~Jalan pikir wanita memang terkadang membingungkan~
3 hari lamanya, Bli Pan memandu Sagita, Jidan, Yoga, Risa dan Cika di Bali. Mereka semua tidak bisa lama-lama ada di pulau cantik ini, pertama, Cika dan Risa harus mengurus berkas-berkas pasca wisuda mereka. Selain itu, Yoga juga tidak bisa lama-lama mengambil cuti dari kantornya. Jadilah mereka harus berpamitan pada Bli Pandu dan kembali ke rutinitas mereka."Cepat sekali liburannya. Enggak bisa ditambah lagi Kak Jidan?" Cika mencoba untuk membujuk Jidan."Enggak bisa. Duitnya udah habis. Kalau mau ditambah, kamu harus kerja rodi selama setahun di kebun tanpa dibayar. Mau?""Kejam banget Kakak sih.""Ya jadi mau gimana lagi? Uang Kakak memang masih banyak. Tapi enggak semuanya dialokasikan buat liburan. Nanti kalau kamu udah nikah, kamu ajak aja suami kamu buat liburan ke sini. Bila perlu nikah sama Bli Pandu aja kamu Cik, biar jadi orang Bali sekalian."Yo~Orang jahat tidak akan bisa bersembunyi selamanya~Begitu keluar dari dalam mobil, Jidan dan Yoga melihat seorang pengendara sepeda motor yang sibuk mendirikan sepeda motornya yang jatuh di aspal. Bli Pandu melihat ke arah mobil vannya yang lecet. Pengendara sepeda motor itu mengenakan hel bewarna hitam yang menutupi semua bagian wajahnya kecuali matanya. Ia sibuk dengan sepeda motornya dan tidak memperhatikan Yoga dan Jidan."Wah! Hati-hati dong Pak! Lecet nih mobil saya." Bli Pandu sedikit kesal melihat kondisi mobilnya.Pengendara sepeda motor itu melihat ke arah Bli Pandu, sepeda motornya sudah tegak kembali. Lalu, ia melayangkan pandangannya ke arah Yoga da Jidan. Aneh, orang itu seperti tersentak kaget melihat Yoga dan Jidan. Jidan dan Yoga saling tatap satu sama lain."Bapak enggak kenapa-kenapa?" tanya Jidan. Pengendara sepeda motor itu malah buru-buru ingin pergi. Tentu saja hal itu tidak diizinkan oleh Bli Pandu.
~Rasa tidak tega akan tumbuh di hati orang-orang yang berhati baik. Kadang itu baik, namun kadang rasa itu tidak diperlukan~"Apa yang mau Kakak lakukan?" tanya Sagita pada Jidan. Jidan yang ingin menghubungkan seseorang menunda keinginannya itu."Tentu saja menghubungi Papanya Delia. Papanya Delia mencari Danar kemana-mana. Dan sekarang kita ketemu sama Danar. Kita harus hubungi Papanya Delia sekarang." Jidan menjawab dengan cepat."Jangan Kak!""Jangan? Apa maksud kamu Sagita?"Jidan memperhatikan wajah Sagita dengan cermat. Ada raut kecemasan di sana. Sejenak saja, Jidan sudah tahu apa yang ada dalam pikiran Sagita."Astaga! Jangan bilang kalau kamu merasa kasihan sama Danar?" Jidan bertanya sambil mengerutkan dahinya. Ia sendiri seolah tidak percaya dengan apa yang ia pertanyakan."Kasihan Mas Danar Kak. Papanya Delia pasti akan memberi pelajaran pada Mas Danar. Mas Danar udah babak belur dan k
~Sahabat sejati tidak akan tega membiarkan sahabatnya celaka~Danar menatap ke arah Jidan. Tatapan mata itu sulit untuk diartikan Jidan apa maksudnya. Namun, Jidan tetap masih belum memberi air minum yang ada di tangannya."Aku beri air minum ini padamu Jidan, sebagai tanda jika aku masih kasihan padamu. Apalagi jika mengingat kita pernah menjadi teman akrab. Ini, minumlah!"Jidan menuangkan air minum itu kepada Danar. Tanpa basa-basi, Danar meminum semua air di dalam botol. Setelahnya tampak Danar bernapas lega."Terima kasih." Danar mengucapkan kata itu dengan lemah."Apa aku boleh berbicara dengan Sagita?" tanya Danar sambil menunduk."Apa lagi yang mau kamu katakan pada Sagita, Danar? Kamu mau bilang apa? Sudah tidak ada lagi yang perlu kamu katakan pada Sagita. Urusanmu sekarang hanya tinggal pada Delia.""Delia. Kau sudah bertemu dengannya? Apa yang dikatakan Delia pada kalian? Jangan p
~kata maaf tidak lantas menyelesaikan segalanya~Kebun milik Jidan tidak terlalu ramai sore itu. Hanya ada beberapa pelanggan yang datang. Yoga juga sudah ada di kebun itu. Ia membuka laptopnya dan mengerjakan pekerjaannya sambil meminum secangkir kopi dingin."Gimana tokeh bunga? Banyak omset hari ini?" Yoga bertanya pada Jidan."Lumayan. Cukup buat jalan-jalan ke Paris.""Gaya banget kamu." Yoga tertawa sambil matanya tetap mengarah ke laptop. Sagita sibuk memperhatikan bunga-bunga yang daunnya di makan ular. Ia sedikit geli melihat ulat-ulat itu."Ada daun-daun yang dimakan ulat. Kalau enggak segera diatasi, takutnya ulat-ulat itu tambah banyak dan makan daun yang lainnya. Tanaman kita bisa banyak yang rusak." Sagita berkata pada Jidan."Iya Kak. Banyak ulat. Di sebelah sana juga banyak. Ulatnya uget-uget." Cika membenarkan apa yang baru saja disampikan oleh Sagita."Uget-uget gimana
~Tamu yang datang dengan amarah, sebaiknya lekas diusir~Delia pamit dari kebun bunga itu, Yoga bahkan dengan semangatnya membawakan Delia satu ikat bunga untuk dibawa. Ia menunggu sampai mobil Delia benar-benar beranjak pergi."Bayar itu bunga." Jidan berkata pada Yoga."Ya ampun Jidan. Bunga satu iket doang masa mau dibayar juga.""Ya bayar dong. Enggak ada istilah gratis. Bayar! Lagian kamu itu ganjen banget sih, pake acara ngasih bunga segala sama Delia. Kamu ngarep dia mau sama kamu. Jangan mimpi Yoga!"Yoga memicingkan matanya. Dia seperti tidak suka dengan perkataan Jidan barusan."Bisa enggak, kamu mendukung aku sama seperti aku mendukung kamu ke Sagita? Kamu suka sama Sagita kan Jidan? Emang cinta kamu udah diterima sama Sagita? Belum kan? Nah, aku dukung kamu enggak biar Sagita menerima kamu? Aku dukung, kan? Nah, kenapa kamu enggak balas budi ke aku sekarang? Kamu juga ngedukung aku biar aku bisa s
~Ada banyak masalah yang larut dalam waktu~"Gila ya, enggak anak, enggak orangtuanya. Sama aja. Ngeselin." Cika masih marah-marah, padahal jelas pintu rumah sudah ditutup. Sagita menarik napas lega, ia merasa lega karena mantan mertuanya itu akhirnya sudah pulang."Amit, amit, aduh! Amit-amit pokoknya. Jangan sampai dapet mertua model gitu." Risa ikut terpancing emosi."Sabar, kalian harus sabar. Jangan gampang emosi. Gimanapun juga mereka itu orangtua. Enggak boleh kita enggak sopan sama yang tua. Wajib sopan. Tapi ya gimana lagi, daripada nanti jadi ribut besar, lebih baik mereka pulang dulu."Sagita memaksa Cika dan Risa untuk kembali ke meja makan malam. Bagi Sagita tidak ada gunanya merasa kesal terus-menerus kepada orangtuanya Danar. Namun, Sagita khawatir. Ia khawatir bahwa itu bukanlah kunjungan terakhir dari orangtua Danar. Bisa saja mereka akan datang lagi. Dan jika sampai hal itu terjadi, keributan pasti tidak akan ter
~Membuka hati itu sulit bagi wanita yang pernah dikecewakan~Sagita membawa kabar baik bagi Bos Don. Kebun mereka memiliki koleksi khusus yang bisa dibawa oleh Bos Don."Kalau yang ini, Bos pasti enggak akan nolak, kan?" tanya Sagita dengan wajah cerah."Wah! Bagus ini saya suka. Di sini bisa bayar kredit kan?""Bisa." Jidan menjawab dengan cepat."Tapi tanahnya aja. Pot sama bunganya enggak saya kasih. Enak aja mau bayar cicil. Di sini jualan bunga, bukan tempat pengajuan kredit.""Aduh Jidan! Kamu jangan pelit kenapa sih. Ini biar saya langganan loh di tempat kalian."Jidan hanya diam. Baginya tidak bisa main angsur. Ada uang ada barang."Hiroshima hancur karena bom, usaha ini bisa hancur karena bon." Jidan berkata dengan tegas. Bos Don memasang wajah cemberut. Sagita hanya tersenyum saja. Baginya watak Bos Don tetap sama saja.Bos Don mengeluarkan handphonenya. Ia sep
~Bantuan seseorang itu terkadang ada, hanya saja sering tidak dirasa ada~"Tadi Kak Git! Ada cowok ganteng datang ke sini. Keren banget euy." Cika bercerita dengan semangat. Sagita yang sibuk mencuci piring tidak sempat memperhatikan wajah Cika yang senyum-senyum sendiri."Ke kebun?" tanya Sagita."Iya. Ke kebun. Keren banget deh.""Udah kenalan?""Enggak berani Cika kenalan. Lagian sepertinya dia cuman liat-liat aja tuh. Enggak beli."Risa datang menepuk pundak Cika."Setelah wisuda ini, emang kamu ada cita-cita buat nikah Cik?" tanya Risa pada teman seperjuangannya itu.Cika menggeleng. Ia tidak ingin buru-buru nikah. Ia takut jika buru-buru menikah, kejadiannya akan sama seperti nasib rumah tangga Sagita. Cika berpikir akan lebih bagus jika dia membangun karir lebih dulu."Tapi mama kamu kemarin cerita, katanya kamu mau dijodohkan. Ih! Pasti dijodohkannya sama kakek-kakek.