~Akhir dari sesuatu adalah awal bagi sesuatu lainnya~
Hari berlalu begitu saja. Suka atau tidak suka dunia akan tetap berputar pada porosnya. Manusia-manusia yang tinggal di atas permukaannya juga terus merajut ceritanya masing-masing. Malam ini, yang terdengar hanya tawa kelakar Yoga. Di sampingnya ada Jidan yang masih memasang wajah kesal."Terus! Terus! Tertawain aja aku terus sampai kamu puas.""Ampun Jidan! Ampun! Semua cerita kamu itu lucu banget menurut aku. Bisa-bisanya kamu dilema, berada di antara dua janda. Satu Sagita dan satu Lastrina. Luar biasa. Kamu jadi rebutan para janda. Ckckck! Tolong ajarin aku Suhu! Angkat aku jadi muridmu. Hahaha!" Yoga tertawa lagi. Ia puas menertawakan penderitaan Jidan. Tadi, ia sudah puas menertawakan Jidan atas gelar pengangguran yang disandangnya. Sekarang, Yoga menertawakan Jidan lagi karena merasa dirinya sangat dilematis saat berhadapan dengan masalah Lastrina."Begini ya Bapak Peng~Selama hidup masih bergulir, masalah pasti akan tetap mengalir~Bunga-bunga hias terjajar rapi. Bugenvil dengan warna semarak menghiasi setiap sudut. Sekulen manis di dalam pot-pot kecil memenuhi sebuah rak yang dicat putih bersih. Tempat itu bukan hanya sekedar tempat jual tanaman hias, tapi juga sudah seperti taman indah yang membuat siapa saja yang masuk ke dalamnya akan betah.Tidak ada suara yang terdengar selain suara air mancur kecil yang airnya mengalir ke sebuah kolam berbatu. Kolam itu berisikan ikan-ikan mas yang warnanya oranye. Siapapun yang tadinya tidak semangat, akan semangat begitu masuk ke dalam kawasan ini.Sudah hampir satu tahun tempat ini beroperasi. Pemiliknya satu, bernama Jidan dan karyawan tetap ya bernama Sagita. Ada beberapa karyawan harian lepas di antaranya Risa dan Cika. Tempat ini juga punya satu pengunjung tetap bernama Yoga. Pengunjung yang berkunjung bukan untuk membeli bunga atau pot hias, dia datan
~Tanaman hias terkadang bisa menjadi obat bagi hati yang luka. Apalagi jika tanaman itu dari orang yang tersayang~Cika menyodorkan kertas bewarna pink pada Yoga. Yoga menerima kertas itu sambil membolak-baliknya."Apa tuh?" Jidan lebih dulu bertanya."Undangan." Cika menjawab singkat."Undangan sunatan?""Ih! Bukanlah Kak Jidan. Itu undangan wisuda. Cika sama Risa mau wisuda. Dan kalian diundang di acara wisudaannya kita." Cika berkata dengan semangat."Oh! Jadi ini merayakan status kalian yang berubah dari mahasiswa menjadi penganggaran?" Yoga bertanya dengan nada mengejek. Jidan malah membantu Yoga dengan tertawa. Suasana kebun bunga Jidan tidak terlalu ramai hari itu. Hujan baru saja mengguyur tempat itu. Susana kebun yang menjual tanaman hias itu menjadi basah. Namun basahnya membuat mata menjadi segar saat memandang."Kami ini enggak pengangguran. Kamikan juga udah kerja di sini, sama K
~Waktu berlalu, suka bisa bertambah, duka juga bisa bertambah. Hanya diperlukan hati yang tabah untuk menghadapinya~Suara mesin mobil pick up terdengar, Yoga sibuk menaikkan satu per satu bunga lantana ke atas bak mobil pick up. Sagita dengan santai masuk ke dalam mobil."Jeglek!" terdengar suara Yoga menutup pintu mobilnya."Bos! Kita pergi dulu ya Bos! Rencana enggak balik lagi nih. Sagita langsung aku bawa kabur!" Yoga melambaikan tangannya ke arah Jidan. Jidan yang mendengar perkataan Yoga hanya mengepalkan tinjunya ke udara.Perjalanan yang ditempuh Yoga dan Sagita tidak jauh. Kompleks itu masih masuk ke wilayah kota dimana tempat kebun bunga mereka berada. Mobil pick up mereka masuk ke sebuah kompleks perumahan mewah. Cukup ketat, penjagaan di depan gerbang masuk kompleks. Ada dua orang satpam yang memeriksa isi pick up dan juga meminta tanda pengenal Yoga sebagai jaminan."Kamu pernah masuk sini Git?" tany
~Seringkali manusia merasa yang paling menderita di muka bumi ini, padahal semua manusia memang akan menderita sesuai kadarnya masing-masing~Yoga menundukkan pandangan matanya. Ia bingung harus apa sekarang. Hatinya sakit melihat wanita yang pernah dicintainya dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, bahkan mengenaskan. Sagita yang dulu marah dan kesal pada Delia hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Dia tidak tahu juga apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sebisa mungkin Sagita mencoba untuk tenang."Mas Danar, kami sudah bercerai. Dan sedang menjalani persidangan terakhir di pengadilan agama." Delia menghapus air matanya. Seorang wanita yang terlihat seperti seorang baby sitter mengambil bayi yang ada dalam gendongannya."Kenapa?" Yoga bertanya tanpa basa-basi lagi."Kami tidak cocok. Selalu ribut, selalu bertengkar dan setiap pertengkaran itu terjadi, seperti tidak ada kata damai."Papa Delia menarik napas dalam-dalam
~Amarah terkadang hanya akan merusak suasana~"Kalian darimana aja sih? Ini udah lewat Isya dan kalian baru pulang? Kalian cuman nganterin bunga ke satu tempat aja loh. Apa ada masalah? Masalah apa?" Jidan langsung membrendel Yoga dan Sagita dengan banyak pertanyaan.Cika dan Risa juga merapat, seharusnya mereka sudah pulang ke rumah. Namun, karena Sagita belum juga kembali, mereka tidak bisa pulang."Loh! Mata Kak Sagita kenapa sembab?" Risa bertanya dengan perasaan khawatir."Git? Kamu kenapa Git? Kamu diapain sama Yoga?" Jidan langsung bertanya pada Sagita. Sagita hanya menggeleng."Sagita enggak apa-apa kok Kak. Dan Kak Yoga juga enggak ngapa-ngapain juga. Enggak mungkinlah Kak Yoga macem-macem. Kita baik-baik aja kok."Melihat wajah Yoga yang masam, mata Sagita yang sembab seperti habis menangis, Jidan tidak langsung percaya. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan mereka."Oke! Mending kal
~Jika stres, depresi, banyak masalah, cobalah untuk rehat dengan berlibur~Hari itu, suasana di kebun depan rumah Jidan tidak seperti biasanya. Risa, Cika, Jidan, sibuk masing-masing. Mereka tidak bersendau gurau seperti kemarin. Bukan hanya itu saja, bahkan Yoga yang biasanya mampir main ke kebun itu juga tidak tampak."Kalian kok aneh? Tidak seperti biasanya?" Mama Jidan bertanya pada Sagita."Enggak kok Tante, biasa saja sebenarnya. Mungkin karena Risa dan Cika lagi mikirin persiapan wisuda mereka." Sagita mencoba menyembunyikan situasi tegang yang menimpa mereka di depan mama Jidan. Mama Jidan hanya mengangguk saja."Kemarin kenapa kamu lama sekali mengantar bunga sama Yoga?" tanya Mama Jidan lagi."Oh! Iya Tante. Yang punya rumah, pelanggan setia kita itu ngajak ngobrol dulu di rumahnya." Sagita mengangguk dengan sopan. Ia tidak merasa berbohong, toh memang ia mengobrol bersama si pemilik rumah, Delia dan pap
~Perjalanan terbaik adalah perjalanan bersama dengan teman yang tepat~Risa dan Cika tampil cantik hari itu. Mereka berdua mengenakan kebaya lengkap dengan jilbab yang serasi dengan warna kebaya yang mereka gunakan. Mama papa mereka juga mendampingi mereka dengan penuh suka cita.Sagita sudah sedari tadi mengucapkan selamat kepada dua wanita cantik ini. Jidan dan Yoga dengan semangat kemana-mana membawa boneka beruang bewarna merah muda. Sesuai ide Jidan, mereka memberi boneka untuk Cika dan Risa.Entah berapa jepretan foto yang sudah mereka ambil. Semuanya larut dalam rasa bahagia. Mama papa Risa dan Cika bahkan mentraktir mereka untuk menikmati hidangan lezat di salah satu restoran yang ada di dekat kampus."Ini luar biasa. Thank you semuanya. Papa Mama, Kak Sagita, Kak Yoga dan Kak Jidan. Cika happy hari ini." Cika berkata sambil lompat-lompat. Dari pagi sepertinya tenaganya tidak ada habisnya. Bahkansampai siang berganti
~Jalan pikir wanita memang terkadang membingungkan~3 hari lamanya, Bli Pan memandu Sagita, Jidan, Yoga, Risa dan Cika di Bali. Mereka semua tidak bisa lama-lama ada di pulau cantik ini, pertama, Cika dan Risa harus mengurus berkas-berkas pasca wisuda mereka. Selain itu, Yoga juga tidak bisa lama-lama mengambil cuti dari kantornya. Jadilah mereka harus berpamitan pada Bli Pandu dan kembali ke rutinitas mereka."Cepat sekali liburannya. Enggak bisa ditambah lagi Kak Jidan?" Cika mencoba untuk membujuk Jidan."Enggak bisa. Duitnya udah habis. Kalau mau ditambah, kamu harus kerja rodi selama setahun di kebun tanpa dibayar. Mau?""Kejam banget Kakak sih.""Ya jadi mau gimana lagi? Uang Kakak memang masih banyak. Tapi enggak semuanya dialokasikan buat liburan. Nanti kalau kamu udah nikah, kamu ajak aja suami kamu buat liburan ke sini. Bila perlu nikah sama Bli Pandu aja kamu Cik, biar jadi orang Bali sekalian."Yo
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi