~Ada banyak masalah yang larut dalam waktu~
"Gila ya, enggak anak, enggak orangtuanya. Sama aja. Ngeselin." Cika masih marah-marah, padahal jelas pintu rumah sudah ditutup. Sagita menarik napas lega, ia merasa lega karena mantan mertuanya itu akhirnya sudah pulang."Amit, amit, aduh! Amit-amit pokoknya. Jangan sampai dapet mertua model gitu." Risa ikut terpancing emosi."Sabar, kalian harus sabar. Jangan gampang emosi. Gimanapun juga mereka itu orangtua. Enggak boleh kita enggak sopan sama yang tua. Wajib sopan. Tapi ya gimana lagi, daripada nanti jadi ribut besar, lebih baik mereka pulang dulu."Sagita memaksa Cika dan Risa untuk kembali ke meja makan malam. Bagi Sagita tidak ada gunanya merasa kesal terus-menerus kepada orangtuanya Danar. Namun, Sagita khawatir. Ia khawatir bahwa itu bukanlah kunjungan terakhir dari orangtua Danar. Bisa saja mereka akan datang lagi. Dan jika sampai hal itu terjadi, keributan pasti tidak akan ter~Membuka hati itu sulit bagi wanita yang pernah dikecewakan~Sagita membawa kabar baik bagi Bos Don. Kebun mereka memiliki koleksi khusus yang bisa dibawa oleh Bos Don."Kalau yang ini, Bos pasti enggak akan nolak, kan?" tanya Sagita dengan wajah cerah."Wah! Bagus ini saya suka. Di sini bisa bayar kredit kan?""Bisa." Jidan menjawab dengan cepat."Tapi tanahnya aja. Pot sama bunganya enggak saya kasih. Enak aja mau bayar cicil. Di sini jualan bunga, bukan tempat pengajuan kredit.""Aduh Jidan! Kamu jangan pelit kenapa sih. Ini biar saya langganan loh di tempat kalian."Jidan hanya diam. Baginya tidak bisa main angsur. Ada uang ada barang."Hiroshima hancur karena bom, usaha ini bisa hancur karena bon." Jidan berkata dengan tegas. Bos Don memasang wajah cemberut. Sagita hanya tersenyum saja. Baginya watak Bos Don tetap sama saja.Bos Don mengeluarkan handphonenya. Ia sep
~Bantuan seseorang itu terkadang ada, hanya saja sering tidak dirasa ada~"Tadi Kak Git! Ada cowok ganteng datang ke sini. Keren banget euy." Cika bercerita dengan semangat. Sagita yang sibuk mencuci piring tidak sempat memperhatikan wajah Cika yang senyum-senyum sendiri."Ke kebun?" tanya Sagita."Iya. Ke kebun. Keren banget deh.""Udah kenalan?""Enggak berani Cika kenalan. Lagian sepertinya dia cuman liat-liat aja tuh. Enggak beli."Risa datang menepuk pundak Cika."Setelah wisuda ini, emang kamu ada cita-cita buat nikah Cik?" tanya Risa pada teman seperjuangannya itu.Cika menggeleng. Ia tidak ingin buru-buru nikah. Ia takut jika buru-buru menikah, kejadiannya akan sama seperti nasib rumah tangga Sagita. Cika berpikir akan lebih bagus jika dia membangun karir lebih dulu."Tapi mama kamu kemarin cerita, katanya kamu mau dijodohkan. Ih! Pasti dijodohkannya sama kakek-kakek.
~Ada jenis manusia yang rela melakukan apapun atas nama gengsi~Sagita datang membawa sebuah kursi. Ia merasa segan pada Jidan yang sudah berdiri di dekan nyonya besar."Silakan duduk Nyonya. Sagita pilihkan satu tanaman yang untuk Nyonya ya. Nyonya mau tanaman apa kira-kira? Mau janda bolong? Hargnya memang lebih mahal dari tanaman yang lainnya karena emang lagi viral. Tapi untuk Nyonya sepertinya tanaman janda bolong yang paling bagus.""Ambilkan saja Git. Harga bukan masalah bagi saya.""Bayarnya enggak kreditkan?" Jidan ingin memastikan jika nyonya besar tidak sama seperti Bos Don yang maunya membeli tanaman secara cicil. Nyonya besar mengeluarkan dompetnya dari dalam tas. Lalu dia mengeluarkan banyak uang dari dalam dompetnya. Dia mengipas-ngipaskan uangnya di hadapan Jidan."Kamu meragukan saya Jidan? Kamu kira kantong saya tipis?"Jidan hanya diam saja. Ia meminta Sagita untuk mencarikan tanaman janda
~Orang jatuh cinta memang begitu, suka sekali melakukan hal-hal yang absurd~Hari itu, Jidan tidak diizinkan oleh Jidan menemui keponakan Nyonya besar. Cika dan Risa yang bertugas di depan untuk melayani pengunjung yang datang ke kebun. Sementara Sagita justru diberi pekerjaan mengecat batu."Kalau ternyata keponakannya Nyonya Besar itu tampan. Apa boleh untuk Cika, aja Kak?" Cika bertanya pada Jidan."Ambil. Angkut sekalian sama akar-akarnya.""Terima kasih Kak Jidan." Cika bertepuk tangan dengan gembira. Sementara itu, Risa hanya menggeleng menyaksikan betapa absurdnya tingkah Cika."Terus kalau keponakan Nyonya Besar itu jelek gimana? Angkut juga dong Cik. Angkut sampai ke akar-akarnya.""Ya kalau jelek aku kasih ke kamu aja Ris. Siapa tahu bisa kamu cat warna-warni kaya batu-batu kecil kita. Bisa buat pajangan di rumah kamu di kampung sana."Risa hanya mengepalkan tangannya ke arah Cika. Cika m
~Buang jauh-jauh ekspektasi yang ada, terkadang ekspektasi hanya menimbulkan rasa kecewa~"Dimana Kak Jidan, Kak?" Sagita bertanya pada Yoga. Yoga hanya menaikkan kedua bahunya secara bersamaan. Dia memang tidak tahu kemana Jidan. Yoga bangkit dari tempat duduknya dan memutuskan untuk ke masjid yang paling dekat dengan kebun itu."Cik, Ris. Kalian lihat Kak Jidan?"Cika dan Risa menggeleng. Mereka bersiap untuk pulang, tidak tahu dimana Jidan berada. Sagita menghela napas. Tidak biasanya saat Maghrib begini Jidan tidak terlihat. Namun, Sagita berusaha untuk berpikir positif siapa tahu jika Jidan sudah pergi ke masjid untuk sholat Maghrib lebih awal."Kakak lagi berantem ya sama Kak Jidan?" Cika bertanya dengan nada serius."Enggak kok. Cuman ngerasa tumben aja dari tadi enggak kelihatan. Yaudah yok! Kita pulang."Mereka bertiga memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah Sagita segera berbenah dan setelah i
~Wanita merdeka, mereka yang tahu kemana harus melangkah ~"Eh Kak Juminem ngapain ke sini?" Cika berteriak dan matanya ke arah Sagita. Risa cepat-cepat memutar otaknya, dia mengerti maksud Cika apa. Tamtam memperhatikan Sagita dari atas sampai ke bawah. Sagita tampak bingung. Cika sengaja melakukan hal itu agar Tamtam tidak tahu jika yang baru datang menghampiri mereka adalah wanita yang dia cari."Juminem! Kamu itu gimana sih? Kan belum siap ngecat batunya. Harus sampai siap loh!"Cika berkata seperti itu sambil menarik tangan Sagita. Sagita bingung namun dia tetap menurut dengan kehendak Cika."Ada apa Cik? Siapa Juminem? Kalian kenapa?" Sagita bertanya banyak hal. Cika membawa Sagita ke tempat dimana Jidan berada."Itu keponakan Bos Don!" Cika menunjuk ke arah Tamtam."Apa?" Jidan dan Sagita kompak kaget."Makanya aku langsung narik kakak tadi. Dan manggil Kakak Juminem. Soalnya kami tadi
~Terkadang, tidak semua permintaan tolong harus dikabulkan~Seharian Jidan hanya mondar-mandir di kebun. Wajahnya terlihat tidak tenang. Tadi pagi, ia barusan bertengkar dengan Yoga. Jidan menganggap jika Yoga yang membuat Sagita yakin untuk pergi."Cik! Ris! Nanti kakak yang antar kalian untuk pulang."Cika dan Risa saling tatap mendengar perkataan Jidan. Dalam hati mereka sama-sama bergumam, tumben sekali. Biasanya Jidan tidak pernah mengantarkan mereka."Pasti karena mau ketemu sama Kak Sagita." Cika berbisik pada Risa. Risa hanya mengangguk. Ia setuju dengan Cika.Begitu sampai di rumah Sagita, Jidan langsung meminta Cika dan Risa memanggil Sagita. Sagita keluar dan menemui Jidan."Kak." Sagita memanggil Jidan yang sudah duduk di beranda rumah."Kakak mau minum apa?""Enggak Sagita. Saya ke sini bukan mau minta minum. Kakak mau tanya, kenapa kamu mau ke Australia? Kenapa kamu enggak
~Orangtua tidak akan sampai hati melihat anaknya menderita. Mereka akan berusaha agar anaknya selalu bahagia. Apapun akan dilakukan atas dasar cinta dan ketulusan untuk seorang anak~Sagita mengintip dari balik jendela. Dia melihat kedua orangtua Danar masih setia menunggu di depan rumah. Padahal jelas, hari sudah larut malam. Sagita melihat ke arah jam yang ada di tembok. Pada jam dinding itu jelas jarum jam ada di angka 11. Sagita semakin resah. Ia memang kesal dengan keduanya, namun hatinya juga tidak tega."Kak! Ayo tidur! Biarkan saja mereka di luar. Nanti kalau capek palingan pulang sendiri." Cika berkata pada Sagita."Apa kamu tega Cik?""Lah, yang nyuruh mereka tetep nunggu di luar siapa? Enggak ada yang nyuruh, kan? Mereka melakukan itu atas dasar kemauan mereka sendiri Kak Git.""Tapi tetap saja kasihan."Cika hanya menggelengkan kepalanya. Ia lalu menguap dan memilih untuk tidur. Kini tinggal Sagit