~Setiap orang punya keinginan, namun tidak semuanya harus terwujud. Apalagi jika keinginan itu melibatkan campur tangan orang lain~Wajah Pak Darmana jelas sangat berbeda dari sebelumnya. Wajahnya tampak jauh lebih tenang. Ia duduk di sebuah kursi kayu menunggu Jidan. Kursi itu terletak di depan rumah sewa yang untuk sementara akan ditinggali oleh Jidan, Sagita dan Pak Sokim."Bapak cari saya?" tanya Jidan tanpa basa-basi. Ia duduk tidak jauh dari Pak Darmana. Sagita mendekat pada Jidan dan duduk tidak jauh dari Jidan."Boleh saya bicara empat mata dengan kamu?" Perkataan Pak Darmana jelas membuat Sagita menjadi salah tingkah. Ia merasa mengganggu obrolan antara Pak Sokim dan Jidan."Tidak bisa Pak. Kalau ada yang ingin Bapak sampaikan silakan saja. Tapi biarkan Sagita ada di sini. Kami rekan dan sudah sepantasnya apapun masalah di tempat kerja kami hadapi bersama." Jidan berkata dengan mantap. Raut wajah Pak Darmana seperti
~Wanita adalah alat pembujuk pria terbaik~Tidak mudah membujuk Jidan. Dengan cara apapun, tampaknya Sagita akan gagal. Lagipula, membujuk Jidan juga seperti melawan sebagian kecil hati Sagita. Ada dalam bagian hati Sagita yang tidak mau Jidan bertemu dengan Lastrina, namun ia juga tidak mau jika Jidan sampai dipecat."Kak Jidan. Hati kakak boleh panas, tapi Kepala Kakak harus tetap dingin. Kakak enggak boleh emosi. Kakak harus tetap tenang." Sagita mencoba berbicara dengan baik. Sagita melirik ke arah cermin yang ada di dekatnya, ia melihat jika jilbabnya tidak rapi. Sagita segera merapikan jilbabnya di depan cermin. Ia tidak mau jilbabnya tidak rapi.Jidan yang melihat Sagita refleks merapikan jilbabnya justru tersenyum kecil. Dalam hati dia berpikir jika semua wanita sama saja jika bertemu dengan cermin. Mau apapun dan bagaimanapun kondisinya, wanita tetap tidak bisa mengabaikan cermin yang ada di dekatnya."Kamu udah cantik, G
~Akhir dari sesuatu adalah awal bagi sesuatu lainnya~Hari berlalu begitu saja. Suka atau tidak suka dunia akan tetap berputar pada porosnya. Manusia-manusia yang tinggal di atas permukaannya juga terus merajut ceritanya masing-masing. Malam ini, yang terdengar hanya tawa kelakar Yoga. Di sampingnya ada Jidan yang masih memasang wajah kesal."Terus! Terus! Tertawain aja aku terus sampai kamu puas.""Ampun Jidan! Ampun! Semua cerita kamu itu lucu banget menurut aku. Bisa-bisanya kamu dilema, berada di antara dua janda. Satu Sagita dan satu Lastrina. Luar biasa. Kamu jadi rebutan para janda. Ckckck! Tolong ajarin aku Suhu! Angkat aku jadi muridmu. Hahaha!" Yoga tertawa lagi. Ia puas menertawakan penderitaan Jidan. Tadi, ia sudah puas menertawakan Jidan atas gelar pengangguran yang disandangnya. Sekarang, Yoga menertawakan Jidan lagi karena merasa dirinya sangat dilematis saat berhadapan dengan masalah Lastrina."Begini ya Bapak Peng
~Selama hidup masih bergulir, masalah pasti akan tetap mengalir~Bunga-bunga hias terjajar rapi. Bugenvil dengan warna semarak menghiasi setiap sudut. Sekulen manis di dalam pot-pot kecil memenuhi sebuah rak yang dicat putih bersih. Tempat itu bukan hanya sekedar tempat jual tanaman hias, tapi juga sudah seperti taman indah yang membuat siapa saja yang masuk ke dalamnya akan betah.Tidak ada suara yang terdengar selain suara air mancur kecil yang airnya mengalir ke sebuah kolam berbatu. Kolam itu berisikan ikan-ikan mas yang warnanya oranye. Siapapun yang tadinya tidak semangat, akan semangat begitu masuk ke dalam kawasan ini.Sudah hampir satu tahun tempat ini beroperasi. Pemiliknya satu, bernama Jidan dan karyawan tetap ya bernama Sagita. Ada beberapa karyawan harian lepas di antaranya Risa dan Cika. Tempat ini juga punya satu pengunjung tetap bernama Yoga. Pengunjung yang berkunjung bukan untuk membeli bunga atau pot hias, dia datan
~Tanaman hias terkadang bisa menjadi obat bagi hati yang luka. Apalagi jika tanaman itu dari orang yang tersayang~Cika menyodorkan kertas bewarna pink pada Yoga. Yoga menerima kertas itu sambil membolak-baliknya."Apa tuh?" Jidan lebih dulu bertanya."Undangan." Cika menjawab singkat."Undangan sunatan?""Ih! Bukanlah Kak Jidan. Itu undangan wisuda. Cika sama Risa mau wisuda. Dan kalian diundang di acara wisudaannya kita." Cika berkata dengan semangat."Oh! Jadi ini merayakan status kalian yang berubah dari mahasiswa menjadi penganggaran?" Yoga bertanya dengan nada mengejek. Jidan malah membantu Yoga dengan tertawa. Suasana kebun bunga Jidan tidak terlalu ramai hari itu. Hujan baru saja mengguyur tempat itu. Susana kebun yang menjual tanaman hias itu menjadi basah. Namun basahnya membuat mata menjadi segar saat memandang."Kami ini enggak pengangguran. Kamikan juga udah kerja di sini, sama K
~Waktu berlalu, suka bisa bertambah, duka juga bisa bertambah. Hanya diperlukan hati yang tabah untuk menghadapinya~Suara mesin mobil pick up terdengar, Yoga sibuk menaikkan satu per satu bunga lantana ke atas bak mobil pick up. Sagita dengan santai masuk ke dalam mobil."Jeglek!" terdengar suara Yoga menutup pintu mobilnya."Bos! Kita pergi dulu ya Bos! Rencana enggak balik lagi nih. Sagita langsung aku bawa kabur!" Yoga melambaikan tangannya ke arah Jidan. Jidan yang mendengar perkataan Yoga hanya mengepalkan tinjunya ke udara.Perjalanan yang ditempuh Yoga dan Sagita tidak jauh. Kompleks itu masih masuk ke wilayah kota dimana tempat kebun bunga mereka berada. Mobil pick up mereka masuk ke sebuah kompleks perumahan mewah. Cukup ketat, penjagaan di depan gerbang masuk kompleks. Ada dua orang satpam yang memeriksa isi pick up dan juga meminta tanda pengenal Yoga sebagai jaminan."Kamu pernah masuk sini Git?" tany
~Seringkali manusia merasa yang paling menderita di muka bumi ini, padahal semua manusia memang akan menderita sesuai kadarnya masing-masing~Yoga menundukkan pandangan matanya. Ia bingung harus apa sekarang. Hatinya sakit melihat wanita yang pernah dicintainya dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, bahkan mengenaskan. Sagita yang dulu marah dan kesal pada Delia hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Dia tidak tahu juga apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sebisa mungkin Sagita mencoba untuk tenang."Mas Danar, kami sudah bercerai. Dan sedang menjalani persidangan terakhir di pengadilan agama." Delia menghapus air matanya. Seorang wanita yang terlihat seperti seorang baby sitter mengambil bayi yang ada dalam gendongannya."Kenapa?" Yoga bertanya tanpa basa-basi lagi."Kami tidak cocok. Selalu ribut, selalu bertengkar dan setiap pertengkaran itu terjadi, seperti tidak ada kata damai."Papa Delia menarik napas dalam-dalam
~Amarah terkadang hanya akan merusak suasana~"Kalian darimana aja sih? Ini udah lewat Isya dan kalian baru pulang? Kalian cuman nganterin bunga ke satu tempat aja loh. Apa ada masalah? Masalah apa?" Jidan langsung membrendel Yoga dan Sagita dengan banyak pertanyaan.Cika dan Risa juga merapat, seharusnya mereka sudah pulang ke rumah. Namun, karena Sagita belum juga kembali, mereka tidak bisa pulang."Loh! Mata Kak Sagita kenapa sembab?" Risa bertanya dengan perasaan khawatir."Git? Kamu kenapa Git? Kamu diapain sama Yoga?" Jidan langsung bertanya pada Sagita. Sagita hanya menggeleng."Sagita enggak apa-apa kok Kak. Dan Kak Yoga juga enggak ngapa-ngapain juga. Enggak mungkinlah Kak Yoga macem-macem. Kita baik-baik aja kok."Melihat wajah Yoga yang masam, mata Sagita yang sembab seperti habis menangis, Jidan tidak langsung percaya. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan mereka."Oke! Mending kal