~Amarah terkadang hanya akan merusak suasana~
"Kalian darimana aja sih? Ini udah lewat Isya dan kalian baru pulang? Kalian cuman nganterin bunga ke satu tempat aja loh. Apa ada masalah? Masalah apa?" Jidan langsung membrendel Yoga dan Sagita dengan banyak pertanyaan.Cika dan Risa juga merapat, seharusnya mereka sudah pulang ke rumah. Namun, karena Sagita belum juga kembali, mereka tidak bisa pulang."Loh! Mata Kak Sagita kenapa sembab?" Risa bertanya dengan perasaan khawatir."Git? Kamu kenapa Git? Kamu diapain sama Yoga?" Jidan langsung bertanya pada Sagita. Sagita hanya menggeleng."Sagita enggak apa-apa kok Kak. Dan Kak Yoga juga enggak ngapa-ngapain juga. Enggak mungkinlah Kak Yoga macem-macem. Kita baik-baik aja kok."Melihat wajah Yoga yang masam, mata Sagita yang sembab seperti habis menangis, Jidan tidak langsung percaya. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan mereka."Oke! Mending kal~Jika stres, depresi, banyak masalah, cobalah untuk rehat dengan berlibur~Hari itu, suasana di kebun depan rumah Jidan tidak seperti biasanya. Risa, Cika, Jidan, sibuk masing-masing. Mereka tidak bersendau gurau seperti kemarin. Bukan hanya itu saja, bahkan Yoga yang biasanya mampir main ke kebun itu juga tidak tampak."Kalian kok aneh? Tidak seperti biasanya?" Mama Jidan bertanya pada Sagita."Enggak kok Tante, biasa saja sebenarnya. Mungkin karena Risa dan Cika lagi mikirin persiapan wisuda mereka." Sagita mencoba menyembunyikan situasi tegang yang menimpa mereka di depan mama Jidan. Mama Jidan hanya mengangguk saja."Kemarin kenapa kamu lama sekali mengantar bunga sama Yoga?" tanya Mama Jidan lagi."Oh! Iya Tante. Yang punya rumah, pelanggan setia kita itu ngajak ngobrol dulu di rumahnya." Sagita mengangguk dengan sopan. Ia tidak merasa berbohong, toh memang ia mengobrol bersama si pemilik rumah, Delia dan pap
~Perjalanan terbaik adalah perjalanan bersama dengan teman yang tepat~Risa dan Cika tampil cantik hari itu. Mereka berdua mengenakan kebaya lengkap dengan jilbab yang serasi dengan warna kebaya yang mereka gunakan. Mama papa mereka juga mendampingi mereka dengan penuh suka cita.Sagita sudah sedari tadi mengucapkan selamat kepada dua wanita cantik ini. Jidan dan Yoga dengan semangat kemana-mana membawa boneka beruang bewarna merah muda. Sesuai ide Jidan, mereka memberi boneka untuk Cika dan Risa.Entah berapa jepretan foto yang sudah mereka ambil. Semuanya larut dalam rasa bahagia. Mama papa Risa dan Cika bahkan mentraktir mereka untuk menikmati hidangan lezat di salah satu restoran yang ada di dekat kampus."Ini luar biasa. Thank you semuanya. Papa Mama, Kak Sagita, Kak Yoga dan Kak Jidan. Cika happy hari ini." Cika berkata sambil lompat-lompat. Dari pagi sepertinya tenaganya tidak ada habisnya. Bahkansampai siang berganti
~Jalan pikir wanita memang terkadang membingungkan~3 hari lamanya, Bli Pan memandu Sagita, Jidan, Yoga, Risa dan Cika di Bali. Mereka semua tidak bisa lama-lama ada di pulau cantik ini, pertama, Cika dan Risa harus mengurus berkas-berkas pasca wisuda mereka. Selain itu, Yoga juga tidak bisa lama-lama mengambil cuti dari kantornya. Jadilah mereka harus berpamitan pada Bli Pandu dan kembali ke rutinitas mereka."Cepat sekali liburannya. Enggak bisa ditambah lagi Kak Jidan?" Cika mencoba untuk membujuk Jidan."Enggak bisa. Duitnya udah habis. Kalau mau ditambah, kamu harus kerja rodi selama setahun di kebun tanpa dibayar. Mau?""Kejam banget Kakak sih.""Ya jadi mau gimana lagi? Uang Kakak memang masih banyak. Tapi enggak semuanya dialokasikan buat liburan. Nanti kalau kamu udah nikah, kamu ajak aja suami kamu buat liburan ke sini. Bila perlu nikah sama Bli Pandu aja kamu Cik, biar jadi orang Bali sekalian."Yo
~Orang jahat tidak akan bisa bersembunyi selamanya~Begitu keluar dari dalam mobil, Jidan dan Yoga melihat seorang pengendara sepeda motor yang sibuk mendirikan sepeda motornya yang jatuh di aspal. Bli Pandu melihat ke arah mobil vannya yang lecet. Pengendara sepeda motor itu mengenakan hel bewarna hitam yang menutupi semua bagian wajahnya kecuali matanya. Ia sibuk dengan sepeda motornya dan tidak memperhatikan Yoga dan Jidan."Wah! Hati-hati dong Pak! Lecet nih mobil saya." Bli Pandu sedikit kesal melihat kondisi mobilnya.Pengendara sepeda motor itu melihat ke arah Bli Pandu, sepeda motornya sudah tegak kembali. Lalu, ia melayangkan pandangannya ke arah Yoga da Jidan. Aneh, orang itu seperti tersentak kaget melihat Yoga dan Jidan. Jidan dan Yoga saling tatap satu sama lain."Bapak enggak kenapa-kenapa?" tanya Jidan. Pengendara sepeda motor itu malah buru-buru ingin pergi. Tentu saja hal itu tidak diizinkan oleh Bli Pandu.
~Rasa tidak tega akan tumbuh di hati orang-orang yang berhati baik. Kadang itu baik, namun kadang rasa itu tidak diperlukan~"Apa yang mau Kakak lakukan?" tanya Sagita pada Jidan. Jidan yang ingin menghubungkan seseorang menunda keinginannya itu."Tentu saja menghubungi Papanya Delia. Papanya Delia mencari Danar kemana-mana. Dan sekarang kita ketemu sama Danar. Kita harus hubungi Papanya Delia sekarang." Jidan menjawab dengan cepat."Jangan Kak!""Jangan? Apa maksud kamu Sagita?"Jidan memperhatikan wajah Sagita dengan cermat. Ada raut kecemasan di sana. Sejenak saja, Jidan sudah tahu apa yang ada dalam pikiran Sagita."Astaga! Jangan bilang kalau kamu merasa kasihan sama Danar?" Jidan bertanya sambil mengerutkan dahinya. Ia sendiri seolah tidak percaya dengan apa yang ia pertanyakan."Kasihan Mas Danar Kak. Papanya Delia pasti akan memberi pelajaran pada Mas Danar. Mas Danar udah babak belur dan k
~Sahabat sejati tidak akan tega membiarkan sahabatnya celaka~Danar menatap ke arah Jidan. Tatapan mata itu sulit untuk diartikan Jidan apa maksudnya. Namun, Jidan tetap masih belum memberi air minum yang ada di tangannya."Aku beri air minum ini padamu Jidan, sebagai tanda jika aku masih kasihan padamu. Apalagi jika mengingat kita pernah menjadi teman akrab. Ini, minumlah!"Jidan menuangkan air minum itu kepada Danar. Tanpa basa-basi, Danar meminum semua air di dalam botol. Setelahnya tampak Danar bernapas lega."Terima kasih." Danar mengucapkan kata itu dengan lemah."Apa aku boleh berbicara dengan Sagita?" tanya Danar sambil menunduk."Apa lagi yang mau kamu katakan pada Sagita, Danar? Kamu mau bilang apa? Sudah tidak ada lagi yang perlu kamu katakan pada Sagita. Urusanmu sekarang hanya tinggal pada Delia.""Delia. Kau sudah bertemu dengannya? Apa yang dikatakan Delia pada kalian? Jangan p
~kata maaf tidak lantas menyelesaikan segalanya~Kebun milik Jidan tidak terlalu ramai sore itu. Hanya ada beberapa pelanggan yang datang. Yoga juga sudah ada di kebun itu. Ia membuka laptopnya dan mengerjakan pekerjaannya sambil meminum secangkir kopi dingin."Gimana tokeh bunga? Banyak omset hari ini?" Yoga bertanya pada Jidan."Lumayan. Cukup buat jalan-jalan ke Paris.""Gaya banget kamu." Yoga tertawa sambil matanya tetap mengarah ke laptop. Sagita sibuk memperhatikan bunga-bunga yang daunnya di makan ular. Ia sedikit geli melihat ulat-ulat itu."Ada daun-daun yang dimakan ulat. Kalau enggak segera diatasi, takutnya ulat-ulat itu tambah banyak dan makan daun yang lainnya. Tanaman kita bisa banyak yang rusak." Sagita berkata pada Jidan."Iya Kak. Banyak ulat. Di sebelah sana juga banyak. Ulatnya uget-uget." Cika membenarkan apa yang baru saja disampikan oleh Sagita."Uget-uget gimana
~Tamu yang datang dengan amarah, sebaiknya lekas diusir~Delia pamit dari kebun bunga itu, Yoga bahkan dengan semangatnya membawakan Delia satu ikat bunga untuk dibawa. Ia menunggu sampai mobil Delia benar-benar beranjak pergi."Bayar itu bunga." Jidan berkata pada Yoga."Ya ampun Jidan. Bunga satu iket doang masa mau dibayar juga.""Ya bayar dong. Enggak ada istilah gratis. Bayar! Lagian kamu itu ganjen banget sih, pake acara ngasih bunga segala sama Delia. Kamu ngarep dia mau sama kamu. Jangan mimpi Yoga!"Yoga memicingkan matanya. Dia seperti tidak suka dengan perkataan Jidan barusan."Bisa enggak, kamu mendukung aku sama seperti aku mendukung kamu ke Sagita? Kamu suka sama Sagita kan Jidan? Emang cinta kamu udah diterima sama Sagita? Belum kan? Nah, aku dukung kamu enggak biar Sagita menerima kamu? Aku dukung, kan? Nah, kenapa kamu enggak balas budi ke aku sekarang? Kamu juga ngedukung aku biar aku bisa s
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi