~Seringkali manusia merasa yang paling menderita di muka bumi ini, padahal semua manusia memang akan menderita sesuai kadarnya masing-masing~Yoga menundukkan pandangan matanya. Ia bingung harus apa sekarang. Hatinya sakit melihat wanita yang pernah dicintainya dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, bahkan mengenaskan. Sagita yang dulu marah dan kesal pada Delia hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Dia tidak tahu juga apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sebisa mungkin Sagita mencoba untuk tenang."Mas Danar, kami sudah bercerai. Dan sedang menjalani persidangan terakhir di pengadilan agama." Delia menghapus air matanya. Seorang wanita yang terlihat seperti seorang baby sitter mengambil bayi yang ada dalam gendongannya."Kenapa?" Yoga bertanya tanpa basa-basi lagi."Kami tidak cocok. Selalu ribut, selalu bertengkar dan setiap pertengkaran itu terjadi, seperti tidak ada kata damai."Papa Delia menarik napas dalam-dalam
~Amarah terkadang hanya akan merusak suasana~"Kalian darimana aja sih? Ini udah lewat Isya dan kalian baru pulang? Kalian cuman nganterin bunga ke satu tempat aja loh. Apa ada masalah? Masalah apa?" Jidan langsung membrendel Yoga dan Sagita dengan banyak pertanyaan.Cika dan Risa juga merapat, seharusnya mereka sudah pulang ke rumah. Namun, karena Sagita belum juga kembali, mereka tidak bisa pulang."Loh! Mata Kak Sagita kenapa sembab?" Risa bertanya dengan perasaan khawatir."Git? Kamu kenapa Git? Kamu diapain sama Yoga?" Jidan langsung bertanya pada Sagita. Sagita hanya menggeleng."Sagita enggak apa-apa kok Kak. Dan Kak Yoga juga enggak ngapa-ngapain juga. Enggak mungkinlah Kak Yoga macem-macem. Kita baik-baik aja kok."Melihat wajah Yoga yang masam, mata Sagita yang sembab seperti habis menangis, Jidan tidak langsung percaya. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan mereka."Oke! Mending kal
~Jika stres, depresi, banyak masalah, cobalah untuk rehat dengan berlibur~Hari itu, suasana di kebun depan rumah Jidan tidak seperti biasanya. Risa, Cika, Jidan, sibuk masing-masing. Mereka tidak bersendau gurau seperti kemarin. Bukan hanya itu saja, bahkan Yoga yang biasanya mampir main ke kebun itu juga tidak tampak."Kalian kok aneh? Tidak seperti biasanya?" Mama Jidan bertanya pada Sagita."Enggak kok Tante, biasa saja sebenarnya. Mungkin karena Risa dan Cika lagi mikirin persiapan wisuda mereka." Sagita mencoba menyembunyikan situasi tegang yang menimpa mereka di depan mama Jidan. Mama Jidan hanya mengangguk saja."Kemarin kenapa kamu lama sekali mengantar bunga sama Yoga?" tanya Mama Jidan lagi."Oh! Iya Tante. Yang punya rumah, pelanggan setia kita itu ngajak ngobrol dulu di rumahnya." Sagita mengangguk dengan sopan. Ia tidak merasa berbohong, toh memang ia mengobrol bersama si pemilik rumah, Delia dan pap
~Perjalanan terbaik adalah perjalanan bersama dengan teman yang tepat~Risa dan Cika tampil cantik hari itu. Mereka berdua mengenakan kebaya lengkap dengan jilbab yang serasi dengan warna kebaya yang mereka gunakan. Mama papa mereka juga mendampingi mereka dengan penuh suka cita.Sagita sudah sedari tadi mengucapkan selamat kepada dua wanita cantik ini. Jidan dan Yoga dengan semangat kemana-mana membawa boneka beruang bewarna merah muda. Sesuai ide Jidan, mereka memberi boneka untuk Cika dan Risa.Entah berapa jepretan foto yang sudah mereka ambil. Semuanya larut dalam rasa bahagia. Mama papa Risa dan Cika bahkan mentraktir mereka untuk menikmati hidangan lezat di salah satu restoran yang ada di dekat kampus."Ini luar biasa. Thank you semuanya. Papa Mama, Kak Sagita, Kak Yoga dan Kak Jidan. Cika happy hari ini." Cika berkata sambil lompat-lompat. Dari pagi sepertinya tenaganya tidak ada habisnya. Bahkansampai siang berganti
~Jalan pikir wanita memang terkadang membingungkan~3 hari lamanya, Bli Pan memandu Sagita, Jidan, Yoga, Risa dan Cika di Bali. Mereka semua tidak bisa lama-lama ada di pulau cantik ini, pertama, Cika dan Risa harus mengurus berkas-berkas pasca wisuda mereka. Selain itu, Yoga juga tidak bisa lama-lama mengambil cuti dari kantornya. Jadilah mereka harus berpamitan pada Bli Pandu dan kembali ke rutinitas mereka."Cepat sekali liburannya. Enggak bisa ditambah lagi Kak Jidan?" Cika mencoba untuk membujuk Jidan."Enggak bisa. Duitnya udah habis. Kalau mau ditambah, kamu harus kerja rodi selama setahun di kebun tanpa dibayar. Mau?""Kejam banget Kakak sih.""Ya jadi mau gimana lagi? Uang Kakak memang masih banyak. Tapi enggak semuanya dialokasikan buat liburan. Nanti kalau kamu udah nikah, kamu ajak aja suami kamu buat liburan ke sini. Bila perlu nikah sama Bli Pandu aja kamu Cik, biar jadi orang Bali sekalian."Yo
~Orang jahat tidak akan bisa bersembunyi selamanya~Begitu keluar dari dalam mobil, Jidan dan Yoga melihat seorang pengendara sepeda motor yang sibuk mendirikan sepeda motornya yang jatuh di aspal. Bli Pandu melihat ke arah mobil vannya yang lecet. Pengendara sepeda motor itu mengenakan hel bewarna hitam yang menutupi semua bagian wajahnya kecuali matanya. Ia sibuk dengan sepeda motornya dan tidak memperhatikan Yoga dan Jidan."Wah! Hati-hati dong Pak! Lecet nih mobil saya." Bli Pandu sedikit kesal melihat kondisi mobilnya.Pengendara sepeda motor itu melihat ke arah Bli Pandu, sepeda motornya sudah tegak kembali. Lalu, ia melayangkan pandangannya ke arah Yoga da Jidan. Aneh, orang itu seperti tersentak kaget melihat Yoga dan Jidan. Jidan dan Yoga saling tatap satu sama lain."Bapak enggak kenapa-kenapa?" tanya Jidan. Pengendara sepeda motor itu malah buru-buru ingin pergi. Tentu saja hal itu tidak diizinkan oleh Bli Pandu.
~Rasa tidak tega akan tumbuh di hati orang-orang yang berhati baik. Kadang itu baik, namun kadang rasa itu tidak diperlukan~"Apa yang mau Kakak lakukan?" tanya Sagita pada Jidan. Jidan yang ingin menghubungkan seseorang menunda keinginannya itu."Tentu saja menghubungi Papanya Delia. Papanya Delia mencari Danar kemana-mana. Dan sekarang kita ketemu sama Danar. Kita harus hubungi Papanya Delia sekarang." Jidan menjawab dengan cepat."Jangan Kak!""Jangan? Apa maksud kamu Sagita?"Jidan memperhatikan wajah Sagita dengan cermat. Ada raut kecemasan di sana. Sejenak saja, Jidan sudah tahu apa yang ada dalam pikiran Sagita."Astaga! Jangan bilang kalau kamu merasa kasihan sama Danar?" Jidan bertanya sambil mengerutkan dahinya. Ia sendiri seolah tidak percaya dengan apa yang ia pertanyakan."Kasihan Mas Danar Kak. Papanya Delia pasti akan memberi pelajaran pada Mas Danar. Mas Danar udah babak belur dan k
~Sahabat sejati tidak akan tega membiarkan sahabatnya celaka~Danar menatap ke arah Jidan. Tatapan mata itu sulit untuk diartikan Jidan apa maksudnya. Namun, Jidan tetap masih belum memberi air minum yang ada di tangannya."Aku beri air minum ini padamu Jidan, sebagai tanda jika aku masih kasihan padamu. Apalagi jika mengingat kita pernah menjadi teman akrab. Ini, minumlah!"Jidan menuangkan air minum itu kepada Danar. Tanpa basa-basi, Danar meminum semua air di dalam botol. Setelahnya tampak Danar bernapas lega."Terima kasih." Danar mengucapkan kata itu dengan lemah."Apa aku boleh berbicara dengan Sagita?" tanya Danar sambil menunduk."Apa lagi yang mau kamu katakan pada Sagita, Danar? Kamu mau bilang apa? Sudah tidak ada lagi yang perlu kamu katakan pada Sagita. Urusanmu sekarang hanya tinggal pada Delia.""Delia. Kau sudah bertemu dengannya? Apa yang dikatakan Delia pada kalian? Jangan p