku adalah penyumbang DNA-nya,” kata Badai dengan jemawa. “Selama ini aku selalu pakai pengaman dan nggak pernah sekalipun bablas.”
“Yeah, we will see. Jaga-jaga aja.”
“Bisa nggak poin ini dihapuskan?”
“Nggak. Harus ada.” Padma bersikukuh. “Take it or leave it, Tanaka.”
Badai berdecak dan akhirnya hanya mengangguk. Paling-paling poin itu tak akan berguna. Ia pun membaca poin terakhir.
“Poin keempat, kalau sampai selama masa percobaan hingga hari H pernikahan tidak ada kejadian fatal di mana mempengaruhi poin pertama sampai poin ketiga, maka Pihak Pertama akan benar-benar berkomitmen untuk menikah dan menjalani peran sebagai istri dari Pihak Kedua.”
Badai kembali berdecak kagum. “Wow, seorang perempuan kayak kamu bisa melakukan komitmen untuk jadi istriku seperti ini?”
“Setimpal dengan posisi di perusahaanmu yang akan kudapatkan.” Padma mengedikkan bahunya dengan santai.
Hal itu membuat Badai kembali mendengus. Ck, perempuan seperti apa yang ada di hadapannya? Sungguh menyeramkan.
“Bagaimana? Kamu setuju?” tanya Padma dengan tak sabaran. “Jam makan siangku sebentar lagi habis. Kalau kamu nggak setuju, aku akan tetap menolak perjodohan ini.”
“Aku punya satu pertanyaan,” kata Badai. “Kalau setelah tiga bulan semuanya berjalan lancar, apa kita langsung menikah?”
“Ya.” Padma mengangguk. “Tiga bulan ini adalah masa percobaan apakah aku bisa menoleransi kamu di dalam hidupku dan sebaliknya. Kalau nggak bisa, berarti aku harus cari cara lain untuk semua urusanku yang lain.”
Badai menatap Padma selama beberapa detik sebelum akhirnya meraih pena berharga belasan juta rupiah milik Padma di atas meja, dan menandatangani dua salinan surat perjanjian tersebut. Satu untuknya dan satu lagi untuk Padma, juga di atas materai.
Padma pun melakukan hal yang sama. Tak ia sangka seorang Badai Tanaka cukup mudah untuk ia lobi agar menyetujui perjanjian tersebut.
“Nah, calon istri.” Badai menyeringai saat menyadari Padma bergidik begitu mendengar sapaannya. “Ayo, kuantar kamu ke kantor. Aku harus menyapa ayahmu dan mengatakan ‘maksud baik’ kita untuk melakukan pendekatan terlebih dahulu.”
“Astaga….” Padma buru-buru menyesap iced lychee tea-nya lagi. “Aku baru aja membuat perjanjian dengan seorang iblis.”
“Padma, ada Badai di bawah.”Padma yang baru saja membuka pintu kamarnya untuk sang ibu langsung menatap perempuan paruh baya tersebut dengan tak percaya. “Badai?”“Iya, pacar kamu.” Walaupun sudah ratusan kali dibilang kalau ia dan Badai masih di tahaop ‘pendekatan’, bagi sang ibu tetap saja lebih mudah menyebut Badai sebagai pacar Padma. “Buruan gih, ganti baju yang sopan dikit buat ketemu Badai.”Padma menunduk untuk menatap pakaian yang ia kenakan—celana pendek lima senti di atas lutut dan kaos universitasnya yang sudah lusuh tapi nyaman untuk dipakai.Hari ini adalah hari Jumat dan ia baru saja pulang dari kantor, berharap bisa me time dengan nonton Netflix sampai malam.“Ketemu Badai doang kan? Begini ajalah.” Padma berdecak pelan. Baru juga lima hari yang lalu mereka memberi tahu para orangtua mengenai keputusan mereka, tapi Badai sudah gencar datang ke rumahnya ‘selayaknya’ calon suami sungguhan.“Padma….”“Ma, dia kan calon suami aku….” Padma rasanya mau muntah saat mengataka
Badai langsung bersiul begitu melihat penampilan Padma di Sabtu pagi yang cerah tersebut.“Wow, seksi banget.”“Ucapan kamu lebih seperti pelecehan dibanding pujian.” Padma mendelik tajam pada Badai yang hari ini berpenampilan kasual dengan kaos bertuliskan VLTN dan celana jeans hitam.Sedangkan Padma hari itu mengenakan skinny jeans 7/8 dan kaos Polo yang ia tutupi dengan kardigan.“Padahal itu pujian lho,” kilah Badai sambil memainkan kunci mobil di tangannya. “Orangtuamu mana? Aku mau pamit bawa anak gadisnya dulu.”“Mereka lagi pergi ke Bali hari ini, kamu nggak usah repot-repot mau pamit sama mereka.” Padma berjalan mendahului Badai dan berhenti di samping pintu mobil Badai.Badai berlari kecil menyusul Padma dan dengan gaya sok gentleman, ia membukakan pintu mobilnya untuk Padma dan setelah memastikan Padma sudah duduk dengan nyaman, ia menutup pintu mobilnya dan beralih ke sisi pengemudi.“Mau ke mana kita?” tanya Badai sambil memasang seatbelt-nya.“Senayan.”“Kamu mau ke Sena
“Mainan Padma? Badai, ini kamu kan?”Saat kebisingan sudah hilang dari sekitarnya, barulah Badai sadar siapa yang bicara dengannya barusan.Refaldy Hardjaja.Badai masih sibuk mengarang alasan di otaknya ketika Padma yang tadi belum mengenakan penutup telinganya dengan sempurna, masih bisa mendengar apa yang diteriakkan Badai.Perempuan itu meminta maaf pada pelatihnya untuk menunda sebentar latihan mereka.“My phone.” Padma mengulurkan tangannya pada Badai, meminta ponselnya dari Badai.Setelah Badai menyerahkannya, Padma langsung bicara pada sang ayah begitu melihat caller ID yang tertera.“Halo, Pa. Maaf, tadi itu Badai. Kayaknya dia jadi agak-agak mengkhawatirkan karena tanpa sarapan udah kuajak ke lapangan tembak.”Badai mendengus mendengar alasan karangan Padma. Perempuan itu menjawab pertanyaan sang ayah dengan singkat dan tersenyum saat mendengar pesan-pesan terakhir dari sang ayah.“Udah teleponnya?” Badai terkejut saat Padma kembali menyerahkan ponselnya. “Aku belum minta ma
“Gandeng tanganku.”Permintaan Badai membuat Padma langsung menoleh dan menatap lelaki itu dengan tak percaya. “Buat apa?”“Biar kamu nggak nyasar,” jawab Badai dengan asal. “Ya buat gandengan ajalah. Aku mau gandeng kamu dan hal ini juga nggak dilarang di perjanjian kita.”Dengan enggan, Padma menggandeng lengan Badai. Mereka berjalan memasuki ballroom hotel di mana acara Sadira Group tengah digelar. Malam ini mereka datang sebagai pasangan atas permintaan Badai, tentu saja.Sekaligus penampilan perdana mereka di publik sebagai pasangan. Awalnya Padma tak terlalu setuju, tapi setelah ia pikir-pikir lagi, akhirnya ia mengiakan ajakan Badai.“Supaya orang-orang perusahaanmu bisa mengenal aku, calon jajaran d
“You’re so sexy.”“I’m sexy and I know it.”Jawaban Padma yang mengutip dari lirik sebuah lagu tersebut membuat Badai langsung terkekeh pelan. Padahal kakeknya yang merupakan generasi kedua pemilik Sadira Group tengah memberi sambutannya di podium.Padma pun menoleh pada Badai. “Apa hal yang membuat kamu bilang aku seksi?”“Waktu kamu bikin Galih dan Mbak Irina melongo karena jawabanmu.” Badai mengedikkan bahunya. “Kamu lumayan keren.”“Sebenarnya aku lebih suka dibilang pintar daripada seksi. Tapi ya… terima kasih atas pujiannya.” Perempuan itu mengangkat tangannya dan memperlihatkan jemari yang terpasang cincin berlian dari Badai. “Dan terima kasih atas cinc
“Badai, beneran kamu udah punya calon istri?”Badai yang baru masuk ke The Clouds pukul satu siang tersebut langsung mengernyit, begitu mendapati kehadiran Shua Tanaka di klubnya yang belum buka.“Wah, berita cepat menyebar ya,” komentar Badai sambil mengangguk sopan pada para pegawainya.Badai dengan cepat memberi instruksi pada manajer klub dan setelah mengundur jam meeting mengenai tema untuk bulan Februari yang akan datang, lelaki itu mengedikkan dagunya ke arah lorong khusus menuju ruangannya.Perempuan bertubuh tinggi, langsing, dan memiliki warna kulit seputih susu tersebut mengikuti Badai dengan cepat. Walaupun kakinya mengenakan pump heels sembilan senti, tak menghalangi Shua untuk melangkah cepat menyusul sepupu tersayangnya.
“Jadi kamu yang namanya Badai?”“Iya. Badai Tanaka.” Badai mengulurkan tangannya kepada lelaki yang berdiri di hadapannya. Lelaki itu terlihat lebih muda darinya, tubuhnya juga tinggi tapi tidak seatletis dirinya yang suka olahraga outdoor dan gym.“Arsa Hardjaja,” ucapnya sambil menjabat tangan Badai dengan erat—terlampau erat hingga Badai menahan dirinya untuk tidak mengernyit.“Kamu mau remukin tangan calon suamiku, Sa?”Pertanyaan itu membuat Badai memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat Padma yang datang padanya. “Hi, Honey.”“Honey? Oh, my!” Arsa langsung menarik tangannya dari Badai dan mundur selangkah, lalu memeluk pinggang Padma dengan posesif. &l
“Ayo kita ke The Clouds.”Padma berusaha mengabaikan ajakan Arsa dan kembali fokus pada Simon dan Daphne yang tengah berdebat mengenai masa depan pernikahan mereka—oh, gara-gara pembicaraan mereka kemarin, Padma jadi ingat Badai setiap melihat The Duke of Hastings tersebut di layar televisinya.“Mbak!”“Ngapain?” Akhirnya dengan tak rela, Padma menjeda series Bridgerton yang tengah ia tonton karena Arsa. Adik bungsunya tersebut kini melangkah masuk ke kamarnya dan menatap Padma dengan serius.“Ngeliat kayak apa dunia calon suamimu.” Arsa menjawab dengan jujur. “Aku tahu kamu layak dapet yang lebih baik daripada seorang Badai Tanaka, Mbak. Dan untuk bantu kamu, aku akan temenin kamu liat kayak apa dunianya yang jelas-jelas beda jauh sama Mbak
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec