“Ternyata aku udah gila! Bisa-bisanya aku tidur sama laki-laki yang nggak kukenal!”
“Kenapa, Sayang?”
Wajah Padma langsung pucat pasi saat sang ayah sudah ada di depan kamarnya yang terbuka. “Ng-nggak, Pa.”
“Dari tadi kamu ngomong sendiri aja soalnya.” Sang ayah kini bersandar di kosen pintu kamar Padma yang tadi lupa ia tutup usai dari lantai satu. “Kamu semalam dari mana? Kok baru pulang tadi pagi?”
Padma menggigit bibirnya. Ayahnya memang bukan orang yang sangat ketat dan menerapkan jam malam. Tapi setiap tindakannya pasti diminta alasan yang rasional dan logis.
“Dari klub,” jawab Padma dengan jujur. “Terus ketiduran di tempat temen.”
“Perempuan atau laki-laki?”
“Perempuan,” jawab Padma dengan tenang. Padahal hatinya sudah ketar-ketir karena sepertinya baru kali ini ia berbohong.
“Oh, oke….” Ayahnya mengangguk paham, Padma hampir tak pernah berbohong padanya, jadi ia percaya saja. “Kamu hari ini nggak ada rencana ke mana-mana kan? Kita diundang keluarga Tanaka untuk makan malam di rumahnya.”
“Keluarga Tanaka?” Padma mengernyit. “Yang punya perusahaan jamu dan obat herbal itu?”
“Iya. Kita berangkat pukul lima, oke?”
“Oke, Pa.” Toh Padma tak punya rencana lain selain merutuki nasibnya di hari Minggu ini.
Setelah sang ayah pergi, Padma beranjak menutup pintu kamarnya dan kembali merebahkan diri.
Pagi tadi ia terbangun dengan tubuh pegal-pegal dan anehnya… tubuhnya merasa sangat puas. Saat ia menoleh ke sampingnya, ada seorang lelaki tampan dengan rahang yang begitu tegas dan bibir tebal yang menggoda, sedang tertidur dengan nyenyak.
Kejadian semalam memang bukan yang pertama untuk Padma, tapi kali itu adalah kali pertama bagi Padma tidur dengan orang asing. Yah… ia memang tak menyalahkan lelaki itu sepenuhnya—toh semalam ia juga berpartisipasi membuka kancing kemeja lelaki bertubuh tegap tersebut.
Tapi Padma berharap jangan sampai ia bertemu lagi dengannya. Padma berjanji dalam hatinya untuk tidak menginjakkan kakinya di The Clouds lagi minimal sampai tiga tahun ke depan.
Tiga jam ia habiskan untuk melamun dan bermain ponsel, sampai akhirnya ia bersiap pergi ke acara jamuan makan malam dengan keluarga Tanaka.
Di sepanjang perjalanan, Padma tak terlibat banyak pembicaraan dengan kedua orangtuanya—padahal isu mengenai transaksi tidak wajar di pasar modal minggu ini adalah salah satu bahasan favoritnya.
“Ayo, turun, Padma. Kok melamun?” tanya sang ayah begitu mobil mereka tiba di sebuah kediaman yang sangat luas dan besar di kawasan Menteng. “Kamu sakit?”
“Nggak kok, Pa. Aku baik-baik aja.” Padma buru-buru turun dari mobil dan berjalan mengikuti orangtuanya.
Mereka disambut dengan baik dan kelewat ramai kalau hanya untuk jamuan makan malam. Sepertinya sang ayah ingin membicarakan soal bisnis juga, pikir Padma.
“Kamu belum ketemu lagi sama putriku kan?” Ucapan ayahnya yang disertai sentuhan lembut di bahu Padma membuat Padma menoleh pada lelaki paruh baya seumuran ayahnya, yang kini menatapnya dengan tertarik.
“Ini Padma, putri sulungku. Padma, ini Om Alkadri. Kamu pernah ketemu beliau waktu masih SD, tapi setelah itu kayaknya nggak pernah ketemu lagi karena beliau pindah ke luar negeri.”
Padma tersenyum dan menjabat tangan lelaki paruh baya tersebut. “Apa kabar, Om?”
“Baik, Padma. Senang bisa bertemu kamu lagi ketika sudah dewasa.”
Obrolan basa-basi itu berlanjut hingga mereka digiring ke ruang makan.
“Sebentar ya, Badai masih di atas sepertinya,” ucap Alkadri dengan sungkan.
“Nggak apa-apa, santai aja. Udah lama juga nggak ketemu Badai,” komentar ayah Padma.
“Apa tingkahnya jadi seperti ‘badai’ kayak apa yang dulu kamu bilang, Al?” tanya ibu Padma dengan nada bercanda.
Alkadri mengangguk sembari tertawa. “Anak itu benar-benar… kelakuannya membuatku kena badai migrain.”
Kedua orangtua Padma tertawa sedangkan Padma hanya bisa terkekeh pelan. Kadang memang jokes bapak-bapak susah masuk untuk dirinya yang lempeng.
“Maaf, saya terlambat.”
Suara bariton itu membuat semua orang di meja makan menoleh padanya. Ketika Padma menoleh, rasanya jantung Padma hampir lepas dari rongganya saat melihat si lelaki yang memuaskannya semalam, kini berdiri di hadapannya.
Sementara itu, Badai Tanaka yang baru memasuki ruang makan langsung memfokuskan tatapannya ke satu orang—seorang perempuan cantik dengan gaun santai berbahan satin yang mencetak jelas lekuk tubuhnya.
Hanya dengan melihatnya, Badai seakan teringat kembali sentuhan perempuan itu di tubuhnya, apalagi ketika mereka mencapai puncak bersama.
“Hai, Cantik,” sapa Badai yang jelas-jelas ditujukan pada Padma.
Ketiga orang tua di meja itu menatap Badai dan Padma bergantian.
“Kalian udah saling kenal?” tanya ayah Padma dengan bingung.
“Udah.”
“Belum.”
Dua jawaban dari Badai dan Padma yang bertolak belakang tersebut membuat ketiga orang lainnya semakin mengerutkan kening.
Tapi Badai tak ambil pusing, ia melangkah dengan pasti menuju kursinya dan duduk berhadapan dengan sosok Padma yang tengah menahan diri untuk tidak pergi dari kediaman tersebut.
“Badai, ini Padma. Putri sulungnya Om Refaldy,” jelas Alkadri. “Kalian belum pernah ketemu waktu kecil karena kamu masih sama ibumu.”
“Padma?” Badai mengulang nama tersebut dan merasakan rasa asing di lidahnya. “Nice name.”
Padma menahan diri untuk tidak melempar serbet ke wajah Badai yang terlihat menggodanya, seakan-akan ia bersedia membocorkan soal kejadian semalam kapan saja di meja makan ini.
“Kita bahas dengan santai aja ya, Ref,” ucap Alkadri pada temannya, Refaldy Hardjaja yang merupakan ayah Padma. “Apa kamu udah ngomong sama Padma?”
“Belum. Biar sekalian kita omongin di sini aja.” Refaldy menoleh untuk menatap anaknya. “Perusahaan kita yang bergerak di bidang farmasi dan distribusi akan bekerja sama dengan perusahaan Tanaka, Padma. Dan… dulu kami pernah membicarakan untuk menjodohkan kamu sama Badai.”
Alkadri pun menimpali, “Iya. Dulu sih cuma bercandaan aja. Tapi pas kesini-sini, sepertinya bagus juga kalau kalian mencoba lebih dekat dan akhirnya nanti menikah. Apa kamu punya pacar, Padma?”
Padma mengerjap cepat. Apa-apaan ini? Dari bicara soal bisnis lalu berlanjut ke perjodohan?
“Nggak punya sih, Om, tapi—“
“Bagus, Badai juga nggak punya pacar.”
Badai mengangguk mengiakan. “Iya, aku juga nggak punya pacar. Tapi kalau teman kencan, banyak sih.”
Padma terbelalak kaget mendengar kejujuran Badai, sedangkan ayahnya tersedak dan ibunya pun tertawa ringan. Padma lupa kalau keluarganya kadang-kadang memang aneh.
Ibunya yang merupakan mantan playgirl pasti sedikit-banyak bisa nyambung dengan apa yang dimaksud Badai.
“Badai!”
“Aku cuma jujur, Pa.” Badai menyahut dengan santai sambil mengedikkan bahunya. Kemudian tatapannya tertuju pada Padma. “Aku yakin Padma nggak keberatan dengan siapa aku. Kebetulan kami sudah saling mengenali satu sama lain dengan baik, luar dan dalam, iyakan, Honey?”
“Honey?” Padma mendesis pelan. Ia menggeser kursinya ke belakang. “Saya izin ke toilet sebentar.”
Seorang pelayan yang berdiri tak jauh dari meja makan agar bisa membantu siapa pun di ruang makan itu, langsung bergerak dengan sigap mengantar Padma menuju toilet terdekat.
Badai menatap kepergian Padma dengan senyum miring di wajahnya. Perempuan itu jadi benar-benar menarik. Bukannya melemparkan diri pada Badai begitu tahu mereka dijodohkan, Padma malah lari sekencang mungkin.
“Aku juga mau ke toilet,” pamit Badai pada tiga orang tua di meja makan tersebut.
Dengan tungkainya yang panjang, menyusul Padma tak perlu waktu yang lama karena satu langkahnya sama dengan dua langkah perempuan itu.
Pelayan yang kebetulan menoleh ke belakang dan mendapati Badai menyusul mereka, segera menyingkir begitu mendapat kode dari Badai supaya meninggalkan mereka berdua.
Padma hampir berbelok ke kanan saat Badai meraih bahunya dan merangkulnya. “Belok ke kiri, Hon.”
“Kamu!” Padma tersentak kaget dan langsung ingin melompat menjauh, tapi rangkulan Badai menguat di bahunya. “Ke mana pelayan yang mengantarku?”
“Kalau ada aku, kenapa harus diantar pelayan?” tanya Badai. Ia melirik Padma dan berkata, “Kenapa tadi pagi kamu meninggalkanku sendiri?”
“Memangnya aku harus apa? Membangunkanmu dengan secangkir kopi?” tanya Padma dengan sinis.
“Kata orang, lelaki dengan rahang tegas sepertimu pasti seorang player. Dan melihat bagaimana kamu semalam bisa menggiringku ke ranjang tanpa tahu namaku, pasti adalah hal yang biasa buatmu tidur dengan sembarang perempuan.”
“Yah… begitulah aku kurang lebihnya.” Badai cuek saja mengakui kelakuan minusnya. Ia bukan orang yang suka berpura-pura bersikap sebaik manusia suci. “Tapi jujur padaku, kamu menikmati yang semalam kan?”
Padma langsung berhenti melangkah dan menampik dengan keras lengan Badai hingga terlepas dari bahunnya. “Dengar ya, Badai Pasti Berlalu,” ledek Padma atas nama Badai yang mirip dengan lagu.
“Yang semalam itu bukan apa-apa. Aku ingat wajahmu hanya karena kejadian itu baru terjadi semalam, bukan berarti kamu memuaskanku dan aku jadi selalu ingat sama kamu.”
Tentu saja Padma berbohong. Bahkan jika dibandingkan dengan mantan pacarnya, Badai ada di sepuluh level di atas mantan pacarnya.
“Yakin?” Badai mengeluarkan dompetnya dan memberikannya pada Padma. “Cek dompetku?”
“Buat apa?
“Cek aja.”
Padma membuka dompet kulit tersebut dan hanya menemukan kartu-kartu serta uang pecahan seratus ribu. “Apaan sih?”
“Ada kondom di sana?”
Pertanyaan Badai membuat Padma mendelik. “Nggak ada.”
“Nah, tiga kondom yang biasa ada di dompetku, sekarang nggak ada karena semalam kamu membuatku menghabiskan stok kondomku. Masih mau mengelak kalau kamu nggak puas sama sekali, Padma?”
Padma melotot dan langsung mendesis kesal. Ia melempar dompet itu ke arah Badai dan akan kembali ruang makan, ketika Badai menarik pergelangan tangannya dan dengan cepat memojokkannya ke dinding.
Lelaki itu mengungkung Padma di antara dinding dan tubuh tinggi tegap Badai. Padma bukan perempuan yang pendek, tinggi tubuhnya terbilang standar dengan 165 senti. Tapi sepertinya Badai lebih dari 180 senti karena Padma bahkan masih perlu mendongak untuk menatapnya.
“Badai,” geram Padma dengan kesal saat Badai malah menghimpit tubuhnya, membuat gaunnya bergesekan dengan kemeja yang dikenakan Badai. “Minggir! Kalau ada yang lihat—“
“Kenapa kalau ada yang lihat?” tantang Badai. “Paling-paling mereka akan putar balik atau meminta kita untuk pindah ke kamar sekalian.”
“Dasar kurang ajar!”
“Aku bisa terima kalau kamu menolak perjodohan ini, Padma. Masuk akal karena ini bukan eranya Siti Nurbaya lagi.” Badai menunduk dan deru napasnya menerpa wajah Padma. Tatapannya tajam seperti hewan buas yang tengah mengincar mangsanya.
“Tapi aku nggak pernah terima kalau kamu mengelak dari rasa puasmu terhadapku.”
Padma langsung menginjak kaki Badia sekuat tenaga dan membuat lelaki itu mundur sambil mengumpat.
“Aku nggak akan sudi memberi makan egomu itu,” ucap Padma dengan tajam.
Ia berjalan meninggalkan Badai dan menyempatkan diri untuk berkata, “Dan laki-laki macam apa kamu yang membanggakan diri lewat kondom yang habis terpakai dalam semalam? Orang lain bisa aja berpikir kamu sampai puncaknya hanya dalam lima menit.”
“Kalau kamu nggak mau terima perjodohan ini, buang bisnis klub malam kamu dan ambil alih Sadira Group! Kalau kamu menikah dengan Padma, Padma yang akan bergabung dengan perusahaan kita dan kamu akan bebas dari tanggung jawab itu. Pilihannya ada di tangan kamu, Badai.”Ketika kembali mengingat apa yang dikatakan ayahnya, Badai langsung merasa pusing dan menggeram kesal.Usai keluarga Hardjaja pulang dari rumahnya setelah mendengar penolakan dari Padma dan dirinya, sang ayah mengajaknya bicara empat mata dan menjabarkan semua alasan logis yang harusnya bisa membuat Badai menyetujui perjodohan itu.Di kalangan mereka, pernikahan bisnis adalah hal yang biasa. Tapi bukan berarti Badai tertarik untuk mengikuti jejak banyak orang.“Pak Badai, ada yang cari Bapak.” Teguran salah seorang pegawai The Clouds di depan ruangannya membuat Badai tersentak kaget. “Namanya Bu Padma.”“Oh.” Badai mengangguk. “Antar dia ke sini dan tanyakan dia mau minum apa.”Pegawai tersebut mengiakan dan segera beran
“Padma, ada Badai di bawah.”Padma yang baru saja membuka pintu kamarnya untuk sang ibu langsung menatap perempuan paruh baya tersebut dengan tak percaya. “Badai?”“Iya, pacar kamu.” Walaupun sudah ratusan kali dibilang kalau ia dan Badai masih di tahaop ‘pendekatan’, bagi sang ibu tetap saja lebih mudah menyebut Badai sebagai pacar Padma. “Buruan gih, ganti baju yang sopan dikit buat ketemu Badai.”Padma menunduk untuk menatap pakaian yang ia kenakan—celana pendek lima senti di atas lutut dan kaos universitasnya yang sudah lusuh tapi nyaman untuk dipakai.Hari ini adalah hari Jumat dan ia baru saja pulang dari kantor, berharap bisa me time dengan nonton Netflix sampai malam.“Ketemu Badai doang kan? Begini ajalah.” Padma berdecak pelan. Baru juga lima hari yang lalu mereka memberi tahu para orangtua mengenai keputusan mereka, tapi Badai sudah gencar datang ke rumahnya ‘selayaknya’ calon suami sungguhan.“Padma….”“Ma, dia kan calon suami aku….” Padma rasanya mau muntah saat mengataka
Badai langsung bersiul begitu melihat penampilan Padma di Sabtu pagi yang cerah tersebut.“Wow, seksi banget.”“Ucapan kamu lebih seperti pelecehan dibanding pujian.” Padma mendelik tajam pada Badai yang hari ini berpenampilan kasual dengan kaos bertuliskan VLTN dan celana jeans hitam.Sedangkan Padma hari itu mengenakan skinny jeans 7/8 dan kaos Polo yang ia tutupi dengan kardigan.“Padahal itu pujian lho,” kilah Badai sambil memainkan kunci mobil di tangannya. “Orangtuamu mana? Aku mau pamit bawa anak gadisnya dulu.”“Mereka lagi pergi ke Bali hari ini, kamu nggak usah repot-repot mau pamit sama mereka.” Padma berjalan mendahului Badai dan berhenti di samping pintu mobil Badai.Badai berlari kecil menyusul Padma dan dengan gaya sok gentleman, ia membukakan pintu mobilnya untuk Padma dan setelah memastikan Padma sudah duduk dengan nyaman, ia menutup pintu mobilnya dan beralih ke sisi pengemudi.“Mau ke mana kita?” tanya Badai sambil memasang seatbelt-nya.“Senayan.”“Kamu mau ke Sena
“Mainan Padma? Badai, ini kamu kan?”Saat kebisingan sudah hilang dari sekitarnya, barulah Badai sadar siapa yang bicara dengannya barusan.Refaldy Hardjaja.Badai masih sibuk mengarang alasan di otaknya ketika Padma yang tadi belum mengenakan penutup telinganya dengan sempurna, masih bisa mendengar apa yang diteriakkan Badai.Perempuan itu meminta maaf pada pelatihnya untuk menunda sebentar latihan mereka.“My phone.” Padma mengulurkan tangannya pada Badai, meminta ponselnya dari Badai.Setelah Badai menyerahkannya, Padma langsung bicara pada sang ayah begitu melihat caller ID yang tertera.“Halo, Pa. Maaf, tadi itu Badai. Kayaknya dia jadi agak-agak mengkhawatirkan karena tanpa sarapan udah kuajak ke lapangan tembak.”Badai mendengus mendengar alasan karangan Padma. Perempuan itu menjawab pertanyaan sang ayah dengan singkat dan tersenyum saat mendengar pesan-pesan terakhir dari sang ayah.“Udah teleponnya?” Badai terkejut saat Padma kembali menyerahkan ponselnya. “Aku belum minta ma
“Gandeng tanganku.”Permintaan Badai membuat Padma langsung menoleh dan menatap lelaki itu dengan tak percaya. “Buat apa?”“Biar kamu nggak nyasar,” jawab Badai dengan asal. “Ya buat gandengan ajalah. Aku mau gandeng kamu dan hal ini juga nggak dilarang di perjanjian kita.”Dengan enggan, Padma menggandeng lengan Badai. Mereka berjalan memasuki ballroom hotel di mana acara Sadira Group tengah digelar. Malam ini mereka datang sebagai pasangan atas permintaan Badai, tentu saja.Sekaligus penampilan perdana mereka di publik sebagai pasangan. Awalnya Padma tak terlalu setuju, tapi setelah ia pikir-pikir lagi, akhirnya ia mengiakan ajakan Badai.“Supaya orang-orang perusahaanmu bisa mengenal aku, calon jajaran d
“You’re so sexy.”“I’m sexy and I know it.”Jawaban Padma yang mengutip dari lirik sebuah lagu tersebut membuat Badai langsung terkekeh pelan. Padahal kakeknya yang merupakan generasi kedua pemilik Sadira Group tengah memberi sambutannya di podium.Padma pun menoleh pada Badai. “Apa hal yang membuat kamu bilang aku seksi?”“Waktu kamu bikin Galih dan Mbak Irina melongo karena jawabanmu.” Badai mengedikkan bahunya. “Kamu lumayan keren.”“Sebenarnya aku lebih suka dibilang pintar daripada seksi. Tapi ya… terima kasih atas pujiannya.” Perempuan itu mengangkat tangannya dan memperlihatkan jemari yang terpasang cincin berlian dari Badai. “Dan terima kasih atas cinc
“Badai, beneran kamu udah punya calon istri?”Badai yang baru masuk ke The Clouds pukul satu siang tersebut langsung mengernyit, begitu mendapati kehadiran Shua Tanaka di klubnya yang belum buka.“Wah, berita cepat menyebar ya,” komentar Badai sambil mengangguk sopan pada para pegawainya.Badai dengan cepat memberi instruksi pada manajer klub dan setelah mengundur jam meeting mengenai tema untuk bulan Februari yang akan datang, lelaki itu mengedikkan dagunya ke arah lorong khusus menuju ruangannya.Perempuan bertubuh tinggi, langsing, dan memiliki warna kulit seputih susu tersebut mengikuti Badai dengan cepat. Walaupun kakinya mengenakan pump heels sembilan senti, tak menghalangi Shua untuk melangkah cepat menyusul sepupu tersayangnya.
“Jadi kamu yang namanya Badai?”“Iya. Badai Tanaka.” Badai mengulurkan tangannya kepada lelaki yang berdiri di hadapannya. Lelaki itu terlihat lebih muda darinya, tubuhnya juga tinggi tapi tidak seatletis dirinya yang suka olahraga outdoor dan gym.“Arsa Hardjaja,” ucapnya sambil menjabat tangan Badai dengan erat—terlampau erat hingga Badai menahan dirinya untuk tidak mengernyit.“Kamu mau remukin tangan calon suamiku, Sa?”Pertanyaan itu membuat Badai memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat Padma yang datang padanya. “Hi, Honey.”“Honey? Oh, my!” Arsa langsung menarik tangannya dari Badai dan mundur selangkah, lalu memeluk pinggang Padma dengan posesif. &l
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec